Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di seluruh dunia, masalah pada sistim perkemihan mencapai 45,15/100.000, dimana
insiden tertinggi pada wanita. Walaupun dapat terjadi pada semua usia, gangguan pada sistim
perkemihan umumnya terjadi pada populasi lanjut usia. Mortalitas sebelum usia 30 tahun
relatif rendah, setelah usia 30 tahun meningkat tajam. Rasio kelamin mortalitas adalah 2,59.
(Strayer, Darlene A & Tanja Schub, 2006 dalam Padang, John, 2011).
Di Indonesia, masalah penyakit sistem perkemihan yang terbanyak adalah disfungsi
kandung kemih dengan masalah klinis inkontinensia urin (UI), retensi urin (UR) dan ISK yang
masuk dalam posisi 40 peringkat utama penyebab kematian, rawat inap dan rawat jalan pada
pusat layanan kesehatan selama tahun 2004. Jumlah klien yang keluar rawat inap di rumah
sakit di Indonesia dengan diagnosis disfungsi kandung kemih pada tahun 2006 sebanyak
22.165 klien, sedangkan kasus baru pada rawat jalan sebanyak 14.053 kasus. (Ditjen Bina
Yanmedik, 2008 dalam Padang, John, 2011).
Smith (2003) melaporkan pemasangan kateter dilakukan lebih dari lima ribu pasien
setiap tahunnya. Dimana sebanyak 4% penggunaan kateter dilakukan pada perawatan rumah
dan sebanyak 25 % pada perawatan akut. Sebanyak 15-25% pasien dirumah sakit
menggunakan kateter menetap untuk mengukur haluaran urin dan membantu pengosongan
kandung kemih (The Joanna Briggs Institute, 2000). Tindakan pemasangan kateter membantu
pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi.
Namun tindakan ini bisa juga menimbulkan masalah lain seperti infeksi, trauma pada uretra,
dan menurunnya rangsangan berkemih. Menurunnya rangsangan berkemih terjadi akibat
pemasangan kateter dalam waktu yang lama mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi
dan berkontraksi sehingga pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Apabila
hai ini terjadi dan kateter dilepas, maka otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan
pasien tidak dapat mengontrolpengeluaran urinnya (Smelzter, 2001).
Beberapa hal ini menunjukkan penting adanya pelatihan kandung kemih serta otot
dasar panggul dengan tujuan mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami
gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal seperti kebiasaan semula. Dengan
intervensi ini dapat membantu penanganan dari masalah pada sistem urinary seperti
1

inkontinensia urin dan retensi urin. Selain itu, latihan kandung kemih harus dimulai dahulu
untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan pelepasan kateter yang
sudah terpasang dalam waktu lama, dengan tindakan ini bisa mencegah retensi. Hal ini
dilakukan dengan melatih kandung kemih supaya dapat menampung lebih banyak urine,
tanpa merembes atau ada dorongan mendesak untuk berkemih, agar dapat bisa ke kamar
kecil tepat waktunya.

2.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini :
1. Untuk mengetahui defininsi dan tujuan bladder training,
2. Untuk mengetahui indikasi dari intervensi bladder training, serta
3. Untuk memahami prosedur dari bladder training

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Bladder training


Suatu latihan yang dilakukan dalam rangka melatih otot-otot kandung kemih (Asmadi,
2008). Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih
yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal (Japardi, 2002 dalam
Widiatuti, 2012). Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi
nonfarmakologi. Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing
(menunda untuk berkemih) (Hariyati, 2000).
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan
pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda
berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih) Suhariyanto (2008). Latihan
kegel (kegel execises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang
dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat
meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu
memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara refleks
menghambat kontraksi kandung kemih (Kane, 1996 dalam Nursalam 2006).

2.2 Tujuan

Mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi


pengeluaran air kemih. (Muttaqin, Arif, 2008) atau melatih seseorang mengembalikan
kontrol miksi (kemampuan berkemih) dalam rentan waktu 2-4 jam.

Agar klien dapat menahan kencing dalam waktu yang lama.

Memepertahankan klien tetap dalam kondisi kering.

Mencegah inkontinensia urgensi.

Memberikan rasa nyaman.

Memperpanjang waktu pengosongan kandung kemih

Meningkatkan jumlah cairan yang dapat ditahan dalam kandung kemih

Mengurangi sense of urgency dan

pengeluaran urin yang tidak dirasakan (Family doctor organization, 2004)

2.3 Indikasi Bladder training


Bladder training dapat dilakukan pada pasien anak yang mengalami retensi urin, pada
pasien anak yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga fungsi spingter kandung
kemih terganggu (Suharyanto, 2008). Bladder training juga bisa dilakukan pada pasien anak
yang menggunakan kateter yang lama. Selain itu bladder training atau latihan kandung kemih
merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencegah kejadian inkontinensia
urin (Lutfie, 2008).

2.4 Prosedur Pelaksanaan Bladder training


Hal yang perlu disiapkan:
a. Tentukan pola waktu biasanya klien berkemih sendiri. Bila tidak dapat dibuat pola
berkemih, rencanakan waktu ke toilet, misalnya 1-2 jam sekali.
b. Usahakan agar intake cairan sekitar 2-3 liter/hari.
c. Posisi berkemih yang normal/nyaman (Asmadi, 2008).

Pelaksanaan
-

Jelaskan tujuan pelaksanaan latihan kandung kemih.

Membuat daftar catatan untuk jumlah pemasukan cairan. Berikan cairan sekitar 30 menit
sebelum waktu BAK sesuai pola tersebut sebanyak 600-800 cc. Intake cairan ini untuk
membantu proses produksi urine yang adekuat, sehingga merangsang reflek miksi.

Membuat jadwal teratur pengosongan kandung kemih (sesuai waktu kebiasaan miksi
klien, usahakan agar klien mempertahankannya saat klien merasa ingin berkemih baik
urgen atau tidak). Kontraksi dan relaksasi secara teratur akan meningkatkan tonus otot
bladder dan meningkatkan kontrol volunter. Bila rata-rata berkemih lebih dari 60 menit,
maka interval berkemih dijadwalkan setiap jam.

Jadwal berlaku pada saat klien tidak tidur.

Klien harus berkemih pada waktu yang telah ditetapkan, baik ada keinginan maupun
tidak.

Klien berusaha menahan keinginan berkemih di antara rentang waktu yang dijadwalkan
dengan menggunakan teknik relaksaasi dan distraksi.
4

Ajarkan untuk memahami tanda-tanda atau rangsangan untuk berkemih seperti


kedinginan, berkeringat, resah, kedutan otot, dan lain-lain agar menjadi peka untuk
mengosongkan kandung kemih.

Lakukan pencatatan dan evaluasi secara teratur. Latihan ini dihentikan apabila tidak ada
kemajuan selama tiga minggu.

Atur posisi senyaman mungkin untuk berkemih dan jaga privasi klien.

Beri motivasi dan reinforcement dalam melakukan latihan ini.

Bila jadwal dipenuhi, keberhasilan lebih dari 75%, dan angka kejadian berkemih di luar
kontrol menurun, maka rentang berkemih ditambahkan 30 menit. Bila inkontinensia
masih terjadi ( keberhasilan kurang dari 75%), maka rentang berkemih diturunkan.

Lakukan program latihan untuk meningkatkan tonus otot abdomen dan pelvis melalui latihan
Kegels. Caranya:
1) Posisi klien duduk atau berdiri dengan kaki diregangkan.
2) Kontraksikan rektum, uretra, dan vagina (pada wanita) ke arah atas dalam. Lalu tahan
selama 5 detik. Kontraksi seharusnya dirasakan pada panggul.
3) Ulangi latihan tersebut 5-6 kali pada tahap awal dengan interval waktu. Setelah otot
semakin kuat tingkatkan jumlah latihan sampai akhirnya dapat melakukan sampai 200
kali tiap hari.
Cobakan klien untuk memulai dan menghentikan aliran urine. (Maryam, R. Siti, dkk., 2008 dan
Asmadi, 2008)

Latihan otot dasar panggul (Kegels Excercise)


Larihan otot dasar panggul angat bermanfaat untuk lansia dengan gangguan pada sistem
perkemihan. Langkah-langkah dalam memulai laihan otot dasar panggul adalah sebagai
berikut.
Tujuan
Untuk menguatkan otot rangka pada dasar panggul sehingga memperkuat fungsi sfingter
eksternal pada kandung kemih. Latihan otot dasar panggul ini diperkenalkan oleh Kegel untuk
terapi pasca melahirkan. Latihan ini terus dikembangkan dan dilakukan pada lansia yang
mengalami masalah inkontinensia stres.
Persiapan
-

Hanya dapat dilakukan pada klien yang fungsi kognitifnya masih baik.
5

Keberhasilan terletak pada keinginan dan kedisiplinan klien.

Beri motivasi untuk melakukan latihan.

Pelaksanaan
-

Atur posisi senyaman mungkin.

Jaga privasi klien.

Lakukan kontraksi dan penghentian laju urine ketika berkemih.

Lakukan setiap hari sebanyak 3-4 kali.

Perhatikan respons klien terhadap kelelahan.

Bladder training juga dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Pengendalian


kandung kemih dan sfingter dilakukan agar terjadi pengeluaran urin secara kontinen. Latihan
kandung kemih harus dimulai dahulu untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat
mempersiapkan pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, dengan tindakan
ini bisa mencegah retensi. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan
klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20
menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih
terisi urin dan otot destrusor berkontraksi sedangkan pelepasan klem memungkinkan
kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Smeltzer, 2001).

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih
yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal (Japardi, 2002 dalam
Widiatuti, 2012). Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing
(menunda untuk berkemih). (Hariyati, 2000). Terdapat tiga macam metode bladder training :
1. kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul),
2. Delay urination (menunda berkemih), dan
3. Scheduled bathroom trips (jadwal berkemih) Suhariyanto (2008)
Bladder training dapat dilakukan pada pasien anak yang mengalami retensi urin,
inkontinensia urin, dan pada pasien anak yang terpasang kateter dalam waktu yang lama
sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2008).
Pada waktu latihan kandung kemih perhatikan juga intake cairan yang adekuat
membantu mengurangi kemungkinan infeksi.

Kemudian membuat jadwal teratur

pengosongan kandung kemih sesuai waktu kebiasaan miksi klien. Klien harus berkemih pada
waktu yang telah ditetapkan, baik ada keinginan maupun tidak. Maka, klien harus berusaha
menahan keinginan berkemih di antara rentang waktu yang tidak dijadwalkan dengan
menggunakan teknik relaksasi dan distraksi. Sebelum kateterisasi di hentikan bantu pasien
untuk mengosongkan kandung kemih, kateter urin dapat ditutup selama 1-2 jam kemudian
dibuka selama 15 menit. Upayakan untuk memperpanjang interval secara bertahap
ditingkatkan sampai 4 jam karena pasien perlu mengosongkan kandung kemih minimal tiap 4
jam (Swearingen 2000 dalam Widiastuti, 2012).

3.2 Saran
Dengan perkembangan keilmuan sesuai seiring waktu, maka perlu untuk membahas
mengenai ilmu kesehatan khususnya untuk bladder training ini mengingat masalah pada sistem
urinary dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien terlebih karena penulis tidak melakukan
penerapan langsung. Maka perlu dilakukan secara aktual sehingga dapat mengetahui keefektifan dari
intervensi bladder training ini.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Lutfie, Syarief Hasan. (2008). Penatalaksanaan rehabilitasi neurogenic bladder. Cermin
Dunia kedokteran 165. Volume 35. No. 6
Asmadi. 2008. Teknik Prosedular Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam.

(2006).

Asuhan

Keperawatan

pada

Pasien

dengan

Gangguan

SistemPerkemihan Ed 1. Jakarta: Salemba Medika


Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses
pemulihan

inkontinensia

urin

pada

pasien

stoke.Diakses

dari

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal
Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC.
Widiatuti, Anita. 2002. Perbedaan Kejadian Inkontinensia Urin pada Pasien Post
Kateterisasi yang Dilakukan Bladder training Setiap Hari dengan Bladder training Sehari
Sebelum Kateter Dibuka di BPK RSU Tidar Magelang. Jurnal Kebidanan Poltekkes Semarang.
Padang, John T. 2011. Inovasi Teknologi Keperawatan Dalam Penilaian Kondisi
Kandung Kemih. FIK Universitas Indonesia, Jakarta.
The Joanna Briggs Institute. (2000). Management of short term indwelling urethral
catheters to prevent urinary tract infections. Diakses dari www.joannabriggs.edu.au
Maryam, R. Siti, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai