Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1. Standart Objective Learning
1. Definisi Pneumonia
2. Etiologi Pneumonia
3. Faktor Resiko Pneumonia
4. Klasifikasi Pneumonia
5. Epidemiologi Pneumonia
6. Patofisiologi Pneumonia
7. Tanda dan Gejala Pneumonia
8. Pemeriksaan Diagnostik Pneumonia
9. Penatalaksanaan Pneumonia
10. Pencegahan Pneumonia
11. Komplikasi Pneumonia

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI PNEUMONIA
Pneumonia adalah infeksi saluran napas bagian bawah. Penyakit ini adalah infeksi akut
jaringan paru oleh mikrganisme. (Corwin, Elizabeth, 2000)
Pneumonia adalah suatu proses peradangan di mana terjadi konsolidasi yang disebabkan
pengisian rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang
mengalami konsolidasi dan darah dialirkan ke sekitar alveoli yang tidak berfungsi. Hipoksemia
dapat terjadi tergantung banyaknya jaringan paru-paru yang sakit. (Somantri, Irman, 2008)
1

Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa dan bahan
kimia, lesi kanker dan radiasi ion. (Malueka (ed.), 2007)
Menurut Arif Muttaqin (2012) pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang
terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing.
Pneumonia adalah proses inflamasi pada parenkim paru. Hal ini terjadi sebagai akibat
invasi agen infeksius atau adanya kondisi yang mengganggu tahanan saluran trakeobrokialis
hingga flora endogen yang normal berubah menjadi patogen ketika memasuki saluran jalan
napas. (Engram, Barbara, 1998)
2.2 ETIOLOGI PNEUMONIA
Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri, virus,
mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan protozoa.
a. Bakteri
Bakteri yang pada umumnya muncul seperti Streptococcus pneumonia, Stahphilococcus
Aureus, Klebsiella sp, Pseudomonas sp. Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa
saja, dari bayi sampai usia lanjut. Pecandu alkohol, pasien pasca-operasi, orang-orang dengan
penyakit gangguan pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurunnya kekebalan tubuhnya
adalah yang paling beresiko.
Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia

yang paling umum adalah Streptococcus

pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun
oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan
kerusakan. Pasien yang terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengahengah dan denyut jantungnya meningkat cepat. Bibir dan kuku mungkin membiru karena
tubuh kekurangan oksigen (Misnadiarly, 2008).
b. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang
tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virusvirus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini
bisa memicu pneumonia.Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat
dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus
influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).

Pneumonia virus lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bakteri. Penyebab paling
sering pneumonia virus pada bayi adalah RSV. Adeno-associated virus, virus influenza dan
parainfluenza merupakan organisme yang biasanya menyebabkan pneumonia virus pada
anak-anak yang lebih besar.(Mary E Muscari, 2001).
c. Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada
manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski
memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan
tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria
remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati
(Misnadiarly, 2008).1
Pneumonia mikoplasma mirip dengan pneumonia virus kecuali bahwa organisme
Mycoplasma lebih besar dibandingkan virus (Mary E Muscari, 2001).
d. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis.
Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP).
pneumosistis

Pneumonia

sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat

lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam
hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau
spesimen yang berasal dari paru (Djojodibroto, 2009)
Penyebab pneumonia adalah sejumlah agen menular termasuk virus, bakteri dan
jamur. Penyebab paling umum pneumonia bakteri pada anak-anak adalah Streptococcus
pneumoniae, sedang Haemophilus influenzae tipe b (Hib) adalah penyebab paling umum
pneumonia bakteri yang kedua. Respiratory Syncytial Virus (RSV)

adalah virus penyebab

paling umum pneumonia virus. Pada bayi terinfeksi HIV, Pneumocystis jiroveci merupakan
salah satu penyebab paling umum pneumonia bertanggung jawab untuk setidaknya
seperempat dari semua kematian pneumonia pada bayi terinfeksi HIV (WHO, 2010). 3 Secara
umum bakteri yang berperan penting pada pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemopillus influenza, Staphilococcus Aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik
klamidia dan mikoplama. Sedangkan virus yang paling sering menyebabkan pneumonia adalah
Respiratory Syncytial Virus (RSV), Parainfluenzae virus, Influenzae virus dan Adenovirus.
(Setyoningrum, 2006 dalam Sutini, 2011)
3

Menurut Hariadi, et al. (2010)

pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam

mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Pneumonia yang didapat

di

masyarakat (community-acquired pneumonia atau pneumonia komuniti) banyak disebabkan


oleh bakteri gram positif, sebaliknya bakteri yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired
pneumonia atau pneumonia nosokomial) banyak disebabkan oleh bakteri gram negatif,
sedang

pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob.

Patogen

penyebab

pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti. Pneumonia nosokomial dapat


disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya
Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA)

dan

S.pneumoniae, H.
kuman

MDR

misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter sp


dan gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus Aureus (MRSA). Pneumonia
nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi (Perhimpunan
dokter paru Indonesia, 2003 dalam Hartati, 2011)
Pneumonia dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi baik faktor infeksi maupun
non infeksi. Faktor infeksi penyebab tersering adalah bakteri, virus dan mikoplasma sedangkan
faktor non infeksi dapat disebabkan karena aspirasi benda asing, makanan dan asam lambung,
serta dapat juga disebabkan karena inhalasi zat kimia atau asap rokok. (Buckley,2010).
Sedangkan menurut Setyoningrum (2006), sebagian besar pneumonia pada anak disebabkan oleh
mikroorganisme seperti bakteri dan virus dan sebagian kecil disebabkan oleh bahan kimia
(seperti: hidrokarbon dan lipoid substances) atau benda asing yang terapirasi. Kuman penyebab
pneumonia biasanya berbeda pada setiap tingkat usia anak.
Pada masa neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monosytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak yang ditularkan in utero. Setyoningrum (2006) mengatakan
bahwa virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia pra sekolah dan berkurang dengan
bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama
pada pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumonia dan Chamydia pneumonia merupakan
penyebab yang sering didapatkan pada anak usia diatas 5 tahun. Namun berdasarkan hasil
penelitian Michelow (2004) sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia baik secara tunggal ataupun setelah terjadi koinfeksi dengan virus. Streptococcus
pneumonia merupakn penyebab pneumonia hampir pada semua kelompok usia anak dan sering
menimbulkan gejala lebih parah dibanding dengan kuman penyebab lainnya (Sutini, 2011)
4

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh
bahan-bahan lain, sehingga dikenal :
1. Pneumonia Lipid : oleh karena aspirasi minyak mineral.
2. Pneumonia Kimiawi (chemical Pneumonitis) : Inhalasi bahan-bahan organik atau uap
kimia seperti Berillium.
3. Extrinsic allergic alveolitis : inhalasi bahan-bahan debu yang mengandung alergen,
seperti spora aktinomisetes termofilik yang terdapat pada ampas tebu di pabrik gula.
4. Pneumonia karena obat : Nitrofurantoin, Busulfan, Metotreksat.
5. Pneumonia karena radiasi
6. Pneumonia dengan penyebab tidak jelas : Desquamative interstitial pneumonia,
Eosinofilic pneumonia (Alsagaff, 2005 dalam Batubara, 2009)
2.3 FAKTOR RESIKO PNEUMONIA
Faktor risiko pneumonia diantaranya :
1. Umur> 65 tahun
2. Tinggal di rumah perawatan tertentu (pantijompo)
3. Alkoholismus: meningkatkan resiko kolonisasi kuman, mengganggu refleks batuk,
mengganggu transport mukosiliardan gangguan terhadap pertahanan sistem seluler
4. Malnutrisi: menurunkan immunoglobulin A dan gangguan terhadap fungsi makrofag
5. Kebiasaan merokok juga mengganggu transport mukosiliar dan sistem pertahanan selular
dan humoral.
6. Keadaan kemungkinan terjadinya aspirasi misalnya gangguan kesadaran, penderita yang
sedang diintubasi
7. Adanya penyakitpenyakit penyerta: PPOK, kardiovaskuler, DM, gangguan neurologis.
8. Infeksi saluran nafas bagian atas: +1/3 1/2 pneumonia didahului oleh infeksi saluran nafas
bagian atas/infeksi virus.
Dalam literatur lain disebutkan bahwa, dengan pengetahuan tentang faktor-faktor dan
situasi yang menjadi predisposisi individu terhadap pneumonia akan membantu untuk
mengidentifikasi pasien-pasien yang berisiko terhadap pneomonia.
Secara spesifik terdapat beberapa faktor penyebab patogen pneumonia dan nosokomial :
1. Faktor perubah yang meningkatkan risiko infeksi oleh patogen tertentu pada pneumonia
komunitas.
a. Pneumokokus yang resisten penisillin dan obat lain menginfeksi pada usia lansia 60
tahun, kontak dengan lansia, alkoholisme, penyakit imunosupresif (termasuk
5

kortikosteroid), penyakit kronik penyerta yang melemahkan (Diabetes Mellitus, Sepsis,


Jantung, PPOK, Bronchiektasis, dll).
b. Patogen gram negatif menginfeksi pada individu yang tinggal di rumah jompo, dengan
penyakit penyerta kardiopulmonal atau selesai mendapatkan terapi antibiotik.
c. Pseudomonas aeruginosa menginfeksi pada kasus Bronchiektasis, terapi kortikosteroid
10 mg/hari, terapi antibiotika spektrum luas 7 hari, dan malnutrisi.
2. Faktor risiko terinfeksi patogen multiresisten pada pneumonia nosokomial dan VAP.
Terapi dalam 90 hari sebelumnya.
Perawatan rumah sakit dalam 5 hari atau lebih diruang perawatan umum.
Frekuensi tingginya kuman resisten antibiotik di rumah sakit atau lingkungan pasien.
Penyakit imunosupresif dengan atau tanpa terapi.
Faktor risiko pneumonia kronis : rawat rumah sakit 2 hari/90 hari terakhir, tinggal di
rumah jompo, anggota keluarga terinfeksi pathogen multiresisten, terapi infus di rumah,
dialisis kronik, dan perawatan luka di rumah.
3. Faktor risiko utama terinfeksi pathogen tertentu pada pneumonia nosokomial.
a) Stapylococcus aureus pada pasien koma, cedera kepala, influenza, dan Intubasi
endotracheal.
b) Methicillin resisten pada pasien pemakaian antibiotika, DM, dan gagal ginjal.
c) Pseudomonas aureginosa pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik lebih dari 2
hari, rawat ICU 2 hari atau lebih, kelainan struktur paru (Bronchiektasis, Kistik fibrosisi,
dan malnutrisi).
d) Anaerob pada pasien aspirasi dan setelah operasi abdomen.
e) Acintobacter sp pada pasien antibiotik sebelum onset pneumonia dan penggunaan
ventilasi mekanik.
4. Faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial dibagi menjadi 2 golongan :
a) Tidak bisa dirubah yaitu berkaitan dengan inang (jenis kelamin pria, penyakit paru
kronik, dan gagal organ jamak), dan terkait tindakan yang diberikan (Intubasi dan slang
nasogastrik).
b) Faktor yang dapat dirubah dapat dilakukan dengan melakukan upaya mengontrol infeksi,
desinfeksi dengan alkohol pada saat menyuntik, pengontrolan pathogen resisten
(Multidrug Resistent MDR), penghentian dini alat invasive, dan pengaturan pemakaian
antibiotika yang tepat.
Maka dapat disimpulkan bahwa secara umum terdapat beberapa faktor risiko yang
berhubungan dengan kajadian pneumonia sebagai berikut :

Jenis kelamin : pria lebih dominan karena diduga dengan kegiatan pria lebih sering keluar
rumah.
6

Penyakit imunosupresif dengan atau tanpa terapi (terapi kortikosteroid), karena terjadi

penurunan daya tahan tubuh.


Faktor usia, pada lansia (usia 60 tahun) dimana kondisi tubuh sudah menurun.
Penyakit kronis seperti payah jantung, gagal ginjal kronik, sepsis, DM, dan malnutrisi

mengakibatkan kelemahan daya tahan tubuh.


Penyakit paru seperti PPOK, Bronchiektasis, Ca Paru, dan kistik fibrosis, dapat terjadi

peningkatan produksi lendir, dan berakibat obtruksi bronchial.


Penurunan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma skale (GCS) 8, gangguan refleks
muntah, menelan ataupun refleks batuk dapat terjadi pengumpulan sekret dan

mengakibatkan terjadi aspirasi cairan lambung.


Faktor lingkungan : tinggal di rumah jompo, anggota keluarga menderita pneumonia karena
pneumonia dapat menular melalui droplet, alkoholik (dapat menekan reflek-reflek tubuh,
dan melemahnya gerakan mukosiliaris tracheobronchial), perokok (asap rokok mengganggu

aktivitas mukosiliaris dan makrofag).


Tindakan invasif dan terapi pernapasan seperti intubasi / Tracheostomi dan ventilasi

mekanik akan mempermudah microorganisme masuk ke dalam paru-paru.


Perawatan pasien di ruang perawatan umum / ICU lebih dari 2 hari dan pasien yang
berbaring secara pasif dalam waktu yang lama dapat berisiko mendapatkan kuman dari

lingkungannya dan terjadi kolonisasi kumandi dalam sealuran pernapasan.


Menggunakan antibiotik spektrum luas lebih dari 7 hari, dapat mengakibatkan menjadi

resisten terhadap beberapa antibiotik.


Menggunakan alat invasive terapi pernapasan seperti intubasi, ventilasi mekanik sangat
berisiko pneumonia bila tindakan yang dilakukan tidak memperhatikan teknik sterilitas.
Kuman juga dapat masuk melalui line infus bila penyuntikan atau penggantian infus tidak
dilakukan dengan teknik steril.

2.4 KLASIFIKASI PNEUMONIA

Skema klasifikasi awal


Deskripsi awal dari pneumonia difokuskan pada anatomi atau penampakan patologi dari

paru-paru,baik melalui inspeksi langsung pada waktu otopsi atau melalui mikroskop.Pneumonia
lobarik adalah infeksi yang hanya melibatkan satu lobus atau bagian dari paru.Pneumonia lobarik
sering disebabkan Streptococcus pneumoniae.Pneumonia multilobar melibatkan lebih dari satu
lobus dan sering merupakan penyakit yang lebih berat dari pneumonia lobarik.Pneumonia
7

interstisial melibatkan area di antara alveoli dan munkin disebut sebagai pneumonia
interstisial.Pneumonia interstisial lebih sering disebabkan oleh virus atau oleh bakteri atipikal.
Penemuan x-ray membuat menjadi mungkin untuk menentukan anatomi tipe dari
pneumonia tanpa pemeriksaan langsung dari paru pad otopsi dan mengarah pada perkembangan
dari klasifikasi radiologi.Penyelidikan awal membedakan antara pneumonia lobar dan
atipikal(contoh:Chlamydophila) atau pneumonia yang disebabkan oleh virus menggunakan
lokasi,distribusi dan penampakan dari opasitas yang mereka lihat pada foto x-ray.Penemuan xray dapat digunakan untuk membantu memprediksi bagian dari penyakit,meskipun tidaklah
mungkin untuk secara jelas menentukan penyebab mikrobiologi dari pneumonia didasarkan
hanya pada x-ray.
Dengan

datangnya

mikrobiologi

modern,klasifikasi

yang

berdasar

penyebab

mikroorganisme menjadi mungkin.Menentukan mikroorganisme mana yang menjadi penyebab


pneumonia pada masing-masing individu merupakan langkah penting dalam menentukan jenis
perawatan dan lamanya.Kultur sputum,kultur darah,tes pada sekret pernapasan dan tes darah
spesifik digunakan untuk menentukan klasifikasi mikrobiologi.Karena beberapa tes laboratorium
umumnya memakan waktu beberapa hari,klasifikasi mikrobiologi biasanya tidak mungkin pada
saat awal diagnosis.

Skema klasifikasi kombinasi


Umumnya klinisi telah mengklasifikasi pneumonia berdasar karakteristik klinis,membagi

mereka menjadi akut(kurang dari tiga minggu) dan kronik.Hal ini berguna karena pneumonia
kronik cenderung untuk lebih tidak infeksisus,atau mycobakterial,jamur atau gabungan infeksi
bakteri yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas.Pneumonia akut lebih jauh dibagi menjadi
bronchopneumonnia klasik(seperti Streptococcus pneumoniae),pneumonia atipikal (seperti
pneumonitis interstisial dari Mycoplasma pneumoniae atau Chlamydia pneumoniae)dan
sindroma aspirasi pneumonia.Kombinasi klasifikasi klinis adalah pola klasifikasi yang paling
sering digunakan sekarang ,usaha untuk mengenali faktor resiko seseorang ketika dia pertama
kali datang untuk perhatian medis.Keuntungandari pola klasifikasi ini dibandingkan dengan
sebelumnya adalah dapat membantu menunjukkan pilihan terapi awal yang tepat bahkan
sebelum sebab mikrobiologi dari pneumonia diketahui. Terdapat dua kategori besar dari
pneumonia didalam skema ini: Community acquired pneumonia dan hospital acquired
pneumonia.
8

Klassifikasi pneumonia secara garis besar dapat dibagi:


1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
a. Pneumonia komuniti (Community Acquired Pneumonia = CAP)
b. Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia)
c. Pneumonia Aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a.Pneumonia tipikal:
akut, demam tinggi, menggigil, batuk produktif, nyeri dada, Radiologislobar
atausegmental, leukositosis, bakteri Gram positif. Biasanya disebabkan bakteri
ekstraseluler, S. pneumonia, S. Piogenes dan H. influenza.
b.Pneumonia Atipikal:
tidak akut, demam tanpa menggigil, batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, ronkhi basah
yang

difus,

leukositosis

ringan.

Penyebab

biasanya;

Mycoplasmapneumoniae,

Legionellapneumophila, Chlamydia pneumoniae.

Pneumonia Virus

Pneumonia Jamur

3. Berdasarkan predileksilokasi/ luasnya infeksi


a.Pneumonia Lobaris
b.Bronkopneumonia
c.Pneumonia Interstitialis
Secara garis besar klasifikasi yang banyak dipakai adalah:
Pneumonia Komuniti(CAP)
Pneumonia Nosokomial
Adapun menurut sumber lain mengenai klasisikasi pneumonia

Community Acquired Pneumonia (CAP)


Suatu infeksi akut parenkim paru yang sesuai dengan gejala infeksi akut, diikuti dengan
infltrat pada foto thoraks, auskultasi sesuai dengan pneumonia, Pasien tidak pernah
dirawat atau berada difasilitas kesehatan lebih dari 14 hari sebelum timbul gejala.

Health Care Associated Pneumonia (HCAP)


Pneumonia pada pasien:
9

Dirawat RS 2 hari di IGD karena infeksi terjadi dalam 90 hari


Berada dalam perawatan dirumah jangka panjang
Hadir di RS untuk hemodialisis
Mendapat pengobatan immunosuppressive atau perawatan luka infeksi dalam 30 hari

Hospital-acquired pneumonia (HAP)


Pneumonia terjadi 48 jam setelah masuk rumah sakit

Ventilator-associated pneumonia (VAP)


Pneumonia terjadi 48-72 jam setelah intubasi

2.5 EPIDEMIOLOGI PNEUMONIA


Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya tinggi,
tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat,
Kanada dan negara-negara Eropa. Di Amerika Serikat misalnya terdapat dua juta sampai tiga
juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah angka kematian rata-rata 45.000 orang
(Misnadiarly, 2008).
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data
SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor
6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di
Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian
tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia
dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per
tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.
Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %. Di Amerika dengan cara invasif pun
penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.

Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan

memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia
diberikan antibiotika secara empiris.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran
napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru
RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara
10

penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada
penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di
RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi
nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia
komuniti dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat
keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.
Menurut World Health Organization (WHO) (2010) pneumonia merupakan salah satu
penyebab kematian

pada anak di seluruh dunia. Setiap tahun pneumonia membunuh

sekitar 1,6 juta anak balita atau sekitar 14% dari seluruh kematian balita di seluruh
dunia. Angka ini lebih tinggi dibanding dari kematian akibat HIV/AIDS sebanyak 2%,
malaria 8% dan campak 1%. Di kawasan Asia -Pasifik diperkirakan sebanyak 860.000 balita
meninggal setiap tahunnya atau sekitar 98 anak meninggal setiap jam (Depkes RI,
2007). Pneumonia merupakan predator balita nomor satu di negara berkembang.
Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia pada bayi berumur kurang
dari 2 bulan (Depkes RI, 2007).

World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih

dari 90 persen kematian anak disebabkan oleh penyakit infeksi pneumokokus yang terjadi di
negara-negara berkembang (PERSI, 2011).
Di Indonesia, angka kematian pneumonia pada balita

diperkirakan mencapai 21%

(Unicef, 2006). Angka kesakitan pneumonia pada bayi 2,2%, balita 3% sedang angka
kematian pneumonia pada bayi 29,8% dan balita 15,5%

(Riset kesehatan dasar, 2007).

Menurut data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005,

jumlah balita

penderita pneumonia di Indonesia ada sebanyak 600.720 balita yang terdiri dari 155 anak
meninggal pada umur di bawah 1 tahun dan 49 anak meninggal pada umur 1-4 tahun
(Depkes RI, 2005).
Lebih lanjut Depkes

menjelaskan

dalam 31 provinsi ditemukan 477.429 anak

balita dengan pneumonia atau 21,52 persen dari jumlah seluruh balita di Indonesia.
Proporsi pneumonia sebesar 35,02 % terjadi pada usia di bawah satu tahun dan 64,97 %
pada usia satu hingga empat tahun (Depkes RI, 2007). Hasil survey Ditjen Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Depkes RI (2008) juga menjelaskan
angka kematian balita cenderung menunjukkan penurunan yang cukup signifikan, namun
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) masih merupakan penyebab kematian terbesar baik
11

pada bayi maupun pada anak balita. Dari hasil survei angka kematian oleh subdit ISPA pada
tahun 2005 di 10 provinsi diketahui bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian bayi
terbesar di Indonesia, yaitu sebanyak 22,30% dari seluruh kematian bayi dan prevalensi nasional
Pnemonia (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan responden) adalah 2,13%
(Depkes RI, 2008). Berdasarkan laporan 26 provinsi kasus pneumonia yang terjadi pada
balita terdapat 3 provinsi dengan cakupan pneumonia tertinggi berturut-turut adalah
provisinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 56,50 %, Jawa Barat 42,50 % dan Kepulauan
Bangka Belitung sebesar 21,71 %. Cakupan pneumonia terendah adalah di provinsi DI
Yogyakarta sebesar 1,81 %, Kepulauan Riau sebesar 2,08 % dan NAD sebesar 2,08 %
dan NAD sebesar 4,56 % (Depkes RI, 2009 dalam Haratati, 2011)
2.6 PATOFISILOGI PNEUMONIA

2.7 TANDA DAN GEJALA PNEUMONIA


Tanda dan gejala pneumonia beragam sesuai penyebabnya. Pada pneumonia bakteria atau
pneumococcus secara khas diawali dengan menggigil, demam yang timbul dengan cepat (39.5
samapi 40.50C), serta nyeri dada yang terasa seperti ditusuk-tusuk pada saat bernapas dan
batuk, peningkatan frekuensi pernapasan antara 25-45 kali permenit, pernapasan stridor,
pernapasan cuping hidung, dan penggunaan otot-otot aksesoris pernapasan.
Pada beberpa kasus pneumonia penyebab pneumokokus, stafilokokus, klebsiela, dan
streptokokus didapatkan pipi berwarna kemerahan, warna mata menjadi lebih terang, bibir
dan kuku sianotik. Pasien lebih menyukai untuk duduk tegak di tempat tidur dengan
12

condong ke arah depan, mencoba untuk mencapai pertukaran yang kuat tanpa mencoba untuk
batuk atau napas dalam, dan banyak mengeluarkan keringat. Sputum tidak dapat menjadi
indikator yang jelas karena pada pneumonia klebsiela sering terjadi sputum berbusa bercampur
darah tetapi dapat juga mengeluarkan sputum yang kental bahkan dapat berwarna hijau.
Gejala pada pneumonia atipikal terjadi secara bertahap, mulai dengan sakit kepala,
demam tingkat rendah, nyeri pleuritis, mialgia, dan faringitis. Setelah beberapa hari sputum
mukoid purulen dikeluarkan, nadi cepat berhubungan dengan suhu meningkat (peningkatan 10x
per menit untuk setiap kenaikan 10C). Tetapi dapat terjadi bradikardi pada infeksi virus, infeksi
Mycoplasma, atau infeksi dengan spesias Legionela.
Tanda dan gejala yang lain terjadi pada pasien dalam kondisi tertentu seperti kanker, atau pada
mereka yang menjalani pengobatan dengan imunosupresif yang menurunkan daya tahan terhadap
infeksi adalah menunjukkan demam, kreckles, dan terdapat area solid (konsolidasi) pada
lobus paru-paru, terjadi peningkatan fremitus taktil, perkusi pekak, bunyi napas broncho
vesicular atau bronchial, egofoni (auskultasi terdengar bunyi mengembik), dan bisikan
pektroliloquy (bunyi bisikan). Perubahan ini terjadi karena bunyi ditransmisikan lebih baik
melalui jaringan padat atau tebal (konsolidasi) dari pada melalui jaringan normal.
Pada pasien lansia dengan riwayat PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun), gejalagejala dapat berkambang secara tersembunyi. Kesulitan untuk mendeteksi terjadi karena telah
mengalami gangguan fungsi paru yang serius, tetapi sputum purulen mungkin menjadi satusatunya tanda pneumonia.
Tanda dan gejala lainnya yang menjadi indikator perburukan pasien dengan pneumonia
antara lain adalah penurunan kesadaran, takipnea (frekuensi pernapasan > 30x/menit, tekanan
darah rendah kurang dari 90/60 mmHg, takhikardi frekuensi nadi lebih dari 100x/menit, suhu
badan dapat rendah kurang dari 350C atau panas lebih dari 400C, dan terbukti adanya infeksi
ekstra paru yang ditunjukkan dengan hasil laboratorium : Leukosit kurang dari normal 4.000 atau
bisa leukositosis lebih dari 30.000/mm3, Hipoxemia PaO2 kurang dari 60 mmHg, Hiperkarbi
PCO2 lebih dari 50 mmHg, asidosis dengan pH kurang dari 7.35, kreatinin lebih tinggi dari 1.2
mg%, ureum 20 mg%, anemia Hb dibawah 9 gr%, HT dibawah 30% serta hasil foto thorax lesi
lobus jamak, rongga perluasan, dan efusi pleura.
Menurut Said (2010) gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada
berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
13

a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan Gastro Intestinal Tarcktus (GIT) seperti mual, muntah atau diare:
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan
tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki, akan tetapi pada
neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas
terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.
2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSIS PNEUMONIA
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Keadaan umum pada klien dengan pneumonia dapat dilakukan secara selintas pandang
dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum tentang
kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau
koma. Seorang perawat perlu mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang konsep aanatomi
dan fisiologi umum sehingga dengan cepat dapat menilai keadaan umum, kesadaran, dan
pengukuran GCS bila kesadaran klien menurun yang memerlukan kecepatan dan ketepatan
penilaian.
Hasil pemeriksaan TTV pada klien dengan pneumonia biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh lebih dari 40o C, frekuensi pernapasan meningkat dari frekuensi normal, denyut nadi
biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan
apabila tidak melibatkan infeksi sistemis yang berpengaruh pada hemodinamika kardiovaskular
tekanan darah biasanya tidak ada masalah.
B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan pneumonia merupakan pemeriksaan fokus, berurutan
pemeriksaan ini terdiri ataas inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi (IPPA)
Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Gerakan pernapasan simetris. Pada klien dengan
pneumonia sering ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan dangkal, serta adanya
retraksi sternum dan intercostal space (ICS). Napas cuping hidung pada sesak berat dialami
terutama oleh anak-anak. Batuk dan sputum. Saat dilakukan pengkajian batuk pada klien dengan

14

pneumonia, biasanya didapatkan batuk produktif disertai dengan adanya peningkatan produksi
sekret dan sekresi sputum yang purulen.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ eksrusi pernapasan. Pada palpasi klien dengan pneumonia,
gerakan dada saat bernapas biasanya normal dan seimbang antara bagian kanan dan kiri. Getaran
suara (fremitus vokal). Taktil fremitus pada klien dengan pneumonia biasanya normal.
Perkusi
Klien dengan pneumonia tanpa disertai komplikasi, biasanya didapatlkan bunyi resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru. Bunyi redup perkusi pada klien dengan pneumonia didapatkan
apabila bronkhopneumonia menjadi suatu sarang (kunfluens).
Auskultasi
Pada klien dengan pneumonia, didapatkan bunyi napas melemah dan bunyi napas tambahan
ronkhi basah pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan
hasil auskultasi di daerah mana didapatkana dnaya ronkhi.
B2 (Blood)
Pada klien dengan pneumonia pengkajian yang didapat meliputi :
Inspeksi
: Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
Palpasi
: Denyut nadi perifer melemah
Perkusi
: batas jantung tidak mengalami pergeseran
Auskultasi
: tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan
B3 (Brain)
Klien dengan pneumonia yang berat sering terjadi penurunan kesadaran, didapatkan sianosis
perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, wajah klien tampak
meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake ciairan. Oleh karena itu, perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
B5 (Bowel)
Kilen biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
B6 (Bone)
Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan ketergantungan klien terhadap
bantuan orang lain dalam melakuakna aktivitas sehari-hari.
Pemeriksaan laboraturium
Biasanya didapatkan jumlah leukosit 15000-40000/mm 3. Dalam keadaan leukopenia, laju
endap darah biasanya meningkat hingga 100mm/jam. Saat dilakukan biakan sputum, darah, atau
jika dimungkinkan cairan efusi pleura, untuk biakan aerobik dan anaerobik, untuk selanjutnya
dibuat pewarnaan gram sebagai peganangan dan pemberian antibiotik. Sebaiknya diusahakan
15

agar biakan dibuat dari sputum saluran pernapasan bagian bawah. Selain contoh sputum yang
diperoleh dari batuk, bahan dapat diperoleh dari swap tenggorok atau laring., pengisapan lewat
trakea, bronkhoskopi, atau pengisapan lewat dada bergantung pada indikasinya. Pemeriksaan
analisa gas darah (AGD/Astrup) menunjukan hipoksemia sebab terdapat ketidak seimbangan
ventilasi perfusi di daerah pneumonia. (Arif Muttaqin, 2008)
Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel darah putih
(White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC 15.000-40.000/mm 3, jika
disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat normal atau menurun . Dalam
keadaan leukopenia laju endap darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm3, dan protein
reaktif C mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah mengidentifikasi gagal napas.
Pemeriksaan Radiologis
Sebaiknya dibuat foto thoraks posterio-anterior dan lateral untuk melihat keberadaan
konsolidasi retrokardial sehingga lebih mudah untuk menentukan lobus mana yang terkena
karena setiap lobus memiliki kemungkinan untuk terkena. Meskipun lobus inferior lebih sering
terkena, lobus atas dan lobus tengah juga dapat terkena. Yang khas adalah tampak gambaran
konsolidasi homogen sesuai dengan letak anatomi lobus yang terkena.
Densitasnya bergantung pada intensitas eksudat dan hamoir selalu ada bronkhogram
udara. Pada masa akut, biasanya tidak ada pengecilan volume lobus yang terkena sedangkan
pada masa resolusi mungkin ada atelektasis sebab eksudat dalam saluran pernapasan dapat
menyebabkan obstruksi. Kebanyakan lesi terbatas pada satu lobus, tapi dapat juga mengenai
lobus yang lain. Mungkin ada efusi pleura yang dapat mudah dilihat dengan foto dekubitus
lateral.
Gambaran konsolidasi tidak selalu mengisi seluruh lobus karena mulai dari perifer
gambaran konsolidasi hampir selalu berbatasan dengan permukaaan pleura viseralis. Pada sisi
yang berbatasan dengan pleura viseralis gambaran batasnya tegas tapi sisi yang lainnya mungkin
tidak berbatas tegas. Gambaran radiologi yang tidak khas kadang-kadang bisa didapatkan pada
bronkhitis menahun dan emfisema. (Arif Muttaqin, 2008)
Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara
infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran infiltrat
intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering
memperlihatkan adanya infiltrate bilateral atau bronkopneumonia.
Pemeriksaan pneumonia
- SDP : sangat tinggi dengan pneumonia bakterial, agak tinggi pada pneumonia viral
- Kultur nasofaring, tenggorok, dan darah untuk mengisolasi organisme
16

- Gas-gas darah
- Kultur sputum
- Pemeriksaan sinar X untuk melokalisasi area infiltarsi, mengesampingkan efusi pleural dan
empiema, dan melokalisasi pneumumatokel bila pneumonia stafilokokal
- Darah dan urine untuk countercurrent immunoelec trophoresis (CIE) untuk antigen bakteri
khusus (Martin, 2004)
Atau menurut buku Aplikasi Klinis Patofisiologi
- Cari sumber infeksi, aspirasi; kaji terjadinya syok septik (hipotensi, perfusi jaringan buruk)
- Gas darah arteri :
a. Diindikasikan bila pasien mengalami distres pernapasan atau menderita penyakit paru
mendasar yang bermakna
b. Diperkirakan hipoksemia dengan alkalosis pernapasan pada pasien yang tidak memiliki
penyakit paru mendasar.
- Hitung sel darah putih (SDP) dengan diferensial
- Uji elektrolit dan fungsi hepar mungkin berguna pada pasien dengan presentasi gejala yang
tidak khas atau yang memiliki gejala berat (mis, pasien dengan legionella pneumophila)
- Sputum
a. Pewarnaan gram diindikasikan pada semua pasien rawat inap, banyaknya PMN sesuai
dengan infeksi bakteri, mikroorganisme bisa teridentifikasi sebelumnya dengan
karakteristik dan bentuk pewarnaan
b. Kultur sputum diindikasikan pada pasien rawat inap atau pasien yang baru saja pulang dari
RS, atau pasien yang menunjukkan gejala berat atau tidak lazim.
- Foto ronsen dada
a. Sekarang direkomnedasikan pada semua pasien yang memiliki riwayat pneumonia dan
pemeriksaan fisik mengarah ke pneumonia.
b. Biasanya didapatkan infiltrat berbentuk bercak atau lobus, perhatikan adanya bronkogram
udara.
- Kultur darah diindikasikan pada pasien rawat inap
- Bronkoskopi dengan biopsi mungkin perlu pada pasien berisiko tinggi yang tidak berespons
terhadap terapi empiris. (Valentina, 2008)

2.9 PENATALAKSANAAN PNEUMONIA

Terapi antibiotika awal


Menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan
organisme, karena hasil mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan
bila ada hasil dan sensitivitas antibiotika
17

Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO 2 > 8 kPa (SaO2< 90%)
dana resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan
ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu (continous
positive airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas.

Fisioterapi dan bronkoskopi membantu bersihan sputum.


Posisi dan pemberian O2
Klien diposisikan dalam keadaan fowler dengan sudut 45 o. Kematian sering sekali
berhubungan dengan hipotensi, hipoksia, aritmia kordis, dan penekanan susunan sarat pusat,
maka penting untuk dilakukan pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan asam-basa
dengan baik, pemberian O2 yang adekuat untuk menurunkan perbedaan O2 di alveoli arteri,
dan mencegah hipoksia seluler. Pemberian O2 sebaiknya dalam konsentrasi yang tidak
beracun (PO240) untuk mempertahankan PO2 arteri sekitar 60-70 mmHg dan juga penting
mengawasi pemeriksaan analisa gas darah.
Infus
Pemberian cairan intravena untuk IV line dan pemenuhan hidrasi tubuh untuk mencegah
penurunan dan volume cairan tubuh secara umum. Bronkodilator seperti Aminofilin dapat
diberikan untuk memperbaiki drainase sekret dan distribusi ventilasi. Kadang-kadang
mungkin timbul dilatasi lambung mendadak, terutama jika pneumonia mengenai lobus
bawah yang dapat menyebabkan hipotensi. Jika hipotensi terjadi, segera atasi hipoksemia
arteri dengan cara memperbaiki volume intravaskular dan melakukan dekompresi lambung.
Kalau hipotensi tidak dapat diatasi, dapat dipasang kateter Swan-Ganz dan infus Dopamin.
Bila perlu dapat diberikan analgesik ungtuk mengatasi nyeri pleura.
Terapi antibiotik
Pemberian antibiotik terpilih seperti penisilin diberikan secara intramuscular 2x600.000 unit
sehari. Penisilin diberikan selama sekurang-kurangnya seminggu samapai klien tidak
mengalami sesak napas lagi selama tiga hari dan tidak ada komplikasi lain. Klien dengan
abses paru dan empiema memerlukan antibiotik lebih lama. Untuk klien yang alergi terhadap
penisilin dapat diberikan Eritromisin. Tetrasiklin jarang digunakan untuk pneumonia karena
banyak yang resisten. Pemberian Sepalosporin harus hati-hati untuk klien yang alergi
terhadap penisilin karena dapat menyebabkan reaksi hipersensitif silang terutama dari tipe
anafilaksis. Dalam 12-36 jam, setelah pemberian pensilin, suhu, denyut nadi, frekuensi
pernapasan menurun serta nyeri pleura menghilang. Pada kurang lebih 20% klien, deman
berlanjut sampai lebih dari 48 jam setelah obat dikonsumsi. (Arif Muttaqin, 2008)
18

Adapun menurut Martin (2004) penatalaksanaan pneumonia meliputi:


- Oksigenase, lingkungan sejuk dan lembab
- Pemantau O2 transkutan
- Fisioterapi transkutan dan penghisapan setiap 2 sampai 4 jam
- Cairan parenteral
- Terapi antipiretik krn untuk kontrol demam
- Terapi antibiotik
- Menarik napas dalam dan batuk
2.10 PENCEGAHAN PNEUMONIA
Pneumonia adalah penyebab kematian tertinggi ke-6 di amerika serikat; karenanya upaya
pencegahan uuntuk CAP dan HAP merupakan hal yang sangat penting. Langkah utama
pencegahan CAP antara lain dengan menggunakan vaksin influenza dan pneumokokus. Semua
pasien dengan gangguan imun yang berusia 65 tahun atau lebih harus memperoleh vaksin
pneumokokus. Selain itu, individu yang berusia 64 tahun atau kurang harus mendapatkan
imunisasi jika mereka menderita penyakit kronis, seperti penyakit kardiovaskular, penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK tetapi bukan asma), diabetes mellitus, alkoholisme, penyakit hati
kronis,kebocoran cairan serrebrospinal san asplenia fungsiaonal atau anatomi; termasuk ke
dalam populasi khusus seperti penduduk asli Alanka atau penduduk Amerika asli; atau tinggal di
lingkungan social khusus, seperti fasilitas perawatan jangka panjang.
ATS merekomendasikan vaksin influenza untuk 3 kelompok target : individu yang
berisiko tibnggi mengalami influenza, individu yang dapat menularkan influenza kepada pasien
risiko tinggi (misal tenaga kesehatan); dan setiap orang yang ingin mengurangi kemungkinannya
terinfeksi influenza. Pasien yang berisiko tinggi antara lain individu yang berusia diatas 65
tahun, individu yang menghuni fasilitas perawatan jangka panjang, pasien dengan penyakit paru
atau kardiovaskuler kronik, pasien yang ingin menjalani perawatan medis atau hospitalisasi rutin
selama beberapa tahun mendatang dan ibu yang tengah hamil trisemester ke-2 atau ke-3 selama
musim influenza. Merokok merupakan factor risiko untuk pneumonia HAP dan CAP, karena
upaya menghentikan kebiasaan merokok, terutama pada pasien yang pernah menderita
pneumonia sebelumnya, strategi pencegahan yang penting dilakukan. Pemahaman menyeluruh
tentang pathogenesis HAP akan membantu perawat keperawatan kritis untuk mengembangkan
strategi intervensi guna mencegah awitan pneumonia (Morton, Patricia G. , Fontaine, Dorrie,
Hudak, Carolyn M & Gallo, Barbara : 2011).
19

Pencegahan pneumonia bersifat nonspesifik tetapi termasuk mengurangi kemiskinan,


nutrisi buruk, perumahan yang buruk, merokok tembakaudan konsumsi alcohol (Wooshead et al,
1987 dalam Frisca, Caia : 2008). Penyakit kardiorespirasi yang mendasari juga meningkatkan
predisposisi pneumonia, demikian usia (yang sangat muda atau yang snagat muda).
Vaksinasi pneumokokus direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan bagi semua
orang berusia 2 tahun atau lebih, yang berpeluang mengalami infeksi pneumokokus yang lebih
sering atau yang lebih serius. Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa vaksinasi cenderung
mencegah pneumonia yang didapat dari komuniatas pada pasien yang dikelompokkan dalam
kelompok berisiko (NICE, 2004 dalam Francis, Caia, 2008).
Upaya pencegahan merupaka komponen strategis dalam pemberantasan pneumonia pada
anak terdiri atas pencegahan melalui imunisasi dan upaya pencegahan non-imunisasi. Prigram
Pengembangan Imunisasi (PPI) yang meliputi imunisasi DPT dan campak yang telah
dilaksanakan pemerintah selama ini dapat menurunkan proporsi kematian balita iakibat
pneumonia. Hal ini dapat dimengarti karena campak, pertusis dan juga difteri bias juga
menyebabkan pneumonia atau merupakan penyakit penyerta pada pneumonia balita. Di
sampaing itu, sekarang telah tersedia vaksin Hib dan vaksin pneumokokkus konjugat untuk
pencegahan terhadap infeksi bakteri penyebab pneumonia dan penyakit berat lainnya seperti
meningitis. Namun vaksin ini belum masuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
pemerintah.
Yang tidak kalah penting sebenarnya adalah upaya pencegahan non-imunisasi yang
meliputi pemberian ASI eksklusif, pemberian nutrisi yang baik, pengindaran pajanan asap rokok,
asap dapur dan lain-lain; perbaikan lingkungan hidup dan sikap hidup sehat; yang semua itu
dapat menghindarkan terhadap resiko terinfeksi penyakit menular termasuk terhadap pneumonia
(Misnadiarly, 2008).
Cara pencegahan yang dapat dilakuakn adalah sebagai berikut.
1. Hidup sehat dengan rutin berolahraga untuk meningkatkan vitalitas tubuh dan asupan nutrisi.
2. Kenali gejala dan tanda pneumonia
3. Untuk pencegahan pneumonia pada anak adalah dengan memberikan ASI eksklusif dan
imunisasi pneumokokus atau disingkat imunisasi IPD. Imunisasi IPD dilakukan pada usia
anak sebnayaj 4 kali yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 12 bulan (Suryo, Joko :
2010).
20

2.11 KOMPLIKASI PNEUMONIA


Kadang-kadang pneumonia berperan penting dalam penambahan masalah medis yang
disebut komplikasi.Komplikasi yang paling sering disebabkan oleh pneumonia karena bakteri
daripada pneumonia karena virus.Komplikasi yang penting meliputi :

Gagal nafas dan sirkulasi


Efek pneumonia terhadap paru-paru pada orang yang menderita pneumonia sering

kesulitan bernafas,dan itu tidak mungkin bagi mereka untuk tetap cukup bernafas tanpa bantuan
agar tetap hidup.Bantuan pernapasan non-invasiv yang dapat membantu seperti mesin untuk
jalan nafas dengan bilevel tekanan positif,dalam kasus lain pemasangan endotracheal tube kalau
perlu dan ventilator dapat digunakan untuk membantu pernafasan.
Pneumonia dapat menyebabkan gagal nafas oleh pencetus akut respiratory distress
syndrome(ARDS). Hasil dari gabungan infeksi dan respon inflamasi dalam paru-paru segera diisi
cairan dan menjadi sangat kental, kekentalan ini menyatu dengan keras menyebabkan kesulitan
penyaringan udara untuk cairan alveoli,harus membuat ventilasi mekanik yang dibutuhkan.
Syok sepsis dan septik merupakan komplikasi potensial dari pneumonia.Sepsis terjadi
karena mikroorganisme masuk ke aliran darah dan respon sistem imun melalui sekresi sitokin.
Sepsis seringkali terjadi pada pneumonia karena bakteri; streptoccocus pneumonia merupakan
salah satu penyebabnya.Individu dengan sepsis atau septik membutuhkan unit perawatan intensif
di rumah sakit.Mereka membutuhkan cairan infus dan obat-obatan untuk membantu
mempertahankan tekanan darah agar tidak turun sampai rendah. Sepsis dapat menyebabkan
kerusakan hati,ginjal,dan jantung diantara masalah lain dan sering menyebabkan kematian.

Effusi pleura,empyema dan abces


Ada

kalanya,infeksi

mikroorganisme

pada

paru-paru

akan

menyebabkan

bertambahnya(effusi pleura) cairan dalam ruang yang mengelilingi paru(rongga pleura).Jika


mikroorganisme itu sendiri ada di rongga pleura,kumpulan cairan ini disebut empyema.Bila
cairan pleura ada pada orang dengan pneumonia,cairan ini sering diambil dengan jarum
(toracentesis) dan diperiksa,tergantung dari hasil pemeriksaan ini. Perlu pengaliran lengkap dari
cairan ini,sering memerlukan selang pada dada.Pada kasus empyema berat perlu tindakan
pembedahan.Jika cairan tidak dapat dikeluarkan,mungkin infeksi berlangsung lama,karena
antibiotik tiak menembus dengan baik ke dalam rongga pleura. Jarang,bakteri akan menginfeksi
bentuk kantong yang berisi cairan yang disebut abses. Abses pada paru biasanya dapat dilihat
21

dengan foto thorax dengan sinar x atau CT scan. Abses-abses khas terjadi pada pneumonia
aspirasi dan sering mengandung beberapa tipe bakteri. Biasanya antibiotik cukup untuk
pengobatan abses pada paru,tetapi kadang abses harus dikeluarkan oleh ahli bedah atau ahli
radiologi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 2012. Pneumonia. Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Available from
: www.library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/0910712008/bab2.pdf. Diakses pada 23
Februari 2014.
2. Anonymuos. 2011. Pneumonia. Available from :
http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/19/jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii.pdf. Diakses pada
23 Februari 2014.
3. Batubara, Suhartini. 2009. Analisis faktor yang mempengaruhi tindakan ibu dalam pencarian
pengobatan dan pemulihan penyakit pneumonia pada balita di wilayah kerja puskesmas
pasar meah tahun 2007. Medan: FKM USU
4. Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi (Brahm, (trans.)). Jakarta: EGC
5. Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperwatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
6. Francuis, Caia. (2008). Perawatan Respirasi. Jakarta : Ertlangga.
7. Hartati, Susi. 2011. Analisis faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia
pada anak balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan, Progam
Magister Ilmu Keperawatan.
8. Malueka, Rusdy G. 2007. Radiologi Diagnotik. Pustaka Cendekia Press Yogyakarta.
9. Medison, Irvan. 2012. Pneumonia. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK
Unand : Padang. Available from : http://www.parupadang.com/unduh/2012/Pneumonia.pdf.
Diakses pada 23 Februari 2014.
10. Misnadiarly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa,
Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik Mycobacterium. Jakarta : Pustaka
Obor.
11. Misnadiarly. 2008. Penyakit infeksi saluran nafas pneumonia pada anak balita, dewasa dan
usia lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer.
22

12. Morton, Patricia G. , Fontaine, Dorrie, Hudak, Carolyn M & Gallo, Barbara, (2011).
Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik Volume 1. Jakarta : EGC.
13. Muscary, Mary E. 2005. Paduan: Keperawatn Pediatrik. Jakarta: EGC
14. Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Pernapasan. Jakarta: Salmeba Medika.
15. Suryo, Joko. (2010). Herbal penyebuh Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta : B First.
16. Sutini, Titin. 2011. Pengaruh aktivitas bermain meniup tiupan lidah terhadap status
oksigenisasi pada anak usia prasekolah dengan pneumonia di rumah sakit islam jakarta.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan, Progam Magister Ilmu Keperawatan.

23

Anda mungkin juga menyukai