Anda di halaman 1dari 55

STUDIO PERENCANAAN KOTA

KONDISI BENTENG KERATON BUTON


Studi Kasus Kota Baubau

Disusun Oleh :
Siswono Burhan

D52114005

Medina Shaqilha Zakaria

D52114025

Ananda Lola Syam

D52114309

Ranthy Jan Mantong

D52114310

Abdul Azis Jamaluddin

D52114501

Rizqi Audyah Rahmat

D52114505

DEPARTEMEN PENG. WILAYAH KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016

BAB V
KONDISI BENTENG KERATON BUTON
5.1 LAND USE SEBELUM ADA BENTENG KERATON BUTON
5.1.1 Masa Sebelum Kerajaan (Era Mia Patamiana)
Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali
dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui,
Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari
Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke12. Dalam perkembangannya 4
tokoh ini membangun perkampungan-perkampungan di wilayah mereka masingmasing, salah satunya dengan membuka lahan dan memotong pohon-pohon yang
berada di wilayah yang ingin mereka perluas untuk membuat perkampungan.
Tidak berapa lama, Sipanjonga, Sitamanajo, Simalui dan Sijawangkati yang telah
menempati 4 wilayah yang berbeda satu sama lain, mereka hidup berpindahpindah dan memperluas wilayah hingga saling bertemu. Dari sini mereka saling
bertemu dan saling menjalin hubungan, salah satunya dengan cara perkawinan.
Sipanjonga yang disebutkan merupakan salah satu pemimpin kelompok yang
paling disegani, menikah dengan Sibaana yang merupakaan saudara Simalui, dan
melahirkan anak yang bernama Betoambari. Dari hubungan kekerabatan yang
terjalin erat, mereka melakukan musyawarah dan membuat suatu kesepakatan.
Dalam

musyawarah

diputuskan,

bahwa

mereka

akan

membuat

perkampungan yang dinamai Batu Yigandangi. Dan yang menjadi ketua


perkampungan adalah Sipanjonga. Suatu saat Sipanjonga berada ditengah-tengah
kerumunan orang banyak, sambil berteriak dalam bahasa sendiri dengan ucapan
WELIA artinya buatlah perkampungan. Welia terdiri dari suku kata : WE yang
artinya buatlah dan LIA artinya perkampungan. Ucapan Sipanjonga ini diabadikan
menjadi nama Wolio. Setelah perkampungan selesai dibentuk dan mengakui
keberadaan masing- masing maka sejak saat itu para ksatria dibebaskan untuk
mencari tempat bermukim secara perorangan.

Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio.


Dengan sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (wilayah
kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masingmasing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan
Patalimbona. Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio.
Dengan sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (wilayah
kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masingmasing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan
Patalimbona. Pada era ini peran yang sangat besar dilakukan oleh Betoambari
anak dari Sipanjonga. Menurut tradisi lisan, dengan terbentuknya empat wilayah
yang saling memiliki kekerabatan, Betoambari dengan mudah mempersatukan
wilayah tersebut. Betoambari pula yang menemukan Sibatara seorang putra Raja
Majapahit dan Wakaka seorang putri dari Cina, serta menikahkan mereka berdua.

5.1.2 Masa Awal Kerajaan (Tahun 1332)


Sejarah Awal dibentuknya kerajaan Buton adalah merupakan penyatuan
dari empat wilayah kecil, yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa, dan Baluwu.
Pada tahap ini Patalimbona menetapkan Ratu Wa Kaa Kaa menjadi Raja Pertama
dengan berbagai kriteria yang menurut mereka layak untuk dijadikan Raja di
Kerajaan Buton, yang istimewa disini yaitu ketika penunjukan Raja Buton
pertama yang terjadi sekitar tahun 1332 M , Dimana raja pertama yang diangkat
adalah seorang Wanita yang bukan berasal dari keempat kerajaan tersebut,
sedangkan raja dari keempat kerajaan itu lalu diangkat menjadi menteri (Bonto).
Sistem kekuasaan di Buton ini bisa tidak serupa dengan konsep kekuasaan di
kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua
golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan
pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi
sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih
bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Sipanjonga memiliki tugas
untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dididik sedemikian rupa sehingga
para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Sejak awal
4

terbentuknya kerajaan Buton, kawasan ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan/


ibukota kerajaan.
5.1.3 Masa Kerajaan
Pada masa ini Kerajaan Buton dibawah kepemimpinan Wa kaa kaa sedang
merintis berdirinya Kerajaan Buton untuk menjadi kerajaan yang lebih besar lagi.
Kemudian Patalimbona menetapkan Bulawambona sebagai Ratu kedua.
Bulawambona sendiri merupakan anak dari Wa kaa kaa dan Sibatara. Di Masa
Bulawambona, Kerajaan Buton mengalami perkembangan yang cukup pesat di
berbagai bidang salah satunya ekonomi. Salah satu buktinya adalah munculnya
uang kuno yang disebut Kampua. Kampua ini diperkenalkan secara lebih luas
ketika sang Ratu Bulawambona meninggal, dan sebagai bentuk penghormatan
atas jasa-jasanya dibuatlah semacam pasar. Secara keseluruhan pada era ini
berlangsung mulai dari tahun 1332 hingga 1542 Masehi, kerajaan Buton dipimpin
oleh enam raja.
Periode Pertama masa pemerintahan Sultan Murhum, Kerajaan Buton
secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja
Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilapoto atau Halu Oleo. Beliau
yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang
datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman al- Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor.
Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu Gatas yang termasuk
dalam pemerintahan Buton. Di Pulau Batu Gatas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman al- Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku
menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul
Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam,
Beliau langsung dilantik menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid. Dalam
kedudukannya sebagai sultan yang memerintah selama 26 tahun, Murhum
kemudian menyesuaikan berbagai ketentuan hukum dalam wilayah Kesultanan
berdasarkan nilai-nilai Islam.

5.2 LANDUSE SETELAH ADANYA BENTENG KERATON


5.2.1

Sejarah Awal Pembentukan Benteng Keraton Buton dan Landuse


pada Periode 1591 1645 (Masa jabatan Sultan III sampai Sultan VI)
Kawasan bersejarah benteng keraton Buton yang merupakan kawasan

pusat pemerintahan Kesultanan Buton dahulunya hanya berupa kawasan yang


dibatasi oleh tanaman berduri sebagai pembatas kawasan dengan kawasan
sekitarnya, kondisi tersebut berlangsung sejak masa pemerintahan raja I (Wa Kaakaa) hingga Sultan Buton ke II. Menurut wawancara kami dengan cucu ke-2 dari
Sultan ke38, pada masa Sultan ke-III yaitu La Sangaji Sultan Kaimuddin (15911597), Buton menjadi semakin penting karena letaknya yang berada di jalur
perdagangan dan pelayaran menuju Kepulauan Maluku yang merupakan
penghasil rempah-rempah. Pulau Buton menjadi tempat transit bagi para
pedagang baik pedagang dari nusantara maupun pedagang asing dimana
kemudian timbul persaingan yang terjadi diantara sesama pedagang pribumi,
sesama pedagang asing dan antara pedagang pribumi dengan pedagang asing.
Persaingan tersebut memicu timbulnya bentrokan berupa perampokan di lautan
yang sangat mengganggu keamanan di wilayah sepanjang jalur perdagangan
termasuk wilayah Buton sendiri. Melihat situasi tersebut Sultan Buton yang
memerintah pada masa itu yaitu Sultan Kaimuddin merasa perlu membangun
benteng pertahanan untuk melindungi wilayah Kesultanan Buton dari segala
ancaman khususnya segala ancaman yang datang dari luar.

Pada masa Sultan Murhum yang kemudian membagi wilayah Kesultanan


Buton dalam beberapa distrik, di kawasan keraton sendiri terbagi menjadi
sembilan distrik, yang masing-masing dipimpin oleh satu orang pegawai kerajaan
yang disebut limbo. Sembilan distrik tersebut meliputi distrik Barangkatopa,
Gundu-gundu, Dete, Siompu, Baluwu, Peropa, Rakia, Melai dan Gama. Kawasan

Siompu dan Baluwu yang dimana mesjid agung keraton dan balai pertemuan
berada, kawasan ini menjadi pusat pemerintahan dan pusat penyebaran agama
islam Kesultanan Buton. Kawasan Baluwu juga menjadi kawasan perdagangan
yang dimana di kawasan ini terdapat pasar yang dijadikan roda ekonomi para
kaum papara. Kawasan Rakia menjadi pusat permukiman kesultanan dan kawasan
lainnya menjadi kawasan permukiman para kaum walaka.
Pada masa pemerintahan Sultan Kaimuddin mulai membangun bastion
namun pada saat bastion-bastion tersebut hampir seluruhnya selesai dibangun
terjadi suatu permasalahan di Buton sehingga penyelesaian pembangunannya
terpaksa ditunda. Pembangunan bastion tersebut kemudian dilanjutkan oleh Sultan
Buton ke IV yaitu Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Didirikan Bastion-bastion yang
dibangun tersebut membentuk formasi dengan mengelilingi lokasi permukiman
termasuk di dalamnya rumah tempat tinggal Sultan dan para petinggi Kesultanan
Buton. Setiap bastion dilengkapi dengan meriam-meriam buatan Eropa yang
dibeli dari kapal pedagang asing yang singgah di Buton. Di periode yang sama
tepatnya pada tahun 1610 bangunan yang bernama Baruga di bangun dalam
rangka menjadi wadah fisik untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat dan tempat
bermusyawarah.
Pembangunan benteng keseluruhannya selesai pada masa pemerintahan
Sultan Buton ke VI yaitu Sultan Gafurul Wadudu. Untuk mempercepat
penyelesaian benteng Sultan Gafurul wadudu mewajibkan seluruh rakyat Buton
untuk ikut berpartisipasi membantu penyelesaian pembangunan tembok benteng
yang menghubungkan semua bastionnya. Pada masa itu (dalam rentang waktu 10
tahun) angka kelahiran di Buton sangat rendah karena semua laki-laki dewasa dan
sehat harus bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan pembangunan benteng.
Saat itu Sultan Gafurul Wadudu mendapat teguran dari Siolimbona (dewan
legislatif di Kesultanan Buton) untuk menghentikan saja pembangunan benteng
karena menyebabkan angka kelarihan rendah. namun, teguran dan peringatan
tersebut tidak mengurungkan niat Sultan Gafurul wadudu untuk menyelesaikan
pembangunan benteng. Oleh karenanya setelah melakukan musyawarah,
Siolimbona kemudian memutuskan akan memberhentikan beliau dari jabatannya

sebagai Sultan Buton. Mengetahui adanya peringatan keras tersebut Sultan


Gafurul Wadudu kemudian meminta kepada Siolimbona agar rencana
pemberhentian beliau sebagai Sultan ditunda dulu sampai pembangunan benteng
keraton Buton selesai. Sultan Gafurul

Wadudu berjanji begitu pembangunan

benteng selesai beliau akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Sultan
Buton. Permintaan tersebut diterima oleh Siolimbona sehingga pembangunan
benteng tetap dilanjutkan hingga selesai. Adapun sejarah di masa pendirian hingga
lebih 50 tahun dengan melibatkan tenaga seluruh masyarakat secara gotong
royong. Pada saat pendirian benteng itu, ada nama seorang perempuan kaya
bernama Wa Ode Wau yang mensponsori dana pendirian benteng yang dibuat dari
batu yang dicampur dengan pasir dan kapur sebagai perekatnya.
Sultan ke VI kemudian digantikan oleh Sultan Saparigau. Pembangunan
tembok benteng ketika itu memerlukan banyak batuan, sehingga bebatuan di
sekitar kawasan tersebut termasuk batuan di sepanjang sungai hampir habis
digunakan untuk pembangunan benteng. Pada saat itu salah satu kendala teknis
dalam pembangunan benteng keraton Buton yaitu pada pembangunan tembok
benteng pada sisi utara dan sebagian sisi timur karena pada sisi tersebut pondasi
benteng berada diatas tebing yang curam. Selain baluara (bastion), benteng juga
dilengkapi 12 (duabelas) Lawa (pintu gerbang) yang menghubungkan kawasan
benteng keraton sebagai pusat pemerintahan dengan perkampungan penduduk
diluar kawasan benteng . Benteng ini dibangun diatas sebuah bukit yang disebut
bukit Tursina. Keliling benteng yaitu sebesar 2740 m. Bangunan benteng terbuat
dari batu-batu gunung yang agak porus yang direkatkan dengan kapur. Tinggi dan
tebal dinding benteng tidak sama, tergantung pada kondisi tanah atau lereng bukit
dimana dinding tersebut berada. Pada bagian bukit yang terjal tinggi dinding
benteng mencapai empat meter dan tebal dinding mencapai dua meter. Pada
dinding benteng bagian dalam sisi timur dan selatan terdapat turap-turap yang
yang berfungsi ganda, yaitu sebagai penahan/penguat berdirinya dinding benteng
dan tempat berdiri yang mengintai dan mengawasi musuh diluar benteng melalui
lubang-lubang pengintai. Benteng keraton Buton terdiri atas:
1. Boka-boka atau bastion sudut
2. Baluara atau bastion
9

3. Lawa atas pintu gerbang


4. Batu tondo atau tembok keliling
5. Alat persenjataan
1. Boka-boka
Boka-boka adalah bastion yang terdapat pada keempat sudut benteng
dimana ditempatkan meriam-meriam besi pada jendela-jendelanya. Keempat
boka-boka ini memiliki nama masing-masing yang diambil dari nama petugas
atau nama jabatan petugas yang mengawasi pembangunan boka-boka tersebut.
Boka-boka sebelah utara disebut Boka-boka matana eo atau Boka-boka gundugundu. Boka-boka gundu-gundu ini sedikit berbeda dari boka-boka lainnya karena
bangunannya terdiri atas 3 (tiga) tingkat sehingga boka-boka ini lebih tinggi
dibanding yang lainnya. Hal ini mungkin berkaitan dengan letaknya yang strategis
karena berhadapan dengan teluk Baubau. Boka-boka yang lainnya terletak di
sebelah selatan yang lebih dikenal dengan sebutan godo yang diartikan gudang
perlengkapan. Godo sebelah timur disebut godona oba yang berarti gudang mesiu,
godo sebelah barat disebut godona batu yang berarti gudang peluru, karena
disinilah disimpan peluru-peluru meriam yang terbuat dari besi.

Gambar 1 Boka Boka


Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016
2. Baluara
Baluara adalah bastion-bastion yang terletak pada keempat sisi benteng,
apabila dilihat dari atas bangunannya berbentuk bulat, namun adapula yang
berbentuk persegi. Baluara berjumlah 12 buah, yaitu:
a. Baluara Siompu
10

b. Baluara Rakia
c. Baluara Gama
d. Baluara Gandailolo/Waulima
e. Baluara Barangkatopa/Silea
f. Baluara Baluwu
g. Baluara Dete
h. Baluara Kalau
i. Baluara Baria
j. Baluara Tanailandu
k. Baluara Melai
l. Baluara Sambali
Seperti halnya pada boka-boka maka pada setiap baluara ini terdapat
jendela-jendela tempat meriam yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan,
sebagian meriam-meriam tersebut masih ada di beberapa baluara.
3. Lawa
Benteng keraton Buton memiliki 12 buah lawa atau pintu gerbang. Sesuai
dengan fungsinya sebagai benteng pertahanan, maka pintu gerbang (lawana) ini
dibangun sedemikian rupa dengan lorong dan gawang pintu. Pada pintu masuk
dan keluar benteng, pada zaman kejayaan kesultanan Buton fungsi lawana ini
berkaitan pula dengan hukum perang. Musuh-musuh kerajaan baik dari luar
maupun dari dalam (para pemberontak) yang sudah dihukum mati dipertontonkan
di kawasan Keraton agar diketahui oleh umum (masyarakat). Pertunjukkan ini
biasanya dilaksanakan diiringi dengan tarian perang yang disebut maniu.
Dilihat dari bentuk dan arsitekturnya, lawana-lawana ini dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Lawana yang berbentuk paduraksa, dimana bagian atasnya langsung
berfungsi sebagai atap. Diatas ambang pintu terdapat hiasan yang
mengingatkan kita pada bentuk kalamakara pada candi di Jawa dan pura di
Bali. Diantara kedua lapis pintu ada ruangan atau lorong sedangkan pada
dinding ruangan (lorong) yang sebenarnya adalah pilar-pilar gapura terdapat
ceruk atau nis sedalam 50 cm. Pintu gerbang atau lawana yang termasuk

11

dalam tipe ini, yaitu Lawana Rakia , Lawana Labunta, Lawana Kampebuni,
Lawana Waborobo, Lawana Kalau, Lawana Wajo (Baria), dan Lawana
Lantongau (Sambali).

Gambar 2. Lawana Waborobo


b. Lawana yang pada bagian atasnya ditumpangi bangunan kayu seperti balkon
yang berfungsi sebagai tempat jaga dan sekaligus sebagai atap gapura.
Balkon-balkon tersebut seluruhnya terbuat dari kayu jati dan beratap sirap.
Pada kedua ujung bubungan atapnya terdapat hiasan buah nenas, sedangkan
pada ujung-ujung lisplank terdapat ragam hias floralistis. Atap balkon
ditopang oleh 6 (enam) buah tiang yang diletakkan berjajar dua, lantainya
dari papan dan pada kedua sisinya (sisi luar dan dalam) dilenagkapi dengan
langkan (pagar). Pintu gerbang atau lawana yang termasuk dalam tipe ini
dilengkapi dengan meriam-meriam karena di kanan dan kirinya terdapat
bastion dimana meriam itu ditempatkan. Pada lawana jenis ini tidak
ditemukan adanya ceruk atau nis pada pilar-pilarnya. Lawana taua pintu
gerbang yang termasuk dalam jenis ini, yaitu Lawana Gundu-gundu, Lawana
Lanto, Lawana Dete, Lawana Tanailandu (Burukene), dan Lawana Melai.

12

Gambar 3. Lawana lanto


4. Batu tondo
Merupakan sebutan untuk tembok keliling, batu tondo dalam bahasa
Indonesia berarti batu yang menghubungkan Boka-boka (bastion sudut), Baluara
(bastion) dan Lawa (pintu gerbang) sehingga merupakan suatu tempat/bangunan
yang terpagar sekelilingnya. Tinggi tembok keliling ini tidak sama tergantung
pada permukaan tanah atau lereng bukit dimana tembok tersebut ditempatkan.

Gambar 4. Batu Tondo


5. Alat Persenjataan

13

Pembangunan benteng keraton Buton telah berada pada zaman dimana


senjata api telah digunakan sebagai persenjataan perang dan pertahanan, sehingga
konstruksi benteng keraton telah disesuaikan dengan sistem persenjataan tersebut.
Instalasi-instalasi senjata berat telah dibuatkan pada boka-boka, baluara dan
lawana. Hingga saat ini pada beberapa boka-boka, baluara dan lawana masih
dapat ditemukan meriam-meriam kuno buatan Eropa yang pada zaman
Kesultanan Buton digunakan sebagai persenjataan benteng. Untuk mengetahui
berapa jumlah meriam yang dipergunakan atau ditempatkan pada benteng keraton
Buton dapat diketahui dari jumlah jendela yang terdapat pada boka-boka, baluara
dan lawana, meskipun juga ada penempatan meriam-meriam tersebut di tempat
lain di dalam kawasan benteng.

Gambar 5. Meriam
Dengan demikian pembangunan benteng keraton Buton berlangsung
selama beberapa tahap atau periode, yaitu:
1) Tahap pembangunan boka-boka (bastion sudut) pada masa pemerintahan
Sultan Buton ke III (Sultan Kaimuddin 1591- 1597 M).
2) Tahap pembangunan bastion tambahan pada masa pemerintahan Sultan
Buton ke IV (Sultan Dayanu Ikhsanuddin 1597 1631 M).
3) Tahap penyelesaian pembangunan benteng (meliputi pembangunan tembok
benteng dan 12 lawa/pintu gerbang) pada masa pemerintahan Sultan Buton
ke VI (Sultan Gafur Wadudu 1632-1645 M).

14

5.2.2

Periode Abad Ke-17 sampai Berakhirnya Kesultanan Buton


Pada Abad ke 17 Gubernur jendral Belanda Pieter Both pertama kali

mengunjungi Pulau Buton. Pada saat itu Pieter Both melakukan perjanjian
kerjasama dengan Kesultanan Buton, itu merupakan perjanjian pertama antara
Kesultanan Buton dengan pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian pada tahun 1712 Masjid Keraton Buton pun di bangun oleh
Sultan Buton ke-19, Sultan Zakiyuddin Darul Alam akibat Masjid yang di bangun
masa Sultan Muhum terbakar akibat perang saudara pada masa Sultan Buton ke18. Lokasi bekas masjid tersebut berada disekitar tempat dimakamkannya Sultan
Murhum . Kemudian Sultan Zakiyuddin Darul Alam dibangun masjid dilokasi
berbeda yaitu dilokasi yang ada sekarang. Dari segi fisik, perkembangan kawasan
meliputi perubahan jumlah dan batas perkampungan penduduk yang terdapat di
dalam kawasan benteng, perubahan pola permukiman, dan jaringan jalan. Pada
awal Kesultanan Buton di dalam kawasan benteng keraton Buton hanya terbagi
atas sembilan kawasan, pada saat itu kondisi jaringan jalan di dalam kawasan
benteng keraton masih berupa jalan tanah dan pola permukimannya memusat.
Perkerasan jalan (pembangunan jalan aspal) di dalam kawasan benteng keraton
mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Buton ke 36 (tahun 1921-1924).
Setelah Kesultanan Buton berakhir pada masa Sultan ke 38 pada tahun 1960.
Kawasan Benteng Keraton Buton kemudian masuk dalam wilayah desa
Melai Kabupaten Buton, pada tahun 2001 setelah terbentuk Kota Bau-bau,
kawasan ini kemudian termasuk dalam wilayah Kelurahan Melai Kota Bau-bau
dan menjadi permukiman masyarakat, dan terbagi atas empat lingkungan yaitu
lingkungan Dete, Baluwu, Peropa dan Baadia. Perubahan yang terjadi di kawasan
Benteng Keraton yaitu berkembangnya jaringan jalan, bangunan, sarana prasarana
dan fasilitas umum antara lain sekolah dasar dan perkantoran pemerintah.
5.2.3

Periode Ruang Publik Yaroana Masigi di Benteng Keraton


Ruang publik Yaroana Masigi merupakan kawasan inti dari permukiman

di Benteng Keraton, yang kedudukannya terhadap permukiman dianggap paling


penting. Karakteristik fisik Yaroana Masigi selain terdiri dari obyek-obyek

15

penting yang menjadi satu kesatuan dengan ruang, karakter ini juga tercermin dari
bentuk tata letak, hirarki, orientasi, besaran dan batasan ruangnya. Berdasarkan
urutan sejarah keberadaannya, objek pertama yang ada adalah Batu Popoaua dan
Batu Wolio, wawancara singkat dengan masyarakat setempat menyebutkan bahwa
batu tersebut merupakan batu tumbuh yang keberadaanya telah ada sebelum
permukiman melai terbentuk, dan tidak diketahui tahun pastinya, namun pertama
kali digunakan saat pelantikan Raja pertama yaitu Ratu Wakaakaa. Sama halnya
dengan keberadaan Batu Wolio yang juga tidak diketahui kapan kemunculannya,
yang orang ketahui tentang Batu Wolio bahwa batu tersebut merupakan sumber
mata air pada zamannya, dari dinas pariwisata bidang kepurbakalaan setempat
mengatakan bahwa objek Batu Wolio diperkirakan sudah ada sejak pertengahan
abad ke-14 M.

Batu Popaua dan Batu Wolio


Pertama kali digunakan oleh raja pertama yang bergelar Ratu Wa Kaa Kaa

pada pertengahan abad XIV.


Makam Sultan Murhum
Makam Raja Buton ke VI dan merupakan Sultan Buton pertama pada

tahun 1584.
Baruga
Ruang musyawarah ini bangun pada masa Sultan Dayanu Ikhsanudin pada

tahun 1610.
Masjid Agung Keraton
Dibangun oleh Sultan Buton ke-19, Sultan Zaqiyuddin Darul Alam pada

tahun 1712.
Kasulana Tombi (Tiang bendera)
Dibangun setelah Masjid Agung Keraton pada tahun 1712.

5.2.4 Tata Letak , Hirarki, Orientasi, besaran ruang dan batasan ruang.
Tata letak secara makro yaitu keberadaan atau posisi Yaroana Masigi
terhadap lingkungan sekitarnya. Letak Yaroana Masigi sendiri terletak di tengahtengah permukiman yang dikelilingi oleh benteng. Posisi ini di pengaruhi oleh
konsep kosmologis orang Buton yang meyakini bahwa Masjid Agung Keraton
merupakan inti kosmos dan area Yaroana Masigi adalah bagian dari inti tersebut.

16

Yaroana Masigi digambarkan sebagai alam batin manusia, yang dimana alam
batin harus senantiasa menjadi pusat dan inti dari kehidupan. Sehingga berada di
pusat/ tengah-tengah, dengan benteng keraton sebagai cangkang (pelindungnya)
serupa filosofi telur, yang kemudian menjelaskan tradisi lisan tentang benteng
keraton yang terbuat dari butih telur. Konsep ini juga ikut menjelaskan status
hirarki Yaroana Masigi sebagai ruang dengan hirarki sakral. Sehingga kegiatan
yang dianggap sakral atau penting kerap di gelar di area ini. Sedangkan untuk
orientasinya tidak berorientasi pada arah manapun kecuali arah kiblat Masjid
Agung Keraton untuk ibadah shalat yang tetap mengarah ke kiblat yaitu barat.
Tata letak mikro menjelaskan letak komponen obyek-obyek dalam lingkup
Yaroana Masigi . Posisi obyek-obyek tersebut dipengaruhi oleh urutan sejarah
keberadaanya. Secara hirarki, ruang Yaroana Masigi itu sendiri adalah area paling
sakral dalam kawasan Benteng Keraton Buton, namun jika dibuatkan hirarki lagi
maka Masjid Agung Keraton berada dihirarki teratas karena maknanya tidak
hanya sebagai mewakili permasalahan ketuhanan yang bersifat rohani dan batin.

17

Gambar 6. Tata Letak Eksisting Yaraona Masigi


Ruang publik Yaroana Masigi berhubungan dengan persoalan makna,
bermakna Kekuasaan identitas kerajaan. Yaroana Masigi merupakan ruang publik
yang secara fungsi dan konsep tidak jauh berbeda dengan konsep Alun-alun.
Yaroana Masigi merupakan ruang yang sangat penting bagi alur ritual pelantikan
Sultan. Tidak hanya ruang kosongnya tapi juga bangunan yang terdapat dalam
lingkungan Yaroana Masigi juga ikut berperan dalam membangun karakter ruang
sebagai ruang pelantikan sultan. Mulai dari Batu Wolio, Masjid Agung keraton,
Batu Popaua, serta Baruga.
Yaroana Masigi yang berada di depan Masjid Agung Keraton dapat
dikatakan sebagai halaman masjid, halaman yang juga digunakan untuk perluasan
penggunaan masjid untuk aktivitas sholat jika kapasitas masjid tidak dapat
menampung jumlah jamaah. Aktivitas keagaamaan lainnya juga berpusat di area

18

Yaroana Masigi. Yaroana Masigi juga berperan melengkapi konsep kosmologi


tentang pemaknaan pemimpin/sultan melalui proses ritual pelantikan.
5.2.5

Kondisi Permukiman di Benteng Keraton


Sejak awal berdirinya permukiman Wolio, dalam prosesnya perkembangan

lingkungan permukimannya tidak banyak mengalami perubahan baik itu dari


penataan ruang, bentuk bangunan, aspek sosial ekonomi dan budaya. Wilayah
Wolio sebagai pusat Kesultanan Buton merupakan wilayah permukiman.
Kelurahan Melai masih tetap mempertahankan keaslian kawasannya sebagai
kawasan permukiman tradisional. Kondisi permukiman dan bentuk rumahnya
tidak mengalami perubahan yang berarti, corak sebagai rumah panggung tetap
utuh dengan budaya Buton tetap melekat.
Kondisi permukiman masa kesultanan sampai berakhirnya Kesultanan
Buton yaitu beralihnya status Kerajaan Buton menjadi Kesultanan Buton banyak
membawa perubahan, nilai-nilai Islam mulai diterapkan dalam Kesultanan
bahkan pembangunan rumah. Pengaruh budaya Islam sangat terasa di kesultanan
Buton

kedatangan

seorang

Ulama

dari

Melayu,

kedatangannya

selain

menyebarkan Islam juga memberikan contoh dan tata cara membangun rumah
sesuai konsep tasawuf. Rumah mulai dibangun dengan dasar-dasar Islam. Untuk
menjaga keamanan permukiman dipusat Kesultanan dari serangan musuh
kemudian dibuatlah pagar pengaman yang mengelilingi perkampungan dengan
pohon-pohon menjalar.
Perkembangan permukiman berlangsung sangat cepat sehingga pada masa
Sultan Buton ke-3 mulai membangun benteng permanen sebagai benteng
pertahanan dari serangan musuh dan benteng ini selesai pada masa Sultan Buton
ke-6. Pada masa Sultan Buton ke-4 (Sultan Daynu Ikhasnuddin) disusunlah
Undang-undang Dasar dan Tata Pemerintahan Kesultanan Buton yang bernama
Martabat Tujuh yang didalamnya termasuk aturan pembangunan rumah dan
permukiman. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan, bahwa Pejabat/Menteri
yang menangani masalah kebijakan pembangunan yang termasuk didalamnya
perumahan adalah lembaga yang dipimpin oleh Sapati. Martabat Tujuh adalah

19

undang-undang pemerintahan kesultanan Buton. Jadi semuanya harus mengikuti


apa yang diatur didalam undang-undang ini. Secara umum bentuk rumah
tradisional ada tiga yaitu rumah untuk Sultan, rumah untuk Pejabat Kesultanan
dan rumah untuk masyarakat biasa. Bentuk rumah pada masa ini terbagi atas tiga
bentuk, yaitu rumah tinggal untuk Sultan (Malige/Kamali), rumah tinggal Pejabat
Kesultanan (Banua Kambero) dan rumah tinggal untuk masyarakat umum (Banua
Tada). Aturan dan penerapannya tiga bentuk rumah ini berakhir tahun 1960
setelah Sultan ke-38 Sultan Muhammad Falihi wafat maka berakhirlah Kesultanan
Buton.

5.3 LANDUSE BENTENG KERATON SAAT INI


Benteng Keraton termasuk dalam Kelurahan Melai yang secara geografis
berada pada 526" - 526" Lintang Selatan dan 12230" - 12238", Kelurahan
Melai terdiri dari 3 RW dan 9 RT dengan luas wilayah 0,37 Km2. Masyarakat
Melai memiliki mata pencaharian dibidang jasa, wiraswasta, petani dan PNS.
Jumlah rumah dalam benteng sebanyak 328 rumah dan 489 kk dengan jumlah
penduduk 1.844 Jiwa.

20

Dalam benteng keraton Buton terdapat permukiman yang di huni oleh para
keturunan raja dan sultan yang pernah menjabat di Buton tersebut. Selain
permukiman, jenis penggunaan lahan lainnya di kawasan benteng keraton antara
lain, perkantoran, perdagangan dan jasa, ruang terbuka hijau (RTH) serta fasilitas
umum lainnya. Sarana pendidikan yang terdapat di kawasan studi antara lain
Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak serta sarana kesehatan berupa posyandu.
21

Tabel.1
Penggunaan Lahan di Kelurahan Mela
NO
JENIS PENGGUNAAN
LUAS (Ha)
.
LAHAN
1
Permukiman
2
Perkantoran
3
Perdagangan dan Jasa
4
RTH dan Makam
5
Fasilitas Umum Lainnya
TOTAL
Sumber: Monografi Kelurahan Melai tahun 2012

17.0
0.4
0.8
4.38
0.8
23.38

LUAS (Ha)

3%
19%

Permukiman

Perkantoran

Perdagangan dan Jasa

RTH dan M akam

3%
2%

73%

Sumber: Monografi Kelurahan Melai tahun 2012

22

Fasilitas

Pemukiman penduduk mengikuti arah jalan yang melingkar benteng dan


beberapa jalan yang menghubungkan antara lingkungan. Rumah-rumah penduduk
saling berhadapan mengikuti jalan raya, dengan lorong-lorong dan jalan setapak
di tiap-tiap lingkungan. Rumah penduduk sebagian besar rumah panggung dengan
tipe tradisional rumah adat Buton (bentuk Kamali, banua Tada, rumah biasa).
Namun ada beberapa rumah penduduk yang menambahkan bangunan rumahnya
berupa rumah batu di kolong dan bagian dapur.
A. Permukiman
23

Penggunaan lahan di kawasan benteng keraton Buton didominasi oleh


permukiman (73%). Permukiman di kawasan benteng keraton Buton memiliki
pola grid. Pemukiman penduduk mengikuti arah jalan yang melingkar benteng
dan beberapa jalan yang menghubungkan antara lingkungan. Rumah-rumah
penduduk saling berhadapan mengikuti jalan raya, dengan lorong-lorong dan jalan
setapak di tiap-tiap lingkungan. Rumah penduduk sebagian besar rumah panggung
dengan tipe tradisional rumah adat Buton (bentuk Kamali, banua Tada, rumah
biasa). Namun ada beberapa rumah penduduk yang menambahkan bangunan
rumahnya berupa rumah batu di kolong dan bagian dapur.
Bentuk arsitektur rumah tinggal di lingkungan benteng keraton Buton
merupakan bentuk arsitektur rumah panggung. Pembangunan rumah tinggal
tradisonal Buton dengan segala bentuk dan ornamennya diturunkan secara turun
temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang, serta masih tetap bertahan
sebagai bangunan fungsional masa kini. Komunitas suku Buton mengenal
tingkatan sosial dalam masyarakat yaitu golongan Kaomu (bangsawan) dan
golongan Walaka (masyarakat biasa) berada di dalam kawasan benteng kraton dan
golongan papara berada di luar benteng keraton. Masyarakat Buton memberikan
sebutan rumah Kaomu adalah Kamali atau banua tada kambero sedang rumah
aparat kesultanan hanya disebut banua tada kambero bukan kamali.
Ada tiga macam bentuk bangunan rumah tradisional Buton berdasarkan
tingkatan sosial dalam masyarakat yaitu :
(1) Banua tada dengan bentuk kambero, rumah untuk para pejabat kesultanan,
(2) Banua tada, rumah untuk golongan walaka (masyarakat biasa) dan
(3) Kamali atau Malige, rumah untuk golongan Kaomu (Bangsawan). Kamali
merupakan tempat tinggal sultan, sedangkan Malige merupakan rumah yang
memiliki atap bersusun dan merupakan rumah tempat tinggal kaum
bangsawan (kaomu).
a. Karakteristik bangunan kuno
Bangunan kuno-bersejarah di Kawasan Benteng Keraton Buton memiliki
gaya arsitektur tradisional Buton. Usia bangunan di wilayah studi berkisar
antara 59 hingga 400 tahun.

24

Gambar 7. Rumah Sultan ke 32


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016

Gambar 8 Rumah Permaisuri Sultan ke 32


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
b. Prasarana Permukiman
Sebagai suatu permukiman, prasarana permukiman menjadi faktor untuk
melayani kebutuhan masyarakatnya. Prasarana yang ada di Kelurahan
Melai dapat di uraikan sebagai berikut:

25

1) Prasarana jalan, jalan berupa jalan aspal yang mengelilingi benteng


juga menghubungan antar RT/RW.
2) Prasarana Persampahan, pada bagian-bagian tertentu telah di
tempatkan TPS yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh Dinas
Kebersihan.
3) Prasarana Air Bersih, berupa jaringan air bersih yang di kelola oleh
PDAM.
4) Prasarana Telekomunikasi, berupa jaringan telepon dari Perumtel
dan jaringan telepon Seluler.
5) Prasarana Listrik, berupa jaringan listrik yang dikelola PLN.
6) Prasarana Sanitasi, semua rumah telah memiliki fasilitas sanitasi.
7) Drainase, saluran drainase belum keselurahan hanya berada
dibagian jalan utama hal ini disebabkan oleh kondisi topografi
Kelurahan Melai yang berada di ketinggian dengan kondisi tanah
yang cepat menyerap air hujan.

Gambar 9 Sarana dan Prasaran dalam Benteng


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
26

B. Perkantoran
Penggunaan lahan pada kawasan perkantoran di Benteng Keraton Buton
adalah (2%) dari lahan yang ada. Perkantoran yang terdapat di kawasan benteng
keraton Buton yaitu kantor Kelurahan Melai dan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Baubau.

Gambar 10. Kantor Kelurahan Melai dan Dinas Kebudayaan & Pariwisata
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016
Kelurahan Melai dibagi dalam 3 lingkungan yakni Lingkungan Baaluwu,
Lingkungan Dete, dan Lingkungan Peropa. Dalam 3 lingkungan tersebut, wilayah
ini dibagi ke dalam 9 Rukun Tetangga (RT) yang masing-masing lingkungan
terdapat 3 RT.
C. Perdagangan dan jasa

27

Dalam benteng keraton Buton hanya terdapat beberapa rumah warga yang
sebagian rumahnya digunakan sebagai warung-warung kecil yang menyediakan
makanan-makanan ringan. Tidak terdapat bangunan-bangunan utuh yang
digunakan sebagai tempat perdagangan. Menurut Crew Media Center yang di
wawancarai, mengatakan bahwa bangunan-bangunan yang berada di dalam
benteng keraton Buton ini merupakan bangunan bersejarah yang tidak dapat dialih
fungsikan tanpa melakukan perundingan dengan tetua-tetua yang berada di tempat
tersebut.
Untuk lahan yang digunakan sebagai jasa terdapat di depan pintu masuk
benteng. Bangunan tersebut berupa rumah warga yang dimultifungsikan sebagai
berupa print dan fotocopy. Salahsatunya yaitu Media Center yang merupakan
tempat yang menyediakan informasi mengenai benteng keraton Buton. Di tempat
ini terdapat beberapa crew yang bertugas untuk memberikan informasi kepada
pendatang yang berkunjung ke tempat ini.

Gambar 11 Media Center


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016

28

Gambar 12 Warung Kecil di Rumah Warga


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
D. RTH dan Makam
Dalam benteng keraton Buton terdapat beberapa titik ruang terbuka publik
yang terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau berupa lapangan.
Lingkage dalam benteng keraton Buton dibentuk oleh pola jaringan jalan, jalur
pedestrian, dan ruang terbuka hijau yang berbentuk segaris. Lingkage di dalam
benteng dibentuk oleh ruang terbuka yang berbentuk segaris berupa deretan pohon
di sepanjang jalan di dalam benteng. Sedangkan untuk jalur pedestrian, terdapat
jalur pedestrian disepanjang jalan pada sisi kanan. Kondisi jalur pedestrian
tersebut cukup baik sehingga dapat memberikan kenyamanan dan keamanan bagi
para pengunjung yang kebanyakan berjalan kaki untuk menikmati dan mengamati
keadaan benteng keraton Buton tersebut.

29

1. Ruang Terbuka Publik

30

Gambar13. Ruang Publik Yaroana Masigi


Ruang publik Yaroana Masigi berada di dalam kawasan permukiman
tradisional Buton yang keberadaanya dikeliling oleh benteng, dan merupakan
area paling terdepan dari permukiman. Ketika memasuki gerbang masuk
permukiman, area ruang publik Yaroana Masigi ini bisa langsung terlihat.
Halaman ini terletak ditengah-tengah di antara Masjid, Baruga dan Batu
Popaua, dengan luasan 1000m2. Halaman ini dipergunakan sebagai ruang
untuk mengumpulkan warga, mengabarkan sesuatu, ritual adat, menyambut
tamu kesultanan, tempat prosesi pelantikan, mengumpulkan warga untuk
melihat prosesi pelantikan. Secara fisik menurut penuturan budayawan
setempat yang juga warga dikelurahan Melai, bahwa di zaman dahulu halaman
Yaroana merupakan halaman berumput, dan saat ini halaman tersebut telah
diberi perkerasan berupa paving blok.

31

Gambar 14. RTH berupa taman


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
Terdiri dari ruang terbuka halaman ditengah-tengah, Batu Popaua (batu
pelantikan sultan) yang berada di Utara , Baruga (Balai pertemuan) disisi Timur
berhadapan langsung dengan ruang terbuka dan masjid, Masjid Agung Keraton
yang berada disisi Barat ruang terbuka, Kasulana Tombi (Tiang bendera
kesultanan) yang berdiri disamping masjid, jangkar yang berada disisi Utara,
Makam Sultan Murhum beserta Batu Wolio yang berada disisi timur. Berikut
merupakan penjelasan mengenai obyek maupun bangunan di kawasan Yaroana
Masigi :
a) Batu Popaua (batu pelantikan sultan) yang berada di Utara,
Batu Popaua disebut juga batu ponu karena bentuknya yang
menyerupai punggung penyu, letaknya di depan Masjid Agung Keraton.
Setiap

raja/sultan

Buton

dilantik

di

tempat

ini

oleh

patalimbona/Siolimbona (dewan legislatif pada masa itu). Kondisi saat ini


cukup terawat dimana sudah diberi pembatas disekelilingnya, disekitaran
batu pelantikan ini juga sudah menjadi keramik yang sebelumnya hanya
berupa semen biasa, Batu Popaua juga sudah diberi pelindung berupa atap.

Gambar 15. Batu Popaua

32

Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016


b) Baruga (Balai pertemuan) disisi Timur berhadapan langsung dengan ruang
terbuka dan masjid,
Pada masa kini baruga sering dijadikan tempat diselenggarakannya
seminar-seminar kebudayaan. Kondisi Baruga saat ini selain sudah lebih
modern dengan lantai keramik dan tiang beton juga diketahui telah
mengalami beberapa perubahan bentuk material maupun arsitektural. Dari
wawancara dengan budayawan setempat yaitu Imran Kudus mengatakan
bahwa bentuk Baruga yang dibangun oleh pemerintah sekarang tidak
sesuai dengan arsitektur Baruga yang seharusnya, terutama pada bentuk
atap serta desain lantai.

Gambar 16. Baruga


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
Bentuk Baruga di zaman kesultanan yang pernah disinggung dalam
riwayat lisan orang-orang tua terdahulu disebutkan tidak beratap lapis
seperti sekarang, karena atap lapis merupakan simbol dari kepemilikan
sultan seperti yang terlihat pada bentuk rumah-rumah sultan yang
semuanya beratap lapis, sedangkan atap Baruga cuma satu saja sebagai
perwujudan kepemilikan bersama sesuai fungsinya sebagai tempat
musyawarah dan berkumpulnya masyarakat. Selain bentuk atap, juga
bentuk lantai yang saat ini menggunakan keramik dan menyatu dengan

33

tanah, padahal menurut riwayat lisan bahwa bentuk lantai Baruga adalah
berbentuk panggung.
Perubahan besar yang terjadi pada Baruga ini sempat menjadi alasan
masyarakat di kelurahan Melai merubah beberapa bagian rumah
tradisionalnya menjadi modern.
c) Masjid Agung Keraton yang berada disisi Barat ruang terbuka,
Masjid berada di tengah-tengah kawasan, menjadi zona inti dan
landmark kawasan Benteng Keraton, dengan halaman yang luas, dengan
tiang bendera kesultanan masih berdiri utuh di sampingnnya. Secara fisik
kondisi masjid masih terawat, fungsinya juga belum berubah sejak masa
kesultanan hingga saat ini.
Fisik dinding masjid terbuat dari tembok batu yang disusun rapi
dengan pewarna putih masih menggunakan batu kapur, material lantai
berupa marmer, dan atap terbuat dari material seng berbentuk limas dua
tingkat. Masjid dengan ukuran 20 x 20 Meter ini sampai sekarang tetap
digunakan sebagai tempat beribadah dan juga sebagi pendidikan Islam
bagi masyarakat sekitar. Sejak didirikan, Masjid Agung Keraton Buton
telah mengalami perubahan sebanyak 5 kali. Kelima renovasi yang
dilakukan tersebut tidak mengubah bentuk asli Masjid Agung Keraton
Buton.

Gambar 17 Mesjid Agung Keraton Buton


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016

34

Terdapat 12 pintu masuk ke dalam masjid yang salah satu di


antaranya berfungsi sebagai pintu utama. Pada bagian depan masjid di
sebelah timur masjid, terdapat serambi terbuka kayu yang digunakan untuk
membangun masjid berjumlah 313 potong sesuai dengan jumlah tulang
pada manusia. Jumlah anak tangga masuk masjid 17 buah, sama dengan
jumlah rakaat salat dalam sehari. Bedug masjid yang berukuran panjang 99
cm dianalogikan dengan asmaul husna dan diameter 50 cm dimaknai sama
dengan jumlah rakaat salat yang pertama kali diterima Rasulullah. Pasak
yang digunakan untuk mengencangkan bedug tersebut terdiri dari 33
potong kayu yang dianalogikan dengan jumlah bacaan tasbih sebanyak 33
kali. Di depan pintu utama di antara dua selasar terdapat sebuah guci
bergaris tengah 50 sentimeter dengan tinggi 60 sentimeter. Guci itu
terhujam ke lantai semen berlapis marmer. Guci tersebut telah ditempatkan
di situ sejak adanya masjid ini sebagai penampungan air untuk berwudu.
Adapun untuk ruang bagian dalamnya mampu menampung jamaah
dengan panjang saf 13, dan 40 orang persafnya. Masjid tidak memilik
plafon sehingga penghawaan udara langsung alami berasal dari sela-sela
antara dinding dan atap. Di dalam masjid terdapat sebuah mihrab dan
mimbar yang terletak secara berdampingan. Keduanya terbuat dari batu
bata yang di bagian atasnya terdapat hiasan dari kayu berukir corak
tumbuh-tumbuhan yang mirip dengan ukiran Arab.
d) Kasulana Tombi (Tiang bendera kesultanan) yang berdiri disamping
masjid, jangkar yang berada disisi Utara
Pada sisi sebelah utara bangunan masjid Keraton berdiri sebuah tiang
bendera yang ujungnya lebih tinggi dibanding puncak masjid. Tiang
bendera itu didirikan tidak lama setelah masjid dibangun. Kayu yang
digunakan untuk tiang bendera tersebut dibawa oleh pedagang beras dari
Pattani, Siam.

35

Gambar 18 Tiang Bendera Kesultanan


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016

Gambar 19 Jangkar Peninggalan


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
Masjid Keraton tidak memiliki menara layaknya masjid-masjid pada
umumnya, yang ada adalah tiang bendera yang berdiri disamping masjid.
Kasulana Tombi merupakan salah satu simbol identitas dari kesultanan
Buton yang menjadi tempat dikibarkannya bendera kesultanan. Tiang ini
berdiri tepat di sebelah Masjid Keraton. Keberadaannya masih utuh dan
bertahan, meski terlihat mulai sedikit miring. Didirikan pada abad ke-17

36

untuk mengibarkan Tombi (bendera) kerajaan Buton. Bahan dasarnya


terbuat dari kayu jati dengan tinggi 21 M dari permukaan tanah yang
berdiameter antara 25 cm hingga 70 cm. Fungsi utama tiang bendera ini
adalah sebuah syarat utama sebuah kerajaan. Saat ini permukaan tempat
pijakan tiang telah diberi perkerasan beton dan sekelilingnya dibiarkan
bebas tanpa dipagari.
e) Makam Sultan Murhum
Makam Sultan Murhum terletak di puncak bukit lele mangura.
Sultan Murhum merupakan raja ke VI dan Sultan Buton yang pertama.
Berdasarkan beberapa sumber, Murhum dilantik menjadi Sultan Buton I
pada tahun 948 Hijriah dan wafat pada tahun 1584 Masehi. Lokasi makam
Berada di sebelah timur masjid. Berada di dataran yang lebih tinggi. Jirat
makam diperbaiki pada tahun 1989, dibuatkan sarana jalan yang menuju
situs. Untuk mencapainya dapat menggunakan anak tangga yang
disediakan. Ada anak tangga juga yang disediakan di samping makam
untuk melihat sekeliling makam, namun tangga yang berada di samping
makam kurang terawatt, sehingga jarang digunakan.

Gambar 20 Makam Sultan Murhum


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
f) Batu Wolio

37

Batu Wolio berada di samping makam Sultan Murhum, batu setinggi


1m ini dapat mengeluarkan air pada waktu-waktu tertentu kecuali pada
musim

kemarau,

yang

dipergunakan

untuk

tempat

membasuh/

memandikan para raja dan sultan yang akan di lantik. Batu Wolio
diperkirakan telah ada bersamaan dengan periode keberadaan Batu
Popaua. Akses terhadap Batu Wolio sudah terkelola dengan baik sehingga
kondisinya fisiknya cukup baik dengan disediakannya pagar batu yang
mengelilingi obyek.

Gambar 21. Batu Wolio


Sumber: Dokumentasi Pribadi
2. Makam
Di dalam benteng keraton Buton terdapat titik-titik makam para
sultan. Namun, letak-letak para makam sultan tersebut tidak teratur, tidak ada
tempat atau lahan khusus yang digunakan warga setempat sebagai lahan
pemakaman. Menurut Crew Media Center, peletakan makam yang tidak
teratur disebabkan oleh tempat wafatnya sultan berbeda-beda. Menurutnya, di
mana pun sultan meninggal, di sekitar tempat itulah akan didirikan
makamnya. Selain itu, penanda yang menandakan bahwa tempat tersebut
merupakan sebuah makam juga sangat minim, beberapa makam hanya
dibuatkan dinding pembatas dari bebatuan yang serupa dengan benteng, dan
ada juga yang tidak dibuatkan pembatas. Hal ini menyebabkan sulitnya para
pengunjung mengetahui letak-letak makam sultan yang ingin dikunjungi.

38

Tetapi, untuk makam Sultan Murhun di buatkan tempat khusus. Makam


tersebut terletak di atas bukit dalam keraton dekat Mesjid Agung Keraton.

Gambar 22 Makam Sultan dan


Keturunannya
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016
E. Fasilitas Umum
Penggunaan lahan pada kawasan fasilitas umum dan lainnya di Benteng
Keraton Buton adalah (3%) dari lahan yang ada. Fasilitas umum diadakan
untuk kepentingan umum dan dapat dinikmati oleh masyarakat sekitar yang
merupakan fasilitas dasar yang dibutuhkan manusia untuk hidup misalnya,
toilet umum, tempat parkir, mesjid dan sebagainya. Namun fasilitas umum
yang ada didalam benteng Keraton ini sangatlah kurang karena terdapatnya
peraturan-peraturan yang mengikat jika ingin membangun pada kawasan
benteng tersebut dan sampai sekarang peraturan tersebut masih berlaku.
Fasilitas umum yang terdapat pada benteng yaitu Mesjid Agung Keraton,
itupun mesjid ini tidak dapat digunakan oleh masyarakat sekitar melainkan
oleh para toko agama atau orang yang dituakan serta ditinggikan oleh

39

masyarakat sekitar dan para sultan. Mesjid ini juga dapat digunakan oleh para
wisatawan yang datang berkunjung ke benteng tersebut.
F. Sirkulasi
a) Pola sirkulasi jaringan jalan
Pola sirkulasi di Kawasan Benteng Keraton Buton bercampur
menjadi satu pada ruas jalan yang ada antara pejalan kaki, kendaraan
(mobil dan sepeda motor) dan angkutan umum. Jalur sirkulasi utama dari
dan menuju kawasan adalah di jalan Labuke V, jalan Labuke IX dan jalan
Baadia. Kondisi sirkulasi pada hari-hari biasa tergolong lancar dan tidak
terjadi kemacetan, kecuali pada saat tertentu, yaitu pada saat hari raya Idul
fitri dan pada waktu dilaksanakan kegiatan budaya (upacata adat) terjadi
kemacetan pada beberapa ruas jalan, yaitu jalan Labuke I dan jalan
Labuke IX. Area parkir di Kawasan Benteng Keraton Buton sehari-hari
umumnya digunakan untuk parker kendaraan wisatawan yang berkunjung
ke kawasan dan parkir kendaraan masyarakat pada momen tertentu, yaitu
pada saat pelaksanaan kegiatan budaya (upacara adat) serta pada
pelaksanaan shalat idul fitri, hingga saat ini area parkir yang tersedia
masih mampu menampung kendaraan pengunjung maupun masyarakat.

40

b) Sistem Pergerakan Keraton


Sistem jaringan menuju Benteng Keraton Wolio beragam jenis, yaitu terdapat
jalan yang dapat dilalui kendaraan mobil ataupun motor dan jalan yang berukuran
kecil yang dapat dilalui hanya dengan berjalan kaki. Kondisi jaringan jalan yang
dapat dilalui angkutan umum sangat baik karena bermaterialkan aspal dan tidak

41

terdapat lubang terhadap jalan tersebut, tetapi saat membawa kendaraan


diusahakan sangat berhati-hati dikarenakan lokasi Benteng Keraton Wolio berada
di atas dataran yang tinggi sehingga jalan menuju ke benteng cukup terjang dan
terdapat beberapa jurang di pinggir jalan yang dapat menyebabkan kecelakaan
lalulintas.

Gambar 23. Kondisi Jalan diluar Benteng Keraton Wolio


Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016
Penempatan Benteng Keraton Wolio sebagai tempat wisata tidak jauh dari
pusat Kota Baubau. Namun bila ingin berjalan kaki menuju benteng ini cukup
melelahkan dikarenakan posisinya yang berada di dataran tinggi sehingga
membuat orang mudah kelelahan jika berjalan kaki. Jaringan jalan yang dilewati
untuk pejalan kaki dapat membahayakan dikarenakan aksesnya melewati
beberapa anak tangga yang licin, serta ada pula jalan bermaterialkan pasir merah
dan bebatuan sehingga saat musim hujan dapat menyebabkan jalan tersebut
menjadi licin, terdapat lumpur, serta genangan air sehingga membuat pejalan kaki
menjadi tidak nyaman melaluinya.

42

Gambar 24. Kondisi Jalan Pejalan Kaki di Benteng Keraton Wolio


Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016

Sistem kegiatan yang terdapat di Benteng Keraton Wolio yaitu kegiatan


sosial, ekonomi, dan kebudayaan dikarenakan benteng ini merupakan salah satu
situs bersejarah Kota Baubau sehingga lokasi ini dijadikan objek wisata bagi
masyarakat yang ingin berkunjung ke kota ini. Sebagai tempat wisata Benteng ini
memicu peningkatan permukiman di sekitarnya dikarenakan dapat menjadi salah
satu tempat meningkatkan perekonomian pribadi masyarakat ataupun sekelompok
atau komunitas masyarakat. Jika terjadinya perubahan pada sistem kegiatan akan
mempengaruhi sistem jaringan melalui perubahan pada tingkat pelayanan pada
sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan akan dapat
mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas
dari sistem pergerakan tersebut.
Di dalam Benteng Keraton Wolio tidak terdapat kendaraan umum. Jika
ingin mengelilingi benteng secara keseluruhan harus membawa kendaraan pribadi
ataupun berjalan kaki untuk melihat keindahan benteng. Hal ini menyebabkan
kurangnya aktifitas di dalam benteng karena keterbatasan kendaraan serta tata
guna lahan di dalam benteng banyak hunian sehingga masyarakatnya banyak
beraktivitas di luar benteng saat pagi sampai sore hari. Benteng Keraton Wolio
termasuk pusat bangkitan dikarenakan jenis tata guna lahan didominasikan oleh
hunian atau permukiman.

43

Gambar 25. Kondisi Jalan dalam Benteng Keraton Wolio


Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016
Pusat pelayanan Kota Baubau berada di Kecamatan Wolio. Adapun sub
pusat pelayanan berada tidak berada jauh dari Benteng Keraton Buton. Letak
pusat-pusat kegiatan tersebut, menciptakan suatu pola pergerakan.Selain itu,
peningkatan penduduk akan diiringi peningkatan kebutuhan lahan yang memicu
pergeseran pembangunan pada lahan kosong yang ada pada kawasan perbukitan.
Pertumbuhan penduduk dapat terus meningkat, melihat Kota Baubau yang juga
terus mengalami perkembangan di berbagai sektor. Hal ini mulai terlihat dengan
pemindahan Rumah Sakit Umum Kota Baubau dan Kantor Walikota Baubau yang
terletak berdekatan dengan Benteng Keraton Buton. Pergeseran perkembangan ini
mengakibatkan Kawasan Benteng Keraton Buton menjadi salah satu jalur ramai
penghubung pusat-pusat kegiatan.
G. Shape and Form Benteng Keraton Buton
a. Shape pada Benteng Keraton Buton
Benteng Keraton Buton berbentuk huruf dal yang merupakan
huruf terakhir dari kata Nabi Muhammad, disamping itu terdapat
Benteng Sorawolio yang berbentuk huruf alif yang merupakan huruf
awal dari kata Allah. Dan banyak lainnya. Gaya Eropa pada benteng
Kesultanan Buton dapat ditemukan dengan adanya beberapa Bastion
pada benteng Kesultanan Buton. Benteng Keraton Buton yang dibangun

44

oleh masyarakat Buton pada abad Ke-16 M syarat dengan simbol Islam
dan dibeberapa titik bergaya Eropa. Benteng ini luasnya mencapai 23,375
hektar dengan panjang keliling 2,7 km. Benteng ini memiliki 12 pintu
gerbang dengan satu pintu tersembunyi yang konon jadi tempat
persembunyian Arung Palakka.
Pola yang terbentuk pada kawasan Benteng Keraton yaitu
membentuk pola radial, dimana pola radial tersebut merupakan jaringan
jalan yang berpusat pada pusat kota yang dihubungkan dengan jalan-jalan
radial, biasanya cocok untuk kota kecil dan menjadi tidak layak untuk
dikembangkan di kota-kota besar.
Untuk kawasan keraton sendiri, yang menjadi pusat yaitu Mesjid
Agung Keraton Buton (Masigi Ogena) dimana saling terhubung 12 pintu
gerbang yang merupakan pintu masuk wisatan yang ingin berkunjung
dan juga masyarakat di dalam maupun luar benteng.
Oleh karena sifatnya yang terpusat, bentuk-bentuk tersebut sangat
ideal

sebagai

struktur

yang

berdiri

sendiri,

dikelilingi

oleh

lingkungannya, mendominasi sebuah titi didalam ruang, atau menempati


pusat suatu bidang tertentu. Bentuk ini dapat menjadi symbol tempattempat yang suci atau penuh penghormatan atau untuk mengenang
kebesaran seseorang atau suatu peristiwa contoh Mesjid Agung Keraton
tersebut.
b. Form pada Benteng Keraton Buton
Berdasarkan koridor jalan yang terdapat pada wilayah Benteng
Keraton Buton, dimana jika dilihat secara visual dari eksisting dan
wawancara masyarakat setempat, yaitu jalanannya terbentuk dari
bangunan dengan ketinggian dan batas tertentu dari jalan. Menurut La
Ode Sahiku yang merupakan cucu ke 2 yang tinggal di dalam Keraton
pada Kamali Bara mengatakan, pola pembangunan dalam benteng
Keraton ini mengikuti atau menghadap langsung ke jalan karena ada
aturan-aturan yang mengikat.
Karakter visual koridor jalan dibentuk dari elemen tata guna lahan,
bentuk dan massa bangunan, sirkulasi dan pola parkir, pola aktivitas,
vegetasi, penanda, jalur pejalan kaki.

45

Karakter visual koridor jalan pada benteng mempunyai citra khas


yang dominan dibentuk berdasarkan elemen bentuk dan bangunan
tradisional Buton yang terbentuk dari perkembangan pembangunan
kawasan Keraton, baik yang direncanakan oleh pemerintah maupun
masyarakat sendiri.

5.4 GAMBARAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN TRADISIONAL


Terbentuknya permukiman tiap masa pemerintahan mempunyai bentuk dan
ciri yang berbeda, namun pertalian hubungan antara bentuk dan ciri rumah

46

mempunyai pertalian yang tidak dapat dipisahkan sejak awal terbentuknya


permukiman tersebut. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Masa sebelum kerajaan, bentuk rumah berupa rumah panggung dengan cirri
rumah ditentukan oleh asal kelompok yang membangun rumah tersebut.
Kelompok-kelompok ini berasal dari Arab, Melayu, Muangthai, Jawa, Cina
dan Mongol.
b. Masa Kerajaan Buton, bentuk rumah yang dibangun berasal dari perpaduan
bentuk dan ciri rumah dari beberapa kelompok, ini terjadi setelah bersatunya
kelompok tersebut melalui perkawinan. Ciri budaya Islam sudah mulai
berpengaruh ditandai dengan berubahnya Status Kerajaan Buton menjadi
Kesultanan Buton.
c. Masa Kesultanan Buton-Tahun 1960, bentuk dan ciri rumah telah ditetapkan
secara jelas dan tegas di dalam Undang-undang dasar Kesultanan Buton yang
terbagi atas tiga bentuk yaitu rumah kediaman Sultan (Kamali/Malige),
rumah tinggal Pejabat Kesultanan (Banua Kambero) dan rumah tinggal
masyarakat umum (Banua Tada). Bentuk dan ciri rumah disesuaikan dengan
Status Sosial penghuni di masyarakat.
d. Masa Pemerintahan Kabupaten Buton (Tahun 1960-2001), bentuk dan cirri
rumah seperti masa Kesultanan Buton yang kepemilikannya dilakukan secara
turun temurun. Pada masa ini Kamali/Malige tidak dibangun lagi, yang ada
berupa pembangunan rumah bentuk Banua Kambero dan Banua Tada.
Bentuk rumah yang dibangun mulai beralih dari status sosial menjadi status
social ekonomi penghuninya.

47

e. Masa Pemerintahan Kota Bau-Bau (Tahun 2001- Sekarang), bentuk dan


ciri rumah seperti masa Kesultanan Buton dan masa pemerintahan
Kabupaten Buton yang kepemilikannya dilakukan secara turun temurun.
Pada masa ini diadakan renovasi Kamali/Malige, revitalisasi benteng
Kesultanan Buton yang mulai rusak karena dimakan usia, pembangunan
rumah baru yang dibangun oleh masyarakat berupa Banua Kambero dan
Banua Tada. Bentuk rumah yang dibangun mulai beralih dari status sosial
menjadi status sosial ekonomi penghuninya.

48

A. Hak Kepemilihan Tanah Mengekang Pemindahan Hak


Sebagai daerah kesultanan, pemerintahan Kesultanan Buton mempunyai
aturan yang jelas dalam mengatur dan menata rakyat, baik itu dalam bidang
pemerintahan, perdagangan dan ekonomi, agama dan kepercayaan serta sosial
budayanya. Pemanfaatan lahan atau tanah diwilayah Kesultanan Buton diatur oleh
syarat Kesultanan yang dipimpin oleh Sapati. Penguasaan lahan di Kesultanan
Buton berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Di Kesultanan Buton tanah tidak
di kuasai oleh Raja atau Sultan beserta keturunannya tapi dikuasai oleh Kerajaan
atau Kesultanan. Jika Sultan wafat, dipecat atau diganti maka semua kekuasaan
kembali kepada lembaga atau dewan masyarakat dengan nama Siolimbona.
Masyarakat atau pejabat kesultanan yang ingin memanfaatkan tanah atau
membangun rumah harus mengajukan izin kepada Sultan melalui Syarat
Kesultanan. Sultan tidak serta merta langsung mengabulkannya namun Sultan
berkonsultasi terlebih dahulu dengan Siolimbona, setelah di sepakati maka Sultan
menyampaikan kepada Sipemohon bahwa permohonannya telah disetujui. Sultan
mempunyai kewenangan untuk menentukan lokasi, luas lahan dan pemanfaatan
lahan. Kesepakatan ini di catat dalam dokumen Kesultanan yang dalam
pelaksanannya dilaksanakan dan diawasi oleh Sapati. Dalam pemanfaatan tanah,
jika masyarakat yang telah diberi kewenangan untuk memanfaatkan tanah tersebut
tidak memanfaatkan dan bahkan menelantarkannya maka tanah tersebut diambil
kembali oleh Kesultanan. Untuk pemanfaatan lahan di pusat kesultanan atau
dalam area benteng, lahan hanya diizinkan untuk pembangunan rumah sebagai
tempat tinggal. Sesuai dengan Undang-undang Kesultanan Buton ditetapkan
bahwa semua pejabat Kesultanan Buton berhak membangun rumah dalam benteng
kecuali Sapati (yang dalam struktur kesultanan pangkatnya setingkat dibawah
Sultan) yang bertugas sebagai Pimpinan Pemerintahan, Pembangunan, Keamanan
dan Pengadilan.
Status lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat atau pejabat kesultanan
bersifat hak pakai, jika sewaktu-waktu tanah dimanfaatkan untuk kepentingan
Kesultanan atau kepentingan umum maka secara langsung pihak Kesultanan dapat

49

menggunakan lahan tersebut namun sebelumnya disampaikan terlebih dahulu


kepada pengguna lahan. Jika tanah yang diambil kembali pihak kesultanan
terdapat rumah tinggal di atasnya, pihak kesultanan memberi kesempatan kepada
pemilik rumah untuk memindahkan rumahnya yang terlebih dahulu lokasi tanah
pengganti telah disiapkan. Status kepemilikan tanah yang dimiliki dan dipakai
oleh pemakai tanah pada masa Kesultanan Buton sampai saat ini adalah sebagai
hak pakai bukan sebagai hak milik. Lokasi, ukuran tanah dan peruntukannya
ditentukan oleh Kesultanan. Dengan status hak pakai tersebut, kepemilikan tanah
tidak dapat dialihkan penggunaannya kepada pihak lain tanpa ada persetujuan
dari Kesultanan. Ini membuktikan bahwa dengan status tanah sebagai hak pakai
menjadi kontrol perubahan atas semua bangunan diatasnya termasuk rumah.
B. Hak Kepemilikan Rumah Secara Turun Temurun
Setiap rumah yang dibangun peruntukannya sebagai tempat tinggal dan
menjadi tempat istirahat. Pembangunan rumah diharapakan dapat ditempati untuk
hari tua penghuninya dan dapat dinikmatilah oleh anak cucunya. Sesuai kebiasaan
masyarakat di Buton, mereka membangun rumah sebagai tempat berteduh dan
beristirahat serta sebagai tempat membina keluarga. Hal yang sangat mereka
harapkan adalah rumah itu dibangun agar kelak dihari tuanya menjelang ajal,
mereka dapat meninggal dengan tenang dirumah pribadinya. Jika penghuni
awalnya telah meninggal dunia, rumah tersebut diwariskan kepada anaknya baik
itu anak laki-laki ataupun anak perempuan. Siapa saja yang telah berkeluarga dan
belum memiliki rumah dapat tinggal sebagaimana saudara-saudaranya yang lain.
Status penguasaan rumah sementara dilakukan dengan cara musyawarah siapa
yang akan menempati sementara rumah tersebut.
Untuk menjaga keutuhan dan kelestarinya rumah yang dibangun dari
gilasan arsitektur modern, para orang tua biasanya mengatakan kepada anakanaknya yang hendak membangun rumah dengan ungkapan: Kalau mau tetap
tinggal di sini, buatlah rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada.
Kalau ingin membangun rumah permanen seperti rumah-rumah di kampong lain
pada umumnya, silakan keluar dari kampung ini. Demikianlah cara orang Buton

50

menjaga eksistensi rumah warisan leluhurnya, yaitu dengan cara melembagakan


dan mentransmisikan pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Pengaturan atas kepemilihan rumah dimulai sejak rumah dibangun, yang
diawali dengan izin pemanfaatan tanah melalui Kesultanan. Rumah yang
dibangun menjadi hak milik sepenuhnya yang membangun rumah dan diwariskan
secara turun temurun. Status rumah warisan ini tidak ada yang memiliki secara
penuh oleh ahli warisnya, jadi hanya sebagai hak pakai oleh ahli warisnya, namun
kepemilikan rumah dapat menjadi hal milik jika semua ahli waris sepakat bahwa
salah satu ahli waris dapat memilikinya setelah ada penggantian biaya pembuatan
rumah. Sehingga disimpulkan bahwa status kepemilikan rumah menjadikan
control bertahannya rumah tradisional di Benteng Keraton.
C. Bentuk-Bentuk dan Ciri Khas Rumah di Benteng Keraton
a) Malige/Kamali sebagai Rumah Sultan
Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Kesultanan Buton dan
juga sebagai simbol kesejahteraan masyarakatnya, dalam pembuatan rumah
kediamannya tentu harus mencirikan kebesaran dan kehormatannya. Di
Kesultanan Buton, Sultan sebagai pemimpin pemerintahan, pimpinan Agama,
pelindung dan pengayom rakyat. Jabatan yang diembannya ini di tuangkan dalam
pembangunan rumah kediamannya. Rumah tinggal Sultan yang disebut Kamali
atau Malige mempunyai bentuk dan ciri rumah utama yaitu :
1) Bentuk atap yang bersusun dengan jarak yang rengga menandakan bahwa
Sultan adalah Pemerintah, pimpinan agama dan pengayom masyarakat.
2) Jumlah petak rumah berjumlah lima, tujuh ataupun sembilan yang
jumlahnya harus ganjil. Ini dianalogikan bahwa Sultan sebagai pemimpin
agama harus menjalankan pemerintahan sesuai dengan ajaran agama Islam,
maksud dari lima petak dianalogikan dengan rukun Islam, tujuh
dianalogikan Surat Alfatiha dan susunan langit tujuh lapis.
3) Adanya tiang-tiang penyangga di kiri kanan rumah yang disebut kambero
4) Bentuk lantai rumah yang ditinggikan disebelah kanan rumah dan semakin
kebelakang semakin tinggi yang dianalogikan sebagai posisi orang waktu
sembahyang.

51

5) Pada bagian atas rumah terdapat simbol Nenas dan Naga, nenas ini
merupakan simbol kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat, sedangkan
Naga menyimbolkan kekuasaan pemerintah dan mengisahkan asal-usul
leluhur Buton dari daratan Cina (Raja Pertama Buton Wakaaka)
6) Adanya ruang teras didepan sebagai tempat menerima tamu yang
menyimbolkan transparan Sultan bagi rakyatnya.
7) Guci yang diletakkan di depan rumah sebagai tempat air, yang
menyimbolkan kesucian bahwa siapa saja yang memasuki rumah hatinya
telah suci. Fungsi dan makna simbolis pada bangunan Kamali/Malige
dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat secara keseluruhan tentang
konsep tasawuf (Martabat Tujuh), yang menganggap bahwa pemilik
Kamali/Malige dalam hal ini Sultan adalah replikasi dari wajah Tuhan
(Allah) yang wujudnya dianalogikan dalam bentuk arsitektur rumahnya
(istananya) baik yang bersifat konstruksi maupun dekorasi. Bentuk lantai
dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan keagungan Sultan.
Bentuk tersebut juga menggambarkan fungsi Sultan sebagai pimpinan
agama, pimpinan kesultanan serta pengayom dan pelindung rakyat.

Gambar 26. Denah Kamali/Malige


b) Banua Kambero Sebagai Rumah Pejabat Kesultanan
Pejabat Kesultanan yang merupakan pembantu-pembantu Sultan dalam
melaksanakan tugas pemerintahan di dalam Undang-undang Kesultanan Buton
(Martabat Tujuh) telah diatur fungsi dan kedudukannya. Bentuk rumah Pejabat
52

Kesultanan tidaklah sama bentuk dan ornamennya tergantung seberapa besar


jabatannya dalam pemerintahan, contoh rumah siolimbona beda dengan rumah
bonto. Sebagaimana kedudukannya didalam pemerintahan, dalam pembangunan
rumah tinggal para pejabat Kesultanan, bentuk dan simbol yang terdapat pada
konstruksi rumah ditidaklah sama antara pejabat yang satu dengan yang lain
tergantung jabatannya.
Secara garis besar bentuk dan dan ciri khas konstruksi rumah Pejabat Kesultanan
atau Banua Kambero yaitu :
1. Bentuk atap bersusun dua sebagai simbol pembantu sultan dan
pengayom rakyat.
2. Jumlah petak rumah 3-5 petak.
3. Ornamen-ornamen sebagian besar sama dengan rumah untuk Sultan,
namun simbol yang tidak diperbolehkan yaitu ornamen Naga.
4. Adanya penambahan teras di depan rumah sebagai tempat menerima
tamu dan sebagai tempat untuk mengintai gerak gerik masyarakat, ini
khusus untuk pejabat Bonto Ogena.
5. Bentuk lantai rumah yang ditinggikan disebelah kanan rumah dan
semakin kebelakang semakin tinggi yang dianalogikan sebagai posisi
orang waktu sembayang.
Bentuk-bentuk rumah serta ornamen-ornamen yang melekat dikontruksi
rumah Pejabat Kesultanan ini tidak sama antara pejabat Kesultanan, semakin
tinggi jabatan pemilik rumah di Kesultanan semakin besar bentuk rumah dan
semakin banyak ornamen yang melekat dikonstruksinya.

53

Gambar 27. Denah Banua Kambero


c.

Banua Tada sebagai Rumah Masyarakat


Awal terbentuknya permukiman Wolio di Baluwu dan Peropa dimulai

dengan terbangunnya rumah-rumah panggung, sebagai pendatang bentuk rumah


yang dibangun masih sangat sederhana yang kemudian rumah tersebut dikenal
sebagai Banua Tada yang kemudian dijadikan bentuk rumah masyarakat umum
pada masa Kerajaan dan Kesultanan Buton. dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)

Jumlah petak rumah dua atau 3 petak.


Tidak ada simbol-simbol pada bangunan rumah.
Atap rumah satu susun.
Guci di tempatkan depan rumah

Dengan bentuk yang sangat sederhana, penghuni banua tada tidak


mempermasalakan bentuk rumah dan ornamen yang melekat dikontruksi rumah
mereka. Masyarakat yang menempati rumah tersebut umumnya mempunyai
pekerjaan sebagai petani, buruh, tukang kayu, tukang batu ataupun nelayan.
Harapan mereka dapat tinggal dengan tenang dan kehidupannya dapat berjalan
dengan damai dan aman di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Jumlah rumah
ini di dalam benteng Keraton Buton tidak banyak dan saat ini jumlah mulai
berkurang di ganti dengan bentuk rumah yang menyerupai bentuk rumah pejabat.
Bentuk dan ciri Banua tada yang sederhana dan hanya satu macam saja,
menandakan status sosial masyarkat kebanyakan atau masyarakat umum.

Gambar 28. Denah Banua Tada

54

55

Anda mungkin juga menyukai