Disusun Oleh :
Siswono Burhan
D52114005
D52114025
D52114309
D52114310
D52114501
D52114505
BAB V
KONDISI BENTENG KERATON BUTON
5.1 LAND USE SEBELUM ADA BENTENG KERATON BUTON
5.1.1 Masa Sebelum Kerajaan (Era Mia Patamiana)
Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali
dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui,
Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari
Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke12. Dalam perkembangannya 4
tokoh ini membangun perkampungan-perkampungan di wilayah mereka masingmasing, salah satunya dengan membuka lahan dan memotong pohon-pohon yang
berada di wilayah yang ingin mereka perluas untuk membuat perkampungan.
Tidak berapa lama, Sipanjonga, Sitamanajo, Simalui dan Sijawangkati yang telah
menempati 4 wilayah yang berbeda satu sama lain, mereka hidup berpindahpindah dan memperluas wilayah hingga saling bertemu. Dari sini mereka saling
bertemu dan saling menjalin hubungan, salah satunya dengan cara perkawinan.
Sipanjonga yang disebutkan merupakan salah satu pemimpin kelompok yang
paling disegani, menikah dengan Sibaana yang merupakaan saudara Simalui, dan
melahirkan anak yang bernama Betoambari. Dari hubungan kekerabatan yang
terjalin erat, mereka melakukan musyawarah dan membuat suatu kesepakatan.
Dalam
musyawarah
diputuskan,
bahwa
mereka
akan
membuat
Siompu dan Baluwu yang dimana mesjid agung keraton dan balai pertemuan
berada, kawasan ini menjadi pusat pemerintahan dan pusat penyebaran agama
islam Kesultanan Buton. Kawasan Baluwu juga menjadi kawasan perdagangan
yang dimana di kawasan ini terdapat pasar yang dijadikan roda ekonomi para
kaum papara. Kawasan Rakia menjadi pusat permukiman kesultanan dan kawasan
lainnya menjadi kawasan permukiman para kaum walaka.
Pada masa pemerintahan Sultan Kaimuddin mulai membangun bastion
namun pada saat bastion-bastion tersebut hampir seluruhnya selesai dibangun
terjadi suatu permasalahan di Buton sehingga penyelesaian pembangunannya
terpaksa ditunda. Pembangunan bastion tersebut kemudian dilanjutkan oleh Sultan
Buton ke IV yaitu Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Didirikan Bastion-bastion yang
dibangun tersebut membentuk formasi dengan mengelilingi lokasi permukiman
termasuk di dalamnya rumah tempat tinggal Sultan dan para petinggi Kesultanan
Buton. Setiap bastion dilengkapi dengan meriam-meriam buatan Eropa yang
dibeli dari kapal pedagang asing yang singgah di Buton. Di periode yang sama
tepatnya pada tahun 1610 bangunan yang bernama Baruga di bangun dalam
rangka menjadi wadah fisik untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat dan tempat
bermusyawarah.
Pembangunan benteng keseluruhannya selesai pada masa pemerintahan
Sultan Buton ke VI yaitu Sultan Gafurul Wadudu. Untuk mempercepat
penyelesaian benteng Sultan Gafurul wadudu mewajibkan seluruh rakyat Buton
untuk ikut berpartisipasi membantu penyelesaian pembangunan tembok benteng
yang menghubungkan semua bastionnya. Pada masa itu (dalam rentang waktu 10
tahun) angka kelahiran di Buton sangat rendah karena semua laki-laki dewasa dan
sehat harus bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan pembangunan benteng.
Saat itu Sultan Gafurul Wadudu mendapat teguran dari Siolimbona (dewan
legislatif di Kesultanan Buton) untuk menghentikan saja pembangunan benteng
karena menyebabkan angka kelarihan rendah. namun, teguran dan peringatan
tersebut tidak mengurungkan niat Sultan Gafurul wadudu untuk menyelesaikan
pembangunan benteng. Oleh karenanya setelah melakukan musyawarah,
Siolimbona kemudian memutuskan akan memberhentikan beliau dari jabatannya
benteng selesai beliau akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Sultan
Buton. Permintaan tersebut diterima oleh Siolimbona sehingga pembangunan
benteng tetap dilanjutkan hingga selesai. Adapun sejarah di masa pendirian hingga
lebih 50 tahun dengan melibatkan tenaga seluruh masyarakat secara gotong
royong. Pada saat pendirian benteng itu, ada nama seorang perempuan kaya
bernama Wa Ode Wau yang mensponsori dana pendirian benteng yang dibuat dari
batu yang dicampur dengan pasir dan kapur sebagai perekatnya.
Sultan ke VI kemudian digantikan oleh Sultan Saparigau. Pembangunan
tembok benteng ketika itu memerlukan banyak batuan, sehingga bebatuan di
sekitar kawasan tersebut termasuk batuan di sepanjang sungai hampir habis
digunakan untuk pembangunan benteng. Pada saat itu salah satu kendala teknis
dalam pembangunan benteng keraton Buton yaitu pada pembangunan tembok
benteng pada sisi utara dan sebagian sisi timur karena pada sisi tersebut pondasi
benteng berada diatas tebing yang curam. Selain baluara (bastion), benteng juga
dilengkapi 12 (duabelas) Lawa (pintu gerbang) yang menghubungkan kawasan
benteng keraton sebagai pusat pemerintahan dengan perkampungan penduduk
diluar kawasan benteng . Benteng ini dibangun diatas sebuah bukit yang disebut
bukit Tursina. Keliling benteng yaitu sebesar 2740 m. Bangunan benteng terbuat
dari batu-batu gunung yang agak porus yang direkatkan dengan kapur. Tinggi dan
tebal dinding benteng tidak sama, tergantung pada kondisi tanah atau lereng bukit
dimana dinding tersebut berada. Pada bagian bukit yang terjal tinggi dinding
benteng mencapai empat meter dan tebal dinding mencapai dua meter. Pada
dinding benteng bagian dalam sisi timur dan selatan terdapat turap-turap yang
yang berfungsi ganda, yaitu sebagai penahan/penguat berdirinya dinding benteng
dan tempat berdiri yang mengintai dan mengawasi musuh diluar benteng melalui
lubang-lubang pengintai. Benteng keraton Buton terdiri atas:
1. Boka-boka atau bastion sudut
2. Baluara atau bastion
9
b. Baluara Rakia
c. Baluara Gama
d. Baluara Gandailolo/Waulima
e. Baluara Barangkatopa/Silea
f. Baluara Baluwu
g. Baluara Dete
h. Baluara Kalau
i. Baluara Baria
j. Baluara Tanailandu
k. Baluara Melai
l. Baluara Sambali
Seperti halnya pada boka-boka maka pada setiap baluara ini terdapat
jendela-jendela tempat meriam yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan,
sebagian meriam-meriam tersebut masih ada di beberapa baluara.
3. Lawa
Benteng keraton Buton memiliki 12 buah lawa atau pintu gerbang. Sesuai
dengan fungsinya sebagai benteng pertahanan, maka pintu gerbang (lawana) ini
dibangun sedemikian rupa dengan lorong dan gawang pintu. Pada pintu masuk
dan keluar benteng, pada zaman kejayaan kesultanan Buton fungsi lawana ini
berkaitan pula dengan hukum perang. Musuh-musuh kerajaan baik dari luar
maupun dari dalam (para pemberontak) yang sudah dihukum mati dipertontonkan
di kawasan Keraton agar diketahui oleh umum (masyarakat). Pertunjukkan ini
biasanya dilaksanakan diiringi dengan tarian perang yang disebut maniu.
Dilihat dari bentuk dan arsitekturnya, lawana-lawana ini dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Lawana yang berbentuk paduraksa, dimana bagian atasnya langsung
berfungsi sebagai atap. Diatas ambang pintu terdapat hiasan yang
mengingatkan kita pada bentuk kalamakara pada candi di Jawa dan pura di
Bali. Diantara kedua lapis pintu ada ruangan atau lorong sedangkan pada
dinding ruangan (lorong) yang sebenarnya adalah pilar-pilar gapura terdapat
ceruk atau nis sedalam 50 cm. Pintu gerbang atau lawana yang termasuk
11
dalam tipe ini, yaitu Lawana Rakia , Lawana Labunta, Lawana Kampebuni,
Lawana Waborobo, Lawana Kalau, Lawana Wajo (Baria), dan Lawana
Lantongau (Sambali).
12
13
Gambar 5. Meriam
Dengan demikian pembangunan benteng keraton Buton berlangsung
selama beberapa tahap atau periode, yaitu:
1) Tahap pembangunan boka-boka (bastion sudut) pada masa pemerintahan
Sultan Buton ke III (Sultan Kaimuddin 1591- 1597 M).
2) Tahap pembangunan bastion tambahan pada masa pemerintahan Sultan
Buton ke IV (Sultan Dayanu Ikhsanuddin 1597 1631 M).
3) Tahap penyelesaian pembangunan benteng (meliputi pembangunan tembok
benteng dan 12 lawa/pintu gerbang) pada masa pemerintahan Sultan Buton
ke VI (Sultan Gafur Wadudu 1632-1645 M).
14
5.2.2
mengunjungi Pulau Buton. Pada saat itu Pieter Both melakukan perjanjian
kerjasama dengan Kesultanan Buton, itu merupakan perjanjian pertama antara
Kesultanan Buton dengan pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian pada tahun 1712 Masjid Keraton Buton pun di bangun oleh
Sultan Buton ke-19, Sultan Zakiyuddin Darul Alam akibat Masjid yang di bangun
masa Sultan Muhum terbakar akibat perang saudara pada masa Sultan Buton ke18. Lokasi bekas masjid tersebut berada disekitar tempat dimakamkannya Sultan
Murhum . Kemudian Sultan Zakiyuddin Darul Alam dibangun masjid dilokasi
berbeda yaitu dilokasi yang ada sekarang. Dari segi fisik, perkembangan kawasan
meliputi perubahan jumlah dan batas perkampungan penduduk yang terdapat di
dalam kawasan benteng, perubahan pola permukiman, dan jaringan jalan. Pada
awal Kesultanan Buton di dalam kawasan benteng keraton Buton hanya terbagi
atas sembilan kawasan, pada saat itu kondisi jaringan jalan di dalam kawasan
benteng keraton masih berupa jalan tanah dan pola permukimannya memusat.
Perkerasan jalan (pembangunan jalan aspal) di dalam kawasan benteng keraton
mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Buton ke 36 (tahun 1921-1924).
Setelah Kesultanan Buton berakhir pada masa Sultan ke 38 pada tahun 1960.
Kawasan Benteng Keraton Buton kemudian masuk dalam wilayah desa
Melai Kabupaten Buton, pada tahun 2001 setelah terbentuk Kota Bau-bau,
kawasan ini kemudian termasuk dalam wilayah Kelurahan Melai Kota Bau-bau
dan menjadi permukiman masyarakat, dan terbagi atas empat lingkungan yaitu
lingkungan Dete, Baluwu, Peropa dan Baadia. Perubahan yang terjadi di kawasan
Benteng Keraton yaitu berkembangnya jaringan jalan, bangunan, sarana prasarana
dan fasilitas umum antara lain sekolah dasar dan perkantoran pemerintah.
5.2.3
15
penting yang menjadi satu kesatuan dengan ruang, karakter ini juga tercermin dari
bentuk tata letak, hirarki, orientasi, besaran dan batasan ruangnya. Berdasarkan
urutan sejarah keberadaannya, objek pertama yang ada adalah Batu Popoaua dan
Batu Wolio, wawancara singkat dengan masyarakat setempat menyebutkan bahwa
batu tersebut merupakan batu tumbuh yang keberadaanya telah ada sebelum
permukiman melai terbentuk, dan tidak diketahui tahun pastinya, namun pertama
kali digunakan saat pelantikan Raja pertama yaitu Ratu Wakaakaa. Sama halnya
dengan keberadaan Batu Wolio yang juga tidak diketahui kapan kemunculannya,
yang orang ketahui tentang Batu Wolio bahwa batu tersebut merupakan sumber
mata air pada zamannya, dari dinas pariwisata bidang kepurbakalaan setempat
mengatakan bahwa objek Batu Wolio diperkirakan sudah ada sejak pertengahan
abad ke-14 M.
tahun 1584.
Baruga
Ruang musyawarah ini bangun pada masa Sultan Dayanu Ikhsanudin pada
tahun 1610.
Masjid Agung Keraton
Dibangun oleh Sultan Buton ke-19, Sultan Zaqiyuddin Darul Alam pada
tahun 1712.
Kasulana Tombi (Tiang bendera)
Dibangun setelah Masjid Agung Keraton pada tahun 1712.
5.2.4 Tata Letak , Hirarki, Orientasi, besaran ruang dan batasan ruang.
Tata letak secara makro yaitu keberadaan atau posisi Yaroana Masigi
terhadap lingkungan sekitarnya. Letak Yaroana Masigi sendiri terletak di tengahtengah permukiman yang dikelilingi oleh benteng. Posisi ini di pengaruhi oleh
konsep kosmologis orang Buton yang meyakini bahwa Masjid Agung Keraton
merupakan inti kosmos dan area Yaroana Masigi adalah bagian dari inti tersebut.
16
Yaroana Masigi digambarkan sebagai alam batin manusia, yang dimana alam
batin harus senantiasa menjadi pusat dan inti dari kehidupan. Sehingga berada di
pusat/ tengah-tengah, dengan benteng keraton sebagai cangkang (pelindungnya)
serupa filosofi telur, yang kemudian menjelaskan tradisi lisan tentang benteng
keraton yang terbuat dari butih telur. Konsep ini juga ikut menjelaskan status
hirarki Yaroana Masigi sebagai ruang dengan hirarki sakral. Sehingga kegiatan
yang dianggap sakral atau penting kerap di gelar di area ini. Sedangkan untuk
orientasinya tidak berorientasi pada arah manapun kecuali arah kiblat Masjid
Agung Keraton untuk ibadah shalat yang tetap mengarah ke kiblat yaitu barat.
Tata letak mikro menjelaskan letak komponen obyek-obyek dalam lingkup
Yaroana Masigi . Posisi obyek-obyek tersebut dipengaruhi oleh urutan sejarah
keberadaanya. Secara hirarki, ruang Yaroana Masigi itu sendiri adalah area paling
sakral dalam kawasan Benteng Keraton Buton, namun jika dibuatkan hirarki lagi
maka Masjid Agung Keraton berada dihirarki teratas karena maknanya tidak
hanya sebagai mewakili permasalahan ketuhanan yang bersifat rohani dan batin.
17
18
kedatangan
seorang
Ulama
dari
Melayu,
kedatangannya
selain
menyebarkan Islam juga memberikan contoh dan tata cara membangun rumah
sesuai konsep tasawuf. Rumah mulai dibangun dengan dasar-dasar Islam. Untuk
menjaga keamanan permukiman dipusat Kesultanan dari serangan musuh
kemudian dibuatlah pagar pengaman yang mengelilingi perkampungan dengan
pohon-pohon menjalar.
Perkembangan permukiman berlangsung sangat cepat sehingga pada masa
Sultan Buton ke-3 mulai membangun benteng permanen sebagai benteng
pertahanan dari serangan musuh dan benteng ini selesai pada masa Sultan Buton
ke-6. Pada masa Sultan Buton ke-4 (Sultan Daynu Ikhasnuddin) disusunlah
Undang-undang Dasar dan Tata Pemerintahan Kesultanan Buton yang bernama
Martabat Tujuh yang didalamnya termasuk aturan pembangunan rumah dan
permukiman. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan, bahwa Pejabat/Menteri
yang menangani masalah kebijakan pembangunan yang termasuk didalamnya
perumahan adalah lembaga yang dipimpin oleh Sapati. Martabat Tujuh adalah
19
20
Dalam benteng keraton Buton terdapat permukiman yang di huni oleh para
keturunan raja dan sultan yang pernah menjabat di Buton tersebut. Selain
permukiman, jenis penggunaan lahan lainnya di kawasan benteng keraton antara
lain, perkantoran, perdagangan dan jasa, ruang terbuka hijau (RTH) serta fasilitas
umum lainnya. Sarana pendidikan yang terdapat di kawasan studi antara lain
Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak serta sarana kesehatan berupa posyandu.
21
Tabel.1
Penggunaan Lahan di Kelurahan Mela
NO
JENIS PENGGUNAAN
LUAS (Ha)
.
LAHAN
1
Permukiman
2
Perkantoran
3
Perdagangan dan Jasa
4
RTH dan Makam
5
Fasilitas Umum Lainnya
TOTAL
Sumber: Monografi Kelurahan Melai tahun 2012
17.0
0.4
0.8
4.38
0.8
23.38
LUAS (Ha)
3%
19%
Permukiman
Perkantoran
3%
2%
73%
22
Fasilitas
24
25
B. Perkantoran
Penggunaan lahan pada kawasan perkantoran di Benteng Keraton Buton
adalah (2%) dari lahan yang ada. Perkantoran yang terdapat di kawasan benteng
keraton Buton yaitu kantor Kelurahan Melai dan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Baubau.
Gambar 10. Kantor Kelurahan Melai dan Dinas Kebudayaan & Pariwisata
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016
Kelurahan Melai dibagi dalam 3 lingkungan yakni Lingkungan Baaluwu,
Lingkungan Dete, dan Lingkungan Peropa. Dalam 3 lingkungan tersebut, wilayah
ini dibagi ke dalam 9 Rukun Tetangga (RT) yang masing-masing lingkungan
terdapat 3 RT.
C. Perdagangan dan jasa
27
Dalam benteng keraton Buton hanya terdapat beberapa rumah warga yang
sebagian rumahnya digunakan sebagai warung-warung kecil yang menyediakan
makanan-makanan ringan. Tidak terdapat bangunan-bangunan utuh yang
digunakan sebagai tempat perdagangan. Menurut Crew Media Center yang di
wawancarai, mengatakan bahwa bangunan-bangunan yang berada di dalam
benteng keraton Buton ini merupakan bangunan bersejarah yang tidak dapat dialih
fungsikan tanpa melakukan perundingan dengan tetua-tetua yang berada di tempat
tersebut.
Untuk lahan yang digunakan sebagai jasa terdapat di depan pintu masuk
benteng. Bangunan tersebut berupa rumah warga yang dimultifungsikan sebagai
berupa print dan fotocopy. Salahsatunya yaitu Media Center yang merupakan
tempat yang menyediakan informasi mengenai benteng keraton Buton. Di tempat
ini terdapat beberapa crew yang bertugas untuk memberikan informasi kepada
pendatang yang berkunjung ke tempat ini.
28
29
30
31
raja/sultan
Buton
dilantik
di
tempat
ini
oleh
32
33
tanah, padahal menurut riwayat lisan bahwa bentuk lantai Baruga adalah
berbentuk panggung.
Perubahan besar yang terjadi pada Baruga ini sempat menjadi alasan
masyarakat di kelurahan Melai merubah beberapa bagian rumah
tradisionalnya menjadi modern.
c) Masjid Agung Keraton yang berada disisi Barat ruang terbuka,
Masjid berada di tengah-tengah kawasan, menjadi zona inti dan
landmark kawasan Benteng Keraton, dengan halaman yang luas, dengan
tiang bendera kesultanan masih berdiri utuh di sampingnnya. Secara fisik
kondisi masjid masih terawat, fungsinya juga belum berubah sejak masa
kesultanan hingga saat ini.
Fisik dinding masjid terbuat dari tembok batu yang disusun rapi
dengan pewarna putih masih menggunakan batu kapur, material lantai
berupa marmer, dan atap terbuat dari material seng berbentuk limas dua
tingkat. Masjid dengan ukuran 20 x 20 Meter ini sampai sekarang tetap
digunakan sebagai tempat beribadah dan juga sebagi pendidikan Islam
bagi masyarakat sekitar. Sejak didirikan, Masjid Agung Keraton Buton
telah mengalami perubahan sebanyak 5 kali. Kelima renovasi yang
dilakukan tersebut tidak mengubah bentuk asli Masjid Agung Keraton
Buton.
34
35
36
37
kemarau,
yang
dipergunakan
untuk
tempat
membasuh/
memandikan para raja dan sultan yang akan di lantik. Batu Wolio
diperkirakan telah ada bersamaan dengan periode keberadaan Batu
Popaua. Akses terhadap Batu Wolio sudah terkelola dengan baik sehingga
kondisinya fisiknya cukup baik dengan disediakannya pagar batu yang
mengelilingi obyek.
38
39
masyarakat sekitar dan para sultan. Mesjid ini juga dapat digunakan oleh para
wisatawan yang datang berkunjung ke benteng tersebut.
F. Sirkulasi
a) Pola sirkulasi jaringan jalan
Pola sirkulasi di Kawasan Benteng Keraton Buton bercampur
menjadi satu pada ruas jalan yang ada antara pejalan kaki, kendaraan
(mobil dan sepeda motor) dan angkutan umum. Jalur sirkulasi utama dari
dan menuju kawasan adalah di jalan Labuke V, jalan Labuke IX dan jalan
Baadia. Kondisi sirkulasi pada hari-hari biasa tergolong lancar dan tidak
terjadi kemacetan, kecuali pada saat tertentu, yaitu pada saat hari raya Idul
fitri dan pada waktu dilaksanakan kegiatan budaya (upacata adat) terjadi
kemacetan pada beberapa ruas jalan, yaitu jalan Labuke I dan jalan
Labuke IX. Area parkir di Kawasan Benteng Keraton Buton sehari-hari
umumnya digunakan untuk parker kendaraan wisatawan yang berkunjung
ke kawasan dan parkir kendaraan masyarakat pada momen tertentu, yaitu
pada saat pelaksanaan kegiatan budaya (upacara adat) serta pada
pelaksanaan shalat idul fitri, hingga saat ini area parkir yang tersedia
masih mampu menampung kendaraan pengunjung maupun masyarakat.
40
41
42
43
44
oleh masyarakat Buton pada abad Ke-16 M syarat dengan simbol Islam
dan dibeberapa titik bergaya Eropa. Benteng ini luasnya mencapai 23,375
hektar dengan panjang keliling 2,7 km. Benteng ini memiliki 12 pintu
gerbang dengan satu pintu tersembunyi yang konon jadi tempat
persembunyian Arung Palakka.
Pola yang terbentuk pada kawasan Benteng Keraton yaitu
membentuk pola radial, dimana pola radial tersebut merupakan jaringan
jalan yang berpusat pada pusat kota yang dihubungkan dengan jalan-jalan
radial, biasanya cocok untuk kota kecil dan menjadi tidak layak untuk
dikembangkan di kota-kota besar.
Untuk kawasan keraton sendiri, yang menjadi pusat yaitu Mesjid
Agung Keraton Buton (Masigi Ogena) dimana saling terhubung 12 pintu
gerbang yang merupakan pintu masuk wisatan yang ingin berkunjung
dan juga masyarakat di dalam maupun luar benteng.
Oleh karena sifatnya yang terpusat, bentuk-bentuk tersebut sangat
ideal
sebagai
struktur
yang
berdiri
sendiri,
dikelilingi
oleh
45
46
47
48
49
50
51
5) Pada bagian atas rumah terdapat simbol Nenas dan Naga, nenas ini
merupakan simbol kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat, sedangkan
Naga menyimbolkan kekuasaan pemerintah dan mengisahkan asal-usul
leluhur Buton dari daratan Cina (Raja Pertama Buton Wakaaka)
6) Adanya ruang teras didepan sebagai tempat menerima tamu yang
menyimbolkan transparan Sultan bagi rakyatnya.
7) Guci yang diletakkan di depan rumah sebagai tempat air, yang
menyimbolkan kesucian bahwa siapa saja yang memasuki rumah hatinya
telah suci. Fungsi dan makna simbolis pada bangunan Kamali/Malige
dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat secara keseluruhan tentang
konsep tasawuf (Martabat Tujuh), yang menganggap bahwa pemilik
Kamali/Malige dalam hal ini Sultan adalah replikasi dari wajah Tuhan
(Allah) yang wujudnya dianalogikan dalam bentuk arsitektur rumahnya
(istananya) baik yang bersifat konstruksi maupun dekorasi. Bentuk lantai
dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan keagungan Sultan.
Bentuk tersebut juga menggambarkan fungsi Sultan sebagai pimpinan
agama, pimpinan kesultanan serta pengayom dan pelindung rakyat.
53
54
55