Anda di halaman 1dari 11

Seorang intelektual Muslim pernah mengatakan Untuk menggali al-Quran dan Hadis tidak

mutlak diperlukan keahlian khusus dalam penguasaan bahasa Arab, karenanya untuk
memahami isi al-Quran dan Hadis itu , kita cukup dibantu karya-karya terjemahan yang
sudah ada. Tentu pandangan seperti ini boleh-boleh saja. Selama yang dimaksudkan dalam
pandangan ini, adalah mereka yang awam dalam bahasa Arab, tapi punya minat yang besar
untuk mengerti padanannya dalam bahasa Indonesia tentang yang terkandung dalam alQuran dan Hadis.
Bagi mereka yang awam dalam bahasa Arab, adanya terjemahan jelas sangat membantu
sekali. Namun pertanyaan yang kemudian muncul, Apakah cukup memahami al-Quran
dan Hadis, apalagi menggali kedalaman kandungan-kandungannya, hanya dengan
mengandalkan pekerjaan para penterjemahnya?. Memang pertanyaan ini lebih tepat bila
diajukan kepada mereka yang hendak mengeksplorasi kandungan al-Quran dan Hadis
secara mendalam. Mengingat betapa pun kerja penterjemahan, tetap saja ia memiliki titiktitik kelemahan yang merupakan hasil distorsi dari dimensi-dimensi yang tidak mewakili
dalam bahasa penterjemah. Dan ini akan berimbas sangat signifikan pada hasil
pemahamannya terhadap teks-teks utama keislaman tersebut.
Kendala lainnya yang tidak bisa dibilang sepele adalah bahawa mereka yang awam bahasa
Arab, tidak akan mengerti apakah pemahaman yang diperoleh oleh penterjemahnya itu
sudah benar atau belum. Hal ini karena mereka tidak mengetahui susunan bahasa al-Quran
dan Hadis itu dalam bentuk aslinya, di samping hal-hal yang menyangkut cakupan ,
kemudian menelan mentah-mentah apa yang difahaminya dan terjemahan itu. Padahal
pemahaman mereka itu belum tentu benar.1

Jarak Ruang Bahasa


Memang tidak ada jaminan , penguasaan terhadap aspek kebahasaan bahasa yang
diterjemahkan (mastery of translated language) berpengaruh terhadap pemahaman yang
benar, sesuai yang dikehendaki oleh teks. Namun paling tidak hal itu telah mempersempit
jarak antara ruang bahasa yang diterjemahkan dengan ruang bahasa penterjemahan. Menilik
masing-masing mempunyai medan semantik yang berbeza. Dengan begitu, perolehan
pemahaman yang benar bukan suatu yang mustahil.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kerja penterjemahan menjadi nescaya serta
memiliki kelemahan dan kekurangan. (1) Perbezaan istilah dan kaedah antara bahasa yang
diterjemahkan dengan bahasa yang dipakai dalam penterjemahan. (2) Perbezaan
pemahaman dalam menangkap isyarat-isyarat bahasa. (3) Khazanah bahasa yang terus
menerus mengalami perkembangan dan perubahan. (4) Kekayaan bahasa dan tradisi
berfikir suatu masyarakat tidak selalu sama dengan masyarakat lain. (5) Kondisi sosial,
psikologi, antropologi dan geografi yang berbeza antara kedua bahasa. (6) Setiap bahasa
memiliki akar serta lingkungan kultural yang khusus.
Dalam kasus penterjemahan teks-teks autoritatif keislaman ini, ada dua objek yang
menjadi titik perhatian. Pertama, bahasa Arab sebagai bahasa yang diterjemahkan
(translated language). Kedua, bahasa non-Arab sebagai bahasa penterjemahan (translation
language).
Sebagai sebuah bahasa, bahasa Arab banyak sekali memiliki keunikan, kekhasan dan
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Di samping tingkat kerumitan dan
kesulitan bahasa Arab yang cukup tinggi. Konon bahasa Arab ini menempati tingkat kedua
dalam hal kerumitan bahasanya, setelah bahasa Cina.

Di antara keistimewaannya yang menonjol, bahawa bahasa Arab mempunyai kemampuan


yang luar biasa dalam melahirkan makna-makna baru, bahkan hanya disebabkan oleh
perubahan bunyi saja. Kaedah gramatikal yang umum sekali dikenal mengenahi hal ini,
( perubahan struktur huruf [bunyi] berakibat terhadap perubahan
struktur makna). Juga kelengkapan kosa kata yang dimiliki bahasa ini, yang menurut
sebahagian pakar bahasa, mencapai 25 juta kosa kata.
Keunikan lain yang dimiliki bahasa Arab adalah kekayaan sinonim. Dan yang lebih unik
lagi bahawa sinonim-sinonim tersebut tidak selalu mempunyai erti yang sama. Sebagai
contoh kata dan kata , yang keduanya dalam bahasa Indonesia diertikan takut .
Padahal masing-masing mempunyai konsekuensi semantik yang berbeda.2
Di sini, kata mempunyai nilai cakupan semantik lebih tinggi dari pada kata
Karena kata mengandung erti besarnya rasa takut yang bercampur baur dengan rasa
penghormatan , meskipun orang yang takut itu adalah orang kuat. Sedangkan kata
lebih beerti ketakutan yang disebabkan oleh ketakutan orangnya, meskipun sesuatu yang
ditakuti itu bukanlah hal yang layak untuk ditakuti.3
Bahasa Arab juga memiliki keunikan lain berupa banyaknya kata-kata yang ambigu.
Bahkan tidak jarang satu kata memiliki dua erti atau lebih yang saling berlawanan
(homonim, ) .4 Tidak jarang pula satu huruf mempunyai lebih dari satu erti.
Huruf ( wau) misalnya, menurut al-Zarkasyi, paling tidak menunjuk pada enam makna
yang berbeda-beda.5
Keistimewaan bahasa Arab tampak pula ketika bahasa ini mampu merangkum makna
yang panjang dalam sebuah kalimat yang pendek, atau bahkan hanya dalam satu kata.
Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah . Keistimewaan lainnya adalah

bahawa bahasa Arab memiliki ciri khas konjugasi (),6 yang dapat mempengaruhi
sepenuhnya perubahan makna. Bahasa ini juga mempunyai kekhasan lain yang terlihat pada
jenis kelamin kata atau pada bilangannya, di mana ia terdiri atas tunggal ( ) , dual ()
dan plural ().
Keistimewaan lainnya bahasa yang digunakan al-Quran ini), adalah kecenderungannya
kepada penyingkatan atau yang diistilahkan dengan () . Karena dalam tradisi bahasa ini
dikenal istilah yang kurang lebih sebagai berikut ini: ( Keringkasan adalah
jiwa dari kecerdasan) perlu pula memperpanjang-lebarkan penjelasannya, bila itu
diperlukan. Model penjelasan ini biasa dikenal dengan itnab () . (Hal bertele-tele)
Mereka yang awam bahasa Arab, juga akan menemui kesulitan, ketika menjumpai suatu
struktur kalimat, baik dalam al-Quran atau Hadis. Apakah kalimat itu ditunjukkan secara
umum? Atau kalimat itu terbatas pada latar belakang historis yang sangat khusus, di mana
kalimat itu pertama kali diucapkan () . Dan demikian pula
sebaliknya.
Masih banyak keunikan, kekhasan dan keistimewaan bahasa Arab. Namun di antara sekian
banyak kelebihan bahasa Arab itu, ada yang mungkin sangat menyulitkan proses kerja
penterjemahan. Salah satunya adalah adanya pendahuluan struktur yang semestinya
diakhirkan ( ) dan pengakhiran struktur yang semestinya didahulukan () . Bahkan
kadang al-Quran menerjang pula kaedah ini, di mana tidak diperhatikan lagi adanya
ketetapan dan dalam struktur itu, sesuai dengan kaedah gramatikal Arab yang
berlaku. Ambil contoh kata [6:2] . (Dan telah terhad)
Padahal semestinya menurut kaedah yang umum adalah 7. ( dan di sisinya
tanpa batas

Juga kontes semantik bahasa teks-teks keislaman itu, meski teks-teks itu sendiri memakai
kosa kata yang dipergunakan oleh orang-orang Arab, bukan bererti cakupan semantiknya
sama persis dengan yang diketahui oleh orang-orang Arab pada masa-masa sebelumnya.
Contoh yang paling mudah adalah kata misalnya. Kata ini bukannya tidak dikenal di
kalangan masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Hal ini bisa dilihat dari puisi-puisi pra
Islam, gabungan nama-nama orang dan tulisan-tulisan kuno. Al-Quran sendiri juga
memberikan gambaran mengenahi hal itu [lihat 39:3, 46:28, 12:40]. Namun cakupan
semantik kata ini menjadi sangat berubah ketika Islam datang.8
Penjelasan-penjelasan di atas ingin menunjukkan bahawa betapa sulitnya menggali sebuah
pemahaman dari al-Quran dan Hadis, dengan hanya mengandalkan sebuah terjemah.
Bagaimana mungkin mendapatkan pemahaman yang bisa dipertanggung jawabkan?
Sedangkan penterjemahnya sendiri banyak menghadapi Kendala-kendala dan keterbatasanketerbatasan bahasa dalam menterjemahkan.
Tampaknya, berangkat dari atas, bahasa Arab masih tetap menempati posisi sentral dan
strategis dalam keberhasilan penggalian kekayaan makna yang dimiliki al-Quran dan
Hadis. Karena menjadi suatu keharusan , penguasaan secara komprehensif bahasa yang
akan diterjemahkan. Secara komprehensif, penguasaan bahasa Arab meliputi pembekalan
yang memadai menengahi gramatika Arab, seperti berikut: Fonologi (ilm al-ashwat),
morfologi (ilm al-sharf). Sintaksis (ilm al-nahw), semantik (ilm al-dalalah). 9 retorik Arab
(ilm al-balaghah, ilm al-badi, ilm al-maani),10 psikolinguistik (ilm al-lughah al-nafs),
sosiolinguistik (ilm al-lughah al-ijtimai)11 dan filologi (fiqh al-lughah).12
Di luar penguasaan terhadap bahasa yang diterjemahkan, yang agar tidak kalah pentingnya,
seperti salah satu syarat yang diajukan Dr. Muhammad Husein Al-Zahabi dalam

menterjemahkan teks-teks semacam al-Quran dan Hadis adalah penguasaan secara


mendetail dan mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan oleh penterjemah dalam
penterjemahannya. Dikhawatirkan jika bahasa yang digunakan dalam penterjemahan tidak
dikuasai, seorang penterjemah akan sangat terbatas dalam menemukan padanan bahasa
ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam bahasa yang diterjemahkan.13

Bahasa al-Quran sebagai Mukjizat


Pada pembahasan berikut, kita akan lebih khusus menyorot / hanya pada salah satu teks
autoritatif yang paling sentral, yakni al-Quran, mesti ada dimensi lain yang sangat boleh
jadi menambah kelemahan-kelemahan dalam sebuah karya penterjemahan. Hal itu adalah
bahawa ketika al-Quran masih dalam bentuk Arabnya, seperti yang bisa ditemui dalam
mashaf adalah merupakan wujud awal yang berasal dari bahasa Allah sebagai Tuhan.
Namun setelah al-Quran itu diterjemahkan, maka al-Quran dalam bentuk yang kedua ini
adalah merupakan hasil ijtihad seorang hamba yang mencuba memahami dan
mengalihbahasakan bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia. Di sinilah kerja penterjemah
mempunyai kesamaan yang asasi dengan kerja penafsir.14
Makanya kemudian menjadi penting memperhatikan formulasi hermeunetik. Amina
Wadud Muhsin, seorang feminis asal Malaysia, yang menetapkan tiga aspek yang saling
berikatan satu sama lain. Dalam memahami sebuah konteks. Iaitu: (1) Dalam konteks apa
suatu teks ditulis. Dalam kasus al-Quran, dalam konteks apa ayat itu diwahyukan. Untuk
itulah perhatian terhadap asbab al-nuzul menjadi begitu bernilai. (2) bagaimana komposisi
tata bahasa sebuah teks (ayat) dan dalam bentuk apa pengungkapannya. (3) Bagaimana

spirit atau pandangan hidup yang terkandung dalam keseluruhan teks.15 Karenanya begitu
terkait erat dengan yang dibicarakan dalam medan semantiknya. 16
Dengan demikian, dibutuhkan usaha yang ekstra berat bagi mereka yang hendak menggali
pemahaman yang terkandung dalam al-Quran, dan tentu saja untuk hal ini memperoleh
pemahaman yang benar, dengan hanya berpegang pada otoritet keilmuan para
penterjemahnya. Terlebih lagi bila menilik bahawa bahasa al-Quran adalah bahasa
mukjizat.
Dalam hal ini, syeikh Muhammad Ali al-Shabuni, menyatakan bahawa para pakar bahasa
Arab, kalangan linguis Arab dan ahli ilm al-bayan telah sepakat bulat mengenahi
kemujizatan al-Quran ada pada faktor al-Qurannya itu sendiri. Yakni bahawa
kemujizatannya itu terkandung dalam; (1) kefasihan susunan kalimatnya; (2) keindahan
maknanya; dan (3) bentuk sistematik bahasanya yang menakjubkan.17 Bahkan jauh
sebelum itu.
Di samping bahawa al-Quran diturunkan dengan membawa dua tujuan pokok, iaitu;
pertama, al-Quran merupakan bukti kebenaran apa saja yang disampaikan Nabi, yang tentu
saja hal itu merupakan mukjizat, kedua, al-Quran sebagai hidayah (petunjuk) demi
kebaikan kehidupan manusia di dunia dan kehidupan di akhirat.18
Sebagai sebuah mukjizat, bahasa al-Quran telah membuat masyarakat pemilik bahasa
yang dipergunakan al-Quran itu, tidak mampu lagi menandinginya [17:88, 10:38, 11:13].
Sampai , karena ke tidak mampuannya, mereka menuduh bahasa al-Quran sebagai sihir
[34:43, 46:7, 74:24]. Padahal masyarakat bahasa ini mempunyai tradisi kebahasaan dan
kesusasteraan yang tinggi.

Di sinilah distorasi-distorasi karya-karya terjemahan al-Quran akan sangat nampak.


Karena setiap kemujizatan, yang terdapat misalnya dalam keindahan susunan retoriknya
(balaghah), mempunyai tujuan-tujuan khusus. Ini jelas sekali tidak dapat terwakili dalam
sebuah karya terjemah, meskipun penterjemahnya memiliki disiplin ilmu mengenai
keindahan retorik bahasa. Karena tidak dapat dipungkiri, bahawa masing-masing bahasa
mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki bahasa lain.
Karenanya, pada saat al-Quran diterjemahkan, sesungguhnya hilang kekhasan susunan
retorik bahasa al-Quran itu. Nilai kemukjizatan al-Quran juga akan merosot ke posisi di
mana manusia akan mampu mencapainya, Serta menjadi buram pula tujuan utama
diturunkannya al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya al-Quran sebagai petunjuk jalan hidup, maka tepatlah akan dapat
diketemukan, setelah dilakukan penggalian hukum dan petunjuk moral dalam ayat-ayatnya.
Meski hal itu sebahagian kembali kepada makna asli yang dipakai masyarakat dan setiap
bahasa dalam memahaminya (makna universal). Namun sebahagian makna lainnya
merupakan makna yang khusus dimiliki oleh al-Quran. Hal ini akan terlihat dalam
pengambilan hukum dan petunjuk moral dari ayat-ayat yang memiliki makna sangat
mendasar. Di sinilah nampak bahawa karya-karya terjemah al-Quran itu menjadi sangat
tidak maksimal. 19 Apalagi bila dilihat bahawa makna-makna dalam al-Quran mampu
memuaskan aspek-aspek rasional dan psikologi () , yang tentu saja tidak
dapat diwakilkan dalam karya-karya terjemah.20
Penutup dan Saran

Secara kasat mata dapat ditangkap bahawa dimensi-dimensi di atas menjadikan


pengalihan pemahaman dari al-Quran dan Hadis melalui karya-karya terjemahannya
merupakan satu upaya yang kurang dapat dipertanggung jawabkan. Sebagai contoh,
sebelum mengakhiri curaian ini, kata misalnya, Secara umum, kata ini mempunyai erti
berbuat, melakukan, bertindak, atau yang sejenisnya. Kata ini dalam al-Quran digunakan
untuk menjelaskan gambaran tentang berbagai macam perilaku , dan bukan untuk satu
macam perilaku saja.21 Di waktu lain, kata ini mempunyai arti seksa yang amat pedih,
yakni pada saat kata ini disandarkan kepada Allah SWT secara langsung. 22
Menyedari kelemahan dan keterbatasan penterjemah itu, para ahli ilmu al-Quran23 dan
para pakar ilmu Hadis 24 menetapkan keharusan untuk aspek-aspek kebahasaan dan
kesusasteraan Arab, sebagai syarat utama untuk mendapatkan pemahaman yang benar,
ketika hendak menggali kekayaan kandungan makna yang terdapat dalam al-Quran dan
Hadis. Bukan untuk meriwayatkan atau karenanya, segala upaya untuk

CATATAN
1Dr. Muhammad Husein al-Zahabi, Tafsir wa al-Mufassirun(Beirut: Dar al-Qalam, tt),
hal. 29.
2Untuk membandingkan cakupan semantic dua kata ini, lihat kata pada 35:28,
3:39 dan kata pada 16:50.
3Pembahasan lebih lanjut, lihat Manna al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran (Beirut
Mansyurat al-Ashri al-Hadits, 1973), hal. 204-205.

4Tentang aplikasi dan perdebatan seputar tema ini, lihat, misalnya, Dr. Emil Badi
Yaqub, Fiqh al-Lughah al-Arabiyah wa Khashaishuha (Beirut: Dar al-Tsaqafah alIslamiyah, 1982), hal. 178-181.
5Al-Zarkasyi, al-Burhan ( Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1957), jil. IV, hal. 262.
6Secara khusus pembahasan mengenahi tinjauan terhadap konjugasi dalam al-Quran,
Lihat, misalnya, al-Akburi, Imla ma Manna bihi al-Rahman: Min Wujuh al-Irab wa
Al-Qiraat fi jami al-Quran (Kairo: cetakan Maimanah, 1321 H).
7J. J. G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Judul asli The Interpretation of the
Koran in Modern Egypt), (Yogyakarta : Tiara wacana Yogya, 1997), hal. 102-103. Dan
tinjauan kritis Jansen ini merupakan hasil kutipan dari al-Zamahhsyari.
8Kajian mengenahi semantik al-Quran lebih dalam, lihat, misalnya, Toshihiko Izutsu,
God and Man in the Koran (Tokyo: tp, 1964).
9Pembahasan menegnahi fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik Arab, saat ini,
masuk ke dalam pembahasan linguistik Arab modern (ilm al-lughah al-arabi al-hadits).
Mengenai pengantar memasuki dunia linguistik Arab modern, lihat, misalnya Mahmud
Fahmi Hijazi, Madkhal ila ilm al-Lughah (Kairo:Dar al- Tsaqafah, 1978).
10Tinjauan secara mendalam ilm al-balaghah, ilm- mani, ilm-badi terhadap alQuran, yang serat dengan contoh-contoh, lihat, misalnya, Sayyid Akhmad al-Hasyimi,
Jawahir al-Balaghah (Beirut: Dar al-Fikr, 1994).
11 Dua disiplin ilmu ini mutlak dinuthkan dalam mengkaji asbab al-nuzul dan asbab al
Wurud. Tentu saja untuk mendeteksi keontentikannya.
12Salah satu yang cukup bagus membahas pembahasan filologi Arab, lihat, misalnya,
Dr. Emil Badi Yaqub. Menurut hemat kami pembahasannya sangat ringkas,
padat dan penuh muatan.
13Dr. Muhammad Husein al-Zahabi, hal. 30.
14Dr. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeunetik
(Jakarta: Paramadina, 1996), hal.175. Karena merupakan ijtihad itulah, menurut
Komaruddin, malah menyebabkan kerja penerjemahan mempunyai kendala yang
Sama dengan kerja penafsiran. Yaitu ketika penerjemah memilih kata dan menyusun
Kalimat, terlebih jika menyangkut masalah keilmuan atau fakta histories yang sejak
Awal sudah debatable.
15Amina Wadud Muhsin, Quran and Woman (Kuala Lumpur: Fajar bakti, 1992), hal
4.
16T. Izutsu, op.cit, hal. 1-30
17Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Quran (Beirut: Dar al Fikr, 1390
H), hal. 98-99 dan 101-102.
18Dr. Muhammad Husein al-Zahabi, op cit, juz, hal. 24-25.
19Karena ketidak maksimalan terjemahan inilah. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
kemudian mengajukan delapan argument yang jelas-jelas melarang terjemah alQuran.
Lihat Fahd (bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah alAqliyah Al-Hadits (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), hal. 434.
20Muhammad Ali al-Shabuni, hal. 105.
21Lihat misalnya 5:79. Dalam terjemah Departemen Agama, potongan ayat dari 5:79
Itu diterjemahkan sebagai berikut:Sesungguhnya sangat buruklah apa yang mereka

selalu perbuat itu. Bandingkan dengan kajian al-Qattan pada ayat tersebut.
Menurutnya, ayat ini hendak menjelaskan bahwa segala apa yang dilakukan oleh
orang
Yahudi adalah sangat buruk. Disini, kata ini mengandung arti segala macam jenis
Kemungkaran yang tidak henti-hentinya dilakukan oleh orang Yahudi. Lihat Manna
al- Qattan, hal. 209.
22Lihat misalnya 105:1, 14:45, 89:6. Dalam terjemah Departemen Agama, masingMasing kata dalam ketiga ayat itu diartikan berbeda. Pada 105:1, kata itu
diartikan
bertindak. Sedang dalam dua ayat lainnya, kata itu diartikan berbuat. Meski diartikan
berbeda, namun kata itu telah diartikan secara tidak memadai. Mungkin kata
bertindak
sedikit lebih tepat dibanding kata berbuat. Namun kedua kata ini tidak mewakili
sedikitpun maksud sesungguhnya dari ayat ini, dimana ayat ini hendak menjelaskan
bahwa Allah swt telah menyiksa mereka dengan sangat pedih.
23Lihat antara lain Dr. Muhammad Husein al-Zahabi, op. cit, hal. Juz 29; Manna alQattan, op, cit, hal. 331;Fahd juz al-Rumi, hal. 414-419. Mutarak, hal 99
24Lihat antar lain Jalaludin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi (Beirut:Dar al-Fikr, 1988), juz,
hal. 106.

Anda mungkin juga menyukai