Anda di halaman 1dari 6

PENGHIMPUNAN DANA DALAM TITIPAN ATAU WADIAH DI LKMS

Oleh : Imron Rosyadi

A. Definisi Wadiah
Kata wadiah berasal dari wadaa, yang sinonimnya taraka, artinya meninggalkan.
Sesuatu yang dititipkan oleh seseorang kepada orang lain untuk di jaga dinamakan wadiah,
karena sesuatu atau barang tersebut ditinggalkan disisi orang yang di titipi. 1[1] Sesuatu yang
seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadiah, karena dia
meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Wadiah dalam tradisi fiqh Islam,
dikenal dengan prinsip titipan/simpanan. Wadiah dapat juga diartikan titipan murni dari satu
pihak ke pihak lain, baik sebagai individu maupun sebagai suatu bahan hukum. Titipan yang
dimaksud, harus dijaga dan dikembalikan kapan saja penitip menghendaki.2[2]
Pengertian secara bahasa adalah Meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan
sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan dalam istilah :
Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/barangnya dengan secara
terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.3[3]
Menurut ulama Hanafiyah, wadiah adalah mengikut sertakan orang lain dalam
memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat. Sedangkan menurut
ulama Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah, wadiah adalah mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
B. Dasar Hukum Wadiah
1. Al-Quran
Dasar hukum wadiah adalah firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 58 dan AlBaqarah ayat 283:
Artinya:
Sesungguhnya

Allah

menyuruh

kamu

menyampaikan

amanat

kepada

yang

menerimanya(An-Nisa: 58)
Artinya:

1[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010) hlm.
455.
2[2] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm. 23.
3[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Wadiah

. Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya... (Al-Baqarah: 283)
2. Al-Hadits
( :)
Artinya:
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rosulullah SAW bersabda, Sampaikanlah
(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianatkepada
orang yang telah menghianatimu.(HR Abu Dawud dan Menurut Tirmidzi hadits ini hasan,
sedang Imam Hakim mengategorikannya sahih).4[4]
C. Rukun dan Syarat Al-wadiah
Menurut Hanafiyah rukun al-wadiah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan
yang lainnya termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Menurut Hanafiyah dalam shighat
ijab dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih)
maupun dengan perkataan samara (kinayah). Hal ini berlaku juga untuk Kabul, disyaratkan
bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf. Tidak sah apabila yang
menitipkan dan yang menerima benda titipan adalah orang gila atau anak yang belum dewasa
(shabiy).
Menurut Syafiiyah al-wadiah memiliki 3 rukun, yaitu:
a) Barang yang ditipkan, syarat barang yang ditipkan adalah barang atau benda itu merupakan
sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara.
b) Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan bagi penitip dan penerima
titipan sudah balight, berakal, serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat
berwakil.
c) Shighat ijab dan qabul al-wadiah, disyaratkan pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua
belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.
D. Hukum Menerima Benda Titipan
Hukum menerima benda titipan ada 4 macam, yaitu:
a) Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia
sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya.
b) Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya
sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada
seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
c) Haram, apabila seorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan.

4[4] Muhammad SyafiI Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,


(Jakarta: Gema Insani, 2001, Cetakan Pertama), hlm. 85-86.

d) Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga bendabenda titipan, tetapi dia kurang yakin(ragu) pada kemampuannya, maka bagi orang yang
seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan sebab dikhawatirkan dia akan
berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau
menghilangkannya.5[5]
E. Jenis-jenis Wadiah
Akad pola wadiah ada dua, yaitu wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah.
Pada awalnya, wadiah muncul dalam bentuk wadiah yad amanah kemudian dalam
perkembangannya muncul wadiah yad dhamanah. Akad wadiah yad dhamanah ini akhirnya
banyak digunakan dalanm aplikasi perbankan dalam produk-produknya.
1. Wadiah Yad Amanah
Dalam akad ini, pihak penyimpan yang sebagai penerima kepercayaan adalah yad
amanah tangan amanah yang berarti bahwa ia tidak bertanggung jawab jika sewaktu-waktu
dalam penitipan terjadi kehilangan atau kerusakan pada barang/aset titipan, selama hal ini
bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara
barang/aset titipan. Dan diperbolehkan untuk membebankan biaya kepada penitip untuk
kompensasi atas pemeliharaan barang/aset tersebut. Pihak penyimpan tidak boleh
menggunakan atau memanfaatkan barang/aset yang dititipkan, melainkan hanya menjaganya.
Juga tidak boleh mencampur adukkan barang/aset tersebut dengan barang/aset lain,
melainkan harus dipisahkan untuk masing-masing barang/asset penitip.
2. Wadiah Yad Dhamanah
Dari prinsip yad amanah kemudian berkembang menjadi yad dhamanah tangan
penanggung yang berarti bahwa pihak penyimpan bertanggungjawab atas segala kerusakan
atau kehilangan yang terjadi pada barang/aset titipan. Dalam hal ini, berarti pihak penyimpan
sekaligus menjadi penjamin keamanan barang/aset titipan. Penyimpan juga telah memperoleh
ijin dari penitip untuk menggunakan barang/aset titipan untuk aktifitas perekonomian
tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan barang/aset titipan
secara utuh pada saat penyimpan menghendaki.
Dengan prinsip ini, penyimpan boleh mencampur aset penitip dengan aset penyimpan
atau aset penyimpan lain, dan kemudian digunakan dalam kegiatan produktif yang
menghasilkan keuntungan. Pihak penyimpan berhak atas keuntungan juga kerugian yang
5[5] H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.
183-184

terjadi. Selain itu penyimpan juga diperbolehkan, dengan kemauan sendiri untuk memberikan
bonus kepada pemilik asset tanpa akad perjanjian yang mengikat sebelumnya. 6[6]
F. Aplikasi Prinsip Wadiah
Pendanaan dengan prinsip wadiah ada 2 jenis, yaitu:
a) Giro Wadiah
Giro adalah simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat,
artinya adalah bahwa uang yang disimpan di rekening giro dapat diambil setiap waktu. Giro
yang dikenal dalam perbankan konvensional dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah
dengan menghilangkan unsur bunga yang ada di dalamnya. Mengingat motivasi utama
nasabah memilih produk giro adalah untuk kemudahan dalam lalulintas pembayaran, bukan
untuk mendapatkan keuntungan.
Giro wadiah dapat diartikan sebagi bentuk simpanan yang penarikannya dilakukan
setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau
dengan cara pemindahbukuan yang didasarkan pada prinsip titipan. Oleh karena itu nasabah
tidak mendapatkan keuntungan berupa bunga, melainkan bonus yang nilainya tidak boleh
diperjanjikan diawal akad. Pilihan terhadap produk ini tergantung pada nasabah, jika
motifnya hanya untuk kemudahan dalam melakukan transaksi pembayaran, maka giro
wadiah yang tepat karena melalui wadiah bank akan selalu siap menerima penarikan dana
dari nasabah dan nasabah tidak terancam oleh resiko kerugian. Bank boleh menggunakan
dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam kegiatan yang
berjangka pendek untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak
ditarik. Biasanya bank tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil karena
sifatnya yang jangka pendek. Keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank, demikian juga
dengan kerugiannya akan ditanggung sepenuhnya oleh bank. Bank juga bisa memberikan
bonus kepada nasabah, dan besarnya bonus tidak ditetapkan di muka.
b) Tabungan Wadiah
Jenis simpanan yang kedua adalah tabungan. Tabungan adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Tabungan wadiah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah
dalam bentuk rekening tabungan (savings account) untuk keamanan dan kemudahan
6[6] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008, Edisi 1), hlm.

pemakainya. Tabungan hampir sama dengan giro, pilihan terhadap produk ini tergantung
motif dari nasabah. Jika motifnya hanya menyimpan saja maka bisa dipakai produk tabungan
wadiah, sedangkan untuk memenuhi nasabah yang bermotif investasi atau mencari
keuntungan maka tabungan mudharabah yang sesuai. Karakteristik tabungan wadiah mirip
dengan tabungan pada bank konvensional, dimana nasabah dapat mengambil dananya
sewaktu-waktu dengan menggunakan fasilitas yang disediakan bank seperti kartu ATM, dan
lain sebagainya. tabungan wadiah juga dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan produktif
yang berorientasi untuk memperoleh laba/keuntungan.
Biasanya bank lebih leluasa dalam penggunaaan dana dibandingkan dengan giro
wadiah, karena penarikannya yang tidak sefleksibel giro wadiah, jadi bank lebih banyak
memiliki kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Maka biasanya bonus tabungan
wadiah lebih besar daripada bonus pada giro wadiah. Besarnya bonus tidak dipersyaratkan
dan tidak ditetapkan di muka. Nasabah dalam hal ini tidak menanggung resiko kerugian dan
uangnya dapat diambil sewaktu-waktu secara utuh setelah dikurangi biaya administrasi yang
telah ditentukan oleh bank.7[7]
G. Ketentuan Fatwa DSN-MUI tentang wadiah
Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan ketentuan mengenai giro yang dapat
diterapkan dengan sistem wadiah yaitu pada Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000. Pada
fatwa ini, giro yang berdasarkan wadiah ditentukan bahwa: (1) dana yang disimpan pada
bank adalah bersifat titipan. (2) titipan (dana) ini bisa diambil kapan saja (on call). (3) tak ada
imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela
dari pihak bank.
Sedangkan tabungan diatur dalam fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa
ini, disebutkan ketentuan mengenai tabungan yang berdasarkan wadiah, yaitu: (1) dana yang
disimpan pada bank adalah bersifat simpanan. (2) simpanan ini bisa diambil kapan saja (on
call) atau berdasarkan kesepakatan. (3) tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam
bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.8[9]

7[7] Abdul Ghofur Anshori, op. cit., hlm. 85-97


8[9] Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2005, Cetakan Pertama), hlm. 104

9[8] Muhammad SyafiI Antonio, op. cit., hlm.148-149

[8]

Muhammad SyafiI Antonio, op. cit., hlm.148-149

Anda mungkin juga menyukai