Anda di halaman 1dari 16

http://www.sekolahdasar.net/2013/07/peranan-sekolah-dankeluarga-dalam-membentuk-karakter-siswa.

html
Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan
karakter (character education) dalam konteks sekarang sangat
relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di
negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya
pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan
remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan
menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan
perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang
hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu
betapa pentingnya pendidikan karakter.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral
knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral
behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan
bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang
kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan
kebaikan. Bagan di bawah ini merupakan bagan keterkaitan ketiga
kerangka pikir ini.
a. Pendidikan Karakter Menurut Lickona
Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai
segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter
siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat
dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan
oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian
pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami,
memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.
b. Pendidikan Karakter Menurut Suyanto
Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa,
maupun negara.
c. Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau
individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada
kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan mesin
yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap,
dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010).
d. Pendidikan Karakter Menurut Kamus Psikologi
Menurut kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari
titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan
biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo,

1982: p.29).
Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai
(values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang
mendesak untuk dilakukan. Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan
karakter yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif,
Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta
tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta
Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, Tanggung
jawab.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam
rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya
untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga
masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan
sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster
optimal character development (usaha kita secara sengaja dari
seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu
pembentukan karakter secara optimal.
Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar
tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran
yang sesuai adalah metode keteladanan, metode pembiasaan, dan
metode pujian dan hukuman.
Pendidikan karakter, mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja,
tapi di rumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta
pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi
juga usia dewasa. Di masa kini kita akan menghadapi persaingan
dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan negara di dunia.
Bahkan kita yang masih akan berkarya di tahun tersebut akan
merasakan perasaan yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya
manusia pada tahun 2021 tentunya membutuhkan good character.
Karakter adalah kunci keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian
di Amerika, 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku
buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan
interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain yang
mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di
masyarakat ditentukan oleh Emotional Quotient (EQ).
Dari sudut pandang psikologis, terjadi penurunan kualitas usia
psikologis pada anak yang berusia 21 tahun pada tahun 2001,
dengan anak yang berumur 21 pada tahun 2013. Maksud usia
psikologis adalah usia kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan
yang berbanding lurus dengan usia biologis. Jika anak sekarang usia
21 tahun seakan mereka seperti berumur 12 atau 11 tahun.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan

dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,


lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti
melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan
untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan
semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang
lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat
Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik
yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin
diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa
mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan
di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi
kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme.
Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan: To educate a person in mind and
not in morals is to educate a menace to society (Mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral
adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat)
Peranan Sekolah dalam Pembentukan Karakter Anak
Sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak siswa
yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga
dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan
kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami
krisis watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju
sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon 1974).
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat transfer of
knowledge belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977: 1-2),
sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan
pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah
lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang
berorientasi pada nilai
(value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John
Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah
dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral
enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat
manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak
bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan,
tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Secara
umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang
pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti).
Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap

apa yang dipandang manusia sebagai keindahan, yang mereka


senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang
justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standarstandar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari
agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standarstandar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan
mana yang baik dan mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar
terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika
untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut
Quraish Shihab (1996: 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem
nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang
masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan
mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya
terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Quran dalam banyak ayatnya menekankan
tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut
pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah
yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab,
muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar;
dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam
menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang
buruk.
Usaha pembentukan watak di sekolah, melalui pendidikan karakter
berbarengan dengan pendidikan nilai dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Menerapkan pendekatan modelling atau exemplary atau
uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan
lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai
akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap
guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah
mampu menjadi uswah hasanah yang hidup (living exemplary)
bagi setiap siswa. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk
mendiskusikan dengan siswa tentang berbagai nilai-nilai yang baik
tersebut.
b. Menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada siswa secara terus
menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini
bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan
(prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik
dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging)
berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik
dan buruk secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan
tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah
menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan

dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan


prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal;
membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik
yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
c. Menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based
education). Hal ini dilakukan dengan menerapkan character-based
approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai yang ada di samping
mata pelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter,
seperti pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn),
sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap
mata pelajaran-mata pelajaran terakhir ini, perlu dilakukan
reorientasi baik dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga
mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi
betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali karakter dan
jati diri bangsa.

http://www.buletinsia.com/opini/opini-implikasi-full-day-schoolterhadap-anak-didik
Opini: Implikasi Full Day School Terhadap Anak Didik
Diskursus sistem Full Day School atau dalam bahasa Indonesia
Sekolah Sehari Penuh yang di gagas oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang baru Bapak Muhadjir Effendy dalam pidatonya di
Universitas Muhammadiyah Malang(UMM), Minggu (7/8/2016).
Beliau mengatakan bahwa sistem full day school akan diterapkan di
pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta.
Alasannya agar anak tidak sendiri ketika orang tua mereka masih
bekerja (kompas.com Senin, 8 Agustus 2016). Dari perkataan Pak
Menteri diatas bahwa bisa ditafsirkan Pak Menteri tidak percaya lagi
terhadap pendidikan orang tua atau lebih kita kenal sebagai
pendidikan keluarga karena dianggap anak selalu sendiri dirumah
karena kedua orang tua sibuk dengan pekerjaan masing-masing
supaya tidak sendiri kata pak menteri mesti harus diterapkan full
day school saja sehingga ketika orang tua mereka itu masih
bekerja atau bahkan orang tua sibuk dengan pekerjaannya sehingga
waktu dan kesempatan bersama anak berkurang.
Pak Menteri secara tidak langsung mengeneralisir bahwa seluruh
orang tua sibuk dengan pekerjaanya dan ingin menyerahkan
tanggungjawab sepenuhnya kepada pihak sekolah untuk mendidik
anak, sebab ketika seorang siswa bersekolah sehari di sekolah
misalkan bisa diperkirakan mulai dari jam 07.30 sampai jam 17.00
wita, itu menurut perkiraan penulis, maka waktu dan kesempatan
anak- anak didik untuk mendapatkan didikan langsung dari kedua
orang tua akan berkurang sebab kalau untuk malam hari tidaklah
cukup disebabkan malam hari itu hanya waktu untuk istirahat dan
tidur apalagi ada juga di kalangan kedua orang tua yang sangat
sibuk dengan pekerjaannya, tetapi juga tidak semua orang tua

sangat sibuk dengan pekerjaannya karena mereka akan juga


menyisakan waktu dan kesempatan untuk menjaga dan mendidik
anak-anaknya.
Sekolah pada hakikatnya adalah ruang untuk membebaskan anak
dari segala aturan-aturan yang mengekang dan menindas pikiran
dan tindakan anak-anak didik, sekolah harus menjadi tempat
bersuka ria, belajar dengan riang bukan kemudian memenjarakan
anak didiknya.
Salah satu tokoh filsuf Pendidikan Ivan Illich lahir pada tanggal 4
September 1926 di Vienna, Austria dan meninggal pada tanggal 2
Desember 2002. Ivan Illich adalah seorang ahli filsuf Austria dan
seorang kritikus lembaga budaya barat. Melalui bukunya yang
berjudul Deschooling Society (Masyarakat Tanpa Sekolah),
Ivan Illich mempunyai gagasan yang terang-terangan mengutuk dan
mengkritik habis-habisan penyelenggaraan pendidikan yang
dilembagakan dalam bentuk sekolah. Dan pendapatnya yang cukup
mengusik para praktisi pendidikan di sekolah adalah peniadaan atau
pembubaran sekolah di masyarakat. Dalam kecamannya itu,
Ivan Illich yakin bahwa sekolah-sekolah dengan sendirinya menjadi
tidak memadai, dan hanya mendorong kepada mengasingkan siswa
dari kehidupannya.
Adapun alasan yang ia kemukakan diantaranya, sekolah
mengasingkan peserta didik terhadap kehidupan, sekolah tidak
menjamin peserta didik untuk mendapat pendidikan secara bebas,
sekolah kurang memberi ruang bagi berkembangnya kepribadian
peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan
potensinya.
Selanjutnya, dia yakin bahwa tujuan peniadaan sekolah dalam
masyarakat akan menjamin siswa dapat memperoleh kebebasan
dalam belajar, tanpa harus memperjuangkan untuk memperolehnya
dari masyarakat. Setiap orang harus dijamin kepribadiannya dalam
belajar, dengan harapan dia akan menerima kewajibanmembantu
orang lain untuk tumbuh sesuai dengan kepribadiannya.
Ivan Illich berpendapat untuk memperoleh hasil belajar melalui
tumbuh di sekeliling orang-orang yang mempunyai keterampilan
dan nilai-nilai yang dapat dijadikan contoh. Anak-anak menghadapi
kawan-kawan yang menantangnya untuk bernalar, bersaing,
bekerjasama, dan memperoleh pengertian. Sumber belajar bagi
anak menurut ia adalah, benda-benda contoh-contoh, kawan-kawan
sebaya dan orang-orang tua yang mampu membimbing. Jadi
menurutnya sekolah sebagai penyelenggara pendidikan secara
formal yang dilengkapi dengan seperangkat kurikulum wajib yang
harus disajikan oleh guru agar anak dengan usia tertentu dapat
menguasinya tidak diperlukan. Sekolah justru akan mematikan
kebebasan anak dalam belajar.
Sekolah dengan pengaturan yang ketat dalam waktu, tempat,
bentuk kegiatan dan tujuan belajar bukanlah tempat yang baik,
karena mengekang kebebasan. Jika kita mencermati kritikan Ivan
Illich sangat konteks dengan sistem lembaga sekolah di Indonesia,

belum lagi dikritik oleh Paulo Freire tentang dunia Pendidikan,


khususnya pendidikan di sekolah kurang lebih seperti ini.
Menurut Freire bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah lebih di
dominasi oleh guru yang cenderung berperan sebagai penekan
(oppresor), sedangkan peserta didik cenderung berada pada situasi
tertekan (oppresed). Konsep yang ditawarkan Freire : Menurut
Freire, guru seharusnya berperan sebagai fasilitator. Di
dalam pendidikan menurut Freire seharusnya menggunakan konsep
tentang Penyadaran atau Conscientizacao. Di dalam pendidikan
menurut Freire gaya mengajar harus menerapkan konsep yang
disebut Pendidikan dengan Pengajuan Masalah (problem possing
education). Menurut Freire program pendidikan seharusnya
dirancang dengan menitik beratkan pengembangan cara berpikir
dan bertindak melalui praxis.
Khususnya Sekolah di Indonesia jika kita mengamati secara
seksama bahwa masih banyak yang perlu dibenahi baik dalam
bentuk sistem lembaga sekolah, infrastruktur, kualitas pendidikpendidiknya dan kualitas sistem pendidikan, ini bukan persoalan
para pendidiknya tidak siap untuk menerapkan sekolah sehari ini,
tetapi lebih pada perbaikan sistem sekolah dan pendidikan.
Ada 3 komponen yang berperan dalam pendidikan anak. Pendidikan
di lingkungan keluarga, lembaga sekolah dan pendidikan di
lingkungan masyarakat. Peranan lingkungan keluarga sangat besar
terhadap proses pendidikan anak. Meskipun tidak memiliki struktur
kurikulum sebagaimana lazimnya lembaga sekolah, lingkungan
keluarga dipercaya menjadi pondasi yang kuat bagi pendidikan
anak. Hal ini cukup beralasan, anak lahir dan dibesarkan di
lingkungan keluarga. Keadaan ini menjadi saat yang tepat untuk
menanamkan nilai-nilai karakter, budi pekerti dan tingkah laku yang
baik bagi orang tua.
Kedua orang tua atau orang dewasa lainnya di rumah tangga akan
menjadi pendidik pertama. Masalahnya adalah, apakah kedua orang
tua dapat memainkan peranannya sebagai pendidik pertama yang
patut diteladani. Selain itu, waktu anak lebih banyak di lingkungan
keluarga jika dibanding dengan lingkungan lainnya. Oleh sebab
itu pendidikan di lingkungan keluarga berperan sangat strategis
dalam pembentukan karakter dan budi pekerti mulia.
Jika wacana full day school betul-betul diterapkan maka
pendidikan keluarga akan terabaikan ketika anak didik harus berada
disekolah seharian penuh tanpa perhatian dari orang tua dan luput
jangkauan dari orang tua anak didik ditambah lagi orang tua yang
cenderung merasa lalai dalam memperhatikan anak- anaknya,
sekolah juga tidak serta merta menjamin segala keselamatan
dan mendidiknya dengan baik. Padahal pendidikan keluargalah yang
akan mampu membangun pendidikan karakter, membimbing dan
mendidiknya menjadi generasi yang berkarakter. Begitupun
pendidikan dilingkungan masyarakat akan dirampas oleh sekolah,
kesempatan anak didik berinteraksi dilingkungannya tidak aka nada
lagi sebab seluruh tenaga dan pikiran anak didik seluruhnya telah

tercurahkan ke lembaga yang namanya sekolah, anak didik tidak


lagi bisa menikmati di masa anak-anak dan remaja untuk
bergembira dan bercengkeraman dengan teman-teman sebayanya
akan semakin berkurang.
Anak didik akan semakin tertekan dengan porsi belajar yang lebih
banyak, anak didik akan semakin merasa terasing di sekolah, ruang
lingkup sekolah yang sempit akan membosankan seorang anak
didik. Anak didik akan kesulitan mengeksplorasikan segala
kemampuan dan potensi-potensi yang dimilikinya karena tidak ada
ruang untuk menemukan inspirasi.
Pendidikan sekolah secara tidak langsung akan memonopoli
pendidikan anak-anak didik padahal untuk membangun karakter
membutuhkan lingkungan yang berbeda dan peranan bersama
dengan berbagai komponen-komponen lain. Ketika hanya
mengandalkan satu lingkungan saja akan menyebabkan anak didik
tersebut mengalami kesulitan berkembang dan mengeksplorasikan
segala potensinya, seorang anak didik membutuhkan ruang bebas
untuk mengaktualisasikan potensinya bukan hanya disekolah yang
ruang-ruangnya berdimensi sempit dan kaku, apakah sekolah ingin
memenjarakan anak didiknya? cukup saja siswa itu dibebani segala
macam tugas dan sebagainya, jangan lagi menambah beban baru
terhadap anak didiknya, jangan sampai dengan diterapkan full day
school berimplikasi negatif terhadap masa depan anak didiknya.
Kalaupun ada kekhawatiran seorang Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan terkait dengan ketidakmampuan orang tua dalam hal
menjaga, merawat dan mendidik anak-anaknya tentunya tugas
dunia pendidikan dalam hal ini lembaga sekolah semestinya harus
mengingatkan dan mensosialisasikan kepada kedua orang tua
agar senantiasa mendidik anak-anaknya didalam kehidupan
keluarga dengan baik bukan serta merta sepenuhnya
tanggungjawab lembaga sekolah.
Institusi sekolahpun tidak siap untuk menerapkan aturan-aturan
yang seperti itu sebab tenaga dan pikiran seorang guru masih
sangat terbatas belum lagi seorang guru akan lebih banyak
menuntut hak daripada kewajibannya, sarana dan
prasarana sekolah yang belum memadai dan belum memenuhi
standar sekolah yang ideal. Jadi menurut penulis bahwa penerapan
Full Day School di sekolah SD- SMP belumlah layak sebab dunia
pendidikan khususnya sekolah harus berbenah dulu serta
menunjukan kesiapannya sebagai institusi pendidikan yang ideal.
Penulis: Irfan Safari (Pengamat Pendidikan dan Pengurus HmI (MPO)
Badko Sulambanusa)
http://edupost.id/berita-pendidikan/pemerhati-ugm-full-day-schooluntuk-pembentukan-karakter/
Pemerhati UGM: Full Day School untuk Pembentukan Karakter
18 Agustus 2016 Leave a comment 41 Views

Edupost.id Gagasan full day school yang pernah dilontarkan


Mendikbud Muhadjir Effendy terus menuai pro dan kontra. Sejumlah
pihak menentang keras ide tersebut. Namun, ada kalangan yang
menilai hal tersebut layak diterapkan karena untuk meminimalkan
terpaan negatif yang berasal dari lingkungan luar sekolah.
Pemerhati kebijakan publik UGM, Muhadjir Darwin termasuk yang
mendukung gagasan tersebut. Ia menilai positif wacana tersebut
karena dapat diterapkan untuk pendidikan karakter anak. Terlebih,
melihat kondisi bangsa saat ini yang menunjukkan adanya
degradasi dan krisis moral di kalangan generasi muda.
Gagasan full day school ini layak diterapkan untuk meminimalkan
terpaan negatif yang berasal dari lingkungan luar sekolah. Anakanak kegiatannya menjadi lebih terarah saat di sekolah, mendapat
pendidikan serta penguatan karakter, paparnya.
Muhadjir menjelaskan bahwa program full day school ini sudah
banyak diterapkan di banyak negara seperti Amerika Serikat,
Jepang, dan China. Hasilnya pun menunjukkan hal positif bagi
perkembangan karakter anak. Dia mencontohkan anak-anak di
China bersekolah sampai sore dan menginap di asrama. Mereka
baru akan pulang seminggu sekali. Banyak muncul atlet-atlet
bagus dari China, salah satunya karena dengan pendidikan full day
scholl bisa mendeteksi bakat-bakat alami anak melalui jalur
pendidikan, tutur dosen FISIPOL UGM ini.
Di Indonesia, program full day school ini telah diterapkan di
sejumlah sekolah swasta. Hal ini telah berlangsung dalam beberapa
dasawarsa terakhir. Program full day school ini bagus, tetapi dalam
penerapannya harus dilakukan secara matang, tandasnya. Program
full day school ini dikatakan Muhadjir, nantinya dapat diujicobakan
di beberapa sekolah negeri terutama di wilayah perkotaan yang
memiliki kelengkapan sarana prasarana memadai. Selain itu,
dengan program ini dapat membantu kesulitan orang tua di
perkotaan yang umumnya bekerja seharian.
Orang tua memiliki kesibukan pekerjaan sampai sore. Dengan full
day school anak selepas sekolah pukul 1 akan mengikuti
ekstrakurikuler dan pulang bersamaan dengan orang tua, tidak
langsung pulang tanpa pengawasan dari keluarga maupun sekolah,
paparnya.

Dalam pelaksanaannya, kembali ditegaskan Muhadjir, sekolah


diharapkan tidak memberikan tambahan pelajaran bagi anak.
Namun, full day school dijalankan sesuai dengan arahan Mendikbud
yaitu pemberian jam tambahan untuk kegiatan ekstrakulikuler.
Misalnya, keterampilan, budi pekerti, olahraga, seni budaya dan
lainnya. Dengan begitu, hak-hak anak tidak akan berkurang.
Mereka dapat bermain dan berkreativitas dalam kegiatan
ekstrakurikuler ini, terangnya. (UGM/IK-SS)
Pendidikan merupakan salah satu unsur fundamental dalam
kehidupan
manusia. Bisa dikatakan pendidikan menjadi bagian dari kebutuhan
individu.
Di Indonesia terdapat tiga jalur pendidikan yang dapat
ditempuh yakni
informal, formal, dan non formal. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan
formal diharapkan memiliki kualitas yang baik sehingga mampu
memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Berawal dari kebutuhan dan mobilitas masyarakat yang tinggi
muncullah konsep pendidikan baru yang dinamakan full day
school (Sukur
Basuki, 2007). Konsep full day school berbeda dengan sekolah
reguler pada
umumnya atau half day school. Half day school merupakan sekolah
setengah
hari yang berlangsung dari pagi sampai siang. Full day school
merupakan
sekolah sepanjang hari atau proses belajar mengajar yang
dilakukan mulai
pukul 06.45-15.00 dengan waktu istirahat setiap dua jam sekali
(Baharudin,
2010: 221).

Masyarakat dengan tingkat mobilitas yang tinggi akan


meninggalkan
rumah untuk bekerja dari pagi hingga sore, bahkan sampai
malam hari.
Dengan demikian, orang tua tidak bisa mendidik anaknya secara
maksimal.
Di lain pihak, sekolah dengan sistem pendidikan half day cenderung
kurang
bahkan tidak memperhatikan anak didiknya ketika berada di
luar sekolah.
Ketika anak sudah pulang dari sekolah maka tanggung jawab
pendidikan ada
di tangan orang tua atau keluarga.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat
sebanyak
2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah
terjadi di awal
tahun 2012. Jumlah itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti
pencurian,
tawuran, dan pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD
hingga SMA
(vivanews, 2012). Melihat fenomena bangsa yang seperti itu,
sangatlah
memprihatinkan. Hal tersebut merupakan akibat dari kurang
terkontrolnya
pergaulan anak dari pihak sekolah maupun pihak keluarga.
Sistem pendidikan full day school dan terpadu lahir sebagai salah
satu
solusi alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Di samping
menjawab
kebutuhan masyarakat yang telah disebutkan di atas, yakni
sibuk bekerja,

orang tua juga menginginkan pendidikan yang berkualitas bagi


anaknya.
Konsep full day school sampai saat ini masih menjadi
perdebatan praktisi
pendidikan. Di satu sisi, siswa akan kehilangan waktu bermain di
rumah danjadwal pelajaran yang padat akan membuat jenuh.
Disisi lain, siswa akan
mendapatkan metode pembelajaran yang bervariasi dan lain
daripada sekolah
program reguler, orang tua tidak akan merasa khawatir karena
siswa akan
berada seharian di sekolah, serta tidak perlu takut anak akan
terkena pengaruh
negatif karena untuk masuk ke sekolah tersebut biasanya dilakukan
tes dalam
menyaring anak-anak dengan kriteria khusus (Ike Herdiana,
2007). Sistem
pendidikan full day school dan terpadu juga mengutamakan
pembentukan
kepribadian untuk menanamkan nilai-nilai yang positif pada
anak (Iwan
Kuswandi, 2012).
Pembentukan kepribadian anak dengan penanaman nilai yang
positif
sudah diatur dalam buku panduan pelaksanaan pendidikan
karakter yang
diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional melalui Badan
Penelitian
dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Mulai
tahun ajaran
2011 terdapat 18 nilai karakter yang harus ditekankan dalam
proses

pendidikan pada bangsa ini, diantaranya religius, jujur,


toleransi, disiplin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif,
cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
tanggung
jawab. Sekolah Dasar sebagai jenjang pendidikan dasar
diharapkan dapat
mendidik anak dengan nilai karakter dan kepribadian yang baik
sesuai amanat
Undang-Undang dan tidak hanya terfokus pada pengetahuan.
Agus Wibowo (2012: 36) menyatakan bahwa pendidikan
karakter
adalah pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan
karakter luhur
kepada anak didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur itu,
menerapkan
dan mempraktikkan dalam kehidupannya. Doni Koesoema A.
(2007: 115)
menyatakan bahwa pendidikan karakter menjadi semakin
mendesak untuk
diterapkan dalam lembaga pendidikan, mengingat berbagai
macam perilaku
yang non-edukatif.
Hurlock (Syamsu Yusuf, 2007: 54) menyatakan bahwa sekolah
merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian
anak. Pada usia
sekitar 7 tahun, maka anak akan masuk ke jenjang pendidikan dasar
(Sekolah

Dasar). Penanaman nilai serta pembentukan kepribadian yang baik


sejak dinidiharapkan dapat mencetak generasi penerus bangsa
yang unggul, sehingga
lahirlah individu yang tidak hanya pandai namun juga berwatak
baik. Uyoh
Sadulloh (2011: 197) menyatakan bahwa sejatinya pendidikan di
sekolah juga
akan mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku seseorang.
Begitu besar peranan Sekolah Dasar sebagai tahapan awal
dalam
mendidik anak karena akan dijadikan sebagai fondasi dalam
melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta menjalani kehidupan
yang lebih
kompleks. Sekolah diharapkan menciptakan lulusan tidak hanya
unggul
secara akademik tetapi memiliki budi pekerti dan kepribadian baik.
Sekolah diharapkan dapat mengembangkan sikap peduli siswa,
mempraktikkan disiplin moral, membangun kepekaan nurani,
dan sikap
positif lainnya. Hal tersebut tentunya harus mendapatkan
dukungan dari
seluruh komponen warga sekolah dan orang tua siswa. Karena
bagaimanapun
juga orang tua adalah guru moral pertama bagi anak.
Menurut Suharjo (2006: 4) Sekolah Dasar memiliki visi yakni
sebagai
lembaga pendidikan yang unggul dalam pengembangan
akademik maupun
non akademik, serta peduli terhadap lingkungan dan kemandirian
siswa yang

dilandasi iman dan taqwa. Berdasarkan Peraturan Menteri


Pendidikan
Nasional nomor 23 tahun 2006 menjabarkan bahwa pendidikan
dasar
memiliki tujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut. Sekolah Dasar menjadi sangat
vital dalam pembentukan perilaku anak
dalam proses pendidikan, salah satunya adalah pembentukan
kemandirian.
Ketika menginjak usia dewasa, maka dituntut untuk mandiri dan
sudah tidak
bergantung lagi kepada orang tua. Pada masa itu, akan lebih banyak
tantangan
yang dihadapi. Maka dari itu perlu ditanamkan kemandirian sejak
dini agar
terbiasa untuk tidak menggantungkan diri pada orang lain dan
mampu
menghadapi tantangan hidup yang semakin berat.
Berdasarkan hasil pra penelitian di SDIT Insan Utama, Kasihan,
Bantul
menunjukkan bahwa ada permasalahan terkait dengan
kemandirian.
Permasalahan dalam kemandirian yakni beberapa guru belum
mengintregrasikan nilai kemandirian siswa dalam mata
pelajaran, kegiatan
market day sebagai program pengembangan kemandirian tidak
diikuti oleh

seluruh siswa, beberapa siswa tidak mengerjakan ulangan


dengan mandiri, materi memasak dalam kegiatan pramuka yang
seharusnya sebagai
pengembangan kemandirian tidak dapat terlaksana karena
sarana prasarana
yang kurang mendukung.
Berdasarkan permasalahan tersebut, tanpa mengesampingkan
permasalahan yang lain, peneliti membatasi permasalahan pada
pengembangan kemandirian siswa kelas IV. Peneliti tertarik
meneliti
permasalahan tersebut dengan alasan pengembangan kemandirian
bagi siswa
sangatlah penting sebab jika anak tidak mendapatkan fasilitas
dalam
mengembangkan kemandiriannya maka akan menjadi individu
yang pemaludan dibayangi rasa keragu-raguan. Kemandirian
anak menjadi bekal
menjalani kehidupan selanjutnya yang lebih kompleks.
Berangkat dari permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk
meneliti
tentang Program Full Day School dalam Pengembangan
Kemandirian Siswa
Kelas IV di SDIT Insan Utama Bantul Tahun Ajaran 2013/2014.
Penelitian
ini diarahkan pada pengembangan salah satu nilai karakter yaitu
kemandirian
anak dengan sistem full day school.

Anda mungkin juga menyukai