Anda di halaman 1dari 28

TUTORIAL KLINIK NEUROLOGI

MEDULA SPINALIS

Disusun Oleh :
Loury Priskila

42150015

Monica Dewi Asih B.C

42150016

Monica Roly Vonita

42150017

Yosephine Muliana 42150018

DosenPembimbing :
dr. Laksmi Asanti, Sp. S. (K)
KEPANITERAAN KLINIK SARAF RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
PERIODE 22 AGUSTUS 17 SEPTEMBER 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2016
1

PARAPARESIS INFERIOR

1. Pendahuluan
Paresis memiliki arti kelemahan dan paraparesis digunakan untuk mendeskripsikan kelemahan
pada kedua tungkai. Pengertian ini kemudian meluas dengan memasukkan kelainan pola jalan
yang disebabkan oleh lesi UMN, bahkan pada keadaan yang tidak disertai dengan kelemahan
pada pemeriksaan otot secara manual.
Gangguan ini kemudian dikaitkan dengan adanya spastisitas yang diinduksi oleh adanya
gangguan fungsi dari traktus kortikospinalis. Pada orang dewasa, penyebab tersering dari
sindroma ini adalah multiple sclerosis dengan diagnosis banding berupa tumor pada daerah
foramen magnum, Chiari malformation, spondylosis cervical, arteriovenous malformation, dan
lateral sclerosis primer. Diagnosis untuk penyebab sindroma ini tidak bisa ditegakkan dengan
melihat gejala klinisnya saja, tetapi memerlukan pemeriksaan lanjutan seperti; pemeriksaan
cairan serebrospinalis, CT scan, MRI, dan myelography.
Apabila terdapat tanda-tanda cerebellar ataupun tanda-tanda lain selain dari tanda-tanda
gangguan pada kortikospinal bilateral, kemungkinan gangguan yang mendasarinya adalah
multiple sclerosis ataupun penyakit bawaan lain seperti olivopontocerebellar degeneration.
Kombinasi antara tanda-tanda LMN pada lengan dan UMN pada tungkai menjadi suatu
karakteristik dari amyotrophic lateral sclerosis.
Petunjuk lain dari penyebab spastic paraparesis termasuk nyeri servikal dan radikular pada
neurofibroma atau massa ekstra aksial lainnya pada kanalis servikalis. Juga kemungkinan
muncul bersamaan dengan gejala-gejala cerebellar atau tanda lain yang mengarah pada multiple
sclerosis.
Dikatakan juga bahwa tumor pada otak di daerah parasagital akan menyebabkan terjadinya
isolated spastic paraparesis karena terjadi penekanan pada area tungkai di korteks motorik pada
kedua hemisfer.

Paraparesis kronik dapat terjadi sebagai akibat dari gangguan pada LMN. Alih-alih muncul
tanda-tanda gangguan UMN, malah muncul flaccid paraparesis yang disertai dengan hilangnya
reflex tendon pada tungkai.
Paraparesis akut memunculkan permasalahan lain pada diagnosisnya. Jika ada nyeri pada
punggung dan reflex tendon masih muncul, atau jika ada tanda-tanda UMN, maka kemungkinan
muncul akibat adanya lesi kompresi dimana sebuah studi menyebutkan bahwa metastase dari
tumor menjadi penyebab utamanya.
Pada anak-anak dan orang dewasa muda, tanda dan gejala yang muncul bisa menjadi lebih berat,
ditambah dengan rasa nyeri karena gangguan ini sering disebabkan oleh acute transverse
myelitis. Hal ini mungkin terlihat pada anak-anak dan orang dewasa. Selain dari gejala-gejala
motorik yang timbul, gejala sensoris juga bermakna untuk menunjukkan letak lesi penyebab
gangguan tersebut.
Jika reflex tendon menghilang dan tingkat gangguan sensoris pada pasien dengan paraparesis
akut tidak dapat ditentukan, kemungkinan terbesar penyebabnya adalah Sindroma Guillain-Barre
(GBS) baik pada anak-anak maupun pada dewasa. Kehilangan fungsi sensoris dapat
mengarahkan kita pada diagnosis tersebut.
2. Penyakit-penyakit dengan Paraparesis
A. Multiple Sclerosis
a) Definisi
Multiple sclerosis (MS) adalah suatu penyakit kronis yang biasanya muncul pada usia dewasa
muda. Secara patologis, penyakit ini dikarakteristikkan sebagai suatu inflamasi, demyelnisasi
dan terdapatnya jaringan parut (sclerosis) pada beberapa area (multiple) di substansia alba dari
susunan saraf pusat.
Penyebab MS sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, namun factor-faktor seperti
mekanisme autoimmune, factor pemicu dari lingkungan dan genetic oleh sebagian ahli dinilai
memiliki peranan penting dalam kejadian MS.

b) Epidemiologi
MS menurut penelitian sering mengenai usia dewasa muda. Umur saat pertama kali terserang
MS berpuncak pada kisaran 25-30 tahun, sangat jarang kejadian pada usia dibawah 10 tahun dan
diatas 60 tahun.
MS lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria, dengan angka kejadian sekitar 1,4
sampai 3,1 lebih sering dibandingkan pada pria.
Ras juga sangat mempengaruhi angka kejadian dari MS. Dilaporkan bahwa populasi berkulit
putih (kaukasoid) sangat beresiko tinggi mengalami MS dibandingkan dengan yang berkulit
kuning (mongoloid) maupun hitam (negroid) yang lebih rendah resiko terkena penyakit MS ini.
c) Etiologi dan Patogenesis
Penyebab utama dari MS sampai saat ini masih belum diketahui. Terdapat dalil yang
menyebutkan bahwa pada individu yang secara genetic beresiko, dapat memicu mekanisme
autoimun yang menyebabkan terjadinya demyelinisasi pada usia muda (yang mungkin
disebabkan oleh virus).
o Kecenderungan Genetik
Seperti sudah sedikit disinggung di atas, disebutkan bahwa populasi berkulit putih
lebih rentan mengalami MS, hal ini semakin diperkuat oleh data penelitian yang
menyebutkan bahwa angka kejadian tertinggi terletak pada daerah-daerah yang
diinvasi oleh bangsa Nordic dahulu kala. Tetapi hal ini tidak dapat menjadikan
kesimpulan karena prevalensi menurut ras sangat dipengaruhi oleh migrasi.
Penelitian pada keluarga yang memiliki lebih dari satu anggota yang terkena MS
memberikan data bahwa terjadi predisposisi genetic pada penderita MS. Major
Histocompatibility Complex (MHC) pada kromosom 6 telah diidentifikasikan
sebagai gen yang berperan pada kejadian MS. MHC berfungsi untuk mengkode
gen pada Histocompatibility antigens (HLA system) yang terlibat pada presentasi
antigen ke sel T. Gen yang paling berperan dari tiga kelas gen-gen HLA adalah
alel kelas II. Terutama pada region DR dan DQ. Pada orang berkulit putih,
haplotipe kelas II tersebut (DR15, DQ6, Dw2) dihubungkan dengan peningkatan
4

resiko terjadinya MS. Namun, penggambaran haplotype seperti ini baik pada
pasien dengan MS maupun pada orang normal tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan.
o Immunology
Menurut bukti yang diambil dari hasil pemeriksaan terhadap darah, cairan CSF
pada hewan percobaan yang telah mengalami demyelnisasi memberikan informasi
bahwa mekanisme autoimun terlibat dalam proses kejadian MS.
Pada pemeriksaan darah tepi, beberapa perubahan non-spesifik terlihat. Terutama
pada MS sekunder progresif. Perubahan ini sama seperti yang terjadi pada pasien
dengan penyakit autoimun lain seperti SLE. Perubahan yang terjadi tersebut
adalah penekanan pada aktivitas gen supresor CD8 + sel T dan juga pada
autologous mixed lymphocyte reaction (AMLR). Pada MS, seperti juga pada SLE,
ditemukan penurunan jumlah CD4+CD45RA+suppressor-inducer sel T yang
berada pada darah tepi.
Pleositosis LCS juga sangat umum terjadi, terutama pada fase MS akut. Sel T
yang berfungsi sebagai helper-inducer (CD4+CDw29+sel-sel) menyusun
sebagian besar sel dan ditemukan dengan jumlah yang tinggi pada LCS
dibandingkan dengan daerah lain.Reaktifitas sel T ditemukan saat melawan
beberapa epitop dari Myelin Basic Protein (MBP) dan protein proteolipid.
Antibodi secreting B-cells juga diaktifkan pada MS, terjadi peningkatan jumlah
IgG pada LCS dan sintesis IgG juga meningkat.
Infiltrasi limfosit dan makrofag perivaskuler menjadi suatu ciri dari immunitas
SSP. Limfosit yang predominan pada MS adalah sel-sel helper-inducer
(CD4+CDw29). Reseptor Interleukin-2 (IL-2) juga dapat dibuktikan pada
kebanyakan sel T, yang menjadi pertanda bahwa sel-sel yang mensekresi sitokin
telah diaktifkan secara immunologis.
Sitokin yang diproduksi oleh sel T yang diaktifkan dan makrofag memegang
peranan penting pada kerusakan jaringan. Sitokin tersebut akan memanggil tissue
necrosis factor (TNF) yang bersifat toksik terhadap sel-sel oligodendroglial dan
myelin, dan dapat ditemukan pada plak MS.

o Virus
Data epidemiologi yang telah dibahas sebelumnya sempat menyinggung tentang
pajanan lingkungan pada MS. Encephalitis viral pada anak-anak dapat diikuti oleh
demyelinisasi. Pada binatang percobaan, yang paling sering dipelajari adalah
demyelinsasi yang diinduksi oleh virus Theiler, suatu murine picornavirus.
Apabila terinfeksi oleh virus strain ini, maka dapat berujung pada infeksi
oligodendrosit dengan infiltrasi limfosit perivaskuler dan demyelinisasi.
Faktor genetic member pengaruh pada kecenderungan pada terjadinya
demyelinisasi dan penyakit-penyakit klinis lain. Kecenderungan ini dihubungkan
dengan pembentukan respon imun pada hewan saat melawan virus. Oleh karena
itu, pada MS, demyelinisasi dapat ditimbulkan oleh infeksi virus, seperti;
Measles, rubella, mumps, coronavirus, parainfluenza, herpes simplex, vaccinia,
dan HTLV-1.
Dua virus yang sangat konsiten terlibat dalam pathogenesis MS adalah EpsteinBarr virus (EBV) dan human herpes virus 6 (HHV6).

o Faktor lainnya
Factor-faktor lain yang sering disebut sebagai pemicu dari terjadinya MS antara
lain adalah trauma fisik. Vaksinasi yang tidak lengkap juga disebutkan sebagai
factor yang dapat menyebabkan terjadinya MS.

d) Tanda dan Gejala


Karena persarafan di otak dan medulla spinalis mengalami kerusakan, pasien dengan MS
dapat memiliki gejala-gejala yang terlihat di seluruh tubuh. Gejala-gejala tersebut antara lain:
6

Gejala-gejala pada otot:


o Kehilangan keseimbangan
o Spasme otot
o Mati rasa pada beberapa anggota tubuh
o Kesulitan dalam menggerakkan lengan dan tungkai
o Kesulitan dalam berjalan
o Kesulitan dalam melakukan gerakan koordinasi dan membuat pergerakan
ringan
o Tremor
o Paraparesis (superior/inferior)

Gejala-gejala pada usus dan kandung kemih:


o Konstipasi
o Kesulitan memulai berkemih
o Inkontinensia

Gejala-gejala pada pengelihatan:


o Pengelihatan ganda
o Rasa tidak nyaman pada mata
o Pergerakan mata yang tidak terkontrol
o Kehilangan pengelihatan

Gejala-gejala seksual:
o Disfungsi ereksi

Kelemahan pada tungkai merupakan gejala yang paling umum terjadi, dapat muncul sebagai
monoparesis, hemiparesis, atau tetraparesis, dan yang paling sering adalah paraparesis asimetrik.
Pada beberapa pasien, terutama yang mengalami gejala late-onset, mungkin akan terjadi suatu
paraparesis spastic atau monoparesis yang berjalan progresif lambat, tanpa adanya abnormalitas
lain kecuali tanda-tanda kortikospinal (spastisitas, hyperreflexia dan reflex Babinski bilateral)
dan kelumpuhan ringan pada sensasi proprioseptif. Cerebellum dan penghubungnya dengan
batang otak biasanya ikut terlibat, sehingga menyebabkan dysartria, ataxia, tremor, dan
inkoordinasi pada lengan atau tungkai.
e) Pemeriksaan Diagnostic
Dalam menegakkan diagnosis multiple sklerosis dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang
sebagai berikut :

Pemeriksaan elektroporesis susunan saraf pusat, antibody Ig dalam SSP yang


abnormal.
Pemeriksaan elektroforesis terhadap SSP biasanya mengungkap adanya ikatan
oligoklonal (beberapa pita imunoglobulin gamma [IgG]), yang menunjukkan
abnormalitas imunoglobulin. Dalam kenyataannya, hampir 95% antibodi IgG normal
terlihat di SSP pada klien dengan multipel skierosis. Pemeriksaan potensial bangkitan
dilakukan untuk membantu memastikan luasnya proses penyakit den memantau
perubahan.

MRI
CT scan dapat menunjukkan atrofi serebri. MRI menjadi alat diagnostik utama untuk
memperlihatkan plak kecil dan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit den efek
pengobatan. Disfungsi kandung kemih yang mendasari diagnosis dengan pemeriksaan

urodinamik. Pengujian neuropsikologis dapat diindikasikan untuk mengkaji kerusakan


kognitif. Riwayat seksual menbantu untuk mengindentifikasi hal-hal kekhawatiran
khusus. Pemeriksaan MRI menunukkan bahwa banyak plak tidak menimbulkan gejala
serius, dan pasien dengan plak ini tidak secara serius mengalami gangguan tetapi
mengalami periode remisi yang panjang di antara episode remisi. Terdapat bukti bahwa
remielinasi secara actual terjadi pada beberapa pasien.

f) Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan gejala dan membantu fungsi klien. Penatalaksanaan
meliputi

penatalaksanaan

pada

serangan

akut

dan

kronik.

Program pengobatan sesuai dengan individu, kelompok, dan rasional yang menjadi indikasi
untuk mengurangi gejala dan memberikan dukungan secara terusmenerus. Banyak klien
multipel skierosis mengalami keadaan stabil dan hanya memerlukan pengobatan yang lebih
sering yang ditujukan pada pengontrolan gejala sedangkan yang lain mengalami progresi
penyakit yang mantap.

Penatalaksanaan Serangan Akut ( Farmakoterapi )


o Kortikosteroid dan ACTH digunakan sebagai agen anti-inflamasi yang dapat
meningkatkan konduksi saraf, menurunkan inflamasi, kekambuhan dalam
waktu singkat atau eksaserbasi (exacerbation). Karena mekanisme imun
merupakan faktor patogenesis multipel sklerosis, make sejumlah agen
farmakologik dicoba untuk modulasi respons imun dan menurunkan
kecepatan perkembangan penyakit den serangan yang sering den menurunkan
keadaan yang semakin buruk. Obat-obat ini mencakup azatioprin,
sikiofosfamid, dan interferon.
o Beta interferon (Betaseron) telah disetujui untuk digunakan dalam perjalanan
relapsing-remitting. Beta interferon (Betaseron ) digunakan untuk
mempercepat penurunan gejala. Betaseron telah diketahui efektif dalam
9

menurunkan secara signifikan jumlah dan beratnya eksaserbasi akut dengan


pemindaian MRI yang menunjukkan area demielinisasi yang lebih kecil pada
jaringan otak. ini merupakan obat baru yang dapat menjanjikan untuk
pengobatan multipel skierosis meskipun telah ratusan kali dicoba.
o Modalitas lain (misalnya radiasi, kopolimer 1, dan kladribin) sekarang masih
diteliti sebagai pengobatan yang mungkin untuk bentuk multipel sklerosis
progresif.
o Baklofen sebagai agen antispasmodik merupakan pengobatan yang dipilih
untuk spastisitas. Klien dengan spastisitas beret dan kontraktur memerlukan
blok saraf dan intervensi pembedahan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
o Imunosupresan (immunosuppressant) dapat menstabilkan kondisi penyakit

Penatalaksanaan Gejala Kronik


o Pengobatan spastic dengan bacloferen (Lioresal), dantrolene (Dantrium),
diazepam (Valim), terapi fisik, intervensi pembedahan.
o Kontrol kelelahan dengan namatidin (Simmetrel).
o Pengobatan depresi dengan antidepresan dan konseling.
o Penatalaksanaan kandung kemih dengan antikolinergik dan pemasangan
kateter tetap.
o Penatalaksanaan terhadap kontrol berkemih dan defekasi pada kebanyakan
masalah sulit klien. Umumnya, gejala disfungsi kandung kemih dibagi
menjadi beberapa kategori, yaitu ketidakmampuan untuk menyimpan urine
(hiperefleksi; tidal tertahan), ketidakmarnpuan mengosongkan kandung kemih
(hiporefleksi, hipotonik), dan campuran kedua tipe. Berbagai variasi
pengobatan digunakan untuk mengatasi masalah masalah ini. Kateterisasi
10

sendiri yang dilakukan secara sering efektif digunakan untuk disfungsi


kandung

kemih.

Infeksi saluran kemih sering terjadi akibat disfungsi neurologis. Asam


askorbat dapat diberikan untuk mengasamkan urine, sehingga menurunkan
kemungkinan bakteri untuk bertumbuh. Antibiotik diberikan bile dibutuhkan,
o Penatalaksanaan BAB dengan laksatif dan supositoria.
o Penatalaksanaan rehabilitasi dengan terapi fisik dan terapi kerja.
o Kontrol distonia dengan karbamazim (Treganol).
o Penatalaksanaan gejala nyeri dengan karbamazepin (Tegratol), feniton
(Dilantin), perfenazin dengan amitriptilin (Triavili)

B. Tumor Medulla Spinalis


Definisi
Tumor medula spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi pada daerah cervical
pertama hingga sacral, yang dapat dibedakan atas;

Tumor primer:
o
Jinak yang berasal dari

tulang; osteoma dan kondroma,

serabut saraf disebut neurinoma (Schwannoma),

berasal dari selaput otak disebut Meningioma;

jaringan otak; Glioma, Ependimoma.


o
Ganas yang berasal dari

jaringan saraf seperti; Astrocytoma, Neuroblastoma,

sel muda seperti Kordoma.


Tumor sekunder: merupakan anak sebar (metastase) dari tumor ganas di daerah rongga
dada, perut, pelvis dan tumor payudara.

Epidemiologi

11

Di Indonesia. jumlah penderita tumor medula spinalis belum diketahui secara pasti. Jumah kasus
tumor medula spinalis di Amerika Serikat mencapai 15% dari total jumlah tumor yang terjadi
pada susunan saraf pusat dengan perkiraan insidensi sekitar 0,5-2,5 kasus per 100.000 penduduk
per tahun. Jumlah penderita pria hampir sama dengan wanita dengan sebaran usia antara 30
hingga 50 tahun. Diperkirakan 25% tumor terletak di segmen servikal, 55% di segmen thorakal
dan 20% terletak di segmen lumbosakral.
Tumor intradural intramedular yang tersering adalah ependymoma, astrositoma dan
hemangioblastoma. Ependimoma lebih sering didapatkan pada orang dewasa pada usia
pertengahan (30-39 tahun) dan jarang terjadi pada usia anak-anak. Insidensi ependidoma kirakira sama dengan astrositoma. Dua per tiga dari ependydoma muncul pada daerah lumbosakral.
Diperkirakan 3% dari frekuensi astrositoma pada susunan saraf pusat tumbuh pada medula
spinalis. Tumor ini dapat muncul pada semua umur, tetapi yang tersering pada tiga dekade
pertama. Astrositoma juga merupakan tumor spinal intramedular yang tersering pada usia anakanak, tercatat sekitar 90% dari tumor intramedular pada anak-anak dibawah umur 10 tahun, dan
sekitar 60% pada remaja. Diperkirakan 60% dari astrositoma spinalis berlokasi di segmen
servikal dan servikotorakal. Tumor ini jarang ditemukan pada segmen torakal, lumbosakral atau
pada conus medularis. Hemangioblastoma merupakan tumor vaskular yang tumbuh lambat
dengan prevalensi 3% sampai 13% dari semua tumor intramedular medula spinalis. Rata-rata
terdapat pada usia 36 tahun, namun pada pasien dengan von Hippel-Lindau syndrome (VHLS)
biasanya muncul pada dekade awal dan mempunyai tumor yang multipel. Rasio laki-laki dengan
perempuan 1,8 : 1.
Tumor intradural ekstramedular yang tersering adalah schwanoma, dan meningioma.
Schwanoma merupakan jenis yang tersering (53,7%) dengan insidensi laki-laki lebih sering dari
pada perempuan, pada usia 40-60 tahun dan tersering pada daerah lumbal. Meningioma
merupakan tumor kedua tersering pada kelompok intradural-ekstramedullar tumor. Meningioma
menempati kira-kira 25% dari semua tumor spinal. Sekitar 80% dari spinal meningioma terlokasi
pada segmen thorakal, 25% pada daerah servikal, 3% pada daerah lumbal, dan 2% pada foramen
magnum.
Klasifikasi
12

Berdasarkan asal dan sifat selnya, tumor pada medula spinalis dapat dibagi menjadi tumor primer
dan tumor sekunder. Tumor primer dapat bersifat jinak maupun ganas, sementara tumor
sekunder selalu bersifat ganas karena merupakan metastasis dari proses keganasan di tempat lain
seperti kanker paru-paru, payudara, kelenjar prostat, ginjal, kelenjar tiroid atau limfoma. Tumor
primer yang bersifat ganas contohnya adalah astrositoma, neuroblastoma, dan kordoma,
sedangkan yang bersifat jinak contohnya neurinoma, glioma, dan ependimoma.1
Berdasarkan lokasinya, tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tumor
intradural dan ekstradural, di mana tumor intradural itu sendiri dibagi lagi menjadi tumor
intramedular dan ekstramedular. Macam-macam tumor medula spinalis berdasarkan lokasinya
dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 2.1 (A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-ekstramedular, dan (C)
Tumor Ekstradural

Tabel 1. Tumor Medula Spinalis Berdasarkan Gambaran Histologisnya


13

Ekstra dural

Intradural ekstramedular

Intradural intramedular

Chondroblastoma

Ependymoma, tipe myxopapillary

Astrocytoma

Chondroma

Epidermoid

Ependymoma

Hemangioma

Lipoma

Ganglioglioma

Lipoma

Meningioma

Hemangioblastoma

Lymphoma

Neurofibroma

Hemangioma

Meningioma

Paraganglioma

Lipoma

Metastasis

Schwanoma

Medulloblastoma

Neuroblastoma

Neuroblastoma

Neurofibroma

Neurofibroma

Osteoblastoma

Oligodendroglioma

Osteochondroma

Teratoma

Osteosarcoma
Sarcoma
Vertebral hemangioma

Etiologi dan Patogenesis


Penyebab tumor medula spinalis primer sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Beberapa
penyebab yang mungkin dan hingga saat ini masih dalam tahap penelitian adalah virus, kelainan
genetik, dan bahan-bahan kimia yang bersifat karsinogenik. Adapun tumor sekunder (metastasis)
disebabkan oleh sel-sel kanker yang menyebar dari bagian tubuh lain melalui aliran darah yang
kemudian menembus dinding pembuluh darah, melekat pada jaringan medula spinalis yang
normal dan membentuk jaringan tumor baru di daerah tersebut.7
Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi kebanyakan muncul dari
pertumbuhan sel normal pada lokasi tersebut. Riwayat genetik kemungkinan besar sangat
14

berperan dalam peningkatan insiden pada anggota keluarga (syndromic group) misal pada
neurofibromatosis. Astrositoma dan neuroependimoma merupakan jenis yang tersering pada
pasien dengan neurofibromatosis tipe 2 (NF2), di mana pasien dengan NF2 memiliki kelainan
pada kromosom 22. Spinal hemangioblastoma dapat terjadi pada 30% pasien dengan Von
Hippel-Lindou Syndrome sebelumnya, yang merupakan abnormalitas dari kromosom 3.
Manifestasi Klinis
Menurut Cassiere, perjalanan penyakit tumor medula spinalis terbagi dalam tiga tahapan, yaitu:

Ditemukannya sindrom radikuler unilateral dalam jangka waktu yang lama

Sindroma Brown Sequard

Kompresi total medula spinalis atau paralisis bilateral

Keluhan pertama dari tumor medula spinalis dapat berupa nyeri radikuler, nyeri vertebrae, atau
nyeri funikuler. Secara statistik adanya nyeri radikuler merupakan indikasi pertama adanya space
occupying lesion pada kanalis spinalis dan disebut pseudo neuralgia pre phase. Dilaporkan 68%
kasus tumor spinal sifat nyerinya radikuler, laporan lain menyebutkan 60% berupa nyeri
radikuler, 24% nyeri funikuler dan 16% nyerinya tidak jelas 3. Nyeri radikuler dicurigai
disebabkan oleh tumor medula spinalis bila:
1. Nyeri radikuler hebat dan berkepanjangan, disertai gejala traktus piramidalis
2. Lokasi nyeri radikuler diluar daerah predileksi HNP
seperti C5-7, L3-4, L5 dan S1
Tumor medula spinalis yang sering menyebabkan nyeri radikuler adalah tumor yang terletak
intradural-ekstramedular, sedang tumor intramedular jarang menyebabkan nyeri radikuler. Pada
tumor ekstradural sifat nyeri radikulernya biasanya hebat dan mengenai beberapa radiks.
Tumor-tumor intrameduler dan intradural-ekstrameduler dapat juga diawali dengan gejala TTIK
seperti: hidrosefalus, nyeri kepala, mual dan muntah, papiledema, gangguan penglihatan, dan
gangguan gaya berjalan. Tumor-tumor neurinoma dan ependimoma mensekresi sejumlah besar
protein ke dalam likuor, yang dapat menghambat aliran likuor di dalam kompartemen
subarakhnoid spinal, dan kejadian ini dikemukakan sebagai suatu hipotesa yang menerangkan
kejadian hidrosefalus sebagai gejala klinis dari neoplasma intraspinal primer.
15

Bagian tubuh yang menimbulkan gejala bervariasi tergantung letak tumor di sepanjang medula
spinalis. Pada umumnya, gejala tampak pada bagian tubuh yang selevel dengan lokasi tumor atau
di bawah lokasi tumor. Contohnya, pada tumor di tengah medula spinalis (pada segmen thorakal)
dapat menyebabkan nyeri yang menyebar ke dada depan (girdleshape pattern) dan bertambah
nyeri saat batuk, bersin, atau membungkuk. Tumor yang tumbuh pada segmen cervical dapat
menyebabkan nyeri yang dapat dirasakan hingga ke lengan, sedangkan tumor yang tumbuh pada
segmen lumbosacral dapat memicu terjadinya nyeri punggung atau nyeri pada tungkai.
Berdasarkan lokasi tumor, gejala yang muncul adalah seperti yang terihat dalam Tabel 2 di
bawah ini.
Tabel 2. Tanda dan Gejala Tumor Medula Spinalis
Lokasi

Tanda dan Gejala

Foramen

Gejalanya aneh, tidak lazim, membingungkan, dan tumbuh lambat

Magnum

sehingga sulit menentukan diagnosis. Gejala awal dan tersering adalah


nyeri servikalis posterior yang disertai dengan hiperestesia dalam
dermatom vertebra servikalis kedua (C2). Setiap aktivitas yang
meningkatkan TIK (misal ; batuk, mengedan, mengangkat barang, atau
bersin) dapat memperburuk nyeri. Gejala tambahan adalah gangguan
sensorik dan motorik pada tangan dengan pasien yang melaporkan
kesulitan menulis atau memasang kancing. Perluasan tumor menyebabkan
kuadriplegia spastik dan hilangnya sensasi secara bermakna. Gejala-gejala
lainnya adalah pusing, disartria, disfagia, nistagmus, kesulitan bernafas,
mual dan muntah, serta atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Temuan neurologik tidak selalu timbul tetapi dapat mencakup
hiperrefleksia, rigiditas nuchal, gaya berjalan spastik, palsi N.IX hingga
N.XI, dan kelemahan ekstremitas.

16

Servikal

Menimbulkan tanda-tanda sensorik dan motorik mirip lesi radikular yang


melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga menyerang tangan.
Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian atas (misal, diatas C4)
diduga disebabkan oleh kompresi suplai darah ke kornu anterior melalui
arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat kelemahan dan atrofi
gelang bahu dan lengan. Tumor servikalis yang lebih rendah (C5, C6, C7)
dapat menyebabkan hilangnya refleks tendon ekstremitas atas (biseps,
brakioradialis, triseps). Defisit sensorik membentang sepanjang tepi radial
lengan bawah dan ibu jari pada kompresi C6, melibatkan jari tengah dan
jari telunjuk pada lesi C7, dan lesi C7 menyebabkan hilangnya sensorik
jari telunjuk dan jari tengah.

Torakal

Seringkali dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada


ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parestesia. Pasien
dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan
abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat gangguan
intratorakal dan intraabdominal. Pada lesi torakal bagian bawah, refleks
perut bagian bawah dan tanda Beevor (umbilikus menonjol apabila
penderita pada posisi telentang mengangkat kepala melawan suatu
tahanan) dapat menghilang.

Lumbosakra

Suatu situasi diagnostik yang rumit timbul pada kasus tumor yang

melibatkan daerah lumbal dan sakral karena dekatnya letak segmen lumbal
bagian bawah, segmen sakral, dan radiks saraf desendens dari tingkat
medula spinalis yang lebih tinggi. Kompresi medula spinalis lumbal
bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun menghilangkan
refleks kremaster dan mungkin menyebabkan kelemahan fleksi panggul
dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi kehilangan refleks lutut dan
refleks pergelangan kaki dan tanda Babinski bilateral. Nyeri umumnya
dialihkan keselangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal bagian bawah dan
segmen-segmen sakral bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi
otot-otot perineum, betis dan kaki, serta kehilangan refleks pergelangan

17

kaki. Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai


gangguan kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi
yang mengenai daerah sakral bagian bawah.

Kauda

Menyebabkan gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tnda-tanda khas

Ekuina

lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum atau perineum, yang kadangkadang menjalar ke tungkai. Paralisis flaksid terjadi sesuai dengan radiks
saraf yang terkena dan terkadang asimetris.

Tumor Ekstradural
Sebagian besar merupakan tumor metastase, yang menyebabkan kompresi pada medula spinalis
dan terletak di segmen thorakalis. Nyeri radikuler dapat merupakan gejala awal pada 30%
penderita tetapi kemudian setelah beberapa hari, minggu/bulan diikuti dengan gejala mielopati.
Nyeri biasanya lebih dari 1 radiks, yang mulanya hilang dengan istirahat, tetapi semakin lama
semakin menetap/persisten, sehingga dapat merupakan gejala utama, walaupun terdapat gejala
yang berhubungan dengan tumor primer. Nyeri pada tumor metastase ini dapat terjadi spontan,
dan sering bertambah dengan perkusi ringan pada vertebrae, nyeri demikian lebih dikenal dengan
nyeri vertebrae.

a. Tumor Metastasis Keganasan Ekstradural


Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sebagian besar tumor spinal (>80 %) merupakan metastasis keganasan terutama
dari paru-paru, payudara, ginjal, prostat, kolon, tiroid, melanoma, limfoma, atau
sarkoma.
2. Yang pertama dilibatkan adalah korpus vertebra. Predileksi lokasi metastasis tumor
paru, payudara dan kolon adalah daerah toraks, sedangkan tumor prostat, testis dan
ovarium biasanya ke daerah lumbosakral.
3. Gejala kompresi medula spinalis kebanyakan terjadi pada level torakal, karena
diameter kanalisnya yang kecil (kira-kira hanya 1 cm).
18

4.

Gejala akibat metastasis spinal diawali dengan nyeri lokal yang tajam dan kadang
menjalar (radikuler) serta menghebat pada penekanan atau palpasi.

Tumor Intradural-Ekstramedular
Tumor ini tumbuh di radiks dan menyebabkan nyeri radikuler kronik progresif. Kejadiannya
70% dari tumor intradural, dan jenis yang terbanyak adalah neurinoma pada laki-laki dan
meningioma pada wanita.
a. Neurinoma (Schwannoma)
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Berasal dari radiks dorsalis
2. Kejadiannya 30% dari tumor ekstramedular
3. 2/3 kasus keluhan pertamanya berupa nyeri radikuler, biasanya pada satu sisi dan
dialami dalam beberapa bulan sampai tahun, sedangkan gejala lanjut terdapat tanda
traktus piramidalis
4. 39% lokasinya disegmen thorakal
b. Meningioma
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. 80% terletak di regio thorakalis dan 60% pada wanita usia pertengahan
2. Pertumbuhan lambat
3. Pada 25% kasus terdapat nyeri radikuler, tetapi lebih sering dengan gejala traktus
piramidalis dibawah lesi, dan sifat nyeri radikuler biasanya bilateral dengan jarak
waktu timbul gejala lain lebih pendek

Tumor Intradural-Intramedular
Lebih sering menyebabkan nyeri funikuler yang bersifat difus seperti rasa terbakar dan menusuk,
kadang-kadang bertambah dengan rangsangan ringan seperti electric shock like pain (Lhermitte
sign).

19

a. Ependimoma
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.

Rata-rata penderita berumur di atas 40 tahun

2.

Wanita lebih dominan

3.

Nyeri terlokalisir di tulang belakang

4.

Nyeri meningkat saat malam hari atau saat bangun

5.

Nyeri disestetik (nyeri terbakar)

6.

Menunjukkan gejala kronis


7. Jenis miksopapilari rata-rata pada usia 21 tahun, pria lebih dominan

b. Astrositoma
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.

Prevalensi pria sama dengan wanita

2.

Nyeri terlokalisir pada tulang belakang

3.

Nyeri bertambah saat malam hari

4.

Parestesia (sensasi abnormal)

c.

Hemangioblastoma
Memiliki karakter sebagai berikut:

1.

Gejala muncul pertama kali saat memasuki usia 40 tahun


2. Penyakit herediter (misal, Von Hippel-Lindau Syndrome) tampak pada 1/3 dari
jumlah pasien keseluruhan.

3.

Penurunan sensasi kolumna posterior

20

4.

Nyeri punggung terlokalisir di sekitar lesi


Diagnosis

Selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis tumor medula spinalis dapat
ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan penunjang seperti di bawah ini.
a. Laboratorium
Cairan spinal (CSF) dapat menunjukkan peningkatan protein dan xantokhrom, dan
kadang-kadang ditemukan sel keganasan. Dalam mengambil dan memperoleh cairan
spinal dari pasien dengan tumor medula spinalis harus berhati-hati karena blok sebagian
dapat berubah menjadi blok komplit cairan spinal dan menyebabkan paralisis yang
komplit.

b. Foto Polos Vertebrae


Foto polos seluruh tulang belakang 67-85% abnormal. Kemungkinan ditemukan erosi
pedikel (defek menyerupai mata burung hantu pada tulang belakang lumbosakral AP)
atau pelebaran, fraktur kompresi patologis, scalloping badan vertebra, sklerosis,
perubahan osteoblastik (mungkin terajdi mieloma, Ca prostat, hodgkin, dan biasanya Ca
payudara.
c. CT-scan
CT-scan dapat memberikan informasi mengenai lokasi tumor, bahkan terkadang dapat
memberikan informasi mengenai tipe tumor. Pemeriksaan ini juga dapat membantu
dokter mendeteksi adanya edema, perdarahan dan keadaan lain yang berhubungan. CTscan juga dapat membantu dokter mengevaluasi hasil terapi dan melihat progresifitas
tumor.
d. MRI
21

Pemeriksaan ini dapat membedakan jaringan sehat dan jaringan yang mengalami kelainan
secara akurat. MRI juga dapat memperlihatkan gambar tumor yang letaknya berada di
dekat tulang lebih jelas dibandingkan dengan CT-scan.
Diagnosis Banding
1. Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
2. Lumbar (Intervertebral) Disk Disorders
3. Mechanical Back Pain
4. Brown-Sequard Syndrome
5. Infeksi Medula Spinalis
6. Cauda Equina Syndrome

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular maupun ekstramedular adalah
dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tumor secara total dengan
menyelamatkan fungsi neurologis secara maksimal. Kebanyakan tumor intradural-ekstramedular
dapat direseksi secara total dengan gangguan neurologis yang minimal atau bahkan tidak ada
post operatif. Tumor-tumor yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat dan agresif secara
histologis dan tidak secara total dihilangkan melalui operasi dapat diterapi dengan terapi radiasi
post operasi.
Terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla spinalis adalah :
a. Deksamethason: 100 mg (mengurangi nyeri pada 85 % kasus, mungkin juga
menghasilkan perbaikan neurologis).
b. Penatalaksanaan berdasar evaluasi radiografik

Bila tidak ada massa epidural: rawat tumor primer (misalnya dengan sistemik
kemoterapi); terapi radiasi lokal pada lesi bertulang; analgesik untuk nyeri.

Bila ada lesi epidural, lakukan bedah atau radiasi (biasanya 3000-4000 cGy pada
10x perawatan dengan perluasan dua level di atas dan di bawah lesi); radiasi
biasanya seefektif seperti laminektomi dengan komplikasi yang lebih sedikit.

22

c. Penatalaksanaan darurat (pembedahan/ radiasi) berdasarkan derajat blok dan


kecepatan deteriorasi

bila > 80 % blok komplit atau perburukan yang cepat: penatalaksanaan sesegera
mungkin (bila merawat dengan radiasi, teruskan deksamethason keesokan
harinya dengan 24 mg IV setiap 6 jam selama 2 hari, lalu diturunkan (tappering)
selama radiasi, selama 2 minggu.

bila < 80 % blok: perawatan rutin (untuk radiasi, lanjutkan deksamethason 4 mg


selama 6 jam, diturunkan (tappering) selama perawatan sesuai toleransi.

d. Radiasi
Terapi radiasi direkomendasikan umtuk tumor intramedular yang tidak dapat diangkat
dengan sempurna. Dosisnya antara 45 dan 54 Gy.
e.

Pembedahan
Tumor biasanya diangkat dengan sedikit jaringan sekelilingnya dengan teknik
myelotomy. Aspirasi ultrasonik, laser, dan mikroskop digunakan pada pembedahan
tumor medula spinalis.

Indikasi pembedahan:
Tumor dan jaringan tidak dapat didiagnosis (pertimbangkan biopsi bila lesi dapat
dijangkau). Catatan: lesi seperti abses epidural dapat terjadi pada pasien dengan
riwayat tumor dan dapat disalahartikan sebagai metastase.
Medula spinalis yang tidak stabil (unstable spinal).
Kegagalan radiasi (percobaan radiasi biasanya selama 48 jam, kecuali signifikan
atau terdapat deteriorasi yang cepat); biasanya terjadi dengan tumor yang
radioresisten seperti karsinoma sel ginjal atau melanoma.
Rekurensi (kekambuhan kembali) setelah radiasi maksimal.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin pada tumor medula spinalis antara lain:

23

Paraplegia

Quadriplegia

Infeksi saluran kemih

Kerusakan jaringan lunak

Komplikasi pernapasan

Komplikasi yang muncul akibat pembedahan adalah:


Deformitas pada tulang belakang post operasi lebih sering terjadi pada anak-anak
dibanding orang dewasa. Deformitas pada tulang belakang tersebut dapat
menyebabkan kompresi medula spinalis.
Setelah pembedahan tumor medula spinalis pada servikal, dapat terjadi obstruksi
foramen Luschka sehingga menyebabkan hidrosefalus.
Prognosis
Tumor dengan gambaran histopatologi dan klinik yang agresif mempunyai prognosis yang buruk
terhadap terapi. Pembedahan radikal mungkin dilakukan pada kasus-kasus ini. Pengangkatan
total dapat menyembuhkan atau setidaknya pasien dapat terkontrol dalam waktu yang lama.
Fungsi neurologis setelah pembedahan sangat bergantung pada status pre operatif pasien.
Prognosis semakin buruk seiring meningkatnya umur (>60 tahun).
C. Gangguan Vaskularisasi Medulla Spinalis

Anatomi

Pembuluh yang mengantar darah pada medulla spinalis berasal dari cabang arteri vertebralis,
arteria intercostalis dan arteria lumbalis. Tiga arteri yang membujur memasok darah pada
medulla spinalis yaitu; sebuah arteri spinalis anterior dan dua arteri spinalis posterior. Pembuluhpembuluh ini memperoleh bantuan memasok darah oleh segmental yang dikenal sebagai arteria
radicularis. Arteria radicularis anterior dan posterior berjalan mengiringi radix anterior dan
posterior nervi spinalis. Beberapa arteri ini kecil dan hanya mengantar darah pada akar saraf dan
piamater spinalis, yang lain berukuran besar dan mengadakan hubungan dengan arteria spinalis
24

anterior dan posterior. Seluruhnya terdapat sekitar 14 arteria radicularis yang besar dan 12 arteria
radicularis yang beranastomosis dengan arteria spinalis.
Arteria radicularis anterior magna (Adamkiewicz) mengantar darah pada medulla spinalis daerah
torakal sebelah kaudal dan daerah lumbal sebelah cranial, termasuk intumescentia lumbosacralis.
Arteri ini biasanya lebih besar daripada arteria radicularis lainnya. Arteria radicularis magna ini
lebih sering berasal di sebelah kiri dari arteria intercostalis atau arteria lumbalis. Pembuluh ini
sangat penting secara klinis karena membantu memasok cukup banyak darah pada arteria
spinalis anterior yang merupakan sumber pemasok utama pada medulla spinalisbagian dua
pertiga kaudal.
Biasanya terdapat tiga vena spinalis anterior dan tiga vena spinais posterior. Vena-vena ini
melintas membujur, berhubungan bebas satu sama lain dan darah di dalamnya disalurkan melalui
banyak vena radicularis. Vena-vena penyalur darah medulla spinalis dan vertebra membentuk
plexus venosi vertebrales interni, terdiri dari vena-vena yang berdinding tipis dan tidak berkatup
sekeliling dura mater spinalis. Vena-vena ini berhubungan melalui sinus longitudinal anterior dan
sinus longitudinal posterior dengan sinus venosus durae matris spinalis crania. Vena spinalis
anterior dan posterior dan plexus venosi vertebrales menyalurkan isinya ke dalam vena
intervertebralis dan lalu ke dalam vena vertebralis, vena lumbalis ascendens dan sistem vena
azygos.

Infark Medulla Spinalis


25

Etiologi
Infark medulla spinalis biasanya terjadi pada segmen T4-T9 dan biasanya disebabkan oleh
ateroma yang melibatkan aorta dan menjadi komplikasi yang paling potensial dari pembedahan
aneurisma torakoabdominal.
Penyebab lain dari infark medulla spinalis yang jarang terjadi diantaranya adalah; gangguan
kolagen pada pembuluh darah, syphilitic angiitis, dissecting aortic aneurysm, embolic infarction,
kehamilan, sickle cell disease dan penyakit lainnya. Iskemia pada medulla spinalis dapat terjadi
sebagai komplikasi awal dari pembedahan spinal arteriovenosus malformation (AVM).
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada stroke medulla spinalis biasanya muncul dalam hitungan menit atau jam
sejak iskemia berlangsung. Gejala pertama adalah nyeri punggung radicular, nyeri yang
menyebar, dalam pada kedua tungkai atau sensasi terbakar pada kaki. Gejala-gejala sensorik ini
kemudian diikuti oleh munculnya kelemahan yang cepat pada tungkai. Oklusi pembuluh darah
pada arteri spinalis anterior region servikal dapat menimbulkan tetraplegia inkontinensia urin dan
feses dan penurunan fungsi sensorik pada daerah di bawah lesi. Pada lesi servikal dapat terjadi
depresi pernapasan. Kelemahan spastic yang terjadi dapat disebabkan karena oleh lesi pada
traktus kortikospinalis lateralis.
Seringnya, stroke medulla spinalsi terjadi pada region midthoracic, yang dapat menyebabkan
munculnya paraplegia, inkontinensia urin, hilangnya sensasi nyeri dan suhu, dan terganggunya
fungsi proprioseptif. Kelemahan yang terjadi diikuti oleh munculnya reflex babinsky. Spastisitas
dan hiperreflexia biasanya muncul dalam beberapa minggu. Insufisiensi arteri pada region
lumbar menyebabkan terjadinya paraplegia.

Diagnosis

Diagnosis stroke medulla spinalis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan MRI, selain dapat
menentukan letak lesi, MRI juga dapat menentukan apakah terdapat kelainan lain seperti
neoplasma atau spondilosis servikal.

26

Pemeriksaan punksi lumbal juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah terjadi infeksi atau
perdarahan pada medulla spinalis.

Penatalaksanaan

Prinsip umum penatalaksanaan pasien dengan quadriplegia atau paraplegia harus dilakukan,
dapat juga diberikan antiplatelet dan antikoagulan, namun belum ada study yang menunjukkan
keefektifitasan penggunaan kedua jenis obat ini sampai sekarang.
Prognosis
Prognosis pada pasien dengan stroke medulla spinalis menurut sebuah studi dinyatakan bahwa
tingkat mortalitas pasien dengan stroke medulla spinalis adalah 22%, 57% mengalami
kelumpuhan sehingga harus menggunakan kursi roda dan 25% harus menggunakan dirawat
menggunakan alat bantu, dan 18% pasien dirawat jalan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rowland LP. Syndrome Caused by Weak Muscles. In: Merrits Neurology. 11 th ed. New
York: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
2. Sadiq SA. Multiple Sclerosis. In: Merrits Neurology. 11th ed. New York: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005.
3. Weisberg LA. Vascular Disease of the Spinal Cord. In: Merrits Neurology. 11 th ed. New
York: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2005.

27

4. Smith KJ, McDonald WI. The pathophysiology of multiple sclerosis: the mechanisms
underlying the production of symptoms and the natural history of the disease. Philos
Trans R Soc Lond B Biol Sci. 1999 October 29; 354(1390): 16491673.
5. Huff,

J.S.

2010.

Spinal

Cord

Neoplasma.

[serial

online].

http://emedicine.medscape.com/article/779872-print.
6. American Cancer Society. 2009. Brain and Spinal Cord Tumor in Adults. [serial online].
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/
7. Harrop, D.S. and Sharan, A.D. 2009. Spinal Cord Tumors - Management of Intradural
Intramedullary

Neoplasms.

[serial

online].

http://emedicine.medscape.com/article/249306-print.
8. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2005. Brain and Spinal Cord
Tumors - Hope Through Research. [serial online].
http://www.ninds.nih.gov/disorders/brainandspinaltumors/detail_brainandspinaltumors.ht
m.
9. Moore KL, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates; 2002. Hal. 214-16

28

Anda mungkin juga menyukai