Anda di halaman 1dari 9

Jenis-Jenis Diabetes Mellitus

1. Diabetes Mellitus tipe 1


Diabetes Mellitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) terjadi
karena adanya kerusakan sel pancreas yang kemudian dapat menyebabkan defisiensi
absolut insulin. Diabetes tipe 1 ini sering disebut dengan "insulin dependent diabetes" atau
"diabetes juvenile-onset", menyumbang 5-10% dari penderita diabetes. Diabetes tipe 1
didefinisikan oleh satu atau lebih dari penanda adanya penyakit autoimun. Pada DM tipe 1,
kadar glukosa darah sangat tinggi, namun ironisnya tubuh tidak dapat memanfaatkannya
sebagai sumber energi
Laju kerusakan sel pancreas cukup bervariasi, akan cepat pada beberapa individu
(terutama bayi dan anak-anak) dan lambat pada orang lain (terutama orang dewasa). Anakanak dan remaja dapat muncul adanya ketoasidosis sebagai manifestasi klinik pertama
penyakit DM tipe 1 ini. Pada penderita dewasa dapat mempertahankan fungsi sel pankreas
yang cukup untuk mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun; yang sering disebut sebagai
diabetes autoimun laten pada orang dewasa (LADA). Namun pada akhirnya menjadi
tergantung pada insulin untuk bertahan hidup dan dapat beresiko terjadinya ketoasidosis.
Tanda dari penghancuran imun sel termasuk autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap
insulin, autoantibodi untuk GAD (GAD65), dan autoantibodi terhadap tirosin fosfatase IA-2
dan IA-2b.
Kerusakan autoimun dari sel pankreas memiliki beberapa kecenderungan genetik
dan juga terkait dengan faktor lingkungan yang sulit untuk didefinisikan. Penderita DM tipe 1
tidak selalu identic dengan obesitas, oleh sebab itu obesitas tidak akan menghalangi
diagnosis. Penderita DM tipe 1 ini juga rentan terhadap gangguan autoimun lain seperti
Hashimoto tiroiditis, penyakit celiac, penyakit Graves, penyakit Addison, vitiligo, hepatitis
autoimun, miastenia gravis, dan anemia pernisiosa.
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Diabetes tipe 2 atau disebut sebagai Non Iinsulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) menyumbang 90-95% dari semua diabetes. Diabetes tipe 2 ini meliputi individu
yang memiliki resistensi insulin dan biasanya relatif (bukan absolut) defisiensi insulin. Paling
tidak pada awalnya dan sepanjang hidup pasien mungkin tidak memerlukan pengobatan
insulin untuk bertahan hidup.
Ada beberapa penyebab DM tipe 2, yaitu penurunan respon jaringan terhadap
insulin (resistensi insulin) dan penurunan produksi insulin akibat regulasi sekresinya
terganggu atau terjadi kerusakan fungsional pada sel Langerhans. Factor yang pertama
mengakibatkan efek insulin berkurang meskipun kadar insulinnya normal, sedangkan factor
kedua mengakibatkan penurunan sekresi insulin. Kedua factor akhirnya menyebabkan
kenaikan konsentrasi glukosa darah.
Ketoasidosis jarang terjadi secara spontan pada DM tipe 2, namun akan timbul pada
hubungannya dengan penyakit lain seperti infeksi. Diabetes tipe 2 sering pergi terdiagnosis
selama bertahun-tahun karena hiperglikemia berkembang secara bertahap dan pada tahap
awal tidak cukuo parah untuk pasien dalam melihat gejala diabetes klasik. Namun demikian,
pasien yang tidak terdiagnosis dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan risiko komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular.

Risiko berkembangnya DM tipe 2 meningkat dengan adanya usia, obesitas, dan


kurangnya aktivitas fisik. Hal ini terjadi lebih sering pada wanita dengan GDM sebelumnya,
pada mereka dengan hipertensi atau dislipidemia, dan dalam subkelompok tertentu ras/etnis
(Afrika Amerika, Indian Amerika, Hispanik/Latino, dan Amerika Asia).
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4
kelompok:
a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia
(Chemical Diabetes)
c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma
puasa < 140 mg/dl)
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa
> 140 mg/dl).
Secara ringkas, perbedaan DM Tipe 1 dengan DM Tipe 2 disajikan dalam table berikut :
DM tipe 1
DM tipe 2
Mula muncul
Umumnya masa kanak-kanak dan remaja, Pada
usia
tua,
walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 umumnya > 40 tahun
tahun
Keadaan klinis saat Berat
Ringan
diagnosis
Kadar
insulin Rendah, tak ada
Cukup tinggi, normal
darah
Berat badan
Biasanya kurus
Gemuk atau normal
Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, olahraga
Diet,
olahraga,
disarankan
hipoglimek oral
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik 2005)
3. Diabetes Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya
berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita
GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri
beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang
dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan
berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu,
wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes
di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.
Terapi Farmakologi Diabetes Mellitus Tipe 1
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan
pasien DM Tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien,
farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau
kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang

digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta


kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang
ada.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi
3 golongan, yaitu:
a. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin),
meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat
membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.
c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor -glukosidase yang bekerja
menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan
hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia).
Golongan Sulfonilurea
Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan. Sampai beberapa
tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan golongan
sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan (drug of
choice) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta
tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya
tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid.
Obat sulfoniurea mempunyai aksi terutama pada sel Langerhans pancreas (aksi
pankreatik). Obat ini beraksi secara pankreatik dengan menstimulasi sel Langerhans
pancreas untuk mensekresi insulin. Sulfonylurea juga mempunyai aksi di luar pancreas (aksi
ekstras pankreatik). Aksi ekstra pankreatik sulfonylurea yaitu menurunkan kadar glucagon
serum dan meningkatkan aksi insulin pada jaringan. Oleh sebab itu, obat-obat golongan
sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih
mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita
dengan kerusakan sel-sel Langerhans kelenjar pancreas, pemberian obat-obat hipoglikemik
oral golongan sulfonilurea tidak bermanfaat. Sulfonylurea beraksi dengan menghambat ATPsensitivev K+ channels, menyebabkan depolarisasi, meningkatkan kenaikan ion intraseluler
sehingga meningkatkan eksresi insulin. Pada dosis tinggi, sulfonilurea menghambat degradasi
insulin oleh hati.
Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat.
Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit
kepala. Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.
Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan anemia
aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat meningkatkan ADH
(Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu
ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering
diakibatkan oleh obat-obat hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang.
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat sulfonilurea, sehingga risiko
terjadinya hipoglikemia harus diwaspadai. Obat atau senyawa-senyawa yang dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-obat hipoglikemik sulfonilurea

antara lain: alkohol, insulin, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon,
oksifenbutazon, probenezida, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO (Mono Amin
Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat.
Obat sulfonylurea dibagi dalam beberapa generasi, dibedakan berdasarkan era
penemuan dan potensinya. Generasi paling baru biasanya mempunyai potensi lebih tinggi dan
durasi aksinya relative lama.
a. Generasi pertama, contohnya tolbutamid, klorpropamid, tolazamid, asetoheksamid;
b. Generasi kedua, contohnya glibenklamid, gliburid, glipizid;
c. Generasi ketiga, contohnya glimepiride.
Golongan Meglitinid
Obat ini mempunyai aksi mirip dengan sulfonylurea dengan memblok ATPsensitive K+ channels pada sel Langerhans untuk merangsang sekresi insulin. Obat kurang
poten dibandingkan obat sulfonylurea, namun aksinya cepat. Contoh obat golongan ini adalah
repaglinid, netaglinid.
Golongan Biguanid
Obat ini mempunyai aksi ekstra pankreatik. Obat ini mempunyai efek penurunan
kadar glukosa darah melalui penurunan produksi glukosa di hati (gluconeogenesis),
meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan adipose dan otot, menurunkan absorpsi
glukosa di usus dan meningkatkan sintesis glikogen. Di samping itu, biguanid dapat
menurunkan kadar kolesterol jahat yaitu LDL dan VLDL dalam serum. Penggunaan obat ini
bisa menyebabkan gangguan pencernaan misalnya anoreksia, diare, mual, muntah.
Penggunaan jangka panjang juga akan mempengaruhi absorpsi vitamin B12. Karena aksinya
tidak pada pancreas maka obat ini tidak menyebabkan hipoglikemik, dan sering
dikombinasikan dengan obat yang beraksi pankreatik yaitu sulfonylurea, atau insulin. Contoh
obat ini adalah metformin, fenformin, buformin.
Golongan Inhibitor glukosidase
Obat hipoglikemik yang beraksi dengan menghambat enzim glukosidase, suatu
enzim pencernaan untuk membantuk absorpsi glukosa atau karbohidrat, sehingga
menurunkan kadar glukosa darah. Efek sampingnya adalah flatulensi, diare, nyeri abdominal,
kembung. Contoh obatnya adalah akarbose dan miglitol.
Golongan Thiazolidindion
Obat ini beraksi mengkativasi Peroksidase Proliferasi Activated Receptor Gamma
(PPAR), suatu reseptor intraseluler yang terdapat pada jaringan adipose, otot, dan hati.
Fungsi PPAR adalah memperantarai diferensiasi adipocyte (sel lemak), meningkatkan
proses lipogenesis, dan meningkatkan pengambilan asam lemak dan glukosa. Aktivasi
reseptor tersebut menyebabkan peningkatan penggunaan dan transport glukosa, dan
menurunkan resistensi insulin pada jaringan. Contoh obat golongan ini adalah ciglitazon,
troglitazon, rosiglitazon, dan pioglitazone. Dua obat pertama mempunyai efek samping
hepatotoksik. Efek samping troglitazon disebabkan karena metabolit kuinolon pada rantai
samping -tokoferol. Pada penggunaan klinik, obat ini dikombinasikan dengan obat
hipoglikemik oral lainnya.

Golongan Vildagliptin
Obat ini beraksi dengan menghambat aktivitas enzim dipeptidil peptidase d (DPP-4). Enzim
DPP-4 berfungsi menghidrolisis hormone inkretin, GLP-1 dan GIP yang berfungsi
meningkatkan respon sel Langerhans pancreas dalam mensekresi insulin.
Golongan Amylin
Peptide asam amino yang juga diproduksi oleh sel Langerhans pancreas, dan disimpan
bersama dengan insulin. Aksi amylin dengan cara menghambat sekresi glucagon, menunda
pengosongan lambung dan menekan nafsu makan.
(Nugroho 2012)

(ADA 2016)

Nama
Generik

Glipizid

Dosis awal yang


Mekanisme
Efek
Kontrain
direkomendasikan
Samping
dikasi
mg/hari
NonLansia
lansia
Sulfonilurea
Generasi Kedua
Merangsang sekresi - Hipoglike - Hipersensi
insulin di kelenjar
mia
tivitas
5 mg/hari
2,5-

(sebelum
makan)
Gliburid

5 mg/hari
(sebelum
makan)

Glimepirid

1-2
mg/hari
(sebelum
makan)

Nateglinid

120 mg
(saat/sese
gera
setelah
makan)
0.5-1 mg
(saat/sese
gera
setelah
makan)

Repaglinid

Metformin

500 mg,
2x sehari
(saat/sese
gera
setelah
makan)

Pioglitazon

15 mg
(saat/sese
gera

5mg/hari
pankreas, sehingga
(sebelum
hanya efektif pada
makan)
penderita diabetes
yang sel-sel
1,25-2,5
pakreasnya masih
mg/hari
berfungsi dengan
(sebelum
baik.
makan)
0,5-1
mg/hari
(sebelum
makan)
Meglitinida
120 mg
Merangsang sekresi
(saat/seseg
insulin di kelenjar
era setelah
pankreas
makan)
meningkatkan
kecepatan sintesis
insulin oleh
0,5-1 mg
pancreas.
(saat/seseg
era setelah
makan)

Mual
Muntah
Diare
Sakit
kepala

- DM tipe 1
- Hamil
- Menyusui

- Gangguan
saluran
cerna
- Infeksi
saluran
pernafas
an atas
(ISPA)

- Hipersensi
tivitas
- DM tipe 1
- Hamil
- Menyusui

Biguanid
Tergantun 1. Meningkatkan
g fungsi
sensitivitas
ginjal
reseptor terhadap insulin pada sel
2. Menghambat
proses
glikogenolisis
yang memecah
glikogen menjadi
glukosa di hepatik
3. Meningkatkan
proses
glikogenesis yang
mengubah
glukosa menjadi
glikogen di otot
4. Merangsang usus
untuk
menggunakan
glukosa untuk
metabolisme
tanpa penggunaan
oksigen
Tiazolidindion
15 mg
Meningkatkan (saat/seseg
kepekaan reseptor
era setelah
terhadap insulin di

Mual
Muntah
Diare

- Chronic
heart
failure
- Penyakit
ginjal
- Hipersensi
tivitas
- Menyusui

hipoglike - Hipersensi
mia
tivitas

Rosiglitazon

Akarbosa

setelah
makan)
2-4 mg
(saat/sese
gera
setelah
makan)

otot, jaringan lemak, - sakit


dan hati untuk
kepala
menurunkan
- infeksi
2 mg
resistensi insulin
(saat/seseg
saluran era setelah
atas
makan)
- gagal
jantung
Inhibitor -glukosidase
25 mg, 1-3 Menghambat kerja - Nyeri
x sehari
enzim-enzim
abdomin
(saat/seseg
pencernaan yang
al
era setelah
mencerna
- Diare
makan)
karbohidrat menjadi - Flatus
monosakarida
25 mg, 1-3 (glukosa), sehingga
memperlambat
x sehari
(saat/seseg absorpsi glukosa ke
dalam darah.
era setelah
makan)
makan)

DM
ketosidos
is
Kerusakan
hati
CHF

25 mg, 1Hipersensi
3 x sehari
tivitas
(saat/sese
Diabetes
gera
asidosis
setelah
makan)
Miglitol
25 mg, 13 x sehari
(saat/sese
gera
setelah
makan)
Dipeptidyl peptidase-IV (DPP-IV) inhibitors)
Sitagliptin
100
25-100 mg
Mencegah
- Nasofarin - hipersensit
mg/hari
/hari.
penghambatan
gitis
ivitas
(saat/sese Berdasark hormon incretin oleh - Diare
gera
an fungsi
DPP4 sehingga - Sakit
setelah
ginjal
insulin dapat
kepala
makan)
(saat/seseg diproduksi oleh beta - Konstipasi
era setelah
pankreas. Incretin - Mual
makan)
berperan berperan
utama terhadap
produksi insulin di
pankreas.
Terapi Kombinasi
Gliburid/metf
2,5-5/500
1,25/250
ormin
mg
mg
1-2x
1-2
sehari
xsehari
Glipizid/metfo 2,5-5/500
2,5/250
rmin
mg
mg
2 x sehari
2x sehari
periksa
fungsi
ginjal
Rosiglitazon/
1-2/500
1/500 mg
metformin
mg
2x sehari
2x sehari
Pioglitazone/
15/50015/500 mg
metformin
15/850 mg 2x sehari.
1-2x
Periksa
sehari
fungsi

Pioglitazone/g
limepiride

Sitagliptin/Me
tformin

ginjal
30/2 mg
30/2 mg
atau
1xsehari
30/4 mg
untuk
1xsehari
menghind
ari
hipoglike
mia
50/500 mg 50/500 mg
2x sehari
2x sehari
(bersama
(bersama
makan)
makan)
dapat
dapat
ditingkatk ditingkatk
an sampai an sampai
50/1.000.
50/1.000.
periksa
fungsi
ginjal.
(Dipiro 2008, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik 2005).

ADA/EASD, 2015, Standards of Medical Care in Diabetes, Position statement of the


American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the Study of
Diabetes (EASD), Vol 38 (Suppl 1), pg 543.
Dipiro, J.T., et al., 2008, Pharmacotherapy Principles Practise, Seventh edition, Mc-Graw
Hill.Inc, USA, pp.1210, 1221-1222.
Direktorat Bina Farmasi Kominitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical care untuk penyakit
Diabetes Melitus, Departemen Kesehatan RI, http://binfar.kemkes.go.id/v2/wpcontent/uploads/2014/02/PC_DM.pdf.
Nugroho AE, 2012, Farmakologi: Obat-obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan
Dunia Kesehatan, Pustaka Pelajar, pg 146-153.

Anda mungkin juga menyukai