Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERWATAN (ASKEP) TB PARU

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit pada sistem pernafasan merupakan masalah yang sudah umum terjadi di
masyarakat. Dan TB paru merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian
dengan urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit
(morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama. Penyakit ini biasanya banyak terjadi
pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke
bawah.
Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan
dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan
China dalam jumlah penderita TB paru di dunia.
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia,
menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang
per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari
kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95%
penderita TB berada di negara-negara berkembang. Dengan munculnya epidemi
HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Hasil survey kesehatan rumah
tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab
kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada
semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi. Antara tahun 1979-1982 telah
dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000
penduduk.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita
terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah
dan swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan.
Sedangkan

kematian

karena

TB

diperkirakan

175.000

per

tahun.

Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB


kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB
Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy)
atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari baru mencapai 36%
dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya
sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena
pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup di masa lalu

kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis)
secara meluas atau multi drug resistance (MDR).
Data dari RSUD Kota Kendari menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap
pasien TB Paru, pada tahun 2013 jumlah pasien TB Paru sebanyak 119 pasien dengan
jumlah kematian 1 orang, tahun 2014 berjumlah 148 pasien dan tahun 2015 sebanyak 127
pasien TB Paru dengan jumlah kematian sebanyak 3 orang sedangkan tahun 2016 pada
bulan januari sebanyak 19 orang pasien dan 1 orang meninggal pada bulan februari jumlah
pasien TB Paru sebanyak 8 orang, pada bulan maret sebanyak 13 orang pasien, pada bulan
april sebanyak 21 orang pasien TB Paru dan 1 orang pasien meninggal, pada bulan mei
tahun 2016 jumlah pasien TB Paru sebanyak 26 orang dan pada bulan juni jumlah pasien
TB Paru sebanyak 20 pasien. Mengingat kompleksnya masalah yang terjadi pada klien
dengan penyakit TB Paru maka penulis tertarik untuk merawat klien dengan judul Asuhan
Keperawatan pada Tn. G dengan TB Paru di ruang Lavender RSUD Kota Kendari
tahun 2016.
B. Rumusan masalah
Dalam karya tulis ini, penulis membatasi masalah pada asuhan keperawatan pada
Ny. G dengan gangguan: TB Paru di ruang Lavender RSUD Kota Kendari tahun 2016
selama 3 hari dari tanggal 16 sampai dengan 18 Juli 2016
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. G dengan gangguan
sistem pernapasan TB Paru di ruang Lavender RSUD Kota Kendari tahun 2016.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian keperawatan pada Tn. G dengan gangguan
sistem pernapasan TB Paru di ruang Lavender RSUD Kota Kendari tahun 2016
b. Mampu menganalisa dan menentukan diagnosa keperawatan pada Tn. G dengan
gangguan sistem pernapasan TB Paru di ruang Lavender RSUD Kota Kendari
tahun 2016

c. Mampu menyusun intervensi keperawatan pada Tn. G dengan gangguan sistem


pernapasan TB Paru di ruang Lavender RSUD Kota Kendari tahun 2016
d. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada Tn. G dengan gangguan
sistem pernapasan TB Paru di ruang Lavender RSUD Kota Kendari tahun 2016
e. Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan pada Tn. G dengan gangguan sistem
pernapasan TB Paru di ruang Lavender RSUD Kota Kendari tahun 2016
f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada Tn. G dengan gangguan
sistem pernapasan TB Paru di ruang Lavender RSUD Kota Kendari tahun 2016
A. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan dari laporan Karya Tulis Ilmiah ini yaitu :
1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Khususnya Ilmu Keperawatan
Sebagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan bagi tenaga keperawatan tentang
asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru.
2. Bagi Institusi dan Perawat Tempat Studi Kasus
Sebagai bahan masukan bagi tenaga keperawatan khususnya pada di ruang Lavender
RSUD Kota Kendari tahun 2016
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Program D3
Keperawatan Akper Pemda Konawe
4. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan bacaan dalam mengenal penatalaksanaan/pertolongan pertama pada
korban yang mengalami TB Paru.
5. Bagi Mahasiswa
Sebagai pengalaman nyata dalam penerapan asuhan keperawatan pada klien TB Paru
dan Sebagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan khususnya rekan-rekan
mahasiswa jurusan Keperawatan Program Studi D III-Keperawatan.
B. Metode Penulisan

Metode penulisan Karya tulis ilmiah ini merupakan karya tulis ilmiah yang
dilakukan secara Deskriptif melalui studi kasus secara langsung kepada pasien dan
keluarga. Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah :
1. Studi Kepustakaan
Mempelajari literatur-literatur atau buku-buku yang terkait dengan isi karya tulis
asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru
2. Studi kasus
Mempelajari kasus klien dengan menggunakan proses keperawatan. Pengumpulan
data dilakukan secara wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik. Masalah yang
ditemukan kemudian diatasi melalui demonstrasi tindakan keperawatan yang sesuai
dengan kasus TB Paru.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan dengan mempelajari dokumen yang relevan dengan isi
karya tulis ilmiah.
C. Sistematika Penulisan
Pada bagian ini menguraikan sistematika penulisan dari laporan kasus pada pasien
Tn. G dengan gangguan sistem pernapasan: TB Paru yang terdiri atas 5 (lima) bab yaitu :
BAB 1

Pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, ruang lingkup


bahasan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan

BAB II

dan sistematika penulisan


Tinjauan teoritis terdiri atas konsep dasar Medik yang meliputi
pengertian,

penyebab,

anatomi

fisiologi,

patofisiologi,

manifestasi klinik, komplikasi, pemeriksaan penunjang dan


penatalaksanaan medic; dan konsep dasar keperawatan yang
meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan,
BAB III
BAB IV

dan evaluasi

asuhan keperawatan
Tinjauan kasus yang merupakan laporan hasil studi kasus yang

menggunakan pendekatan proses keperawatan


Pembahasan, bab ini menguraikan tentang kesenjangan yang
ditemukan dari fakta teori yang dibahas secara komprehensif,
factor pendukung dan factor penghambat serta alternative

BAB V

penyelesaian masalah pada setiap tahapan proses keperawatan


Kesempulan dan saran, bab ini merupakan bab terakhir yang
disimpulkan dari hasil pelaksanaan studi kasus dan saran-saran
yang berkaitan dengan kesimpulan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian TB Paru
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam
(BTA).
B. Etiologi
Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant,
tertidur lama selama beberapa tahun.
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet
yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.
Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB
tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis :
1. Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara
genetik.
2. Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan
kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
3. Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi.
4. Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan
infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat.
5. Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi, stress
emosional, kelelahan yang kronik)

6. Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan


memudahkan untuk penyebarluasan infeksi.
7. Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah.
8. Nutrisi ; status nutrisi kurang
9. Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis.
10. Tidak mematuhi aturan pengobatan.
C. Patofisiologi
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak
sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat
terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap.
Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat
bakteri tuberkolosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila
bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri
tuberkolosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan air-borne infection. Bakteri
yang terisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga
alveoli. Pada titik lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan
diri (multiplying). Bakteri tuberkolosis dan fokus ini disebut fokus primer atau lesi primer
(fokus Ghon). Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama dengan
fokus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang
baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap tes tuberkulin atau tes Mantoux.
Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh
melalui berbagai jalan, yaitu:
1. Percabangan bronchus
Dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan
ulserasi laring), maupun ke saluran pencernaan.
2. Sistem saluran limfe
Menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak langsung
mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan
tuberkulosis milier.
3. Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau mengangkut
material yang mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri ini dapat mencapai
berbagai organ melalui aliran darah, yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan
meningen.
4. Rektifasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)
Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang lebih jauh
dan bakteri tuberkulosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman
atau tidur. Ketika suatu saat kondisi inang melemah akibat sakit lama/keras atau
memakai obat yang melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama, maka bakteri

tuberkulosis yang dorman dapat aktif kembali. Inilah yang disebut reaktifasi infeksi
primer atau infeksi pasca-primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah
infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer juga dapat diakibatkan oleh
bakteri tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi baru), bukan bakteri dorman
yang aktif kembali. Biasanya organ paru tempat timbulnya infeksi pasca-primer
terutama berada di daerah apeks paru.
5. Infeksi Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai
reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar
pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan
sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB
berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe
disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya
respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadangkadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai
menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
6. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau
status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru
yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
7. Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 %
akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik
yang tetap menular (WHO 1996).
8. Pengaruh Infeksi HIV

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular
Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah
horang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
D. Klasifikasi TB Paru
Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas :
1. Berdasarkan organ yang terinvasi
a.

TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk


pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi
menjadi 2, yaitu :
1) TB Paru BTA Positif
Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1 spesimen dahak
SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru menunjukan gambaran TB
aktif.
2) TB Paru BTA Negatif
Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan
pemeriksaan radiologi dada menunjukan gambaran TB aktif. TB Paru dengan
BTA (-) dan gambaran radiologi positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan,

b.

bila menunjukan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.


TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,
tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra
paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu :
1) TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
2) TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB tulang

belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin.


2. Berdasarkan tipe penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe penderita :
a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan.
b. Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil
pemeriksaan BTA positif.

c. Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di


suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
d. Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah
berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat.
PERBEDAAN TB ANAK DAN DEWASA
1. TB anak lokasinya pada setiap bagian paru, sedangkan pada dewasa di daerah apeks
dan infra klavikuler
2. Terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran
kelenjar limfe regional
3. Penyembuhan dengan perkapuran sedangkan pada dewasa dengan fibrosis
4. Lebih banyak terjadi penyebaran hematogen, pada dewasa jarang
E. Manifestasi Klinis
Diagnosa TB berdasarkan gejala/manifestasi klinis dibagi menjadi 3, diantaranya:
1.
Gejala respiratorik, meliputi:
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis
atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat
banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya
batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak nafas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada
hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul
apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2.
Gejala sistemik meliputi:
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari
mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang
serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
b. Gejala sistemik lain :
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta
malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan

tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat
juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
3. Gejala Tuberkulosis ekstra Paru
Tergantung pada organ yang terkena, misalnya : limfedanitis tuberkulosa. Meningitsis
tuberkulosa, dan pleuritis tuberkulosa.
F. Gejala klinis Hemoptoe :
Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciriciri sebagai berikut :
1.
Batuk darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif
2.
Muntah darah
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif
3.
Epistaksis
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC. Oleh
sebab itu orang yang datang dengan gejala diatas harus dianggap sebagai seorang suspek
tuberkulosis atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan
gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan sputum (S-P-S)
Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan pemeriksaan
tersebut akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini
mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadangkadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau
batuk yang non produktif Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan
sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan

refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila
masih sulit, sputum dapat diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan
brushing atau bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari
sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada
anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa
hendaknya sesegar mungkin. Bila sputum sudah didapat. kuman BTA pun kadangkadang sulit ditemukan. Kuman bant dapat dkcmukan bila bronkus yang terlibat
proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA
mudah ke luar.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman
dalam 1 mil sputum Hasil pemeriksaan BTA (basil tahan asam) (+) di bawah
mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum, sedangkan untuk
mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan
sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum. Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan
6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.
Rekomendasi WHO skala IUATLD :
1) Tidak ditemuukan BTA dalam 100 lapang pandangan :negative
2) Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
3) Ditemukan 10-99 BTA : 1+
4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+
5) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3+
2. Pemeriksaan tuberculin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering
digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC
dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji
tuberkulin positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan
umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar
usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara
melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering
digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji

tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
3. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi
sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik
menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu
kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali di lobus bawah
dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah
bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas.
Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering diduga sebagai
pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak lebih jelas dengan
pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil
pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel
terhadap obat antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan respons dari klien.
Penyembuhan yang lengkap serinng kali terjadi di beberapa area dan ini adalah
observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling
menyolok pada klien dengan penyakit akut yang relatif di mana prosesnya dianggap
berasal dari tingkat eksudatif yang besar.
4. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler,
pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan beras
bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emifesema perisikatriksial. Sebagaimana
pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya
berdasarkan pada temuan CT scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu
dihubungkan dengan kultur sputum yang negatif dan pemeriksaan secara serial setiap
saat. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan
kavasitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
5. Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB
paru milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB
milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta
mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum
penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan
jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen akibat tumpang tindih

dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul kecil. Pada
beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul halus atau nodul-nodul yang
sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai
bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung banyaknya dan
masing-masing berupa garis-garis tajam.
6. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi
melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara yang satu
dengan yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia
pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik,
perbedaan kepekaan tehadap binatang percobaan, dan percobaan kepekaan kulit
terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium. Pemeriksaan darah yang dapat
menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang sensitif adalah pemeriksaan laju
endap darah (LED). Adanya peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan
imunoglobulin terutama IgG dan IgA.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuberkulosis antara lain :
1. Pencegahan Tuberkulosis Paru
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes
tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan
radiologis foto thorax diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif,
diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin
dan diberikan kemoprofilaksis.
b. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu misalnya: karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan,
penghuni rumah tahanan, dan siswa-siswi pesantren.
1) Vaksinasi BCG
2) Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu
pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan
bagi kelompok berikut: bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin
positif karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan remaja
di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat dengan

penderita TB yang menular, individu yang menunjukkan konversi hasil tes


tuberkulin dari negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan
steroid atau obat imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
3) Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis
kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh
petugas

pemerintah

maupun

petugas

LSM

(misalnya

Perkumpulan

Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonsia PPTI).


2. Pengobatan Tuberkulosis Paru
Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :
a. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
b. Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis
terhadap bakteri tahan asam.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu
1) Fase intensif (2-3 bulan) :
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah
kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam
waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi
negatif dalam waktu 2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the
British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5
mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15
mg/kgBB.
2) Fase lanjutan (4-7 bulan).
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase
lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint
Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society fase lanjutan selama 4
bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru.
Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan
pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase
lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang diberikan
haruslah yang masih efektif.

Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan.
Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI,
2004).
Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan
panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan
kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat
kategori sebagai berikut:
1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan
keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan
penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB
saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan
selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu ( tahap
lanjutan ).
2. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
diberikan kepada :
1) Penderita kambuh
2) Penderita gagal terapi
3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
3. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )
Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas
dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena
kemungkinan keberhasilan rendah sekali.
Obat-obatan anti tuberkulostatik
1. 1.

Isoniazid (INH) : merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah.

Seperti rifampisin, INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan,


kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati
perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti
diabetes, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini

perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek
samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.
2. 2.

Rifampisin : merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan.

Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila ada
kontra indikasi. Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi
gangguan sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi
biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi
gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada
pasien dengan riwayat penyakit hati. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati
sehingga mempercepat metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid,
fenitoin, sulfonilurea, dan anti-koagulan. Penting : efektivitas kontrasepsi oral akan
berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang lain.
3. 3.

Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang

aktif memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau
tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena
penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis.
Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.
4. 4.

Etambutol : digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi.

Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang
tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15
mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada
pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30
mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang
sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan
penyempitan lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau
bila ada gangguan fungsi ginjal. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila
hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan,
biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini
sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat alternative lainnya. Pemberian pada anakanak harus dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa
melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum
pengobatan.
5.

Streptomisin

resistensi.

saat

ini

semakin

jarang

digunakan,

kecuali

untuk

kasus

Obat ini diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat

badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk
pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan
diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg. Untuk anak
diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan
yang diawasi. Kadar obat dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh
dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang
disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang
tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid
generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), 4-kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan
protionamid.
Tabel Panduan Pemberian Obat Anti-Tuberkulosis
Rekomendasi
Obat

anti-TB

esensial

Aksi

Potensi

Dosis

(mg/kgBB)

Isoniazid (INH)

Bakterisidal

Tinggi

Per minggu
3x
2x
10
15

Rifampisin (R)

Bakterisidal

Tinggi

10

10

10

Pirazinamid (Z)

Bakterisidal

Rendah

25

35

50

Streptomisin (S)

Bakterisidal

Rendah

15

15

15

Etambutol (E)

Bakteriostatik

Rendah

15

30

45

Per hari

Kombinasi dosis combination ( fixed dose combination )


1. Dosis tiap hari :
o RHZE : R (150 mg) + H (75 mg) + Z (400 mg) + E (75 mg)
o RHZ : R (150 mg) + H (75 mg) + Z (450 mg)
o RH : R (300 mg) + H (150 mg)
R (150 mg) + H (75 mg)

EH : H (150 mg) + E (400 mg)

RHZ : R (150 mg) + H (150 mg) + Z (500 mg)

RH : R (150 mg) + H (150 mg)

1. Dosis 3X/ minggu :


2.7 Komplikasi
Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi,
diantaranya :
1. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis.
2. Komplikasi lanjut :

Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis)

Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, ARDS.

2.8 WOC (Web of Caution)


DOWNLOAD : WOC ASKEP TB PARU

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1

PENGKAJIAN

Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa, meliputi :


3.1.1 Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan,
pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
Riwayat Sakit dan Kesehatan
1. 1.

Keluhan utama

Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim
kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1)

Keluhan respiratoris, meliputi:

Batuk, nonproduktif/ produktif atau sputum bercampur darah

Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood streak,

berupa garis, atau bercak-bercak darah


-

Sesak napas

Nyeri dada

Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah darah yang
dikeluarkan:
-

Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24 jam.

Batuk darah sedang, darah yang dikeluarkan 250-600 cc/24 jam.

Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.

2)
-

Keluhan sistematis, meliputi:


Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan

semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin
pendek
-

Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan

malaise.

2. Riwayat penyakit saat ini


Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi
pengkajian.

Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab sesak napas, apakah
sesak napas berkurang apabila beristirahat?
Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau digambarkan klien, apakah
rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam
mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?
Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah
timbul gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang
dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala tersebut pertama
kali timbul (onset).
1. 3.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain,
pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes
mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang
relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek samping yang terjai
di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam
enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat dengan
proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan
karena meminum OAT.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah penyakit
ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat
mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat

ini. Data ini penting untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual
yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat
sesuiai dengan keluhan yang dialaminya.
6. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemerikasaan fisik umum per system
dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3
(Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus pada B2
dengan pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.
Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang dengan
menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang
kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau
koma.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan
peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak
napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit seperti
hipertensi.

B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya
tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada anteroposterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti
adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat
bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa
komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian,
jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien

akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot
bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya
didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi
sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai
adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum
yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai
penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat
dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan
dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB
paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di
dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring
arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan,
teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut
taktil fremitus.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti
efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya
akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi
hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang
sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit.
Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica
disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.
B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:

Inspeksi

: Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.

Palpasi

: Denyut nadi perifer melemah.

Perkusi

: Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura

masif mendorong ke sisi sehat.


Auskultasi

: Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak

didapatkan.
B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan
perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya
didapatkan adanya kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang
menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama
fifampisin.
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul
antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak
teratur.

3.2. DIAGNOSA
Beberapa diagnosa yang bisa diangkat :
1. Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah,
upaya batuk buruk, dapat ditandai dengan:

Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal. Bunyi nafas tak normal,
(ronchi, mengi ) stridor.- Dispnoe.
Gangguan pertukaran gas berhubungan penurunandengan

permukaan efektif,

atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema
bronchial.
2. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan
primer tak adekuat, penurunan kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan /
penekanan proses imflamasi, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari
pemajanan patogen.
3. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh (hypertermi).
4. Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus
diminum.
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah,
kelemahan, upaya batuk buruk, edema tracheal / faringeal dapat ditandai dengan:
- Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.
- Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.
- Dispnoe.
Rencana jangka pendek :
- Membersihkan nafas pasien.
- Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
Rencana jangka panjang : Menunjukan perilaku untuk memperbaiki /
mempertahankan bersihan jalan nafas.
Rencana keperawatan
1.

Berikan pasien posisi semi atau fowler tinggi, bantu pasien untuk latihan nafas
dalam.

2.

Bersihkan sekret dari mulut dan trakea ; pengisapan sesuai dengan keperluan.

3.

Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif, catat karakter,


jumlah sputum dan adanya hemoptisis.

4.

Kaji fungsi pernafasan, contoh bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman
serta penggunaan otot aksesori.

Rasionalisasi
1.

Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya


pernafasan, ventilasi meksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan
gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan.

2.

Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal ( misalnya ; efek infeksi dan atau
tidak adekuat hydrasi ) sputum berdarah kental atau darah cerah diakibatkan oleh
kerusakan ( kapitasi ) paru atau luka bronkial, dan dapat memerlukan evaluasi /
intervensi lanjut.

3.

Mencegah obstruksi / aspirasi, penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak


mampu mengeluarkan sekret.

4.

Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronchi, mengi,


menunjukan akumulasi sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas
yang dapat menimbulkan pengguanaan otot aksesori pernafasan dan peningkatan
kerja pernafasan.

5.

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif,


atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema
bronchial.

Rencana jangka pendek : Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenisasi


jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.

Rencana jangka panjang : Bebas dari gejala distres pernafasan.

Rencana tindakan.
1. Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai
dengan keperluan.
2. Tunjukan / dorong bernafas bibir selama ekhalasi, khususnya untuk pasien dengan
fibrosis atau kerusakan parenkhim.
3. Kaji diespnoe, tachipnoe, tak normal / menurunnya bunyi nafas, peningkatan
upaya

pernapasan, terbatasnya ekspansi dinding dada & kelemahan.

4. Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan / atau perubahan
pada warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasionalisasi.
1. Menurunkan konsumsi O2 / kebutuhan selama periode penurunan pernafasan
dapat menurunkan beratnya gejala.

2. Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps / penyempitan


jalan nafas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan
menghilangkan / menurunkan nafas pendek.
3. TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronchopneomonia
sampai inflamasi difus luas, necrosis, effusi pleural dan fibrosis luas, efek
pernafasan dapat dari ringan sampai diespnoe berat sampai diestres pernafasan.
4. Akumulasi sekret / pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenisasi organ
vital dan jaringan.
2.

Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan


primer tak adekuat, penurunan kerja silia / statis penurunan pertahanan / penekanan
proses imflamasi, malnutrisi,sekret, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan
patogen.

Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan


resiko penyebaran infeksi.

Tujuan jangka panjang : Menunjukan tehnik / melakukan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.

Rencana tindakan.
a.

Anjurkan pasien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tissue &
menghindari meludah di tempat umum serta tehnik mencuci tangan yang tepat.

b.

Kaji patologi / penyakit ( aktif / tak aktif diseminasi infeksi melalui bronchus
untuk membatasi jaringan atau melalui aliran darah / sistem limfatik ) dan potensial
penyebaran melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah,bicara, dll.

c.

Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, anggota, sahabat
karib / teman.

Rasionalisasi.
Perilaku yng diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi dapat membantu
menurunkan rasa terisolir pasien & membuang stigma sosial sehubungan dengan
penyakit menular.
Membantu pasien menyadari / menerima perlunya mematuhi program pengobatan
untuk mencegah pengaktifan berulang / komplikasi. pemahaman begaiman penyakit
disebarkan & kesadaran kemungkinan tranmisi membantu pasien / orang terdekat
mengambil langkah untuk mencegah infeksi ke orang lain.

Orang orang yang terpajan ini perlu program therapy obat untuk mencegah
penyebaran infeksi.
3. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh (hypertermi).

Tujuan jangka pendek

: Mengidentifikasi intervensi untuk menurunkan suhu

tubuh.

Tujuan jangka panjang : Meminimalisir proses peradangan untuk meningkatkan


kenyamanan.

Rencana tindakan :
Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pemasangan infus
Monitoring perubahan suhu tubuh
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses
peradangan (inflamasi)
Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga
metabolisme dalam tubuh dapat berjalan lancar
Rasionalisasi :
Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan)
tubuh. Apabila suhu tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih
banyak.
Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan
kemajuan dari pasien.
Antibiotik berperan penting dalam mengatasi proses peradangan (inflamasi)
Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem
imun bisa melawan semua benda asing (antigen) yang masuk.
4. Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus
diminum

Tujuan jangka pendek

: memperbaiki gejala, mengurangi resiko infeksi.

Tujuan jangka panjang

: terapi regimen obat

Rencana tindakan :
1.

Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian kombinasi obat.

2.

Kaji dari efek penggunaan regimen terapi.

3.

Berikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan tentang ketidakteraturan


berobat akan menyebabkan resistensi.

Rasionalisasi :
1. Pengobatan terhadap penyakit TBC memerlukan kombinasi berbagai obat (obat
antituberkulosis/ OAT) yang diberikan selama 6 bulan atau lebih untuk dinyatakan
sembuh.
2. Efek dari penggunaan regimen terapi dapat menyebabkan berbagai komplikasi.
3. Kombinasi obat yang telah diberikan telah disesuaikan dengan fase TB paru.
Sehingga ketidakteraturan akan menyebabkan resiko resistensi.

BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
TB paru dapat terjadi dengan peristiwa sebagai berikut:
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah
droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari
atau suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke
udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung
dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka
orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis.
5.2 SARAN
1. Hendaknya mewaspadai terhadap droplet yang dikeluarkan oleh klien dengan TB paru
karena merupakan media penularan bakteri tuberkulosis
2. Memeriksakan dengan segera apabila terjadi tanda-tanda dan gejala adanya TB paru.
3. Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
rencana keperawatan pada penderita TB Paru.
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-paru.html diakses pada
tanggal 16 November 2010
http://jarumsuntik.com/asuhan-keperawatan-dengan-tb-paru
November 2010

diakses

pada

tanggal

16

Anda mungkin juga menyukai