Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pendahuluan
Campak atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 3
stadium yaitu (1) Stadium inkubasi yang berkisar antara 10 sampai 12 hari setelah
pajanan pertama terhadap virus dan dapat disertai gejala minimal maupun tidak
bergejala,

(2)

Stadium

prodromal

yang

menunjukkan

gejala

demam,

konjungtivitis, pilek, dan batuk yang meningkat serta ditemukannya enantem pada
mukosa (bercak Koplik), dan (3)Stadium erupsi yang ditandai dengan keluarnya
ruam makulopapular yang didahului dengan meningkatnya suhu badan.
Sebelum vaksinasi campak disediakan secara menyeluruh pada negaranegara berkembang, penyebaran campak terjadi setiap 2 atau 3 tahun khususnya
pada usia pra sekolah dan usia sekolah. Angka kejadian campak di Indonesia sejak
tahun 1990 sampai 2002 masih tinggi sekitar 3000-4000 pertahun, demikian pula
frekuensi terjadinya kejadian luar biasa (wabah) tampak meningkat dari 23 kali
pertahun menjadi 174. Namun case fatality rate telah dapat diturunkan dari 5,5%
menjadi 1,2%. Umur terbanyak menderita campak adalah 12 tahun. Transmisi
campak terjadi melalui udara, kontak langsung maupun melalui droplet dari
penderita dengan gejala yang minimal bahkan tidak bergejala. Penderita masih
dapat menularkan penyakitnya mulai hari ke-7 setelah terpajan hingga 5 hari
setelah ruam muncul. Biasanya seseorang akan mendapat kekebalan seumur hidup
bila telah sekali terinfeksi oleh campak.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan
mendapatkan kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan
dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga bayi dapat
menderita morbili. Bila ibu pernah menderita menderita morbili ketika ia hamil 1
atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita
morbili pada trimester pertama, kedua atau ketiga maka ia mungkin melahirkan
seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan berat badan lahir
rendah atau lahir mati anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.

18

II.2. Etiologi
Campak disebabkan oleh virus RNA dari Famili Paramixoviridae, genus
Morbillivirus. Virus campak berada di sekret nasofaring dan didalam darah,
minimal selama masa tunas dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya
ruam. Virus tetap aktif selama sekurang-kurangnya 34 jam pada suhu kamar.virus
ini berbentuk bulat dengan tepi yang kasar, dibungkus oleh selubung luar yang
terdiri dari lemak dan protein. Didalamnya terdapat nukleokaspid yang berbentuk
bulat lonjong, terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA)
yang merupakan struktur heliks nucleoprotein dari myxovirus. Pada selubung luar
sering kali terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein yang berada diselubung
luar berfungsi sebagai hemaglutinin.

Virus Campak (Morbillivirus)


II.3. Patogenesis
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah
dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara
droplet melalui udara sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari
setelah timbulnya ruam. Di tempat awal infeksi, penggandaan virus sangat
minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya. Infeksi awal diyakini terjadi dalam
saluran pernapasan walaupun tidak diketahui sasaran utamanya. Dari saluran
pernapasan, virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan

19

dengan sel mononuklear, kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Di


sini virus memperbanyak diri dengan sangat perlahan dan dimulailah penyebaran
ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel mononuklear yang terinfeksi
menyebabkan terbebtuknya sel raksasa berinti banyak (sel Warthin) sedangkan
limfosit T (termasuk T-supressor dan T-helper) yang rentan terhadap infeksi, turut
ikut membelah.
Gambaran dari kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui
secara lengkap, tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah fokus infeksi
yaitu ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan
epitel orofaring, konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih dan usus. Pada
hari ke 9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva,
akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat
itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan
menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran napas diawali dengan keluhan
batuk dan pilek disertai dengan selaput konjungtiva yang sangat merah. Respon
imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada sistem saluran napas diikuti
dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat, dan
tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak koplik, yang
merupakan tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respon delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada
kulit. Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang pada kasus yang mengalami
defisit sel-T.
Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak
secara mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit.
Penelitian dengan imunofluorens dan histologik menunjukkan adanya antigen
campak dan diduga terjadi suatu reaksi Arthus. Darah epitel yang nekrotik di
nasofaring dan saluaran pernafasan memberikan kesempatan infeksi bakteri
sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media dan lain-lain. Dalam keadaan
tertentu pneumonia dapat terjadi, selain itu campak dapat menyebabkan gizi
kurang.

20

Ruam pada campak


II.4. Manifestasi Klinis Dan Diagnosis
Masa tunas/inkubasi berlangsung kurang lebih dari 10-20 hari dan
kemudian timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3 stadium:
1. Stadium Kataral (prodormal)
Berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam tingggi terus menerus
(38,5C)

yang diikuti dengan batuk, pilek, faring merah, nyeri menelan,

stomatitis, dan konjungtivitis. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam


sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik di depan molar tiga

yang

patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik


berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema.
Lokalisasinya dimukosa bukalis berhadapan dengan molar dibawah, tetapi dapat
menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan pipi. Meski jarang, mereka
dapat pula ditemukan pada bagian tengah bibir bawah, langit-langit dan karankula
lakrimalis. Bercak tersebut muncul dan menghilang dengan cepat dalam waktu
12-18 jam. Kadang-kadang stadium prodormal bersifat berat karena diiringi
demam tinggi mendadak disertai kejang-kejang dan pneumonia. Gambaran darah
tepi ialah limfositosis dan leukopenia atau leukosit sedikit meningkat (apbila
disertai infeksi sekunder)

21

Bercak Koplik pada mukosa bukal


2. Stadium Erupsi
Ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular yang bertahan selama 56 hari. Coryza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema / titik merah
dipalatum durum dan palatum mole. Terjadinya eritema yang berbentuk makula
papula disertai dengan naiknya suhu tubuh. Ruam pada campak ini memiliki ciri
khas, yaitu diawali dari belakang telinga kemudian menyebar ke muka, dada,
tubuh, lengan, dan kaki. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening disudut
mandibula dan didaerah leher belakang. Juga terdapat sedikit splenomegali, tidak
jarang disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah
Black Measles yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung
dan traktus digestivus.

Ruam tersebar di seluruh tubuh


3. Stadium Konvalesensi
Setelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang sesuai urutan
timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) dan mengelupas

22

yang akan menghilang setelah 1-2 minggu. Penderita campak sangat infeksius
sejak 1-2 hari sebelum stadium prodormal, hingga 4 hari setelah ruam
menghilang.
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua
(hiperpigmentasi) yang bisa hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak
Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini
merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain
dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi.
Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi .
II.5. Diagnosis
Diagnosis

campak

dapat

ditegakkan

secara

klinis,

sedangkan

pemeriksaan penunjang sekedar membantu; seperti pada pemeriksaaan sitologik


ditemukan sel raksasa pada lapisan mukosa hidung dan pipi, dan pada
pemeriksaan serologi didapatkan IgM spesifik.
Diagnosis secara klinis ini yaitu koriza dan mata meradang disertai batuk
dan demam tinggi dalam beberapa hari, diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri
khas, diawali dari belakang telinga kemudian menyebar ke muka, dada, tubuh,
lengan, dan kaki bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh dan selanjutnya
mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas.
Anamnesis didapatkan adanya demam tinggi terus menerus 38,5C atau
lebih disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan silau bila terkena
cahaya (fotofobia), seringkali diikuti diare. Pada hari ke 4-5 demam timbul ruam
kulit, didahului oleh suhu yang meningkat lebih tinggi dari semula. Pada saat ini
anak dapat mengalami kejang demam. Saat ruam timbul, batuk dan diare dapat
bertambah parah sehingga anak mengalami sesak napas atau dehidrasi. Adanya
kulit kehitaman dan bersisik (hiperpigmentasi) dapat merupakan tanda
penyembuhan.
Gejala klinis yang khas yaitu melalui 3 fase trias dapat ditegakkan secara
klinis (demam, ruam, batuk) dan konjugtivitis, atau ditemukan bercak Koplik)
dikonfirmasi dengan: (1) identifikasi sel-sel besar multinukleus apusan mukosa

23

nasal, (2) isolasi virus untuk kultus, (3) deteksi antibodi serum (pada fase akut dan
penyembuhan)
II.6. Diagnosis Banding
1. Roseola infantum (eksantema subitum)
Penyakit ini ditandai dengan periode panas tinggi yang berlangsung 1-5
hari. Setelah panas turun akan timbul ruam yang timbul pada tubuh, menyebar
ke arah leher, wajah dan ekstremitas. Penyakit ini disebabkan oleh human
herpesvirus 6. Periode inkubasi selama 7-17 hari. Sebagian besar terjadi antara
usia 6 dan 18 bulan.
Transmisi infeksi HHV-6 dan HHV 7 pada anak belum jelas. Umumnya
infeksi virus yang terjadi pada masa bayi bersumber secara horizontal dari
orang yang tinggal dekat dengan bayi tersebut. Eksantema Subitum merupakan
infeksi primer HHV-6B. Eksantema Subitum merupakan penyakit yang umum,
disertai panas akut pada anak. Meskipun manifestasi klinik bervariasi tetapi
memiliki karakteristik khas yaitu timbul demam mendadak tinggi sampai
39,40C-41,20C. Panas akan berlangsung 3-6 hari, anak menjadi rewel, tetapi
bila demam sudah menurun anak menjadi tampak normal. Umumnya terjadi
limfadenopati cervical, tetapi karakteristik utama adalah limfadenopati di
oksipital posterior pada 3 hari pertama infeksi, disertai eksantema (Nagayanas
spots) pada palatum molle dan uvula.
Setelah panas turun kemudian timbul ruam pada tubuh, menyebar ke arah
leher, wajah dan ekstremitas. Lesi yang timbul berbentuk morbilli form atau
rubela like dengan makular, lesi berwarna merah muda, ukuran dengan
diameter1-3 mm. Dapat ditemukan juga ubun-ubun besar yang menonjol
namun akan sembuh secara spontan. Pada beberapa kasus, eksantema subitum
dapat disertai gejala-gejala yang lain seperti otitis media sampai infeksi saluran
pernafasan atas dan gastroenteritis.
Diagnosa eksantema subitum ditegakkan berdasarkan manifestasi klinik
dan pemeriksaan penunjang. Demam menurun pada hari ke 3-4. Saat
temperatur kembali normal, timbul erupsi makula dan makulopapular diseluruh
tubuh, dimulai pada dada yang menyebar ke lengan dan leher sedikit mengenai
muka dan kaki. Ruam kemudian menghilang jarang menetap selama 24 jam.

24

Jarang terjadi deskuamisasi atau menimbulkan pigmentasi. Kadang-kadang


kelenjar limfe membesar terutama di daerah servikal.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin
seperti jumlah leukosit, dimana dapat dijumpai leukositosis selama 24-36 jam
pertama panas, pada hari kedua dapat timbul leukopenia biasanya pada hari ke
3 dan ke 4 panas. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan serologi, seperti
pemeriksaan terhadap IgM terhadap antibodi penderita, dan dapat dilakukan
pemeriksaan PCR untuk mendeteksi DNA HHV-6 pada saliva dan kelenjar liur.

Eksantema subitum

2. Rubella (german measles)


Rubella (German measles) menjadi terkenal karena sifat teratogeniknya.
Rubella merupakan suatu penyakit virus yang umumnya pada anak dan dewasa
muda, yang ditandai oleh suatu masa prodormal yang pendek, pembesaran
kelenjar getah bening servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi
yang berlangsung 2-3 hari.
Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus rubivirus, family
togaviridae, penularan terjadi melaui oral droplet, dari nasofaring atau rute
pernafasan. Selanjutnya virus rubella memasuki aliran darah. Pada anak
biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya, jarang disertai gejala dan
tanda pada masa prodormal. Namun, pada remaja dan dewasa muda masa
prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala,
nyeri

tenggorokan,

kemerahan

pada

konjungtiva,

rinitis,

batuk

dan

limfadenopati. Gejala akan menghilang sewaktu erupsi timbul. Pada 20%


penderita selama masa prodormal timbul Forscheimer spot yaitu makula atau
petekiae pada palatum molle.Pembesaran kelenjar limfe bisa timbul 5-7 hari

25

sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital, postaurikular


dan servikal dan disertai nyeri tekan

Eksantem

mulai

timbul

retroaurikular atau di muka

dan

menyebar

secara

dengan

kraniokaudal

ke

cepat
bagian

lain

di

dari

tubuh. Mula-mula berupa makula yang berbatas tegas dan kadang-kadang


dengan cepat meluas dan menyatu, memberikan bentuk morbiliform. Pada hari
kedua eksantema di muka menghilang, diikuti hari ke-3 ditubuh dan hari ke-4
di anggota gerak. Limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting
pada rubella. Biasanya pembengkakan kelenjar getah bening berlangsung
selama 5-8 hari. Demam pada rubella jarang sekali diatas 38,5 0C. Diagnosis
pasti ditegakan dengan pemeriksaan serologik yaitu adanya peningkatan titer
antibodi 4 kali pada haemaglutination inhibition test (HAIR) atau ditemukan
IgM yang spesifik untuk rubella.
3. Demam skarlet
Demam Scarlet atau disebut juga Scarlatina merupakan penyakit yang
sering muncul bersama-sama dengan radang tenggorokan. Penyakit yang
banyak menyerang anak usia 5-15 tahun ini sebenarnya mudah disembuhkan
dengan antibiotik, namun kadang bisa memicu komplikasi serius pada hati dan
ginjal serta bisa memicu kematian.
Pada abad ke-19, penyakit yang ditemukan oleh Theodor Billroth dan
Louis Pasteur ini pernah menjadi pemicu terbesar kematian anak di Amerika
Serikat. Faktor kurang gizi pada masa itu, baik selama dalam kandungan
maupun dalam masa pertumbuhan menyebabkan demam Scarlet bisa
berkembang sedemikian parah. Namun sejak penggunaan antibiotik mulai
dikenal luas, demam scarlet mulai jarang berlanjut sampai parah. Selain faktor

26

antibiotik, peningkatan status gizi pada manusia moderen dan pembentukan


sistem kekebalan terhadap bakteri penyebabnya turut membuat demam Scarlet
makin jarang ditemukan sejak abad ke-20. Itulah kenapa demam Scarlet mulai
jarang ditemukan.
Demam Scarlet dipicu oleh bakteri yang sama dengan penyebab
radang tenggorokan, yakni penyakit yang disebabkan oleh eksotoksin yang
dikeluarkan oleh Streptococcus hemolitik grup A. Bedanya, pada demam
Scarlet yang memicu demam bukan bakterinya melainkan racun eksotoksin
yang dikeluarkan bakteri tersebut. Penularan bisa terjadi dari orang ke orang
melalui droplet. Masa inkubasi yang dibutuhkan sejak infeksi hingga
munculnya gejala berkisar antara 2-4 hari.

Hampir semua pasien demam

Scarlet mengalami nyeri tenggorokan dan ruam kemerahan. Gejala lain yang
sering menyertai penyakit ini adalah sebagai berikut:
1. Ruam merah di sekitar leher dan dada, lalu meluas ke bagian tubuh yang
lain
2. Ruam di daerah lipatan-lipatan tubuh biasanya lebih gelap sehingga
membentuk garis merah
3. Muka memerah
4. Lidah tampak merah dan bertotol-totol dan sering disebut lidah
strawberry
5. Demam hingga 38,8 derajat celcius disertai menggigil
6. Nyeri tenggorokan disertai radang yang tampak memerah dan bercak luka
yang memutih
7. Susah menelan
8. Kelenjar limpa di leher membengkak
9. Mual, muntah dan sakit kepala.

27

Ruam pada scarlatina


Umumnya demam Scarlet akan mereda dalam beberapa hari
dengan pemberian antibiotik dan istirahat yang cukup. Anak boleh kembali
masuk sekolah jika sudah mendapatkan antibiotik dan dinyatakan sembuh
jika dalam 24 jam demamnya sudah tidak kambuh.
II.7. Penyulit
1. Laringitis Akut
Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran napas,
yang bertambah parah pada saat demam mencapai puncaknya. Ditandai
dengan distress pernapasan, sesak, sianosis, dan stridor. Ketika demam
turun keadaan akan membaik dan gejala akan menghilang.
2. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus campak maupun akibat
invasi bakteri, ditandai dengan batuk, meningkatnya frekuensi napas, dan
adanya ronki basah halus. Pada saat suhu turun, apabila disebabkan oleh
virus, gejala akan menghilang, kecuali batuk yang masih berlanjut sampai
beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada saat yang
diharapakan dan gejala masih terus berlangsung, dapat diduga adanya
pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel
yang telah dirusak oleh virus. Gambaran infiltrat pada foto toraks dan
adanya leukositosis dapat mempertegas diagnosis..
3. Kejang Demam
28

4. Ensefalitis
Ensefalitis merupakan penyakit neurologik yang paling sering terjadi,
biasanya terjadi pada hari ke 4-7 setelah ruam. Terjadinya ensefalitis dapat
melalui mekanisme imunologik maupun melalui invasi langsung virus
campak ke dalam otak. Gejala ensefalitis dapat berupa kejang, letargi,
koma, dan iritabel.
5. SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis)
Subacute Sclerosing Panencephalitis merupakan kelainan degeneratif
susunan saraf pusat yang jarang disebabkan oleh infeksi virus campak
yang persisten. Kemungkian menderita SSPE pada anak yang sebelumnya
menderita campak adalah 0,6-2,2 per 10.000 infeksi campak. Resiko
terjadi SSPE lebih besar pada usia yang lebih muda, dengan inkubasi ratarata 7 tahun. Gejala SSPE didahului dengan gangguaan tingkah laku dan
intelektual yang progresif, diikuti oleh inkoordinasi motorik, kejang
umumnya bersifat mioklonik. Labortorium menunjukkan peningkatan
globulin dengan cairan serebrospinal, antibodi terhadap campak dalam
serum meningkat (1:1280). Tidak ada terapi untuk SSPE. Rata-rata jangka
waktu timbul gejala sampai meninggal antara 6-9 bulan.
6. Otitis media
Invasi virus ke telinga tengah umumnya terjadi pada campak. Gendang
telinga biasanya hiperemis pada fase prodromal dan stadium erupsi.
7. Enteritis
Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan diare pada
fase prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus kedalam sel mukosa usus.
II.8. Penatalaksanaan
Pengobatan pada pasien tanpa penyulit adalah bersifat simtomatik dan
dapat dirawat di rumah (rawat jalan). Obat simtomatik yang diberikan berupa
antipiretik, antitusif, ekpektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan. Sedangkan
pada pasien dengan penyulit, pasien perlu dirawat inap.
Pasien dirawat (di ruang isolasi) bila:
1. Hiperpireksia (suhu >39,0C)
2. Dehidrasi

29

3. Kejang
4. Asupan oral sulit
5. Adanya komplikasi
Perawatan pasien campak dengan penyulit, dilakukan dengan cara:
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup,
suplemen nutrisi, antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder,
antikonvulsi apabila terjadi kejang, dan pemberian vitamin A.
1. Tanpa komplikasi:
a. Tirah baring di tempat tidur
b. Vitamin A 100.000 IU, apabila disertai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap
hari.
Pemberian vitamin A untuk usia < 6 bulan sebanyak 50.000 IU, usia 6
bulan 1 tahun sebanyak 100.000 IU, anak usia >1 tahun sebanyak
200.000 IU. Apabila disertai gejala pada mata akibat kekurangan vitamin
A atau gizi buruk, diberikan 3kali: hari 1, hari 2, dan hari 2-4 minggu
setelah dosis kedua.
c. Pemberian antibiotik apabila terdapat infeksi sekunder
d. Pemberian vaksin campak sebagai profilaksis pasca pajanan dapat
diberikan pada individu imunokompromais atau dengan penyakit kronis
dalam 72 jam pasca pajanan. Alternatif lainnya ialah imunoglobulin dalam
6 hari pasca paparan.
e. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan
disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi.
2. Pengobatan dengan komplikasi:
a. Ensefalopati
1) Kloramfenikol dosis 75 mg/kgBB/hari dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari
selama 7-10 hari.
2) Kortikosteroid: deksametason 1 mg/kgBB/hari sebagai dosis awal
dilanjutkan 0,5mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran
membaik (bila pemberian lebih dari 5 hari dilakukan tappering off)
3) Kebutuhan jumlah cairan dikurangi kebutuhan serta koreksi terhadap
gangguan elektrolit.
b. Bronkopneumonia
1) Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari
selama 7-10 hari
2) Oksigen 2 liter/menit

30

Pemantauan dan konsultasi


1. Pada kasus campak dengan komplikasi bronkopneumonia dan gizi kurang
perlu dipantau terhadap adanya infeksi tuberkulosis (TB) laten. Pantau
gejala klinis serta lakukan uji tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
2. Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk, konsultasi pada Divisi
Nutrisi dan Metabolik.
II.9. Pencegahan
Pencegahan campak dilakukan dengan pemberian imuniasai aktif pada
bayi berumur 9 bulan atau lebih. Program imunisasi campak secara luas baru
dikembangkan pelaksanaanya pada tahun 1982. Pada tahun 1963 telah dibuat dua
macam vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup
dan dilemahkan (tipe Edmonstone B), dan vaksin yang berasal dari virus campak
yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur
dengan garam aluminium). Sejak tahun 1967 virus campak yang telah dimatikan
tidak digunakan lagi oleh karena efek proteksinya hanya bersifat sementara dan
dapat menimbulkan gejala atypical measles yang hebat. Sebaliknya vaksin
campak yang berasal dari virus hidup yang dilemahkan, dikembangkan dari strain
Edmonstone menjadi strain Schwarz (1965) dan kemudian menjadi strain Moraten
(1968) dengan mengembangkan virusnya pada embrio ayam.
Imunisasi aktif
Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan vaksin campak hidup yang
telah dilemahkan. Vaksin hidup yang pertama kali digunakan adalah Strain
Edmonston B. Perkembangan berikutnya adalah pemakaian dari strain Schwartz
dan Moraten. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan
imunitas yang berlangsung lama.
Imunisasi campak awal dapat diberikan pada usia 12-15 bulan tetapi
mungkin diberikan lebih awal pada daerah endemik. Imunisasi aktif dilakukan
dengan menggunakan strain Schwarz dan Moraten. Dianjurkan untuk memberikan
vaksin morbili tersebut pada anak berumur 10 15 bulan karena sebelum umur 10
bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena
masih ada antibodi dari ibu. Di Indonesia saat ini masih dianjurkan memberikan

31

vaksin morbili pada anak berumur 9 bulan ke atas. Vaksin morbili tersebut dapat
diberikan pada orang yang alergi terhadap telur. Hanya saja pemberian vaksin
sebaiknya ditunda sampai 2 minggu sembuh. Vaksin ini tidak boleh diberikan
pada wanita hamil, anak dengan tuberkulosis yang tidak diobati, penderita
leukemia, dan anak yang sedang mendapat pengobatan imunosupresif .
Imuniasai aktif

ini merupakan Program Imunisasi Nasional (PIN).

Dianjurkan pemberian vaksin campak dengan dosis 1000 TCID50 atau sebanyak
0,5ml secara subkutan pada usia 9 bulan. Imunisasi ulangan diberikan pada usia 67 tahun melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Dosis baku
minimal untuk pemberian virus campak yang dilemahkan adalah 1000TCID-50
atau sebanyak 0,5 ml. Tetapi dalam hal vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID
saja sudah memberikan hasil yang baik.
Imunusasi pasif
Campak dapat dicegah dengan menggunakan immunoglobulin (Ig) serum
dengan dosis 0,25 mL/kgBB diberikan secara IM selama 5 hari sesudah
pemajanan tetapi lebih baik sesegera mungkin.
Indikasi Imunisasi Pasif :
1. Anak usia > 12 bulan dengan immunocompromised belum mendapat imunisasi,
kontak dengan pasien campak, dan vaksin MMR merupakan kontraindikasi.
2. Bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak
mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit ini,
maka harus diberikan imunoglobulin sesegera mungkin dalam waktu 7 hari
paparan. Setelah itu vaksin MMR diberikan sesegera mungkin sampai usia 12
bulan, dengan interval 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin.
Dosis anak : 0,2 ml/kgBB IM pada anak sehat, 0,5 ml/kgBB untuk pasien
dengan HIV, maksimal 15 ml/dose IM.
Jadwal imunisasi anak umur 0-18 tahun, rekomendasi IDAI tahun 2014.

32

33

Anda mungkin juga menyukai