Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik
Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik
TINJAUAN PUSTAKA
15,16
Defisiensi Besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk
alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar
transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal,
menghilangkan kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian
mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan
hepatosit pada penyakit ginjal kronik.2, 15-18
Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah,
saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang
c.
Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya
berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat
dijadikan diagnosis setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan
eritrosit lainnya.15,16
Darah lengkap
Hitung retikulosit
Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin,
serum feritin)
Hormon paratiroid
Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi
feritin adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati, limpa dan
sumsum tulang. Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat
dimobilisasi kembali. Hati merupakan tempat penyimpanan feritin terbesar di dalam
tubuh dan berperan dalam mobilisasi feritin serum. Pada penyakit hati akut maupun
kronik kadar feritin serum meningkat, hal ini disebabkan pengambilan feritin dalam
sel hati terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak. Pada
penyakit keganasan sel darah merah, kadar feritin serum meningkat disebabkan
meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia. Pada keadaan infeksi dan inflamasi
terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial dan disekresikan ke
dalam plasma. Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel
dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (hemosiderin).5,6,7
Feritin pada Keadaan Inflamasi
Kadar C-Reactive Protein (CRP) akan meningkat cepat pada infeksi, disebut
respon fase akut. Peningkatan CRP berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
interleukin-6 (IL-6) di dalam plasma yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag.
Makrofag merupakan sel imun yang berperan langsung dengan kadar besi dalam
tubuh manusia. Makrofag membutuhkan zat besi untuk memproduksi highly toxic
hydroxyl radical, juga merupakan tempat penyimpanan besi yang utama pada saat
terjadi proses inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta protein fase akut yang
dihasilkan oleh hati akan mempengaruhi homeostasis besi oleh makrofag dengan
cara mengatur ambilan dan keluaran besi sehingga akan memicu peningkatan retensi
besi dalam makrofag pada saat terjadi inflamasi. Besi juga mengatur aktivitas
sitokin, proliferasi, dan aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan aktivasi makrofag
akan terpengaruh. 5,22,23
Protein fase akut memegang peran dalam proses inflamasi yang kompleks.
Konsentrasi protein fase akut meningkat secara signifikan selama proses inflamasi
akut karena tindakan pembedahan, infark miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan
disebabkan oleh sintesis di hati, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan
penyebab inflamasi. Pengukuran protein fase akut dapat digunakan untuk mengamati
progresivitas dari inflamasi serta melihat respon terapi dengan melihat nilai protein
fase akut saat mulai meningkat dan kadar yang tertinggi. Kadar feritin serum tidak
dapat menggambarkan indeks cadangan besi dalam tubuh pada saat terjadi kerusakan
sel tubuh. Feritin diproduksi oleh sistem reticulo endotelial, yang berperan penting
dalam proses metabolisme zat besi saat pembentukan hemoglobin dari sel darah
merah senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu blokade pelepasan
zat besi sehingga akan menurunkan kadar zat besi serum.5,6,7,22,23
Gambar 3. Metabolisme besi pada keadaan inflamasi, defisiensi besi dan kombinasi inflamasi +
defisiensi besi 5
Tabel 2. Keadaan-keadaan yang dapat berhubungan dengan hiperferitinemia pada pasienpasien PGK 6
yang
mendukung
konsep
bahwa
respon
inflamasi
menyebabkan
2.4
2.5 PROTEIN
ENERGY
MALNUTRITION
PADA
PASIEN-PASIEN
DIALISIS
Malnutrisi merupakan masalah yang serius pada pasien-pasien gagal ginjal
kronik yang diterapi dengan dialisis. Hal ini berhubungan dengan malnutrisi yang
akan memberikan outcome yang buruk pada pasien.26
hubungan yang jelas antara status nutrisi yang buruk dan peningkatan risiko
kematian menunjukkan malnutrisi haruslah dihindari.30
Diet Protein
Adanya diet protein sering diteliti, sebagai salah satu strategi utnuk
memperlambat progresivitas gagal ginjal terminal, mengurangi sindroma uremikum
dan unutk mengevaluasi kebutuhan protein yang tepat pada pasien-pasien gagal
ginjal dengan terapi dialisis reguler.
Pada pasien-pasien hemodialisis, belum ada penelitian prospektif non
randomized yang meneliti diet protein dan outcome yang terjadi. Namun, beberapa
studi menunujukkan bahwa kebutuhan protein 1,2 gr/kgBB/hari berhubungan dengan
keseimbangan nitrogen positif. Kebutuhan akan protein yang meningkat mungkin
berhubungan dengan hilangnya protein dan asam amino melalui dialisat atau efek
katabolik dari prosedur hemodialisis. Hilangnya protein melalui dialisat lebih tinggi
pada peritoneal dialisis dibandingkan dengan hemodialisis sekitar 5-15 gr/hari dan
hilangnya protein meningkat pada episode peritonitis.26-30
Tabel 5. Rekomendasi pemberian protein dan kalori pada pasien hemodialisis dan CAPD
reguler 26
Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi juga merupakan hal yang penting pada pasien-pasien
dialisis. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kebutuhan energi pada pasienpasien dialisis tidak berbeda dari orang yang sehat. Rekomendasi kebutuhan energi
pada pasien-pasien dialisis adalah 35 kkal/kgBB/hari.26-30
Jika pasien tidak mampu mengkonsumsi protein dan energi yang dibutuhkan
dari diet, pengukuran yang lebih agresif haruslah dikerjakan untuk meyakinkan
kebutuhan energi yang adekuat.30-32
Gambar 4. Bagaimana aktivitas imun pada uremia dan status inflamasi lainnya
menyebabkan resistensi terhadap ESA25
Peningkatan produksi sitokin pro inflamasi oleh sel T yang teraktivasi dapat
menyebabkan respon yang rendah pada ESA. Probabilitas yang rendah terhadap
respon awal ini dapat menjadi peringatan terhadap klinisi untuk segera mengkoreksi
kegagalan terapi. Strategi yang potensial terhadap terapi masa depan adalah
penggunaan terapi anti sitokin adjuvan yang spesifik.25