Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang dapat hidup di

dalam uterus dan keluar melalui vagina secara spontan pada kehamilan cukup
bulan tanpa bantuan alat dan tidak terjadi komplikasi pada ibu ataupun pada janin
dengan presentasi belakang kepala berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam.1
Riset Kesehatan Dasar 2010 menyatakan bahwa persentase persalinan lima
tahun terakhir menunjukkan 55,4% ibu hamil melahirkan di fasilitas kesehatan
seperti Rumah Sakit (Pemerintah dan Swasta), Rumah Bersalin, Puskesmas,
Praktek Dokter atau Praktek Bidan. Terdapat 43,2% melahirkan di Rumah/lainnya
dan hanya 1,4% yang melahirkan di Polindes/Poskesdas. Apabila dianalisis lebih
lanjut, di antara anak yang dilahirkan di rumah/lainnya, ternyata tenaga yang
menolong proses persalinan adalah dokter (2,1%), bidan (51,9%), paramedis lain
(1,4%), paraji (40,2%), serta keluarga (4,0%).1
Proses persalinan seharusnya dilakukan di fasilitas kesehatan dengan
perlengkapan dan tenaga yang siap menolong seandainya sewaktu-waktu terjadi
komplikasi persalinan. Proses persalinan minimal dilakukan di fasilitas kesehatan
seperti Puskesmas yang mampu memberikan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal
Emergensi Dasar (PONED). Perlu dipahami belum seluruh Puskesmas mampu
untuk memberikan pelayanan dasar tersebut, minimal pada saat ibu melahirkan di
Puskesmas terdapat tenaga yang dapat segera merujuk jika terjadi komplikasi.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Persalinan normal adalah proses pergerakkan keluar janin, plasenta dan

membran dari dalam rahim melalui vagina.3 Pimpinan persalinan dan pelahiran
yang ideal membutuhkan dua akomodasi yang potensial berlawanan pada sisi
penyedia layanan obstetrik: pertama, bahwa pelahiran dianggap sebagai suatu
proses fisiologis normal yang dialami oleh sebagian besar wanita tanpa penyulit,
dan kedua, bahwa penyulit, intrapartum dapat muncul secara sangat cepat dan tak
terduga.4
2.2 Pimpinan Persalinan dan Pelahiran Normal5
American Academy of Pediatrics dan American Collage of Obstetricians and
Gynecologists (1997) telah berkolaborasi dalam pembuatan Panduan perawatan
perinatal. Panduan ini memberikan informasi secara rinci mengenai perawatan
intrapatum yang tepat termasuk fasilitas dan tenaga yang dibutuhkan. Pada Tabel
2.1 diperlihatkan rekomendasi rasio perawat pasien yang dianjurkan untuk
persalinan dan kelahiran. Pada Tabel 2.2 ditunjukkan ukuran ruangan yang
disarankan untuk fungsi ini.
TABEL 2.1. Rasio Perawat-Pasien yang Disarankan untuk Persalinan dan Pelahiran
Rasio
Perawat-Pasien

Perawatan yang Diberikan

1:2
1:1
1:1
1:2
1:1
1:1

Pasien in partu
Pasien partus kala II
Pasien dengan komplikasi medis dan obstetris
Induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin
Cakupan untuk menginisiasi analgesia epidural
Sirkulasi untuk persalinan sesarea

Dari American Academy of pediatrics dan American Collage of Obsetricians and Gyneccologisis, 1997, dengan izin

TABEL 2.2. Rekomendasi Minimum Ukuran Ruang untuk Persalinan dan


Pelahiran
Fungsi

Luas Lantai

Persalianan
PPP*
Pelahiran Pervaginam
Seksio Sesarea

100-160 kaki persegi


256 kaki persegi
350 kaki persegi
400 kaki persegi

*PPP = Persalinan, Pelahiran dan Pemulihan


Dari American Academy of pediatrics dan American Collage of Obsetricians and Gyneccologisis, 1997, dengan izin

2.2.a

Prosedur Awal Rawat Inap


Wanita hamil harus segera melapor pada awal persalinan daripada

menunda-nunda sampai waktu pelahiran telah dekat karena kekhawatiran


mengalami persalinan palsu. Apabila selama perawatan antepartum, ibu, janin,
atau keduanya telah diketahui mempunyai risiko tinggi, sangatlah penting untuk
segera memasukkan ke ruang bersalin dan melahirkan.
2.2.a.i Identifikasi Masalah
Salah satu diagnosis yang paling kritis dalam obstetri adalah keakuratan
diagnosis persalinan.jika persalinan salah didiagnosis, mungkin akan dilakukan
intervensi yang tidak tepat untuk mempercepat persalinan. Sebaliknya, jika
persalinan tidak didiagnosis, janin bayi berada dalam bahaya akibat penyulit tak
terduga yang terjadi dilokasi yang jauh dari fasilitas dan tenaga medis yang
memadai. Walaupun diagnosis banding antara persalinan palsu dan persalinan
sejati kadang-kadang sulit ditentukan, diagnosis biasanya dapat dibuat
berdasarkan kontraksi yang terjadi.

Tabel 2.3 Karakteristik Persalinan Sejati dan Persalinan Palsu


Karakteristik
Kontraksi
Ritme
Interval

Persalinan Sejati

Persalinan Palsu

Reguler
Memendek secara bertahap

Ireguler
Tidak berubah

Intensitas
Ketidaknyamanan
Lokasi
Sedasi
Dilatasi Serviks

Meningkat secara bertahap

Tidak berubah

Punggung dan abdomen


Tidak memiliki efek
Ya

Abdomen bagian bawah


Umumnya teratasi
Tidak

Pada keadaan-keadaan keatika diagnosis persalinan tidak dapat ditegakkan


dengan pasti, sebaiknya kita mengobservasi wanita tersebut dalam jangka waktu
lebih lama. Keadaan umum ibu dan janin harus dipastikan secara akurat melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik, termasuk tekanan darah, suhu, dan denyut nadi.
Frekuensi, durasi dan intensitas kontraksi uterus harus dicatat, juga waktu pertama
kali si ibu diketahui mersakan nyeri. Derajat nyeri yang ditunjukan ibu harus
dicatat. Frekuensi denyut jantung, presentasi, dan besar janin harus ditentukan dan
di catat pada saat masuk. Frekuensi denyut jantung janin hendaknya diperiksa
terutama pada akhir kontraksi dan segera setelahnya untuk mengidentifikasi
adanya penurunan patologis frekuensi denyut jantung janin. Lakukan pemeriksaan
untuk mencari tahu status selaput ketuban dan ada tidaknya pendarahan
pervaginam. Ajukan pula pertanyaan tentang apakah telah ada cairan yang keluar
dari vagina, dan kalau ada, seberapa banyak dan juga saat ciran tersebut pertama
kali keluar.
2.2.a.ii Pengujian Secara Elektronik Waktu Masuk
Beberapa peneliti menyarankan untuk melakukan non stress test (NST)
atau contraction stress test (CST) pada seluruh wanita yang datang ke unit
bersalin dan melahirkan, tes ini disebut pemeriksaan janin waktu masuk.
Surveilans janin seperti dalam kenyataannya adalah suatu penilaian ada atau
tidaknya akselerasi denyut jantung janin dengan gerakan janin (NST); atau suatu
penilaian frekuensi denyut jantung janin sebelum, selama dan setelah kontraksi
uterus jika pasien telah in partu (CST). Variabilitas frekuensi denyut jantung janin
dan deselerai variabel juga dinilai dalam evaluasi ini. Telah dinyatakan bahwa
pemeriksaan kesejahteraan janin seperti itu, baik yang dilakukan tersendiri
maupun dalam kombinasi dengan stimulasi akustik janin, akan mengungkap kasus
gawat janin yang tak terduga. Tetntu saja, jika sang ibu akan dipulangkan dari unit
bersalin sebelum melahirkan, tindakan pemeriksaan diatas sangat beralasan untuk

memastikan seyakin mungkin- bahwa tidak tedapat hal yang membahayakan


janin saat itu. Di Parkland Hospital, pemantauan elektronik eksternal dilakukan
setidaknya satu jam sebelum memulangkan ibu dengan persalinan palsu.
2.2.a.iii Tanda-tanda Vital dan Catatan Kehamilan
Tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan frekuensi nafas ibu diperiksa
untuk mencari adanya kelainan dan hasilnya dicatat. Catatan kehamilan ditinjau
untuk mengidentifikasi penyulit. Berbagai masalah yang ditemukan pada masa
antepartum, dan yang sudah diantisipasi hendaknya dicatat secara jelas dalam
catatan kehamilan.
2.2.a.iv Pemeriksaan Pervaginam

Gambar 2.1 Cara Pemeriksaan Vagina


Pemeriksaan vagina secara aseptik paling sering dilakukan, kecuali jika
sudah ada pendarahan bloody show yang berlebihan. Perhatian cermat
terhadap hal-hal berikut penting untuk mendapat sebanyak mungkin informasi dan
untuk mengurangi kontaminasi bakteri akibat pemeriksaan berulang.
1. Cairan amnion. Bila pecahnya selaput ketuban diragukan, dimasukkan sebuah
spekulum steril dengan hait-hati, dan cairan dicari di forniks posterior vagina.
Semua cairan diperiksa untuk mencari adanya verniks atau mekonium, dan

jika sumbernya masih diragukan, cairan tersebut dibuatkan sedian apusnya


untuk pemeriksaan lebih lanjut seperti yang akan diuraikan nanti
2. Serviks.

Pastikan

pelunakan,

derajat

pendataran

(panjang),

lebarnya

pembukaan, dan lokasi serviks dalam hubungannya dengan bagian terbawah


janin dan vagina seperti yang akan diuraikan. Adanya selaput ketuban dengan
atau tanpa cairan amnion di bawah bagian terbawah janin sering dapat diraba
dengan palpasi yang teliti. Selaput ketuban sering dapat terlihat apabila selaput
tersebut masih utuh dan serviks sedikit dilebarkan.
a. Pendataran Serviks
Derajat pendataran serviks biasanya dinyatakan dengan panjang kanalis
servisis berbanding dengan panjang yang belum mendatar. Jika panjang
serviks berkurang separuh, dikatakan 50 persen mendatar; bila serviks
menjadi setipis segmen uterus bawah didekatnya, serviks dikatakan telah
mendatar penuh atau 100 persen.
b. Dilatasi Serviks
Dilatasi serviks ditentukan dengan memperkirakan diameter rata-rata
bukan serviks. Jari pemeriksa disapukan dari tepi serviks disatu sisi ke sisi
yang berlawanan, dan diameter yang dilintasi dinyatakan dalam sentimeter.
Serviks dikatakan membuka penuh bila diameternya 10 cm, karena bagian
terbawah ukuran bayi aterm biasanya dapat melewati serviks yang
membuka lebar.
c. Posisi Serviks
Hubungan antara os serviks dengan kepala janin dikategorikan sebagai
posterior, posisi tengah, atau anterior. Posisi posterior mengesankan
persalinan prematur.
3. Bagian terbawah janin. Sifat-sifat bagian tebawah janin harus ditentukan
secara positif, idealnya dan posisinya.
4. Station. Identifikasi derajat penurunan bagian terbawah janin kejalan lahir,
seperti yang akan diuraikan lebih lanjut. Jika kepala janin tinggi di panggul (di
atas spina iskiadika), pengaruh tekanan fundus yang kuat pada turunnya
kepala janin perlu diuji.

Ketinggian bagian terbawah janin dijalan lahir digambarkan dalam


hubungannya dengan spina iskiadika yang terletak di tengah-tengah antara
pintu atas panggul dan pintu bawah panggul. Jika bagian bawah janin terletak
setinggi spina iskidika, keadaan ini disebut sebagai station nol (0). Dahulu,
sumbu panjang jalan lahir diatas spina iskiadika dibagi menjadi tiga. Pada
tahun 1988, American College of Obstetricians and Gynecologists mulai
menggunakan siatu klasifikasi station yang memmbagi panggul di atas dan di
bawah spina menjadi lima bagian. Pembagian ini menggambarkan ukuran
(cm) diatas dan dibawah spina. Jadi, saat bagian terbawah janin turun dari
pintu atas panggul menuju spina iskiadika, disebut sebagai station -5, -4, -3,
-2, -1 lalu 0. Di bawah spina iskiadika, bagian terbawah janin melewati station
+1, +2, +3, +4 dan +5 untuk lahir. Station +5 cm setara dengan kepala janin
yang terlihat di intoritus. Suatu perkiraan korelasi dua metode untuk
menggambarkan station adalah: +2 cm = +1/3 dan +4 cm = +2/3.
Jika bagian terbawah kepala jatuh berada di station O atau lebih ke
bawah lagi, engagement kepala sering kali telah terjadi: yaitu, bidang
bipariatel kepala janin telah melewati pintu atas panggul.jika kepala
mengalami moulage berat, atau keduanya, engangement mungkin belum
terjadi walaupun kepala tampaknya sudah berada di station 0.
5. Arsitektur panggul. Konjugata diagonal, spina iskiadika, dinding samping
panggul, dan sakrum dinilai kembali kecukupannya.

2.2.a.v Deteksi Pecahnya Selaput Ketuban


Ibu hamil hendaknya diinstruksikan untuk mengenali cairan yang keluar
dari vagina selama masa antepartum dan segera melaporkan kejadian tersebut.
Pecahnya selaput ketuban merupakan hal yang signifikan karena tiga alasan:
Pertama, bila bagian bawah janin tidak terfiksasi dipanggul, kemungkinan
terjadinya prolap dan kompresi tali pusat yang meningkat. Kedua, persalinan

kemungkinan akan segera terjadi jika kehamilannya telah atau mendekati aterm.
Ketiga, bila pelahiran ditunda selama 24 jam atau lebih setelah pecahnya selaput
ketuban, terdapat peningkatan kemungkinan infeksi intrauterin yang serius.
Suatu diagnosis pasti pecahnya selaput ketuban dibuat apabila cairan
amnion terlihat berada di forniks posterior atau cairan jernih mengalir di kanalis
serviks. Meskipun beberapa uji diagnostik untuk mengetahui pecahnya selaput
ketuban telah direkomendasikan , tidak ada satupun yang dapat diandalkan
sepenuhnya. Jika diagnosis tetap tidak pasti, metode lain yang dapat digunakan
adalah pengujian pH cairan vagina; pH sekret vagina normalnya berkisar antar 4,5
dan 5,5 sementara cairan amnion biasanya 7,0 sampai 7,5. Penggunaan indikator
nitrazin untuk diagnosis pecahnya selaput ketuban, pertama kali disarankan oleh
Baptisti (1938), merupakan metode yang sederhana dan cukup dapat dipercaya,
kertas uji diresapi dengan bahan celup dan warna reaksi diinterpretasikan
berdasarkan perbandingan dengan grafik warna standar. pH diatas 6,5 bersesuaian
dengan pecahnya selaput ketuban. Hasil uji positif palsu terjadi bila terdapat
darah, semen, atau vaginosis bakterialis; hasil negatif palsu terjadi bila hanya
terdapat sedikit cairan.
Uji lain telah digunakan sebagai indikator pecahnya selaput ketuban.
Arborisasi atai ferming (pembentukan pola daun pakis) pada cairan vagina
menandakan adanya cairan amnion daripada cairan serviks. Deteksi alfa
fetoprotein pada fornik vagina telah digunakan untuk mengidentifikasi cairan
amnion. Identifikasi pasti diketahui dengan menyuntikkan berbagai macam zat
warna, antara lain evans blue, metilen blue, indigo carmine, atau fluoresein, ke
dalam rongga amnion melalui amniosentesis.

2.2.a.vi Laboratorium
Ketika seorang wanita dirawat di rumah sakit untuk bersalin, seringkali
pemeriksaan hematokrit dan kadar hemoglobin harus diulang. Hematokrit dapat
diukur dengan mudah dan cepat. Darah dapat dimasukan kedalam sebuah tabung
biasa, kemudian segera dimasukan kedalam sebuah tabung kapiler yang berisi
heparin. Dengan menggunakan alat pemusing (sentrifuge) mikrohematokrit yang

terdapat dilaboratorium ruang bersalin, nilai dapat diperoleh dalam 3 menit.


Sebuah tabung darah yang diberi label dibiarkan membeku dan tetap disimpan
untuk penentuan dan penapisan golongan darah, kalau diperlukan, dan tabung
yang lain digunakan untuk serologi rutin. Pada beberapa unit sebuah spesimen
urin yang diekskresikan-sedapat mungkin bebas dari debris-diperiksa kadar
protein dan glukosanya. Kami mengambil spesimen urin untuk analisis protein
hanya pada ibu hamil dengan hipertensi. Pasien yang tidak menjalani perawatan
pranatal harus dianggap mempunyai resiko untuk fsifilis, hepatitis B dan HIV.
Pada pasien yang tidak terdaftar, pemeriksaan laboratorium tersebut juga
harus dilakukan begitu juga pemeriksaan golongan darah, RG, bebrapa begara
bagian, misalnya texas, sekarang melakukan pemeriksaan rutin untuk sifilis,
hepatitis B, dan HIV pada semua wanita yang masuk ke unit persalinan dan
pelahiran.
2.2.b Penatalaksanaan Partus Kala I
Pemeriksaan fisik umum yang belum dilakukan harus diselesaikan segera
mungkin setelah pasien masuk rawat inap. Yang paling baik, seorang dokter dapat
membuat kesimpulan tentang normalnya kehamilan tersebut apabila semua
pemeriksaan, termasuk tinjauan ulang rekam medis dan laboratorium, sudah
dilaksanakan. Sebuah rencana yang rasional untuk memantau persalinan
kemudian dapat ditegakkan berdasarkan kepentingan janin dan ibunya. Bila tidak
ada kelainan yang ditemukan dan diduga, si ibu harus diyakinkan bahwa
semuanya beres. Meskipun durasi rata-rata persalinan kala satu pada wanita
nulipara adalah 7 jam dan wanita para sekitar 4 jam, terdapat variasi individual
yang besar. Oleh karena itu, pernyataan pasti lamanya persalinan tidaklah
bijaksana.
2.2.b.i Pemantauan Kesejahteraan Janin Selama Persalinan
Untuk mendapatkan hasil akhir kehamilan yang optimal, harus dibuat
program yang tersusun rapi untuk membuktikan surveilans ketat tentang
kesejahteraan ibu dan janin selama persalinan. Semua observasi harus dicatat

secara tepat. Frekuensi, intensitas, dan lamanya kontraksi uterus, serta respon
denyut jantung janin terhadap kontraksi tersebut harus diperhatikan benar. Aspekaspek ini dapat dievaluasi dengan tepat dalam urutan yang logis
A.

Frekuensi Denyut Nadi Janin


Frekuensi denyut jantung janin dapat diketahui dengan stetoskop yang

sesuai atau salah satu diantara berbagai macam alat ultrasonik doppler. Perubahan
frekuensi denyut jantung janin yang kemungkinan besar berbahaya bagi janin
hampir selalu dapat ditemukan setelah kontraksi uterus. Karena itu, jantung janin
wajib diperiksa dengan auskultasi segera setelah terjadi kontraksi. Untuk
menghindari kebingungan antara kerja jantung ibu dan janinnya, denyut nadi
ibunya hendaknya dihitung pada saat menghitung frekuensi denyut nadi janin.
Bila tidak, takikardia ibu mengkin disalahartikan sebagai frekuensi denyut nadi
normal.
Risiko bahaya, atau gawat janin yaitu hilangnya kesejahteraan janindicurigai apabila frekuensi denyut nadi janin yang diukur segera setelah kontraksi
berulang kali berada dibawah 110 denyut permenit. Gawat janin sangat mungkin
terjadi apabila denyut jantung terdengar kurang dari 100 denyut per menit
sekalipun ada perbaikan hitung detak jantung menjadi 110 sampai 160 denyut
permenit sebelum kontraksi berikutnya, jika dimungkinkan, paling baik dimonitor
secara elektronik.
American Academy of Pediatrics and the American Callege of
Obstetricans and Gynecologists merekomondasikan bahwa selama persalinan kala
I, bila tidak ditemukan adanya kelainan, jantung janin harus diperiksa segera
setelah kontraksi setidaknya setiap 30 menit, kemudian setiap 15 menit pada
persalinan kala II. Jika dilakukan pemantauan elektronik kontinu, grafik dinilai
sekurangnya 30 menit selama persalinan kala I dan setiap 5 menit selama
persalinan kala II. Pemantauan elektronik kontinu dapat digunakan menggunakan
penilaian kala I setiap 5 menit selama persalinan kala II.
B.

Kontraksi Uterus

10

Dengan melakukan penekanan ringan telapak tangan diatas uterus,


pemeriksa dapat menentukan waktu dimulainya kontraksi. Intensitas kontraksi
diukur berdasarkan derajat ketegangan yang dicapai uterus. Pada puncak kontraksi
efektif, jari atau ibu jari tidak dapat menekan uterus. Selanjutnya, dicatat waktu
ketika kontraksi tersebut menghitung. Urutan ini diulang untuk mengevaluasi
uterus. Yang paling baik adalah mengukur kontraksi uterus dengan menyebut
derajat ketegangan atau resistensi terhadap indentasi.
2.2.b.ii Pemantauan dan Penatalaksanaan Ibu Selama Persalinan
A.

Tanda-tanda Vital Ibu


Suhu, denyut nadi, tekanan darah ibu dievaluasi setidaknya setiap 4 jam

(Tabel 2.4). Jika selaput ketuban telah pecah lama sebelum awalan persalinan,
atau jika terjadi kenaikan suhu ambang, suhu diperiksa tiap jam. Selain itu, bila
terjadi pecah ketuban yang lama-lebih dari 18 jam-disarankan untuk memberikan
antibiotik profilaksis terhadap infeksi streptokokus grup B..
B.

Pemeriksaan Vagina Selanjutnya


Pada persalinan kala satu, perlunya pemeriksaan vagina selanjutnya untuk

mengetahui status serviks dan station serta posisi bagian terbawah akan sangat
bervariasi pada Tabel 2.4. Bila selaput ketuban pecah, pemeriksaan hendaknya
diulang secara cepat jika pada pemeriksaan sebelumnya kepala janin belum cakap
(engaged). Frekuensi denyut jantung janin harus diperiksa segera dan pada
kontraksi uterus berikutnya untuk mendeteksi kompresi tali pusat yang tidak
diketahui. Di Parkland Hospital, pemeriksaan panggul sering dilakukan secara
periodik dengan interval 2-3 jam untuk menilai kemajuan persalinan.

C.

Asupan Oral
Makanan harus ditunda pemberiannya selama proses persalinan aktif.

Waktu pengosongan lambung memanjang secara nyata saat proses persalinan


berlangsung dan diberikan obat analgesik. Sebagai akibatnya, makanan dan
sebagian besar obat yang dimakan tetap berada dilambung dan tidak diabsorpsi;

11

melainkan, dapat dimuntahkan dan teraspirasi. Terdapat kecenderungan


memberikan cairan dengan jumlah yang terbatas untuk wanita in partu (Tabel
2.4). Gyton dan Gibbs (1994) mengadakan suatu penelitian mengenai pemberian
cairan sebanyak 150 mL per oral 2 jam sebelum pembedahan elektrif. Insiden
aspirasi tidak terpengaruh. Belum jelas apakah penelitian ini dapat diterapkan
pada wanita in partu, yang beresiko menjadi seksio sesarea segara setiap saat.
D.

Cairan Intravena
Meskipun telah menjadi kebiasaan di banyak Rumah Sakit untuk

memasang sistem infus intravena secara rutin pada awal persalinan, jarang ada ibu
hamil normal yang benar-benar memerlukannya, setidaknya sampai analgesi
diberikan. Sistem infus intravena menguntungkan selama masa nifas dini untuk
memberikan oksitosin profilaksis dan seringkali bersifat terapeutik ketika terjadi
atonia uteri selain itu, dengan persalinan yang lebih lama, pemberian glukosa,
natrium, dan air untuk wanita yang sedang berpuasa dengan kecepatan 60 sampai
120 ml perjam, efektif untuk mencegah dehidrasi dan asidosis (Tabel 2.4).
Tabel 2.4

Rekomendasi Pimpinan Persalinan Kala I dan II Normal pada


Wanita tanpa Faktor Risiko Anestetik, Medis atau Obstetris

1. Tanda vital ibu diperiksa sekurang-kurangnya setiap 4 jam


2. Pemeriksaan vagina periodik menggunakan pelumas larut-air dan steril, hindari
antiseptik povidon-iodin dan heksaklorofen
3. Diizinkan untuk minum cairan jernih, kadang-kadang potongan es batu, sedikit demi
sedikit dan memakai pelembab bibir, Hidrasi intravena diindikasikan bila persalinan
memanjang
4. Si ibu harus mempunyai pilihan untuk dapat berjalan-jalan selama persalinan kala I
5. Pereda nyeri harus bergantung pada kebutuhan dan keinginan si ibu
Dikutip dari : American Academy of pediatrics dan American Collage of Obsetricians
and Gyneccologisis, 1997, dengan izin

E.

Posisi Ibu Selama Persalinan


Ibu yang dalam proses bersalin tidak perlu terus berbaring di tempat tidur

pada awal persalinan. Sebuah kursi yang nyaman mungkin lebih bermanfaat
secara psikologis dan mungkin juga secara fisiologis. Di tempat tidur, ibu
hendaknya di perbolehkan mengambil posisi yang dirasa enak, paling sering

12

adalah berbaring miring. Ibu tidak harus ditahan pada posisi terlentang. Bloom
dkk. (1998) melakukan percobaan acak untuk berjalan selama persalinan pada
1000 wanita dengan kehamilan risiko rendah. Mereka menemukan bahwa berjalan
tidak mempercepat atau mengganggu persalinan aktif dan tidak berbahaya.
F.

Analgesi
Seperti tercantum pada Tabel 2.4, analgesi paling sering mulai diberikan

berdasarkan rasa nyeri di satu pihak, dan kemungkinan melahirkan bayi yang sakit
dilain pihak. Penetapan waktu, metoda pemberian, dan ukuran dosis awal serta
lanjutan obat-obat analgesik yang bekerja secara sistematik sangat didasarkan
pada interval waktu yang diharapkan sampai pelahiran. Oleh karenanya,
pemeriksaan vagina berulang sebelum memberikan analgesi lebih banyak
seringkali dapat diterima. Dengan munculnya gejala-gejala khas persalinan kala
dua, yaitu dorongan untuk mengejan, status serviks dan bagian terbawah janin
harus dievaluasi kembali.
G.

Amniotomi
Bila selaput ketuban masih utuh, ada dorongan yang besar, bahkan pada

persalinan normal sekalipun untuk melakukan amniotomi. Manfaat yang


diperkirakan adalah persalinan bertambah cepat, deteksi dini kasus pencemaran
mekonium pada cairan amnion, dan kesempatan untuk memasang elektroda ke
janin serta memasukan pressure catheter kedalam rongga uterus. Jika amniotomi
dilakukan, harus diupayakan menggunakan teknik aseptik. Yang penting, kepala
janin harus tetap berada di serviks dan tidak dikeluarkan dari panggul selama
prosedur; karena tindakan seperti itu akan menyebabkan prolaps tali pusat.

H.

Fungsi Kandung Kemih


Distensi kandung kemih harus dihindarkan karena dapat mengakibatkan

persalinan macet dan selanjutnya menimbulkan hipotonia serta infeksi kandung


kemih. Setiap melakukan pemeriksaan abdomen, daerah suprapublik heridaknya
diinspeksi dan

dipalpasi untuk mendeteksi pengisian kandung kemih. Jika

13

kandung kemih dengan mudah dapat dilihat dan dipalpasi diatas simfisis, wanita
tersebut dianjurkan untuk berkemih, sewaktu-waktu ibu diperbolehkan untuk
berjalan dengan bantuan ketoilet dan berhasil berkemih, sekalipun ibu tidak dapat
berkemih ditempat tidur. Jika kandung kencing terdistensi dan tidak dapat
berkemih, diindikasikan kateterisasi intermiten.

2.2.c Penatalaksanaan Partus Kala II5


Setelah dilatasi serviks lengkap, yang manandai awitan persalinan kala dua,
wanita tersebut akan mulai mengejan, dan seiring turunnya bagian terbawah janin,
timbul keinginan ibu untuk berdefekasi. Kontraksi uterus dan daya dorong yang
menyertainya dapat berlangsung selama 1 menit dan terjadi kembali setelah
suatu fase istirahat miometrium yang lamanya tidak lebih dari satu menit.1
A.

Durasi
Median durasi kala dua adalah 50 menit pada nulipara dan 20 menit pada

multipara, tetapi hal ini dapat bervariasi. Pada multipara dengan vagina dan
perineum yang lemas, untuk menyelesaikan kelahiran bayi cukup membutuhkan
dua atau tiga daya dorong setelah pembukaan serviks lengkap. Sebaliknya, pada
wanita dengan panggul sempit atau janin besar, atau terdapat gangguan daya
dorong akibat anestesia regional atau sedasi kuat, kala dua dapat menjadi sangat
lama.1
B.

Frekuensi Denyut Jantung Janin


Pada janin beresiko rendah, selama persalinan kala II frekuensi denyut

jantung hendaknya diauskultasi sekurang-kurangnya setiap 15 menit, sementara


pada mereka yang beresiko tinggi, dianjurkan interval 5 menit.2

C.

Daya Ekspulsif Ibu


Mengejan merupakan refleks dan spontan timbul pada persalinan kala dua,

tetapi kadang kala wanita tersebut tidak mengerahkan daya ekspulsifnya dengan
baik. Tungkai sebaiknya berada dalam posisi setengah fleksi sehingga ibu dapat
menolakkan kakinya pada alas. Mengambil nafas dalam segera setelah kontraksi

14

uterus berikutnya dimulai dan, sambil menahan nafas, mengejan kuat ke bawah
persis sedang mengeluarkan tinja.1
D.

Persiapan Pelahiran
Posisi yang digunakan adalah posisi litotomi dorsal yang dimaksudkan

untuk meningkatkan diameter pintu bawah panggul. Dapat menggunakan


penyangga kaki untuk mendapatkan lapang pandang yang baik. Persiapan
pelahiran membutuhkan pembersihan vulva dan perineum.
Pelahiran Spontan
1.

Pelahiran Kepala
Pada setiap kontraksi, perineum menonjol semakin besar dan bukaan

vulvovagina menjadi semakin lebar oleh kepala janin, perlahan-lahan berbentuk


oval dan akhirnya berbentuk hampir melingkar. Ketika kepala menjadi semakin
terlihat, bukaan vagina dan vulva teregang lebih jauh sampai akhirnya melingkari
diameter terbesar kepala bayi. Diameter terbesar kepala janin yang dilingkari oleh
cincin vulva ini dikenal sebagai crowning.

15

Gambar 2.2 Episiotomi Median


Jika episiotomi sudah dilakukan, perineum sekarang menjadi lebih tipis,
dan khususnya pada wanita nulipara, dapat mengalami laserasi spontan. Pada saat
yang bersamaan anus menjadi sangat teregang dan menonjol, serta dinding
anterior rektum dengan mudah terlihat melalui lubang anus.

16

Gambar 2.3 Pelahiran Kepala


2.

Manuver Ritgen
Pada waktu kepala meregangkan vulva dan perineum (selama kontraksi)

sehingga cukup untuk membuka introitus vagina hingga diameter sekitar 5 cm,
tangan yang mengenakan sarung tangan serta terbungkus handuk dapat digunakan
untuk memberikan penekanan kedepan pada dagu janin melalui perineum tepat di
depan koksigis. Pada saat yang bersamaan, tangan lainnya memberikan penekanan
ke atas pada oksiput. Manuver ini memungkinkan dokter mengendalikan
kelahiran kepala dan juga membantu ekstensi sehingga kepala dilahirkan dengan
diameter terkecilnya melewati introitus dan perineum. Kepala dilahirkan secara
perlahan dengan basis oksiput berputar di tepi bawah simfisis pubis sebagai titik
tumpu, sementara bregma (fontanela anterior), dahi, wajah berturut-turut terlihat
di perineum.

17

Gambar 2.4 Manuver Ritgen

18

Gambar 2.5 Pelahiran Kepala (Mulut Tampak di Perineum)


3.

Pelahiran Bahu
Setelah lahir, kepala jatuh ke posterior, sehingga wajah hampir menempel

ke anus. Oksiput segera memutar kearah salah satu paha ibunya sehingga kepala
mengambil posisi melintang. Selanjutnya rotasi eksterna menunjukan bahwa
diameter biakromion (diameter transversal dada) telah memutar menyesuaikan
dengan diameter anteroposterior panggul.
Sisi kepala dipegang dengan kedua tangan dan dilakukan traksi ke arah
bawah secara perlahan, dilakukan sampai bahu anterior terlihat di bawah arkus
pubis. Sisa badan hampir selalu mengikuti bahu tanpa kesulitan, tetapi pada kasus
persalinan yang berkepanjangan, pelahiran badan dapat dipercepat dengan tarikan
sedang pada kepala dan tekanan sedang pada fundus uteri.

19

Gambar 2.6 Pelahiran Bahu

4.

Membersihkan Nasofaring
Untuk meminimalisir kemungkinan aspirasi debris cairan amnion dan

darah yang mungkin terjadi setelah dada lahir dan bayi dapat menarik nafas,
wajah cepat-cepat diusap dan lubang serta mulut bayi diaspirasi.

20

5.

Lilitan Tali Pusat Di Leher


Setelah bahu anterior lahir, jari harus dimasukkan menuju leher janin

untuk memastikan ada atau tidaknya lilitan tali pusat. Kalau dirasakan ada lilitan,
lilitan hendaknya ditarik di antara jari-jari dan, kalau cukup longgar, dilepaskan
dari kepala bayi. Kalau lilitan mencekik erat di leher sehingga sulit dilepaskan
dari kepala, hendaknya dipotong di antara dua klem dan bayi dilahirkan secara
cepat.
6.

Pemutusan Tali Pusat


Tali pusat dipotong di antara dua klem seperti yang dipasang 4 atau 5 cm

dari abdomen janin, dan kemudian satu klem tali pusat dipasang 2 atau 3 cm dari
abdomen janin.
7.

Saat yang Tepat Mengklem Tali Pusat


Mengklem tali pusat setelah pembersihan saluran nafas bayi pertama kali

selesai yang biasanya memerlukan waktu sekitar 30 detik.

2.2.d Penatalaksanaan Persalinan Kala III5


Terdiri dari 2 fase, yaitu: (1) fase pelepasan uri, (2) fase pengeluaran uri.
Setelah anak lahir, his berhenti sebentar, tetapi timbul lagi setelah beberapa menit.
His ini dinamakan his pelepasan uri yang berfungsi melepaskan uri, sehingga
terletak pada segmen bawah rahim atau bagian atas vagina. Pada masa ini, uterus
akan teraba sebagai tumor yang keras, segmen atas melebar karena mengandung
plasenta, dan fundus uteri teraba sedikit di bawah pusat.
Jika telah lepas, bentuk plasenta menjadi bundar, dan tetap bundar
sehingga perubahan bentuk ini dapat dijadikan tanda pelepasan plasenta. Jika
keadaan ini dibiarkan, setelah plasenta lepas, fundus uteri naik, sedikit hingga
setinggi pusat atau lebih, bagian tali pusat diluar vulva menjadi lebih panjang.
Naiknya fundus uteri disebabkan karena plasenta jatuh dalam segmen
bawah rahim bagian atas vagina sehingga mengangkat uterus yang berkontraksi.
Seiring lepasnya plasenta, dengan sendirinya bagian tali pusat yang lahir menjadi

21

lebih panjang. Lamanya kala uri kurang lebih 8,5 menit, dan pelepasan plasenta
hanya memakan waktu 2-3 menit.
Tanda-tanda pelepasan plasenta :
-

Uterus menjadi bundar

Perdarahan, terutama perdarahan sekonyong-konyong dan agak banyak


(250 cc)

Memanjangnya bagian tali pusat yang lahir

Naiknya fundus uteri karena naiknya rahim sehingga lebih mudah


digerakkan.

Gambar 2.7 Plasenta Keluar dari Vagina

22

Pengeluaran Plasenta
Tampakan plasenta tidak akan keluar sebelum plasenta terlepas dari uterus
agar tidak menjadi inversi pada uterus. Tarikan pada tali pusat tidak harus
dilakukan saat akan mengeluarkan plasenta dari uterus. Inversi uterus adalah salah
satu komplikasi yang menyebabkan kematianyang berkaitan dengan kelahiran dan
berkaitan dengan kejadian kegawat daruratan. Penurunan tekanan dpada vagina
mempengaruhi bagian body uterus, tali pusat akan tetap sedikit menegang. Uterus
akan naik dengan bantuan dorongan tangan pada abdomen. Manuver ini dilakukan
secara terus-menerus sampai plasenta berada pada introitus vagina. Saat plasenta
keluar dari introitus vagina, tekanan pada uterus berhenti. Plasenta secara perlahan
akan keluar dari introitus. Ambil secara perlahan untuk mencegah kerusakan pada
membran plasenta. Jika membran sudah seperti tetesan air, kita sangga dan
keluarkan secara perlahan.
2.2.e Kala IV (Kala Pengawasan)
Merupakan kala pengawasan selama satu jam setelah bayi dan uri lahir
untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum.
tujuh pokok penting yang harus diperhatikan pada kala IV :
1) kontraksi uterus harus baik,
2) tidak ada perdarahan pervaginam atau dari alat genital lain,
3) plasenta dan selaput ketuban harus sudah lahir lengkap,
4) kandung kencing harus kosong,
5) luka-luka di perineum harus dirawat dan tidak ada hematoma,
6) resume keadaan umum bayi, dan
7) resume keadaan umum ibu.

2.2.f Obat Oksitosin5,6


Setelah uterus dikosongkan dan plasenta telah lahir, mekanisme utama
untuk mencapai hemostasis di tempat plasenta adalah vasokontriksi yang
ditimbulkan oleh miometrium yang berkontraksi dengan baik. Oksitosin (Pitocin,

23

Syntocinon),

ergonovin

maleat

(Ergotrate),

dan

metilergonovin

maleat

(Methergine) digunakan dengan berbagai cara dalam memimpin persalinan kala


tiga, terutama untuk mengurangi perdarahan dengan cara merangsang kontraksi
miometrium.
A.

Oksitosin
Bentuk sintetik oksitosin oktapeptida secara komersial tersedia di pasaran

Amerika Serikat sebagai Syntocinon dan Pitocin; 1 mg oksitosin sama dengan 500
unit USP. Setiap mililiter suntikan oksitosin mengandung 10 unit USP, yang tidak
efektif bila diberikan secara oral. Masa paruh oksitosin infus intravena sangat
pendek, mungkin tiga menit.
Sebelum kelahiran, uterus yang sedang melahirkan spontan sangan
mungkin menjadi sensitif terhadap oksitosin. Bila diberikan dosis oksitosin yang
tidak tepat, uterus hamil dapat berkontraksi begitu kuatnya sehingga dapat
membunuh janin, menimbulkan ruptur uteri, atau keduanya. Setelah janin lahir,
bahaya-bahaya ini tidak ada lagi. Meskipun demikian, pada waktu ini ada bahaya
besar lain karena penggunaan oksitosin yang tidak tepat.
B.

Ergonovin Dan Metilergonovin


Ergonovin adalah suatu alkaloid yang diperoleh dari ergot, suatu jamur

yang tumbuh pada gandum hitam dan ebberap macam padi-padian atau disintesis
sebagian dari asam lisergik. Metilergonovin dan ergonovin (juga ergometrin atau
ergosterin) adalah alkaloid yang sangat mirip dengan yang dibuat dari asam
lisergik. Alkaloid-alkaloid tersebut disediakan sebagai maleat (masing-masing
sebagai Ergotrat dan Methergin) baik dalam larutan untuk penggunaan parenteral
atau dalam tablet untuk penggunaan oral.

C.

Prostaglandin
Senyawa

penatalaksanaan

prostaglandin
persalinan

kala

tidak
tiga.

digunakan

secara

Penggunaannya

rutin

untuk

dibatasi

untuk

penatalaksanaan perdarahan pasca partum akibat atonia uterus.

24

2.2.g Laserasi Jalan Lahir5,6,7

25

Gambar 2.8 Derajat Laserasi Jalan Lahir

Laserasi vagina dan perineum diklasifikasikan menjadi derajat pertama,


kedua, atau ketiga. Laserasi derajat pertama mengenai fourchet, kulit perineum,
dan membran mukosa vagina, tetapi tidak mengenai fascia dan otot. Laserasi
derajat kedua mengenai kulit dan membran mukosa, fascia dan otot-otot
perineum, tetapi tidak mengenai sfingter ani. Bagian-bagian ini biasanya robek
sampai ke atas pada satu atau kedua sisi vagina, membentuk cedera segitiga tak

26

teratur. Laserasi derajat tiga mengeai mulai dari kulit, membran mukosa, dan
perineum sampai mengenai sfingter ani. Laserasi derajat empat meluas sampai
mukosa rektum sehingga memaparkan lumen rektum. Robekan di daerah uretra
yang dapat menimbulkan perdarahan hebat mungkin muncul pada tipe laserasi ini.
Ruptura perineum dibagi dalam 3 tingkat.
-

Ruptura perineum tingkat I : yang robek hanya selaput lendir dan kulit
Ruptura perineum tingkat II : selain selaput lendir dan kulit, juga robek

otot-otot perineum kecuali sfingter ani


Ruptura perineum tingkat III : selaput lendir, kulit, otot-otot perineum dan

sfingter ani rusak. Dinding perineum mungin ikut robek


Ruptura perineum tingkat I dan II disebut ruptura perineum inkomplit
Ruptura perineum tingkat III disebut juga ruptura perineum komplit atau
ruptura perineum totalis

Sebab-sebab ruptura perineum adalah :


-

Kepala anak terlalu cepat lahir


Anak besar
Persalinan buatan
Arcus pubis sempit
Vagina sempit
Perineum yang kaku
Posisi occipito posterior

Karena reparasi robekan perineum sebenarnya sama seperti pada insisi


episiotomi, sekalipun sering kurang memuaskan karena garis-garis robekan
jaringan yang tidak teratur, teknik perbaikan laserasi dibahas pada bagian berikut
ini.

2.2.h Episiotomi
A.

Definisi, Macam, dan Tujuan


27

Definisi
Episiotomi dalam arti sempit adalah insisi pudenda. Sedangkan
perineotomi adalah insisi perineum. Tetapi, dalam bahasa biasa episiotomi sering
digunakan sama dengan perineotomi.5
Episiotomi adalah insisi dari perineum untuk memudahkan persalinan dan
mencegah ruptur perineum totalis.6
Macam5,6
Terdapat empat macam episiotomi, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Episiotomi medialis yang dibuat di garis tengah


Episiotomi mediolateralis dari garis tengah ke samping menjauhi anus
Episiotomi lateralis, 1 2 cm di atas komisura posterior ke samping
Episiotomi sekunder; kalau kita melihat ruptur perineum yang spontan
atau episiotomi medialis yang melebar sehingga mungkin menjadi ruptur
perineum totalis, maka kita gunting ke samping.
Episiotomi yang paling sering digunakan adalah episiotomi medialis dan

episiotomi mediolateralis.
Tabel 2.5 Perbandingan Episiotomi Mediana dan Mediolateral
Episiotomi medialis

Episiotomi mediolateralis

1. Mudah dijahit

1. Lebih sulit dijahit

2. Anatomis maupun fungsionalis

2. Anatomis maupun fungsionalis

sembuh dengan baik

penyembuhan kurang sempurna

3. Nyeri dalam nifas tak seberapa

3. Nyeri pada hari-hari pertama nifas

4. Dapat menjadi ruptura perineum

4. Jarang menjadi ruptura perineum

totalis

totalis

Menurut Combs dkk (1990) melaporkan bahwa faktor-faktor berikut ini


meningkatkan risiko laserasi derajat 3 dan 4, yaitu nuliparitas, persalinan kala dua
macet, posisi oksiput posterior persisten, forseps setengah atau rendah alih-alih
ekstraksi vakum, penggunaan anastesi lokal, dan ras Asia.
Tujuan5,6

28

Tujuan dari episiotomi diantaranya :


1. Episiotomi membuat luka yang lurus dengan pinggir yang tajam,
sedangkan ruptur perineum yang spontan bersifat luka koyak dengan
dinding luka bergerigi
2. Mengurangi tekanan pada kepala anak
3. Mempersingkat kala II
4. Episiotomi lateralis dan mediolateralis mengurangi kemungkinan ruptura
perineum totalis.
B.

Indikasi, Waktu5,6
Indikasi
1. Distosia bahu
2. Lahir sungsang
3. Ekstraksi forseps atau vakum
4.
Pada keadaan apabila episiotomi tidak dilakukan kemungkinan besar
terjadi ruptur perineum (perineum pendek)
Anak besar
6. Posisi occipito posterior atau letak defleksi
5.

Episiotomi medialis terutama dibuat pada anak yang prematur. Episiotomi


sekunder terpaksa kita buat jika penilaian kita salah.
Waktu
Jika episiotomi dilakukan terlalu cepat dan tidak berdasar pada keperluan,
perdarahan dari luka insisi mungkin banyak selama jeda waktu antara episiotomi
dan kelahiran. Jika episiotomi terlambat dilakukan, laserasi tidak akan terhindar
lagi. Lazimnya episiotomidilakukan saatkepala terlihat selama kontraksi sampai
diameter 3 4 cm. Saat digunakan pada pelahiran forseps, sebagian besar praktisi
melakukan episiotomi setelah pemasangan pisau forseps.
Saat melakukan episiotomi adalah ketika kepala tampak dengan diameter 2
3 cm. Jika dibuatnya terlambat, otot-otot dasar panggul sudah diregang dengan
sangat, sehingga salah satu tujuan episiotoi tidak tercapai; jika dilakukan terlalu
cepat, perdarahan antara insisi dan lahirnya anak terlalu banyak.
C.

Teknik penjahitan5
Cara menjahit ruptur perineum dan luka episiotomi :

29

Ruptur perineum yang datang dari luar masih dapat dijahit dalam 24 jam pertama
setelah persalinan, sesudah itu luka terinfeksi dan tidak ada gunanya, malah
merugikan untuk menjahitnya. Dalam hal ini terpaksa kita tunda reparasi luka
sampai 3 bulan post partum.
Teknik menjahit luka perineum bermacam-macam tetapi ada titik persamaan :
1. Benang yang dipergunakan harus sehalus mungkin
2. Untuk jahitan dalam dipergunakan catgut
3. Luka yang dangkal dapat dijahit dalam satu lapisan; luka yang dalam
dijahit dalam 2 lapisan atau lebih
4. Tiap jahitan harus sampai ke dasar luka; jika jahitan tidak sampai ke
dasar luka terjadi sebuah rongga yang terisi cairan serous atau darah; rongga ini
mudah terinfeksi dan sisinya pecah keluar dan membuka luka kembali.
Ada banyak cara untuk menutup insisi episiotomi, tetapi hemostasis dan
perbaikan anatomis tanpa terlalu banyak menjahit sangat penting demi suksesnya
metoda apapun. Teknik yang ering dilakukan pada perbaikan episiotomi
diperlihatkan pada gambar X. Benang jahit yang biasanya digunakan adalah
catgut kromik 2-0, tapi Grant (1989) merekomendasikan benang jahit yang terbuat
dari turunan asam poliglikolat. Suatu penurunan nyeri pascabedah disebutkan
sebagai keuntungan mayor mterial terbaru ini meskipun kadang-kadang
dibutuhkan untuk mengangkat beberapa jahitan dari lokasi tempat jahitan tersebut
Perbaikan yang diuraikan oleh Grant yang terutama berupa episiotomi
mediolateral dan penutupan yang benar-benar berbeda harus dibedakan dari
episiotomi mediana yang lazim dikerjakan, khususnya yang telah dilakukan di
Amerika Serikat.

30

BAB III
KESIMPULAN

Persalinan normal adalah proses pergerakkan keluar janin, plasenta, dan


membran dari dalam rahim melalui vagina.
Rata-rata persalinan kala satu pada wanita nulipara adalah 7 jam dan
wanita multipara sekitar 4 jam. Penatalaksanaan persalinan kala II terdiri dari
dilakukan pemantauan kesejahteraan janin selama persalinan, pemeriksaan vagina

31

selanjutnya, asupan oral, cairan intravena, posisi ibu selama persalinan, pemberian
analgesi, amniotomi, dan fungsi kandung kemih.
Rata-rata durasi persalinan kala dua adalah 50 menit pada nulipara dan 20
menit pada multipara. Penatalaksanaan persalinan kala II terdiri dari menilai
Frekuensi Denyut Jantun Janin, daya ekspulsif ibu, dan persiapan pelahiran.
Persalinan kala III terdiri dari dua fase yaitu fase pelepasan dan proses
pengeluaran uri. Lamanya kala uri kurang lebih 8,5 menit dan pelepasan plasenta
memakan waktu 2-3 menit.
Persalinan kala IV berlangsung selama satu jam setelah bayi dan uri lahir,
untuk mengamati keadaan ibu terhadap bahaya perdarahan postpartum.
Episiotomi adalah insisi dari perineum untuk memudahkan persalinan dan
mencegah ruptur perineum totalis. Terdapat dua macam insisi yaitu mediana dan
mediolateral. Tindakan ini diakhiri dengan perbaikan episiotomi.

DAFTAR PUSTAKA

1.
2.

Varneyth. 2003. Varney midwifery, third edition, New york


Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Pedoman Pewawancara Petugas

3.
4.

Pengumpul data, Jakarta: Badan Litbangkes, Depkis RI. 2010


Bobak, dkk. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri jilid I edisi 2. Jakarta: EGC

32

5.

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD. Obstetri Williams Edisi ke-23 Vol. 1. Jakarta : ECG; 2010. p. 934,

6.

1035-7.2.
Bagian Obstetri & ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Bandung. Obstetri Fisiologi. Bandung :Elstar Offset. Edisi 2. 2010.p 268-

7.

300
Saifuddin, A. B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan bina pustaka Sarwono
Prawwirohodjo

33

Anda mungkin juga menyukai