Anda di halaman 1dari 6

PRANATA PEMBANGUNAN

PERMASALAHAN & SOLUSI PEMBANGUNAN

Oleh :
Evi fitriani
13430012
Dosen Pembimbing :

IR .Dina poerwoningsih,MT
IR.soesanto,MT
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
2016

Jalan Panjang Reklamasi di Teluk


Jakarta, dari era Soeharto sampai
Ahok
Selama satu dasawarsa terakhir, wacana reklamasi Teluk Jakarta
semakin kencang. Berbagai kebijakan pemerintah muncul, ada yang
melarang, tetapi tak jarang melegalkan reklamasi.Belakangan, wacana
tersebut menguat, dihadirkan dengan mengusung tujuan mulia
menambah luasan Jakarta sebagai antisipasi perkembangan ibu kota
negara.Reklamasi bukan hal baru bagi Jakarta. Kegiatan untuk
meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan
pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak
1980-an.PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400
meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk
permukiman mewah Pantai Mutiara.Dalam catatan pemberitaan Kompas,
PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara
untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981.Sepuluh tahun
kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan
permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah
Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri,
yakni Kawasan Berikat Marunda.Saat itu, kegiatan reklamasi di empat
lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh
reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini
terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai
Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU.Tak
hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu
diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal
reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan.
Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota
negara.Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu,
menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah
selatan sudah tidak memungkinkan lagi.Rencana reklamasi seluas 2.700
hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto,
Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek
reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang
tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.Untuk memuluskan rencana
tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.Namun,
munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak
disebutkan mengenai rencana reklamasi.
Tarik ulur kebijakan

Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta
dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup
dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak
dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI
Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.Tahun 2003,
Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa
dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan
ruang
dan
ketersediaan
teknologi
pengendali
dampak
lingkungan.Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana
Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.Surat keputusan tersebut
tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam
pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri
Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).Mereka
beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi,
termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan
gugatan keenam perusahaan tersebut.Kementerian Lingkungan Hidup lalu
mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan
gugatan keenam perusahaan tersebut.Kementerian Lingkungan Hidup lalu
mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan
mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi
amdal.Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No
12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal.
Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana
reklamasi.Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus
membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan
tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta.Saat
rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang
menghadangnya, tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122
Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil di Teluk Jakarta.Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah
kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana
reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar
pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT
Muara Wisesa Samudra.
Ide moratorium
Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut
melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis
berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI
Jakarta.Tak hanya itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta
pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana
reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan
kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa

mengawasi proyek reklamasi.Akhir September 2015, Kementerian


Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian sementara (moratorium)
reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan
listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal,
dan sebagainya.Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak
menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan
reklamasi.Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai
mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau
O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port
of Jakarta. Wacana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde
Baru. Namun, sudah 10 tahun bergulir, reklamasi tersebut urung
dilakukan. Berbagai pendapat mendukung dan menentang rencana
reklamasi tersebut.Reklamasi untuk menambah ruang pembangunan
Jakarta merupakan salah satu pendapat yang mendukung proyek
reklamasi.Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan
karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur
dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985
pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan
barat.Alasan lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta.
Pengembang yang membangun kawasan tersebut akan menghasilkan
pajak dan retribusi. Selanjutnya pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut
digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh.Namun, justru alasan ini
dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang pembangunan,
bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah
utara.Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan
secara perlahan harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke
Jakarta juga perlahan perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra
(Bodetabek).Penggunaan area reklamasi untuk subsidi silang pemasukan
daerah juga merupakan langkah tidak tepat.Seberapa besar pengawasan
yang dilakukan Pemprov DKI untuk memastikan para pengembang
membayar pajak dan retribusi? Pengembang yang telah menginvestasikan
banyak uang akan membatasi pemasukannya bagi pajak dan retribusi
pemda.Berbagai pendapat mendukung bahwa reklamasi berdampak
positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar
aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan
kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta
Utara.Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan
mengurangi risiko abrasi. Pendapat tersebut memerlukan kajian lebih
lanjut.
Kontra reklamasi
Pihak yang menentang akan mengaitkan reklamasi berdampak negatif
pada lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir
terancam punah.Kehancuran itu antara lain berupa hilangnya berbagai
jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang,
kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain.Selain itu, reklamasi

juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah


bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta
Utara.Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi
sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan
merusak kawasan tata air.ak hanya persoalan lingkungan, reklamasi
berdampak juga pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan
Jakarta Utara.Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000
nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan
yang sudah miskin menjadi semakin miskin.

SUMBER
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/04/10050401/Jalan.Panjang
.Reklamasi.di.Teluk.Jakarta.dari.era.Soeharto.sampai.Ahok

SOLUSI PERMASALAHAN

Belajar dari pengalaman banyak negara yang sukses melakukan reklamasi


kawasan pantainya, hal-hal yang berpotensi memberikan dampak buruk
terhadap lingkungan dapat diantisipasi dan dikelola dengan baik. Dengan
kemajuan iptek, kemampuan manusia untuk memahami dan mengelola alam
dan lingkungan semakin meningkat.Tidak bisa dibantah bahwa perkembangan
teknologi dengan perencanaan serta pengawasan yang baik semakin mampu
mewujudkan reklamasi yang ramah lingkungan. Di sisi lain, adanya kegiatan
reklamasi juga akan membawa peluang ekonomi baru dengan segala
turunannya yang juga membuka peluang perbaikan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat pesisir tradisional melalui suatu perencanaan terpadu.Reklamasi di
Teluk Jakarta bisa dikatakan pilihan terbaik untuk mengatasi problem Ibu Kota
yang multidimensional. Tak hanya untuk melakukan restorasi ekologis,
penambahan ruang darat kota juga bisa untuk mengendalikan tingkat kepadatan
di Ibu Kota.Reklamasi juga akan merevitalisasi wilayah utara Jakarta yang
elevasinya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di
Jakarta. Meningkatnya kualitas wilayah di bagian utara berpotensi untuk

meredistribusi sebaran penduduk Jakarta dari daerah-daerah resapan air, seperti


di selatan Jakarta, ke wilayah yang tingkat kepadatan penduduk relatif lebih
rendah, dalam hal ini di wilayah utara Jakarta.Reklamasi merupakan suatu
keniscayaan akhir-akhir ini dan di masa yang akan datang. Kita dapat belajar
dari keberhasilan reklamasi di Teluk Tokyo, Osaka, Shanghai, Dubai, Singapura,
dll. Reklamasi bisa menjadi solusi pengembangan ruang dengan menitikberatkan
pada fungsi dan rekayasa lingkungan yang berkelanjutan.Dengan melihat arah
pembangunan DKI Jakarta yang saat ini diarahkan ke barat, timur, dan utara,
akan butuh pengembangan sekaligus optimalisasi pemanfaatan ruang, dalam
hal ini terutama Teluk Jakarta.Keseluruhan lahan yang nantinya terbentuk akan
berupa pulau-pulau baru di lingkungan Teluk Jakarta yang direncanakan
mencapai sekitar 5.200 ha dan akan menjadi ikon pembangunan Kota
Metropolitan Jakarta yang berbasiskan daya dukung dan daya tampung
lingkungan, khususnya terhadap badan air yang merupakan amenitis kota-kota
maju dan modern dewasa ini.Pulau-pulau baru hasil reklamasi yang dirancang
menjadi bagian dari rencana pengelolaan lingkungan terpadu dan berkelanjutan
kawasan Teluk Jakarta juga merupakan etalase Indonesia dalam upaya
penanganan permasalahan lingkungan perkotaan pinggir pantai yang terpadu
sehingga menunjukkan pembangunan metropolitan yang berkelanjutan serta
mampu mengantisipasi tantangan peradaban ke depan.Jika direncanakan dan
dilaksanakan dengan baik melibatkan seluruh pemangku kepentingan, tentunya
reklamasi dapat menghasilkan ruang binaan baru dari hasil rekayasa dan juga
menciptakan kawasan Water Front City modern yang menyatukan aspek
kelautan/bahari yang ramah lingkungan. Dengan melihat bahwa reklamasi
merupakan sebuah kegiatan pembangunan yang sangat besar, dibutuhkan juga
perencanaan dan penelitian terkait dengan kegiatan itu.Rencana Pemprov DKI
Jakarta untuk menata ulang dalam rangka reklamasi/restorasi kawasan Teluk
Jakarta ialah pilihan yang tepat. Perbedaan pandang dan pendapat yang ada,
jika disikapi dengan bijak akan menghasilkan rancang bangun reklamasi Teluk
Jakarta yang optimal dan ramah lingkungan. Ekosistem baru yang direncanakan
harus jauh lebih baik dari sebelumnya. Nelayan yang selama ini 'terpaksa'
mencari nafkah di kawasan yang sudah rusak ekosistemnya harus mendapat
prioritas perbaikan nasib dengan adanya reklamasi Teluk Jakarta ini.

Anda mungkin juga menyukai