Anda di halaman 1dari 601

PEMBAHASAN TO 4 OPTIMAPREP

BATCH I UKMPPD 2016


PART I NO. 1 - 99
dr. Widya, dr. Yolina, dr. Retno, dr. Yusuf, dr. Reza, dr. Resthie
dr. Cemara, dr. Zanetha

OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan
(belakang pasaraya manggarai)
Phone number : 021 8317064
pin BB 2A8E2925
WA 081380385694

Medan :
Jl. Setiabudi no. 65 G, medan
Phone number : 061 8229229
Pin BB : 24BF7CD2
Www.Optimaprep.Com

Ilmu Penyakit Dalam

1. Dengue Hemorrhagic Fever

Transfusi trombosit:
Hanya diberikan pada
DBD dengan
perdarahan masif (4-5
ml/kgBB/jam) dengan
jumlah trombosit
<100.000/uL, dengan
atau tanpa DIC.
Pasien DBD
trombositopenia tanpa
perdarahan masif tidak
diberikan transfusi
trombosit.

2. Infeksi Dengue
Secara laboratoris, kasus DBD diklasifikasikan
menjadi:
presumtif positif/kemungkinanan demam dengue:
apabila ditemukan kriteria klinis infeksi dengue, uji
hemaglutinasi inhibisi 1:1280 dan/atau IgM
antidengue positif, atau pasien berasal dari daerah
yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed
dengue infection
confirmed DBD (pasti DBD): deteksi antigen dengue,
peningkatan titer antibodi >4 kali pada pasangan
serum akut, dan/atau isolasi virus.
Tatalaksana demam berdarah dengue di Indonesia.

2. Infeksi Dengue
NS1:
antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG
muncul mulai hari ke-12.
Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan
dengan IgM
IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer
awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.

2. Infeksi Dengue

Shock
Bleeding

Primary infection:
IgM: detectable by days 35 after the onset of
illness, by about 2 weeks & undetectable after
23 months.
IgG: detectable at low level by the end of the first
week & remain for a longer period (for many
years).

Secondary infection:
IgG: detectable at high levels in the initial phase,
persist from several months to a lifelong period.
IgM: significantly lower in secondary infection
cases.

3. SLE

Klasi
fikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria
tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.

Kriteria SLE ringan:


1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat,
sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

SLE dengan tingkat keparahan sedang:


1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa:
a. Jantung : endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,
fibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal
: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit
: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis,
polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 ,
purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

3. SLE

4. Artritis
Gout:
Artritis akut diinisiasi
oleh kristalisasi urat di
dalam & sekitar sendi,
Lama kelamaan
menjadi chronic gouty
arthritis & muncul
tophi.
Tophi: agregat kristal
urat dengan inflamasi
di sekelilingnya.
Harrisons principles of internal medicine. 18th ed.
McGraw-Hill; 2011.
Robbins pathologic basis of disease. 2007.

Acute Gout

Tophy in chronic gout


Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.

4. Artritis

Osteoarthritis:

space narrowing (white arrow),


osteophytes/spur (arrowhead),
subchondral cysts,
subchondral
sclerosis/eburnation (black
arrow).

Gout arthritis:
Acute gouty arthritis: soft tissue swelling.
Advanced gout: the erosion are slightly

removed from the joint space, have a


rounded or oval shape, & are
characterized by a hypertrophic calcified
"overhanging edge." The joint space may
be preserved or show osteoarthritic type
narrowing.

Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.


Harrisons principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

4. Artritis
Tujuan penanganan serangan akut untukmeredakan nyeri
dengan cepat.
NSAID: indometasin 150-200 mg/hari, 2-3 hari, lalu 75-100 mg
sampai minggu berikutnya/radang berkurang. Harrisons: 3 x 2550 mg/hari.
Colchicine: 0,5-0,6 mg, 3-4 kali/hari, maksimal 6 mg
Kortikosteroid, jika NSAID kontraindikasi.

Pencegahan serangan dengan menurunkan asam urat:


Allopurinol (lini 1): 300 mg/hari, maksimal 800 mg dosis terbagi
Probenecid: 2x250 mg/hari minggu pertama, selanjutnya 2x500
mg, maksimal 2-3 g/hari.

Agen penurun asam urat tidak diberikan saat serangan akut,


kecuali sudah rutin diminum dari sebelum serangan.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV.
Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.
Physician drug handbook.

5. Gastrointestinal Bleeding
Bleeding from the gastrointestinal (GI) tract may present in 5 ways:

Hematemesis: vomitus of red blood or "coffee-grounds" material.


Melena: black, tarry, foul-smelling stool.
Hematochezia: the passage of bright red or maroon blood from the rectum.
Occult GI bleeding: may be identified in the absence of overt bleeding by a
fecal occult blood test or the presence of iron deficiency.
Present only with symptoms of blood loss or anemia such as lightheadedness,
syncope, angina, or dyspnea.

Harrisons principles of internal medicine

5. Gastrointestinal Bleeding
Specific causes of upper GI bleeding may be suggested
by the patient's symptoms:
Peptic ulcer:
epigastric or right upper quadrant pain

Esophageal ucer:
odynophagia, gastroesophageal reflux, dysphagia

Mallory-Weiss tear:
emesis, retching, or coughing prior to hematemesis

Variceal hemorrhage or portal hypertensive gastropathy:


jaundice, weakness, fatigue, anorexia, abdominal distention

Malignancy:
dysphagia, early satiety, involuntary weight loss, cachexia

5. Gastrointestinal Bleeding
Epigastric pain described as a burning or gnawing discomfort can
be present in both duodenal ulcer & gastric ulcer.
H. pylori and NSAID-induced injury account for the majority of Dus

Harrisons principles of internal medicine. 18th ed. 2011.

5. Gastrointestinal Bleeding
Management
ABC
NGT

Bleeding evaluation.
Gastric wash is still controversial, but useful in
cirrhosis case to prevent encephalopathy.

Fluid rescucitation

NaCl 0,9% before PRC available


Active & massive bleeding: whole blood (contain
coagulation factor)

Drugs

Acid supressor: ranitidin, omeprazol IV


Gastric acid may disturb coagulation process or fibrin
formation.

Nutrition

Active bleeding: parenteral

Endoscopy

Diagnostic & therapeutic.


Penatalaksanaan kedaruratan di bidang ilmu penyakit dalam.
SIGN: Management of acute upper and lower gastrointestinal bleeding.

6. Penyakit Hepatobilier
Kolelitiasis:
Nyeri kanan atas/epigastrik
mendadak, hilang dalam 30
menit-3 jam, mual, setelah makan
berlemak.

Kolesistitis:
Nyeri kanan atas
bahu/punggung, mual, muntah,
demam
Nyeri tekan kanan atas (murphy
sign)

Koledokolitiasis:
Nyeri kanan atas, ikterik, pruritis,
mual.

Kolangitis:
Triad Charcot: nyeri kanan atas,
ikterik, demam/menggigil
Reynold pentad: charcot + syok &
mitral stenosis
Pathophysiology of disease. 2nd ed. Springer; 2006.

6. Penyakit Hepatobilier
Batu empedu asimtomatik bukan
indikasi operasi.
Pada pasien simtomatik:
Mual/rasa tidak nyaman/nyeri
di abdomen kanan atas setelah
makan makanan berlemak.
Faktor risiko: female, fertile, fat,
fourty.

Indikasi operasi.

Pathophysiology of disease. 2nd ed. Springer; 2006.

TLC: therapeutic lifestyle change

6. Penyakit Hepatobilier
UDCA (ursodeoxycholic acid): untuk melarutkan batu empedu.
Untuk menurunkan TG pasien ini dipilih statin karena golongan
fibrat memiliki efek samping membentuk batu empedu.

Pocket medicine. 5th ed. 2014.

7-8. Anemia Makrositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.

7-8. Anemia Makrositik


Anemia makrositik megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vit B12 dan
asam folat. Keduanya memberi gambaran makro-ovalosit dan neutrofil
hipersegmentasi.
Gangguan pembentukan DNA akibat defisiensi vitamin tersebut
mengakibatkan kematian sel darah di sumsum tulang, yang dapat
memberi gambaran pansitopenia serta ikterus (hiperbilirubinemia indirek)
Gejala anemia yang timbul, antara lain cepah lelah dan pucat, kekuningan.
Gangguan neurologi hanya terjadi pada defisiensi vitamin B12, tidak pada
defisiensi folat. Gejala neurologi yang ditemukan:

Neuropati perifer: kesemutan, kebas, lemas


Kehilangan sensasi proprioseptif (posisi) dan getaran
Gangguan memori, depresi, iritabilitas
Neuropati optik: penglihatan kabur, gangguan lapang pandang

Hipersegmentasi (segmen 5/lebih)

Makro-ovalosit pada anemia


makrositik megaloblastik

7-8. Anemia Makrositik

Folate is present in most foods including


eggs, milk, yeast, mushrooms, and liver
but is especially abundant in green leafy
vegetables.
Cobalamin is present in most foods of
animal origin including milk, eggs, and
meat.
Clinical laboratory hematology. 3rd ed.

9. Tuberkulosis
Pada pasien TB kasus baru, jika hasil pemeriksaan pada
akhir tahap awal positif :
Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila
tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya
berobat teratur.
Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT
sisipan).
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian
OAT tahap lanjutan satu bulan.
Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan
pemeriksaan uji kepekaan obat.
Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat,
lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada
akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014.

9. Tuberkulosis
Pada bulan ke 5 atau lebih:
Dahak BTA negatif lanjutkan pengobatan sampai selesai
Dahak BTA positif pengobatan gagal terduga pasien
TB MDR
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR
Pada pasien kasus baru, bila belum bisa dilakukan uji kepekaan atau
dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR berikan OAT kategori 2.
Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan
dengan paduan OAT kategori 2) harus diupayakan semaksimal
mungkin agar bisa dilakukan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat
Rujukan TB MDR.

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014.

TB 2014

10. Asma
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
Reversibilitas: perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu.
Menilai derajat berat asma

Manfaat arus puncak ekspirasi dengan spirometri atau peak


expiratory flow meter:
Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu
Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Juga dapat digunakan menilai derajat
asma.

PDPI. Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. 2004

11. Pulmonologi

Obstruktif:
FEV1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) menurun lebih berat dari FVC (kapasitas vital
paksa).
Normalnya, FEV1/FVC lebih besar dari 75% untuk usia 60 tahun dan yang lebih muda.
Normalnya, FEV1 prediksi antara 80-120%.

Restriktif:

Penurunan semua volume dan kapasitas.


Temuan klasik TLC (kapasital total paru) atau FRC (kapasitas residu fungsional) < 75% prediksi
penurunan RV (volume residu) dan VC (kapasitas vital)
rasio FEV1/FVC yang normal/tinggi.

11. Pulmonologi

Current diagnosis & treatment in pulmonary medicine.

11. Pulmonologi
Pada pasien ini kelainan paru adalah obstruksi
yang reversibel atas dasar:
penurunan FEV1 & rasio FEV1/FVCobstruktif.
FEV1 membaik lebih dari 15% secara
spontan/postbronkodilator, pada pasien ini
perbaikannya 30%Reversibiliti

12.
EKG
Atrial flutter

Atrial fibrilasi

Ventricular tachycardia:
The rate >100 bpm
Broad QRS complex (>120 ms)
Regular or may be slightly irregular

13. Nyeri Sendi


Kartilago: bantalan antara tulang untuk menyerap tekanan & agar
tulang dapat digerakkan.
Osteoarthritis: degenerasi sendi fungsi bantalan menghilang
tulang bergesekan satu sama lain.

Harrisons principles of internal medicine.

Pembebanan repetitif, obesitas, usia tua

Heberdens & Bouchards nodes

Penyempitan celah sendi

Penipisan kartilago

Osteofit (spur formation)

Sklerosis

Harrisons principles of internal medicine.

Ciri

OA

RA

Arthritis

Gout

Spondilitis
Ankilosa

Female>male, >50
tahun, obesitas

Female>male
40-70 tahun

Male>female, >30
thn, hiperurisemia

Male>female,
dekade 2-3

gradual

gradual

akut

Variabel

Inflamasi

Patologi

Degenerasi

Pannus

Mikrotophi

Enthesitis

Poli

Poli

Mono-poli

Oligo/poli

Tipe Sendi

Kecil/besar

Kecil

Kecil-besar

Besar

Predileksi

Pinggul, lutut,
punggung, 1st CMC,
DIP, PIP

MCP, PIP,
pergelangan
tangan/kaki, kaki

MTP, kaki,
pergelangan kaki &
tangan

Sacroiliac
Spine
Perifer besar

Bouchards nodes
Heberdens nodes

Ulnar dev, Swan


neck, Boutonniere

Kristal urat

En bloc spine
enthesopathy

Osteofit

Osteopenia
erosi

erosi

Erosi
ankilosis

Nodul subkutan,
pulmonari cardiac
splenomegaly

Tophi,
olecranon bursitis,
batu ginjal

Uveitis, IBD,
konjungtivitis, insuf
aorta, psoriasis

Normal

RF +, anti CCP

Asam urat

Prevalens
Awitan

Jumlah Sendi

Temuan Sendi
Perubahan
tulang
Temuan
Extraartikular
Lab

14. EKG
Sekitar 50% pasien tirotoksikosis
memiliki frek. nadi > 100 x/menit.
Atrial tachyarrhythmias adalah
kelainan tersering karena atrium
sangat sesitif terhadap hormon
tiroid.

Atrial fibrillation adalah aritmia


tersering kedua. Terutama
dijumpai pada lansia, laki-laki,
kadar hormon tiroid sangat tinggi,
hipertrofi atrium kiri, atau kelainan
intrinsik jantung lainnya.
ABC of clinical electrocardiography. Conditions not primarily affecting the heart. Corey Slovis, Richard Jenkins. BMJ volume 324. June 2004.

15. Influenza

TIV: inactivated influenza vaccine


LAIV: live, attenuated influenza vaccine

Prevention and Control of Seasonal Influenza with Vaccines Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2009

16. Farmakologi

Allopurinol Mechanism of Action Coiffier B, et al. J Clin Oncol. 2008.

16. Farmakologi
Alkali fosfatase adalah enzim penanda kolestasis dan
kerusakan tulang.
Sitokrom oksidase adalah enzim di mitokondria yang
berperan pada rantai tranpor elektron.
Siklooksigenase-2: enzim yang mengubah asam arakidonat
menjadi prostaglandin. Dihambat oleh NSAID & COX-2
selective inhibitor (coxib).
Monoamin oksidase: enzim yang memecah norepinefrin,
serotonin, & dopamin di otak. Dihambat oleh MAO
inhibitor (selegilin, fenelzin) untuk pengobatan depresi.

17. Anaphylactic
Shock

World Allergy Organization


anaphylaxis guidelines:
Summary

17. Anaphylactic
Shock

World Allergy Organization


anaphylaxis guidelines:
Summary

17. Anaphylactic Shock


Pada pasien ini menunjukkan reaksi anafilaktik
sistemik setelah makan udang & kepiting, yaitu
terdapat bibir bengkak (angioedema) dan
urtikaria di seluruh tubuh, tapi tidak disertai
gangguan pernapasan atau sirkulasi (belum
terjadi syok).
Penatalaksanaan yang diberikan adalah injeksi
adrenalin IM untuk menghentikan reaksi alergi
agar tidak menjadi syok anafilaksis.

18. Aritmia

18. Aritmia
How To Do Carotid Massage:
Auscultate for carotid bruits. If there is evidence of
significant carotid disease, do not perform carotid
massage.
With the patient lying flat, extend the neck and
rotate the head slightly away from you.
Palpate the carotid artery at the angle of the jaw
and apply gentle pressure for 10 to 15 seconds.
Never compress both carotid arteries
simultaneously!
Try the right carotid first because the rate of
success is somewhat better on this side. If it fails,
however, go ahead and try the left carotid next.
Have a rhythm strip running during the entire
procedure, so that you can see what is happening.
Always have equipment for resuscitation available;
in rare instances, carotid massage may induce
sinus arrest.

19. Penyakit Endokrin


Waynes index untuk
diagnosis hipertiroidisme:
Skor > 19:
hipertiroidisme.
Skor < 11:
eutiroidism.
Skor antara 11-19:
equivocal

19. Penyakit Endokrin


Billewicz index
untuk hipotiroid.
Skor > 25:
hipotiroid.
A score < - 30:
Eksklusi
hipotiroid

20. H. pylori

20. H. pylori

Konsensus Nasional. Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.

20. H. pylori

21. Pankreatitis Akut


Diagnosis pankreatitis akut:
Klinis
Nyeri epigastrium akut menjalar ke punggung, adanya
faktor risiko alkoholisme atau penyakit bilier

Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan amilase dan/atau lipase lebih dari 3 kali

Evaluasi radiologi.
CT scan bermanfaat untuk menemukan inflamasi &
menyingkirkan penyakit lain.

21. Pankreatitis Akut

Robbins & Cotran Pathologic basis of diseases.

21. Pankreatitis Akut


Treatment 1, fluid rescucitation:
Intravenous fluids of lactated Ringers or normal saline are initially
bolused at 1520 cc/kg (10501400 mL), followed by 3 mg/kg per hour
(200250 mL/h), to maintain urine output >0.5 cc/kg per hour.

Serial bedside evaluations are required every 68 h to assess vital


signs, oxygen saturation, and change in physical examination.
A targeted resuscitation strategy with measurement of hematocrit and
BUN every 812 h is recommended to ensure adequacy of fluid
resuscitation.
A decrease in hematocrit and BUN during the first 1224 h is strong
evidence that sufficient fluids are being administered.

21. Pankreatitis Akut


Treatment 2, nutritional therapy:
A low-fat solid diet can be administered to subjects
with mild acute pancreatitis after the abdominal pain
has resolved.
Enteral nutrition should be considered 23 days after
admission in subjects with more severe pancreatitis
instead of total parenteral nutrition (TPN).
Enteral feeding maintains gut barrier integrity, limits
bacterial translocation, is less expensive, and has
fewer complications than TPN.

21. Pankreatitis Akut

Lokasi Nyeri

Anamnesis

Pemeriksaan
Fisis

Nyeri epigastrik
Kembung

Membaik dgn
makan (ulkus
duodenum),
Memburuk dgn
makan (ulkus
gastrikum)

Tidak spesifik

Nyeri epigastrik
menjalar ke
punggung

Gejala: mual &


muntah, Demam
Penyebab: alkohol
(30%), batu
empedu (35%)

Nyeri tekan &


defans, perdarahan
retroperitoneal
(Cullen:
periumbilikal, Gray
Turner: pinggang),
Hipotensi
Ikterus,
Hepatomegali

Nyeri kanan atas/ Prodromal


epigastrium
(demam, malaise,
mual) kuning.
Nyeri kanan atas/ Risk: Female, Fat,
epigastrium
Fourty, Hamil
Prepitasi makanan
berlemak, Mual,
TIDAK Demam
Nyeri epigastrik/
Mual/muntah,
kanan atas
Demam
menjalar ke bahu/
punggung

Pemeriksaan
Penunjang

Diagnosis

Terapi

Urea breath test


(+): H. pylori
Endoskopi:
eritema (gastritis
akut)
atropi (gastritis
kronik)
luka sd submukosa
(ulkus)
Peningkatan enzim
amylase & lipase di
darah

Dispepsia

PPI:
ome/lansoprazol
H. pylori:
klaritromisin+amok
silin+PPI

Transaminase,
Serologi HAV,
HBSAg, Anti HBS
Nyeri tekan
USG: hiperekoik
abdomen
dgn acoustic
Berlangsung 30-180 window
menit
Murphy Sign

USG: penebalan
dinding kandung
empedu (double
rims)

Pankreatitis

Hepatitis Akut

Resusitasi cairan
Nutrisi enteral
Analgesik

Suportif

Kolelitiasis

Kolesistektomi
Asam
ursodeoksikolat

Kolesistitis

Resusitasi cairan
AB: sefalosporin
gen. 3 +
metronidazol
Kolesistektomi

22. Penyakit Ginjal

22. Penyakit ginjal


Routine clinical and serologic
examination of patients with
nephrotic syndrome usually
allows the clinician to determine
whether a systemic disorder is
present.
In adults and in adolescents
beyond puberty without
systemic disease, there is no
reliable way to predict the
glomerular pathologic process
with confidence by noninvasive
criteria alone; therefore a renal
biopsy should be performed.

23. Alcoholic Hepatitis

23. Alcoholic Hepatitis

23. Alcoholic Hepatitis


Gambaran klinis mirip
dengan penyakit hati
tahap akhir linnya.
Spider angiomata
sering ditemukan pada
populasi ini, juga
palmar erythema,
pembesaran kelenjar
parotid & lakrimal,
atrofi testis, asites,
kolateral vena, ikterus,
& ensefalopati.
https://gi.jhsps.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=024CC2E1-2AEB-4D50-9E02-C79825C9F9BF&GDL_Disease_ID=FE859301360B-4201-959B-3256E859CD01

23. Alcoholic Hepatitis

23. Alcoholic Hepatitis

24. PPOK

24. PPOK

24. Penyakit Paru


Radiologi PPOK:
Pada emfisema terlihat:

Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum)

Pada bronkitis kronik:


Normal
Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.

24. Penyakit Paru


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau
faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
Sesak bertambah
Produksi sputum meningkat
Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :


a.
b.
c.

Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas


Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline

1. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011

25. Pneumonia Atipik

Pneumonia Atipik
Gejala umum pneumonia atipik:
Demam, batuk nonproduktif, & gejala konstitusi dominan (sakit
kepala berat, malaise, myalgia), onset perlahan, ronki.
Roentgen: interstitial patchy bronchopneumonic infiltrates.

Pneumonia Atipik
Penentuan kuman penyebab dipikirkan berdasarkan penyebab
tersering, epidemiologi, gambaran klinis, radiologi, & temuan lab
presumptive diagnosis.
Diagnosis definitif biasanya membutuhkan pemeriksaan serologi.

25. Pneumonia Atipik


Etiologi pneumonia atipikal
Bakteri

Mycoplasma pneumoniae - tersering


Legionella sp. (Legionnaire's disease)
Francisella tularensis (tularemia)
Bacillus anthracis (anthrax)
Chlamydia psittaci (psittacosis)
Chlamydia trachomatis*
Chlamydia pneumoniae
Coxiella burnetii (Q fever)

Virus

Influenza
Parainfluenza*
Respiratory syncytial virus*
Adenovirus

Fungi
Histoplasma capsulatum (histoplasmosis)
Coccidioides immitis (coccidioidomycosis) *

*Terutama pada pediatrik

25. Pneumonia Atipik

26. Infeksi HIV


Untuk memulai terapi antiretroviral perlu
dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia)
dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.
Rekomendasi :
Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah
CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium
klinisnya.
Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB
aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa
memandang jumlah CD4.
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.

26. Infeksi HIV

Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.

27. Leukemia
CLL

CML

ALL

AML

The bone marrow makes abnormal leukocyte dont die when they
should crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence

Over 55 y.o.

Mainly adults

Symptoms & Grows slowly may


Signs
asymptomatic, the disease is found
during a routine test.

Common in
children

Adults &
children

Grows quickly feel sick & go to


their doctor.

Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,


bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.

Lab

Mature
lymphocyte,
smudge cells

Mature granulocyte,
dominant myelocyte
& segment

Therapy

Can be delayed if asymptomatic


CDC.gov

Lymphoblas Myeloblast
t >20%
>20%, aeur rod
may (+)
Treated right away

Sel blas dengan Auer rod pada leukemia


mieloblastik akut

Leukemia mielositik kronik

Sel blas pada leukemia limfoblastik akut

Limfosit matur & smudge cell


pada leukemia limfositik kronik

28. Dispepsia
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas.
Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu:
nyeri epigastrium,
rasa terbakar di epigastrium,
rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna
atas, mual, muntah, dan sendawa.

Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik &


fungsional.
Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi,
gastritis, duodenitis dan proses keganasan
Untuk dispepsia fungsional, keluhan berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.

28. Dispepsia

29. Hipertensi

Harrisons principles of internal medicine. 19th ed. 2015.

29. Hipertensi

JNC VIII

30. Diabetes
Hipoglikemia iatrogenik adalah yang paling sering
terjadi.
Hipoglikemia adalah kejadian yang umum pada DM
tipe 1. Pada DM tipe 2, pasien yang mendapat insulin
lebih berisiko mengalami episode hipoglikemia.

Insidens hipoglikemia berat (episode per 100


pasien/tahun):
Pada pasien DM tipe 1: 11,5
Pasien DM tipe 2 dengan terapi insulin: 11,8
Pasien DM tiper 2 dengan obat oral: 0,05.
Hypoglycemia in diabetes: Common, often unrecognized. Cleveland clinical journal of medicine. Vol 71. 4 April 2004.

30. Diabetes
meglitinide

TZD

Glucose undergoes oxidative metabolism in the cell to yield ATP. ATP inhibits an
inward rectifying K+ channel receptor on the -cell surface. Inhibition of this receptor
leads to membrane depolarization, influx of Ca[2]+ ions, and release of stored insulin
from cells. The sulfonylurea class of oral hypoglycemic agents bind to the SUR1
receptor protein.

30. Diabetes

PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. 2006.

30. Diabetes
Cara Pemberian obat antidiabetik oral, terdiri dari:
Obat dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat
diberikan sampai dosis optimal
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan
suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau
sebelum makan.

PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. 2006.

ILMU BEDAH, ANASTESIOLOGI DAN


RADIOLOGI

31. Papilloma Intraduktal


Papilloma intraduktal adalah pertumbuhan
menyerupai kutil dengan disertai tangkai yang
tumbuh dari dalam payudara yang berasal dari
jaringan glandular dan jaringan fibrovaskular.
Epidemiologi: terjadi pada wanita pada masa
reproduktif akhir, atau post-menopause. Usia
rerata 48 tahun.

Gejala dan Tanda


Hampir 90% dari Papilloma Intraduktus adalah dari tipe
soliter dengan diameternya kurang dari 1cm dan sering
timbul pada duktus laktiferus dan hampir 70% dari pasien
datang dengan nipple discharge yang serous dan
bercampur darah.
Ada juga pasien yang datang dengan keluhan massa pada
area subareola walaupun massa ini lebih sering ditemukan
pada pemeriksaan fisis. Massa yang teraba sebenarnya
adalah duktus yang berdilatasi.
Papilloma Intraduktus multiple biasanya tidak gejala nipple
discharge dan biasanya terjadi pada duktus yang kecil.
Diperkirakan hampir 25% dari Papilloma Intraduktus
multiple adalah bilateral.
http://radiopaedia.org/

Etiologi dan Patogenesis


Etiologi dan patogenesis dari penyakit ini masih
belum jelas.
Dari kepustakaan dikatakan bahwa, Papilloma
Intraduktus ini terkait dengan proliferasi dari
epitel fibrokistik yang hiperplasia.
Ukurannya adalah 2-3 mm dan terlihat seperti
broad-based atau pedunculated polypoid
epithelial lesion yang bisa mengobstruksi dan
melebarkan duktus terkait.
Kista juga bisa terbentuk hasil dari duktus yang
mengalami obstruksi.
http://radiopaedia.org/

Pemeriksaan Radiologis
Mammografi
Biasanya gambaran normal
Gambaran yang dapat ditemukan dilatasi duktus soliter maupun
multipel, massa jinak sirkumskripta (sering di subareola), atau
kalsifikasi.

Galactography
Gambaran abnormalitas ductus: filling defect, ectasia, obstruksi,
atau irregularitas. Tidak spesifik
Dapat evaluasi jumlah, lokasi, penyebaran, dan jarak dari areola.

USG
Gambaran terlihat jelas sebagai nodul padat atau massa
intraduktal dapat pula berupa kista dalam duktus.
Colour doppleruntuk melihat vaskularisasi.
http://radiopaedia.org/

Galactogram

USG
Atas: nodul solid dalam
duktus
Bawah: nodul
bertangkai dengan
dilatasi duktus

Tatalaksana dan Prognosis


Papilloma intraduktal solitereksisi
Menurut komuniti dari College of American
Pathologist, wanita dengan lesi ini mempunyai
risiko 1,5 2 kali untuk terjadinya karsinoma
mammae.

32. Hydrocele

http://urology.iupui.edu/papers/reconstructive_bph/s0094014305001163.pdf

33. Trauma Uretra


Curiga adanya trauma
pada traktus urinarius
bag.bawah, bila:
Terdapat trauma
disekitar traktus
urinarius terutama
fraktur pelvis
Retensi urin setelah
kecelakaan
Darah pada muara OUE
Ekimosis dan hematom
perineal

Uretra Anterior:
Anatomy:
Bulbous urethra
Pendulous urethra
Fossa navicularis

Etiologi:
Straddle type injuries
Intrumentasi
Fractur penis

Gejala Klinis:
Disuria, hematuria
Hematom skrotal
Hematom perineal akan timbul bila terjadi robekan
pada fasia Bucks sampai ke dalam fasia
Collesbutterfly hematoma in the perineum
will be present if the injury has disrupted Bucks
fascia and tracks deep to Colles fascia, creating a
characteristic butterfly hematoma in the
perineum

Therapy:
Cystostomi
Immediate Repair

Uretra Posterior :
Anatomy
Prostatic urethra
Membranous urethra

Etiologi:
Fraktur tulang Pelvis

Gejala klinis:

Darah pada muara OUE


Nyeri Pelvis/suprapubis
Perineal/scrotal hematom
RT Prostat letak tinggi atau
melayang

Radiologi:
Pelvic photo
Urethrogram

Therapy:
Cystostomi
Delayed Repair

Don't pass a diagnostic


catheter up the patient's
urethra because:

Retrograde
urethrography

The information it will give


will be unreliable.
May contaminate the
haematoma round the
injury.
May damage the slender
bridge of tissue that joins
the two halves of his
injured urethra
Posterior urethral rupture above the
intact urogenital diaphragm
following blunt trauma
http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/68._Urinary

Modalitas pencitraan yang


utama untuk mengevaluasi
uretra pada kasus trauma
dan inflamasi pada uretra

34 34. Dislokasi Bahu

35.

36. GIT Congenital Malformation


Disorder

Clinical Presentation

Hirschprung

Congenital aganglionic megacolon (Auerbach's Plexus)


Fails to pass meconium within 24-48 hours after birth,chronic constipation
since birth, bowel obstruction with bilious vomiting, abdominal distention,
poor feeding, and failure to thrive, Chronic Enterocolitis.
RT:Explosive stools .
Criterion standardfull-thickness rectal biopsy.
Treatment remove the poorly functioning aganglionic bowel and create
an anastomosis to the distal rectum with the healthy innervated bowel
(with or without an initial diversion)

Anal Atresia

Anal opening (-), The anal opening in the wrong place,abdominal


distention, failed to pass meconium,meconium excretion from the fistula
(perineum, rectovagina, rectovesica, rectovestibuler).
Low lesionthe colon remains close to the skin stenosis anus, or the
rectum ending in a blind pouch.
High lesionthe colon is higher up in the pelvis fistula

Hypertrophic Hypertrophy and hyperplasia of the muscular layers of the pylorus


Pyloric
functional gastric outlet obstruction
Stenosis
Projectile vomiting, visible peristalsis, and a palpable pyloric tumor(Olive

Disorder

Clinical Presentation

Oesophagus
Atresia

Congenitally interrupted esophagus


Drools and has substantial mucus, with excessive oral secretions,.
Bluish coloration to the skin (cyanosis) with attempted feedings
Coughing, gagging, and choking, respiratory distressPoor feeding

Intestine Atresia

Malformation where there is a narrowing or absence of a portion


of the intestine
Abdominal distension (inflation), fails to pass stools, Bilious
vomiting

http://en.wikipedia.org/wiki/

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth

36. Malformasi Kongenital

Pemeriksaan Penunjang
Abdominal radiograph
can be variable depending on the
site of atresia (e.g high or low),
level of impaction with meconium
and physiological effects such as
straining
may show multiple dilated bowel
loops with with absence of rectal
gas
Invertogram
A coin/metal piece is placed over
the expected anus and the baby is
turned upside down (for a
minimum 3 minutes).
Distance of gas bubble in rectum
from the metal piece is noted:
>2 cm: denotes high type
<2 cm: denotes low type

Fluoroscopy: contrast study


to detect recto-urinary, rectovaginal or rectoperineal fistula
Ultrasound
the anus may be seen as an
echogenic spot at the level of the
perineum and in an atresia this
echogenic spot may be absent 4
may show bowel dilatation
an infra coccygeal or
transperineal approach may allow
differentiation between a high or
low subtype

37.

37. Gastroskisis

Gastroskisis vs Omphalocele

38. DVT
38.

39. Ileus Obstruksi


Obstruction
Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan karena
adanya kelainan struktural sehingga menghalangi gerak
peristaltik usus.
Partial or complete
Simple or strangulated

Ileus
Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari gerakan
peristaltik usus

Penyebab- Usus Halus


Luminal

Mural

Extraluminal

Benda asing
Bezoars
Batu Empedu
Sisa-sisa
makanan

Neoplasims
lipoma
polyps
leiyomayoma
hematoma
lymphoma
carcimoid
carinoma
secondary Tumors
Crohns
Kolitis Ulseratif
TB
Stricture
Intussusception
Congenital

Postoperative
adhesions

A. Lumbricoides

Congenital
adhesions
Hernia

Volvulus

Inflammatory Bowel Disease


Penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan
penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas.
Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu colitis
ulseratif, penyakit chron dan bila sulit membedakan kedua
hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori
indeterminate colitis
Inflammatory Bowel Disease (IBD), selain Crohn disease.
Crohn disease bagian paling sering terkena bagian ileum
distal dan usus besar
Kolitis ulseratif caecum dan ileum terminal.

EPIDEMIOLOGI
Insiden terjadi sama banyak antara laki-laki
dan perempuan pada usia 15 dan 35 tahun.
Kolitis ulceratif lebih sering terjadi tetapi
penelitian lebih lanjut menunjukan bahwa
penyakit Chron juga sedang mengalami
peningkatan jumlah insiden

ETIOLOGI
Idiopatik
Diperkirakan faktor genetik
Agen-agen infeksi seperti bakteri,
protozoa, dan virus
Faktor imunitas dan autoimun diperkiran
juga memiliki hubungan.

REAKSI RADANG
MUKOSA KOLON

DINDING MUKOSA
TIPISPERADANGAN KE
LAPISAN SEROSA

ULCERABSES PADA
KRIPTA

FIBROSIS PEMENDEKAN KOLON


Penyakit Chrondinding usus,mesenterium
kelenjar getah bening regional.
Bisa muncul gejala ileitis akut.

MESENTERIUM MENEBAL
PERADANGAN SEROSAFISTUL

PERLENGKETAN GIT DAN MENCAPAI


PERITONEUM

PERFORASI

HAUSTRA KOLON HILANG

PSEUDOPOLIP MENONJOL KE LUMEN


KOLONKARSINNOMA

Gambaran klinis

Demam
Nyeri abdomen
Diare berdarah
Anemia
Perdarahan rektal dan tenesmus dengan gejala
penyakit yang cukup ringan dan manifestasi
ektsra kolon yang lebih minimal.
Perforasi kolon.
Obstruksi usus dan fistula

DIAGNOSA BANDING
GAMBARAN

PENYAKIT CHRON

KOLITIS ULSERATIVE

Diare dengan darah

Tidak pasti

Tinja

Nyeri perut

++

Massa abdomen

Fistula

Perforasi

Megakolon toksik

Keganasan

+(kemungkinan)

Keterlibatan Retkum

Ulkus

+ (ulkus tunggal di rektum, liner, dll

Perlengketan
Messenter

Fistul

Pseudopolip
Predileksi

+
+ (superficial, irreguler, multiple)

+
Seluruh GIT (Jarang Retkum)

Kolon Retkum

Perbedaan crohn disease & kolitis ulserative


Crohn disease

Kolitis ulserative

Retkum terlibat di sebagian kasus

Retkum terlibat di semua kasus

Kolon mungkin berpengaruh segmental

Kolon selalu berpengaruh terus menerus

Ulkus dalam

Ulkus dangkal

Beberapa kasus menunjukan hilangnya haustrae Hilangnya haustrae simetris


asimetris

Tampak fistula

Sangat jarang terjadi fistula

Lebih sering mengenai lesi anal,perianal

Jarang mengenai lesi anal,perianal

Umumnya melibatkan usus halus khusnya ileum Usus halus normal,dapat dilihat dari
terminal dengan penyempita di region katup dilatasi ileum terminal
ileocaecal

Gambaran kolitis

Barium Enema
Foto polos abdomen AP

Foto polos abdomen AP

GAMBARAN CROHN DISEASE

Tata laksana, Komplikasi, Prognosis

Terapi Umum: pasien dipuasakan, karena pemberian cairan saja mampu


merangang kolon.
Terapi medik. Pemberian antispasmodik, antikolinergik (papaverin), obat anti diare
(loperamid). Pemberian Sulfasalazin (sulpiridin dan aminosalisilat) 2-4 gr/ hari
hingga remisi kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan.
Terapi bedah. Tindakan bedah dapat dilakukan bila diketemukan komplikasi lain
seperti perforasi, stenosis, mega kolon toksik, sll.
Psikoterapi. Pemberian pengertian kepada pasien penderita penyakit kronis sangat
diperlukan.
Komplikasi: perforasi, dilatasi kolon toksik, stenosis akibat fibrosis dan obstruksi,
karsinoma
Prognosis: kolitis adalah penyakit seumur hidup dikarakteristikkan dengan
eksaserbasi dan remisi. Untuk sebagian besar pasien penyakit dapat dikontrol
dengan terapi obat-obatan tanpa operasi

Diagnosis

Karakterisktik

Kolitis Ulseratif

Peradarahan dari rektum dan diare yang bercampur darah, nanah,


dan lendir, disertai tenesmus terkadang juga inkontinensia alvi.
Pasien dapat disertai demam, mual, muntah, dan penurunan berat
badan. Ileus dapat terjadi oleh karena adanya obstruksi akibat
peradangan dinding lumen usus atau ileus paralitik akibat paralisis
fungsi motorik kolon transversumdapat menyebabkan komplikasi
toksik megakolon yang fatal

Morbus Chron

Diare (tidak pasti ada darah), nyeri, tenesmus. Komplikasi tersering


fistel perianal (biasanya mutipel). Selain itu dapat pula
menyebabkan abses perianal, fisura anus, dan striktur rektum.

Tumor colon

Dalam hal ini karsinoma kolon. Gejala klinis berbeda pada


karsinoma kolon kiri dan kanan. Karsinoma kolon kiri (kolorektal)
menyebabkan perubahan pola defekasi, seperti konstipasi atau
defekasi dengan tenesmus. Makin ke distal tumor, feses makin
menipis, atau seperti kotoran kambing, atau lebih cair disertai
darah/ lendir, DRE dapat teraba benjolan dengan permukaan tidak
rata, dapat disertaifeses bercampur darah. Gambaran klinis
karsinoma kolon kanan (sekum dan kolon asendens) tidak khas.
Gejala umum dispepsia, fatigue, penurunan berat badan, dan
anemia.

Diagnosis

Karakteristik

Tumor ekstra lumen

Gejala yang paling sering adalah ileus mekanik akibat


penekanan massa tumor terhadap lumen usus. Tidak
terdapat riwayat BAB berdarah

Divertikel

Divertikulosis: adanya divertikel semu multipel, tidak


bergejala pada 80% penderita. Keluhan dapat berupa nyeri,
obstipasi, dan diare oleh gangguan motilitas sigmoid.
Divertikulitit: radang akut dalam divertikel tanpa atau
dengan perforasi. Biasanya radang disebabkan oleh retensi
feses di dalamnya. Komplikasi paling sering peforasi yang
menyebabkan peridivertikulitis terbatas, abses, atau
peritonitis umum. Obstruksi kronik dapat timbul karena
fibrosis dan perlengketan, dapat pula disertai perdarahan.

40. Management of Trauma Patient

http://www.aaos.org/

Treatment
Survei primer (ABC) selalu
didahulukan
Setelah pasien stabil dan
diamankanperiksa
fraktur/dislokasi yang dialami
Tatalaksana terpenting untuk
fraktur dan
dislokasiPembidaian,
terutama sebelum transport

41. Penanganan Fraktur


1. Tempat

kejadian

Masyarakat,

(Injury

Sosial

Disarter)

worker,

Polisi,

petugas medis dll


2. Pra Hospital (Transportation)
3. Hospital Emergency Room, Operating
Room, ICU, Ward Care

4. Rehabilitasi Physical, Psycological

Tujuan Penanganan Fraktur


1. Life saving Prioritas utama

2. Limb saving

Penanganan Nyeri (Relieve pain)

Mengembalikan fungsi (Restore optimum function)

Tindakan Non Operatif

Tindakan Operative

Yang Mempengaruhi Penanganan

Umur

Kelamin

Pekerjaan

Keadaan Fraktur Patologis non Patologis

Penyakit penyerta

Emergency Orthopaedi

Jika tak ditolong segera bisa terjadi


1. Fraktur terbuka

Fraktur disertai hancurnya jaringan (Major crush


injury)

Fraktur dengan amputasi

2. Fraktur dengan ggn neurovaskuler (Compartmen


Syndrome)
3. Dislokasi sendi

Pertolongan Pertama (First Aid)


Life Saving ABCD
Obstructed Airway

Shock : Perdarahan Interna /External


Balut tekan, IV fluid
Limb Saving
Reliave pain Splint & analgetic
Pergerakan fragmen fr
Spasme otot
Udema yang progresif.
Transportasi penderita Dont do harm

Pengelolaan Fraktur di RS
Prinsip : 4 R
R 1 = Recognizing

Anamnesa, PE, Penunjang


R 2 = Reduction

= Diagnosa
= Reposisi

Mengembalikan posisi fraktur keposisi sebelum

fraktur
R 3 = Retaining = Fiksasi /imobilisasi

Mempertahankan hasil fragmen yg direposisi

R 4 = Rehabilitation

Mengembalikan fungsi kesemula

Retaining (Imobilisasi)

Mempertahankan hasil reposisi sampai tulang


menyambung

Kenapa ssd reposisi harus retaining


Manusia bersifat dinamis
Adanya tarikan tarikan otot
Agar penyembuhan lebih cepat
Menghilangkan nyeri

Cara Retaining (Imobilisasi)

Isitrahat

Pasang splint / Sling

Casting / Gips

Traksi Kulit atau tulang

Fiksasi pakai inplant

Sling / Split

Sling : Mis Arm Sling

Splint/ Pembidaian

Cara Imobilisasi

Casting / Gips

Hemispica gip

Long Leg Gip

Below knee cast

Umbrical slab

Retaining (Imobilisasi)
Traksi

Cara imobilisasi dengan menarik


bahagian proksimal dan distal

secara terus menerus.


1. Kulit
2. Tulang

Retaining (Imobilisasi)

Fiksasi pakai inplant


Internal fikasasi
Plate/ skrew
Intra medular nail Kuntsher Nail
Ekternal fiksasi

42. Paronikia
Reaksi inflamasi mengenai lipatan kulit disekitar
kuku
Paronikia dapat akut atau kronik
Paronikia akut oleh staphylococcus aureus, ditandai
timbulnya nyeri atau eritema diposterior atau lateral
lipatan kuku,diikuti oleh pembentukan abses superfisial
Paronikia kronik oleh candida albicans, sering oleh
pemisahan abnormal lipatan kuku proximal dari
lempeng kuku yg memungkinkan kolonisasi

Paronikia bakteri akut sering bersamaan dengan


bakteri jamur kronik

ANATOMI KUKU

a. nail plate
b. lunula
c. eponikiam
d. Nail fold posterior

e. nail fold lateral


f. nail bed
g. Nail plate

GEJALA KLINIS
Paronikia akut & kronik memberi gambaran di
lipatan kuku berupa nyeri, merah, dan bengkak,
namun pada paronikia kronik gejala diatas tidak
terlalu jelas.

Paronikia akut
Dapat disertai demam dan nyeri kelenjar di
bawah tangan, biasanya ada nanah berwarna
kuning di bawah kutikula

Paronikia kronik
Lempeng kuku kelihatan lebih gelap, cembung,
kadang kadang lebih tipis
kutikula biasanya terlepas dari lempeng kuku.
Tidak ada pus atau nanah dan pada perabaan
kurang hangat dibanding paronikia akut.
Perlangsungannya 6 minggu atau lebih.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pewarnaan Gram untuk mengetahui adanya
staphylococcus atau streptococcus
Apusan potassium hidroksida untuk
menemukan hifa yg menunjukkan adanya jamur
Tapi tidak menutup kemungkinan ditemukan
jamur dan bakteri pada satu kasus paronikia

PENCEGAHAN
Cegah trauma dengan menjaga agar kulit yang
kena tetap kering
Jika akan mencuci sebaiknya memakai sarung
tangan karet

TERAPI
Terapi sistemik pilihan paronikia akut
antibiotik spt clindamycin 150-450 mg, 3-4 kali
sehari; amoxicillin-asam klavulanat 250-500
mg 3 kali sehari efektif untuk bakteri yang
resisten terhadap beta laktamase. Dicloxacillin
maupun cephalexin juga efektif
paronikia kronik biasanya diberikan antimikotik
seperti ketokonazole 200 mg per hari

Terapi topikal dapat diberi miconazole krim 2 kali sehari


selama 2-6 minggu.
Losion atau krim Amfoterisin B ( fungizone ) biasanya efektif,
tapi tidak dapat digunakan bersamaan dengan imidazole
karena dapat memberikan efek menetralkan antara satu
sama lain.
Pembedahan dilakukan atas dasar indikasi, jika infeksi akut
sudah teratasi,
Irisan (Insisi) dapat dilakukan jika ada abses.
Jika upaya di atas tidak berhasil dan kuku menancap ke dalam
kulit maka dapat dilakukan pengangkatan kuku. (Roserplasty)
Roserplasty hanya dapat dilakukan apabila infeksi telah
teratasi agar penyembuhan luka dapat berjalan baik

Insisi paronikia dengan mata pisau langsung


pada kuku

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi jarang terjadi, tapi jika terjadi dapat
menyebabkan :
Abses
Infeksi Menyebar ke tendo, tulang ( osteomyelitis ) atau
pembuluh darah. .

Prognosis sangat baik dengan pengobatan yang tepat.


Paronikia akut sembuh dalam 5 sampai 10 hari dengan
kerusakan kuku yang tidak permanen.
Paronikia kronik butuh waktu berminggu minggu untuk
sembuh, kulit & kuku akhirnya akan kembali normal.
Harus diingat untuk mengobati jika berulang, dan tetap
menjaga agar daerah tersebut tetap kering

43. FRAKTUR HUMERUS


1. Fraktur kolum

2. Fraktur tuberkulum mayus


3. Fraktur diafisis

4. Fraktur suprakondiler
5. Fraktur kondiler

6. Fraktur epikondilus medialis

Gambar Skematik Lokalisasi Fraktur Humerus


2

Fraktur Tuberkulum Mayus

Fraktur Kolum

Fraktur Diafisis

Fraktur Suprakondiler
Fraktur Epikondilus Medialis

Fraktur Kondiler

Fraktur Epicondilus Medial


Jenis fraktur epicondilus tersering dan terjadi ketika adanya
avulsi dari epicondilus medial.
Tipikal pada anak-anak, dan sangat sulit untuk identifikasi.
Kegagalan diagnosis dapat menyebabkan disabilitas dalam
jangka waktu panjang.
Mekanisme trauma
Terjatuh dengan keadaan tangan teregang dengan siku ekstensi penuh,
menghasilkan traksi seketika pada kelompok otot fleksor pronator
lengan bawah.
Dislokasi siku posterior, memberikan gaya pada epicondilus medial via
ligamentum kolateral ulnaris (2/3 kasus fraktur epicondilus medial)
Hantaman langsung (jarang terjadi)
Cedera kronik

Medial Epicondyle Fractures


Represent 5% to 10% of pediatric elbow fractures
usually occur in children between the ages of 9 and 14 years
Rare in adult

Mechanism of injury:
Direct blow to the elbow
Occurs with valgus stress to the elbow, which avulses the medial
epicondyledirect blow to elbow or arm

fall on outstretched arm


most common

elbow dislocation
associated with elbow dislocations in up to 50%
most spontaneously reduce but fragment may be incarcerated in joint

traumatic avulsion
usually occurs in overhead throwing athletes
Landin. Elbow fractures in children. An epidemiological analysis of 589 cases. Acta Orthop Scand. 1986;57:309.

Medial Humerus Fracture

www2.aofoundation.org

ANATOMY

Nerves on both sides of the distal humerus run very closely to the bone, especially the ulnar
nerve
Ulnar nerveperforates the medial intermuscular septum runs and then in its sulcus
behind the medial epicondyle
It can be directly compressed in distal humeral fractures
Radial nerve perforates the lateral intermuscular septum as it loares the spiral groove
on the humerus, to run anteriorly and distally
At the level of the radial head it divides into its deep and superficial branches.
Median nerve crosses the anterior capsule of the elbow joint, running into the
forearm between the two heads of the pronator teres muscle.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2758175/

Presentation
Symptoms
medial elbow pain
Physical exam
tenderness over medial epicondyle
valgus instability
Treatment
Nonoperative
brief immobilization (1 to 2 weeks) in a long arm cast or splint
indications
isolated fractures of the medial epicondyle with between 5 to 15 mm of
displacement heal well.
fibrous union of the fragment is not associated with significant symptoms or
diminished function
< 5mm displacement usually treated non-operatively, 5-15 mm remains
controversial
Operative
open reduction internal fixation
indications
absolute
displaced fx with entrapment of medial epicondyle fragment in joint
relative
ulnar nerve dysfunction
> 5-15mm displacement
displacement in high level athletes

Complications of Surgery
Nerve injury
ulnar nerve can become entrapped
neuropathy with dislocatoin which usually resolves
Missed incarceration
missed incarceration of fragment in elbow joint
Elbow stiffness
loss of elbow extension, avoid prolonged immobilization
Non-union

http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/fractures/Medial_epicondyle_emerg/

Pemeriksaan Radiologis
Assesmen X-rays
Pembengkakan jaringan lunak
Dapat merupakan satu-satunya tanda pada undisplaced injury
Dapat merupakan satu-satunya tanda pada ana-anak <7thn, dimana
belum terjadi kalsifikasi dari apophysis medial.

Pelebaran growth plate (dibandingkan sisi kontralateral)


Perubahan posisi apophysis
Fraktur melalui metafisis humeri yang berdekatan
Dislokasi siku

Anatomi lengan
3

9
10

12

11

13
14

15

17

16

18

20

19

21

22

1. Caput humeri
2. Collum anatomicum
3. Tuberculum majus
4. Tuberculum minus
5. Collum chirurgicum
6. Crista tuberculi minoris
7. Crista tuberculi majoris
8. Tuberositas deltoidea
9. Sulcus nervi radialis
10. Facies posterior
11. Facies anterior lateralis
12. Facies anterior medialis
13. Margo lateralis
14. Margo medialis
15. Fossa radialis
16. Fossa coronoidea
17. Fossa olecrani
18. Epicondylus lateralis
19. Epicondylus medialis
20. Capitulum humeri
21. Trochlea humeri
22. Sulcus nervi ulnaris

1
2
4
3

5
6

7
6

1. M brachialis
o: pertengahan bwh
dataran ventral hum
i: tuberositas ulnae
f: fleksi LB
2. M brachiradialis
o: margo lat hum prox epic
lat hum
i: proc stiloideus radii
f: fleksi, supinasi LB
3. M fleksor carpi radialis
o: epic med hum, proc
coronoideus
I : basis ossis metacarpalis
II & III
f: fleks& pron LB, fleks &
abd rad tangan
4. M palmaris longus
o: epic med hum, proc
coronoideus ulnae
i: aponeurosis palmaris
f: fleks, pron LB, flek tgn
5. M fleksor carpi ulnaris
o: capit hum, epic med
hum, cap & margo
dorsale ulnae

i: os pisiforme
f: fleks, abd ulnar tgn
6. M fleksor digitorum sup
o: cap hum uln: epic med
hum, proc coronoideus
; cap rad: dat ventral
rad
i: sisi2 phalanx media
f: fleksLB, fleks phalanx,
fleks tgn, abd ulnar tgn
7. M pronator teres
o: cap hum: epic med hum
cap ulnare: proc coron
i: pertnghn ventral rad
f: fleks, pronasi LB
8. M fleksor pollicis longus
o: dataran ventral rad
i: phalanx dist jari I
f: fleks phal, opposisi jr I,
flek tgn, abd rad tgn
9. M fleksor digitorum
profundus
0: dat ventral ulnae
i: phalanx dist jari II-V
f: fleks phal, fleks tgn, abd
ulnar tgn

2
3
4
5
6
7

1
3
2
6
4
8
5
11
9
10

10

1. M brachioradialis
2. M anconeus
3. M extensor carpi rad long
o: marg lat hum, prox epic
lat humeri
i: basis ossis metacarp II
f: ext & sup LB, ext tgn,
abd rad tgn
4. M ext carp rad brevis
o: epic lat humeri
i: basis ossis metacarp III
f: ext & supin LB, ext tgn,
abd rad tgn
5. M abd pollicis longus
o: dat dorsal ulnae&radius,
membr interossea
i: basis ossis metacarp I
f: sup LB, abd jr I abd rad
tgn
6. M extensor digitorum
o: epic lat humeri
i: phalanx med & distalis ji
II-V
f: ext LB, ext tgn, ext
phalanx

7. M extensor carp ulnaris


o: cap hum: epic lat hum,
cap ulnare: margo dors
ulnae
i: basis ossis metacarp V
f: ext LB, ext tgn, abd ulnar
tgn
8. M supinator
o: epic lat hum, crista m
supinatoris ulnae
i: dataran ventr rad sebelah
distal tuberositas radii
f: supinasi LB
9. M ext pollicis brevis
o: margo dors uln, dat dors
rad, membr interossea
i: basis phlx prox jr I
f: ext phlx prox jr I, ext tgn,
abd rad tgn sup LB
10. M ext pollicis longus
o: margo dors ulnae
i: basis phlx dist jr I
f: ext phalx, ext tgn, abd
rad tgn, supinasi LB
11. M extensor indicis

44. Dislokasi Sendi Siku


Dislokasi siku merupakan dislokasi pada sendi
besar yang paling sering kedua pada orang
dewasa. (paling sering dislokasi bahu).
Simple dislocationdislokasi tanpa fraktur
Complex dislocationdengan fraktur, paling
sering caput radialis.
Terrible triad of elbowdislokasi posterior +
fraktur prosesus koronoideus + fraktur caput
radialis. Cedera berat, penyembuhan lama,
dengan outcome yang buruk.
http://orthoinfo.aaos.org/

http://orthoinfo.aaos.org/

Patologis
Epidemiologi 10-25% pada kasus cedera siku
pada orang dewasa.
Kebanyakan dislokasi sendi adalah cedera
tertutup dan paling sering dislokasi posterior
(terkadang posterolateral atau posteromedial).
Dislokasi anterior, medial, alteral, atau
divergentjarang terjadi.
Dislokasi posterior biasanya terjadi akibat jatuh
pada posisi lengan ekstensi, baik hiperektensi
atau posterolateral rotatory mechanism.
http://orthoinfo.aaos.org/

Pemeriksaan Radiologis
Plain X-rays (AP dan lateral) cukup membantu
diagnosis, sedangkan CT-scan sering digunakan untuk
evaluasi pre-operatif dari intra-artikularis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan foto polos sendi siku:
Arah dislokasi, posterior, posterolateral, posteromedial,
lateral, medial, atau divergent.
Fraktur
Tersering fraktur: caput radialis, prosesus koronoideus
Fraktur lain yang sering menyertai: condilus lateral, capitellum,
olecranon

Foto polos pergelangan tangan dan bahu perlu dievaluasi,


apabila terdapat gejala klinis.
http://radiopaedia.org/

Atas (2 gambar):
dislokasi posterior
Kanan:
dislokasi disertai
fraktur collum radialis

http://radiopaedia.org/

Atas kiri: dislokasi dengan


fraktur prosesus
koronoideus
Atas kanan: terrible triad
olf elbow
Kiri: dislokasi medial
http://radiopaedia.org/

Tatalaksana
Simple dislocation Closed reduction (prone
technique) sebaiknya dilakukan spesialis
orthopedi, menggunakan sedasi dan analgetik.
Dilanjutkan dengan imobilisasi (min 2minggu),
lengan fleksi 90o.
Complex dislocationORIF. Outcome biasanya
buruk, komplikasi meliputi osteoartritis, ROM
terbatas, instabilitas, dan dislokasi rekuren.
Pada dislokasi dengan luka terbuka sering terjadi
jejas pada arteri brakialis.

45. Fraktur Humerus

46. Fraktur Nasal


Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma
dengan bengkak, dan krepitus pada jembatan hidung.
Pasien mungkin mengalami epistaksis, namun tidak
harus selalu bercampur dengan CSF.
Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas septum
nasal karena adanya pergeseran septum dan fraktur
septum.
Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah
hidung dengan telecanthus, pelebaran jembatan
hidung dengan canthus medial terpisah, dan epistaksis
atau rhinorrhea CSF.

Method of palpating the nasal complex


for fractures. The nasal pyramid should
be moved right and left to detect
mobility.
Patient with naso-orbitoethmoid
fracture and cerebrospinal fluid
rhinorrhea (A). The fluid leaves a
double ring where it drips onto fabric
(B).

Lateral radiographic view of a displaced nasal


bone fracture in a patient who sustained this
injury because of a punch to the face during a
hockey game.

A patient with nasoorbitoethmoid fracture.


Note the increase in the
intercanthal distance and
the rounded shape of the
medial palpebral fissure
on the right. The normal
palpebral fissure on the
patient's left has an
angular relationship
between the upper and
lower eyelids.

Fraktur Nasal
KONSERVATIF
Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor topikal.
Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain
dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan.
Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai
perdarahan berhenti.
Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya
Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian.
Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa
nyaman pada pasien.

OPERATIF
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,
penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan.
Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi
dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.

FRAKTUR NASAL
ELEVATING A
FRACTURE OF THE
NOSE.
A, inflitrating the site
of the fracture.
B, raising the
depressed bones with
curved artery forceps.
Always suspect a
fracture after any blow
on the nose. Swelling
of the soft tissues can
easily hide it.

Blow Out Fracture


Blow-out fracture merupakan fraktur dinding orbita
yang disebabkan peningkatan tibatiba dari tekanan intraorbital tanpa keterlibatan rima
orbita.
Blow-out fracture sebagian besar terjadi pada dasar
orbita dan sebagian kecil terjadi pada dinding medial
dengan atau tanpa disertaifraktur dasar orbita.
Blow-out fracture umumnya terjadi pada orang dewasa
dan jarang terjadi pada anak-anak. Dapat terjadi
karena kecelakaan lalu lintas) kecelakaan kerja)
kecelakaan olahraga)terjatuh atau karena kekerasan.

Gejala Klinis
Penderita blow-out fracture sering mengeluh:
nyeri intraokula
mati rasa pada area tertentu diwajah
tidak mampu menggerakkan bola mata
melihat ganda bahkan kebutaanblow-out fracture
Edema, hematoma, enophtalmus
trauma nervus cranialis
emphysema dari orbita dan palpebra

47. GERD
GER ( refluks gastroesofageal ) adalah

fenomena yang dapat timbul sewaktu-waktu


pada populasi umum , terutama sehabis
makan dan kemudian kembali seperti normal
refluks fisiologis.
Dikatakan patologis (GERD) bila terjadi refluks
berulang dalam waktu lama sehingga menim
bulkan keluhan/kerusakan mukosa esofagus

Terdapat peningkatan prevalensi GERD

Definitions
Heartburn:

Burning retrosternal pain radiating upward due to


exposure of the oesophagus to acid

Esophagitis :
Endoscopically demonstrated damage to
the oesophageal mucosa
Gastro-esophageal reflux disease (GERD):

Pathological reflux ranges from simple to erosive


to Barretts

Non-erosive reflux disease (NERD):

Reflux disease in which erosion does not occur

Talley et al., BMJ 2001; 323: 12947.


de Caestecker, BMJ 2001; 323: 7369.
Nathoo, Int J Clin Pract 2001; 55: 4659.
Quigley, Eur J Gastroenterol Hepatol 2001; 13(Suppl 1): S1318.

Pathophysiology of GERD
The pathophysiology of reflux disease is
multifactorial
Gastroduodenal factors :

- Acid and pepsin


- Duodenal agents
- Gastric emptying
- Helicobacter pylori ?
Gastroesophageal junction factors :
- Transient lower esophageal sphincter
relaxation
- Hypotensive lower esophageal sphincters
- Hiatal hernia
Esophageal factors :
- Esophageal clearance
Genetic factors

Fass R. GERD .2004

DIAGNOSIS GERD:
Standar baku diagnosis GERD adalah endoskopi
saluran cerna bagian atas (SCBA) dengan
ditemukannya mucosal break di esophagus
Anamnesis yang cermat merupakan alat utama
untuk menegakkan diagnosis GERD

Pemeriksaan penunjang GERD:


Endoskopi
Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan pH metri 24 jam
Penunjang diagnostik lain:
Esofagografi dengan barium,
esofagus

Manometri

Los Angeles classification


system for esophagitis
Grade A

Grade B

One or more mucosal


breaks, no longer than
5 mm, that do not
extend between the
tops of two mucosal
folds

One or more mucosal


breaks, more than 5
mm long, that do not
extend between the
tops of two mucosal
folds

Grade C

Grade D

One or more mucosal


breaks, that are
continuous between the
tops of two or more
mucosal folds, but which
involve less than 75% of
the circumference

One or more mucosal


breaks, that involve at
least 75% of
the oesophageal
circumference

Lundell et al., Gut 1999; 45: 17280.

Savary-Miller classification
of esophagitis
Grade I
l

One or several erosions in one mucosal fold

Grade II
l

Several erosions in several mucosal folds,


the erosions can merge

Grade III
l

Erosions surrounding the oesophageal circumference

Grade IV
l

Ulcer(s), strictures, shortening of the oesophagus

Grade V
l

Barretts epithelium
Savary & Miller. The Esophagus. In: Handbook & Atlas of Endoscopy.
Solothurn, Switzerland: Verlag Gassman AG, 1978: 119205.

Grade I esophagitis
Savary-Miller
classification
One or several erosions
in one mucosal fold

Quigley, Eur J Gastroenterol Hepatol 2001; 13(Suppl 1): S1318.


Nathoo, Int J Clin Pract 2001; 55: 4659.
www.gastrolab.net

Grade II esophagitis
Savary-Miller
classification
Several erosions in
several mucosal folds,
the erosions can merge

www.gastrolab.net

Grade III esophagitis


Savary-Miller
classification
Erosions surrounding
the oesophageal
circumference

Freytag et al., Atlas of gastrointestinal endoscopy. www.home.t-online.de/home/afreytag/indexe.htm

Grade IV esophagitis
Savary-Miller
classification
Ulcer(s), shortening of
the oesophagus

Freytag et al., Atlas of gastrointestinal endoscopy. www.home.t-online.de/home/afreytag/indexe.htm

Grade IV esophagitis
Savary-Miller
classification
Stricture

Nadel, UCHC.

Grade V esophagitis
Savary-Miller
classification
Moderate Barretts
oesophagus

Freytag et al., Atlas of gastrointestinal endoscopy. www.home.t-online.de/home/afreytag/indexe.htm

Grade V esophagitis
Savary-Miller
classification
Severe Barretts
oesophagus

Freytag et al., Atlas of gastrointestinal endoscopy. www.home.t-online.de/home/afreytag/indexe.htm

Adenocarcinoma of the
esophagus

Nadel/Saint Francis Hospital. In: Gastrointestinal Pathology. Fenoglio-Preiser, New York: Raven Press, 1989: 96100.

Alarm features for GERD


Odynophagia

Dysphagia

Bleeding
Alarm
features

Vomiting

Weight loss

Nathoo, Int J Clin Pract 2001; 55: 4659.

ALGORITME TATA LAKSANA GERD PADA


PELAYANAN KESEHATAN LINI PERTAMA

GEJALA KHAS GERD

Gejala alarm
Umur > 40 th

Tanpa gejala alarm


Terapi empirik
Tes PPI
Respon menetap

Respon baik

Endoskopi
Terapi min-4 minggu

kambuh
Konsensus Gerd ,2004

On demand therapy

Differential diagnosis of GERD


Hiatus hernia
Esophageal stricture
Esophageal cancer
Chest pain of cardiac origin
Functional dyspepsia

Nathoo, Int J Clin Pract 2001; 55: 4659.

GERD treatment options

Lifestyle
modifications

PPIs

Antacids and
alginates

Approaches

H2RAs

Prokinetic
motility agents

Hatlebakk & Berstad, Clin Pharmacokinet 1996; 31: 386406.

Lifestyle modifications for the


management of GERD
Reduce weight
Elevate head
of bed

Stop smoking

Modifications
Avoid reflux-promoting
agents (e.g. alcohol,
coffee, some foods)
(not evidence based)
Eat small meals,
no late meals,
reduce fat

PENGOBATAN GERD:
Menghilangkan gejala / keluhan
Menyembuhkan lesi esofagus
Mencegah kekambuhan
Memperbaiki kualitas hidup
Mencegah timbulnya komplikasi

KONSENSUS NASIONAL PENATALAKSANAAN PENYAKIT


REFLUKS GASTROESOFAGEAL (GASTROESOPHAGEAL
REFLUX DISEASE/GERD) INDONESIA 2004

Obat-Obat Untuk GERD


PPI paling efektif dalam menghilangkan gejala serta
menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD.17
Antasid dan H2Blocker hanya untuk menghilangkan
gejala ringan sampai sedang.18
PPI terbukti lebih cepat menyembuhkan lesi esofagitis
serta menghilangkan gejala GERD dibandingkan H2
Blocker dan prokinetik.19
Mengingat efektivitas dan cepatnya menghilangkan
gejala, pengobatan GERD harus dimulai dengan PPI

48. Septic Arthritis


Infeksi synovium
dan cairan synovial
Ditemukan pada semua umur
Sendi panggul (anak-anak)
Sering
Sendi lutut (dewasa)

https://medicine.med.unc.edu

Etiologi

S. aureus pada semua umur


H. influenzae 6 bulan 5 thn
N. gonorrhoeae >10 tahun, dewasa (populasi barat)
Gram negative bacilli imunodefisiensi, prosedur invasif
pada sistem gastrointestinal dan saluran kemih, geriatri,
pasien dengan gagal ginjal, kelainan sendi kronik, dan
diabetes.
S. epidermidis Prosthetic joint
S. aureus/Pseudomonas i.v. drug use
S. pneumoniae Alcoholism, pneumonia, meningitis
L. monocytogenes Immune deficiency
Atypical mycobacteria Chronic infection
https://medicine.med.unc.edu

Patogenesis
Penyebaran hematogen
Penyebaran melalui jaringan sekitar
Inokulasi langsung (aspirasi/arthrotomy)
*Penyakit rematik dapat menjadi penyakit
yang mendasari septik arttritis
-Struktur sendi abnormal
-Penggunaan steroid (abnormal phagocytosis)

*DM, immune def, hematological diseases, trauma,


systemic infections
https://medicine.med.unc.edu

Gejala Klinis
Riwayat trauma atau infeksi sebelumnya
Sering mengenai sendi panggul dan lutut
Sendi sakroiliaka dapat terinfeksi pada
brucellosis
Interphalangeal joints: human and animal bites
Demam, malaise, anoreksia, nausea
Inflamasi lokal

https://medicine.med.unc.edu

Pemeriksaan Penunjang
Synovial fluid sampling:
>50.000 leukocytes/ml, (crystal arthropathies and RA)
Leukocytes <50.000/ml (Malignancy, steroid use)
Gram staining and culture: Gram-positive bacteria
60%, Gram-negative bacteria 40%
Blood culture / urethral discharge culture
Yield rate of microorganism 70%
Antigen detection (S. pyogenes, S. pneumoniae, H.
influenzae)
PCR (B. burgdorferi, N. gonorrhoeae)
Leukocytosis, ESR, and CRP increase

Diagnosis Banding

Rheumatic fever
Acute juvenile arthritis
RA, gout, reactive arthritis
Viral arthritis
Fungal arthritis
Tuberculous arthritis
Osteomyelitis
Cellulitis
Bleeding into the joint (hemarthrosis)

Tatalaksana

<5 year-old: 2nd and 3rd generation cephalosporins


>5 year-old and adults: cefazolin, 2nd gen. cephalosporins
S. aureuscefazolin/vancomycin
Adults: ciprofloxacin+rifampin
N. gonorrhoeaecefriaxone,
Gram-negative bacilli3rd gen. cephalosporin+ aminoglycoside

Gram-positive
Streptococcus, methicillin-sensitive staphylococcus
Cefazolin 3x2 gram, Sulbactam/ampicillin 4x2 gram

Meticillin-resistant staphylococcus
Vancomycin 2x1 gram

Gram-negative
Ceftriaxone 1x2 gram

Tatalaksana
Parenteral tx: 5-7 hari dilanjutkan oral tx (2-4
minggu)
Gram-negative bacilli and S. aureus 3 minggu
Needle aspiration and irrigation Septic arthritis
needs intervention (emergency) !
Hip joint septic arthritis surgical drainage
(Arthritis may disrupt the blood supply of the hip
joint)

49. Pemeriksaan Radiologis Fraktur


Wajah
Pada kasus fraktur wajah (dalam kasus ini, os
nasal dan fraktur blow out), dapat dilakukan
pemeriksaan waters atau CT-scan.
Pemeriksaan X-rays, mis: Waters, jarang dipakai
lagi dalam menentukan trauma wajah.
Pada fraktur dinding orbita inferior dan medial, dapat
terlihat gambaran cairan pada sinus maksilaris, serta
ethmoidalis air cell.
Gambaran emfisema orbital black eyebrow sign
Tear drop sign herniasi jaringan lemak orbita

Herniasi Jaringan

Cairan dalam
sinus maksilaris

Rontgen kepala tampak depan memperlihatkan tanda alis mata hitam


pada mata kiri &tanda panah panjang-. tap dari sinus maksilaris
memperlihatkan irregularitas ringan dibandingkan mata kanan
namunfraktur tidak tampak jelas. rea lucent di sebelah lateral
memperlihatkan udara ekstrakranial di fossa temporaldan
infratemporal

Fraktur nasal
Kiri: waters position
Kanan: CT-Scan

CT-Scan modalitas pilihan.


Ideal thin slice volumetric scanning with 3-plane
orthogonal reconstructions melihat struktur
tulang dan jaringan lunak dengan jelas

Evaluasi lokasi dan luas fraktur


Perdarahan intraorbital
Jejas secara global
Extraocular muscle entrapment
Prolaps jaringan lemak orbita

CT scan potongan koronal pada pasien anak


anak menunjukkan soft tissue yang
terjepit dan distorsimuskulus rektus inferior
pada fraktur tipe trapdoor pada medial dasar
orbita

CT scan pasien dewasa dengan >50% fraktur


tulang dasar orbita dan herniasi soft tissue

Pemeriksaan Penunjang Trauma Wajah

50. Tumor Kelenjar Liur


Bervariasi dari lokasi, asal, dan potensi
malignasi.
Rasio terjadinya malignansi proporsional
terhadap ukuran kelenjar: kelenjar parotis
cenderung mengalami perubahan neoplastik
jinak, kelenjar submandibula 50:50, serta
kelenjar sublingual dan aksesorius kebanyakan
ganas.

1. Kelenjar parotis
2. Kelenjar submandibula
3. Kelenjar sublingual

Klasifikasi

Benign

Epithelial
Pleiomorphic adenoma, paling
sering (50% tumor kelenjar parotis)
Warthin tumor, hanya ditemukan
pada kelenjar parotis, usia lanjut,
biasanya laki-laki, bilateral pada
10-15% kasus
Papiloma intraduktal kelenjar liur
Oncocytoma kelenjar liur
Myoepithelioma, subtipe dari
pleiomorphic adenoma, dapat juga
berasal dari payudara atau bronkus

Non-epithelial
Hemangioma, limfangioma, lipoma

Malignant
mucoepidermoid carcinoma: lesi
malignan tersering
adenoid cystic carcinoma
myoepithelioma
adenocarcinoma (not otherwise
specified)
acinic cell carcinoma of salivary glands
squamous cell carcinoma of salivary
glands
malignant mixed tumours of the
salivary glands
carcinoma ex pleomorphic adenoma
carcinosarcoma (true mixed tumour
of the salivary glands)
metastasising pleomorphic adenoma

CT-Scan:
Pleiomorphic adenoma

CT-Scan:
Mucoepidermoid
carcinoma

51. Osteomielitis

52. Luka Bakar

Luas Luka Bakar:


Dada : 9%
18 %
Perut : 9%

53. Urolithiasis

Nyeri Alih

54. Fibrocystic Disease


Penyakit fibrokistik atau dikenal juga
sebagai mammary displasia adalah benjolan
payudara yang sering dialami oleh sebagian besar
wanita.
Benjolan ini harus dibedakan dengan keganasan.
Penyakit fibrokistik pada umumnya terjadi pada
wanita berusia 25-50 tahun (>50%).
Kelainan fibrokistik pada payudara adalah kondisi
yang ditandai penambahan jaringan fibrous dan
glandular.

Gejala dan Tanda


Manifestasi dari kelainan ini terdapat benjolan fibrokistik
biasanya multipel, keras, adanya kista, fibrosis, benjolan
konsistensi lunak, terdapat penebalan, dan rasa nyeri.
Wanita dengan kelainan fibrokistik mengalami nyeri
payudara siklik berkaitan dengan adanya perubahan
hormon estrogen dan progesteron.
Biasanya payudara teraba lebih keras dan benjolan pada
payudara membesar sesaat sebelum menstruasi. Gejala
tersebut menghilang seminggu setelah menstruasi selesai.
Benjolan biasanya menghilang setelah wanita memasuki
fase menopause.

Diagnosis
Evaluasi pada wanita dengan penyakit fibrokistik harus
dilakukan dengan seksama untuk membedakannya
dengan keganasan.
Apabila melalui pemeriksaan fisik didapatkan benjolan
difus (tidak memiliki batas jelas), terutama berada di
bagian atas-luar payudara tanpa ada benjolan yang
dominan, maka diperlukan pemeriksaan USG,
mammogram dan pemeriksaan ulangan setelah
periode menstruasi berikutnya.
Apabila keluar cairan dari puting, baik bening, cair, atau
kehijauan, sebaiknya diperiksakan tes hemoccult untuk
pemeriksaan sel keganasan.

USG:
Multiple cysts
Well circumscribed
thins walls
Increased fibrous
stroma

Mammogram
Gambaran
kista dengan
penambahan
jaringan
fibrosa.

The Breast Lump

55. Hernia

Tipe Hernia

Definisi

Reponible

Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga


peritoneum secara manual atau spontan

Irreponible

Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum

Inkarserata

Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong


hernia

Strangulata

Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong


hernia tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah,
demam

Hernia Inkarserata dengan Ileus

Kanalis inguinalis
Kanalis inguinalis dibatasi:
Kraniolateral : oleh anulus inguinalis
internus yang merupakan bagian
terbuka dari fasia transversalis dan
aponeurosis m.transversus abdominis.
Medial bawah : di atas tuberkulum
pubikum, kanal ini dibatasi oleh anulus
inguinalis eksternus, bagian terbuka
dari aponeurosis m.oblikus eksternus.
Atap: aponeurosis m.obliqus eksternus
Dasar: ligamentum inguinale

Kanal berisi tali sperma pada lelaki, dan


ligamentum rotundum pada perempuan

Hernia Inguinalis Direk vs Indirek

Hernia Inguinalis Indirek/ Lateralis


Kantung dari hernia inguinalis indirek berjalan melalui
anulus inguinalis profunda menuju ke skrotum.
Pada bayi dan anak, hernia lateralis disebabkan oleh
kelainan bawaan berupa tidak menutupnya prosesus
vaginalis peritoneum sebagai akibat proses penurunan
testis ke skrotum.
Paling sering penyebabnya adalah masalah kongenital.
Lebih sering daripada hernia direk. Lebih banyak pada
pria daripada wanita.
PF: Pasien diminta mengedan atau batuk, jari telunjuk
pemeriksa di annulus inguinalis eksternus. Tonjolan
dirasakan menyentuh ujung jari.

Palpate the cord


structures in male or
the round ligament in
female
palpable thickening of
the cord (or ligament of
the ovary), termed silk
glove sign suggestive
presence of hernia sac

Hernia Inguinalis Direk/ Medialis


Isi hernia menonjol langsung ke depan melalui segitiga
Hasselbach.
Dasar segitiga hasselbach dibentuk oleh fasia
transversal yang diperkuat oleh serat aponeurosis
m.transversus abdominis yang kadang-kadang tidak
sempurna sehingga daerah ini potensial untuk menjadi
lemah.
Tidak keluar melalui kanalis inguinalis dan tidak ke
skrotum, umumnya tidak disertai strangulasi karena
cincin hernia longgar.
Disebabkan peninggian tekanan intraabdomen kronik
dan kelemahan otot dinding di trigoum Hasselbach.
Oleh karena itu, hernia ini umumnya terjadi bilateral,
khususnya pada lelaki tua.

Indirek/ HIL

Direk/ HIM

Usia berapapun, terutama


muda
Dapat kongenital
20 %
Oblik

Lebih tua

Muncul saat berdiri

Tidak segera mencapai


ukuran terbesarnya

Mencapai ukuran terbesar


dengan segera

Reduksi saat berbaring

Tereduksi segera

Penurunan ke skrotum

Dapat tidak tereduksi


segera
Sering

Oklusi cincin internus

Terkontrol

Tidak terkontrol

Leher kantong
Strangulasi
Hubungan dengan
pembuluh darah
epigastric inferior

Sempit
Tidak jarang
Lateral

Lebar
Tidak biasa
Medial

Usia pasien
Penyebab
Bilateral
Penonjolan saat batuk

Didapat
50 %
Lurus

Jarang

56. Hemangioma

ILMU PENYAKIT MATA

57. AGE RELATED


MACULAR
DEGENERATION
Definition:
A chronic degenerative eye
disease of unknown
pathogenesis that affect macula
which responsible to the central
vision
Also called as age related
maculopathy (ARM)
Was referred as senile macular
degeneration
thought to be due to destruction
of the fatty acids in the rods and
cones of the eyes

Types of ARMD
Early stage
Late stage
Non-exudative (Dry ARMD)
Most common (90%)
Advanced disease: Geographic
atrophy

Exudative (Wet ARMD)


Neo-vascularisation
Causes more devastating and
sudden vision affects

Risk Factor

Aging
Smoking
Obesity and inactivity
Hypertension
Hereditary/genetic
Race: Fair skin/blue eyes
Family history
Female
High-fat diet / High cholesterol

MACULA
Foveola
Fovea

Umbo

Para-foveal zone
Peri-foveal zone

MACULA: ANATOMY

Macula
Diameter 5 mm
4 mm temporal, 0.8 inferior to optic disc

Fovea
Depression of ~1 disc diameter (1.5 mm) at centre of macula

Foveola

RPE

Central point of fovea


0.35 mm in diameter
Thinnest part of retina
Cones only
Foveola
High levels of visual acuity

Choroid

Anatomy

ANATOMY OF RETINA

The retinal pigment epithelium (RPE) is a single layer of hexagonally


shaped cells & attached to the photoreceptor layer.
Bruchs membrane
Bruchs membrane separates the RPE from vascular choroid.
Function of Bruchs membrane is to provide support to the retina.
Choroid capillaries are a layer of fine blood vessels that nourishes
the retina and provides O2.

Functions:

Maintain the photoreceptors

Absorption of stray light

Formation of the outer blood retinal barrier

Phagocytosis and regeneration of visual pigment

Pathophysiology

Bruch membrane (which separates the choroid from the RPE/retina) become less
permeable
Blocks nutrition from RPE, prevent waste product from retina escaping

The quality of retina deteriorate (dry armd)


New blood vessel are stimulated into retina to clear away the waste products (wet
armd) These new blood vessels leak fluid and bleed, further impairing the function of
the retina.

Age-related
thickening of Bruchs
membrane

Interferes with
photoreceptor/RPE
metabolism

Causing deposition of
metabolites /
formation of drusen

Drusen

Damage to overlying
RPE/photoreceptors
and underlying
choriocapillaris

Pathophysiology
Drusen (colloid bodies)

Earliest clinical sign


Lipid or collagen rich deposits (waste)
Lie between Bruchs membrane and RPE
Further disruption of RPE/photoreceptor metabolism
Cause variable amount of depigmentation and eventually atrophy of
overlying RPE

Drusen
Can become calcified (glistening appearance)
Can become confluent representing widespread RPE abnormality
Increase risk of vision loss!

Can be inherited as a dominant trait


Hard Drusen
No progression / consequence

Pathophysiology
Hard Drusen
Small localised collection of
hyaline material within or on
Bruchs membrane
Sharp, well demarcated
boundaries

Hard Drusen

Soft Drusen
Involve overlying focal RPE
detachment
Poorly demarcated
boundaries
Larger/commonly become
confluent
Soft Drusen

Early stage ARMD


SIGN
Drusen
Discrete yellow spot at macula
The accumulation occurs as bruch's membrane becomes
thicker
prevents the free flow of materials to and from photoreceptors
layer.

Also, the retinal pigment cells accumulate lipofuscin.


This pigment will also slow down the passage of chemicals to
and from the retina.

SYMPTOM
Patients with early and intermediate AMD can have
unimpaired visual acuity (VA) but may report
difficulty with activities performed at night and
under low illumination (eg, driving, reading at night)
due to degeneration of rod photoreceptors (earlier
than cones)

Usually has normal vision


Difficult driving, recognizing dimly
road sign
Loss of rod photoreceptors

Late stage: DRY ARMD


Slowly progressive atrophy of photoreceptor, RPE
(retinal pigment epithelium ), and
choriocappilaries
Tissue has thinned and lost pigment
Also known as atrophic AMD,
nonexudatives AMD,
nonvascular AMD
Progress over month, years
Bilateral
Severity and progress may
different between BE

SIGN
Usually assoc with hard drusen
Small, round, discrete, yellow white
spot asocc with focal disfunction of
RPE

Atrophy of RPE
Dry ARMD

Enlargement of atrophic area,


pre-existing drusen appear,
choroidal vessel visible
geographic atrophy

Geographic atrophy

SYMPTOM
Slow and progressive loss central vision
Called central scotoma

Vision distorted
Called metamhorphopsia
Drusen has expand and increase in no.

Late stage: Wet ARMD


New blood vessel growth
underneath the retina
body's misguided way of
attempting to create a new
network of blood vessels
to supply more nutrients and
oxygen to the retina.

Called choroidal
neovascularization (CNV)
leak fluid under the macula
then form scar tissue leading to
central vision loss.

Also known as exudatives AMD,


neovascular AMD

Sign
Soft drusen appear
Larger and have indistinct margin
May slowly enlarged and coalesce to form solid
drusenoid detachment of RPE

area of the macula is elevated by subretinal fluid


or blood, often associated clumps of exudates

Soft drusen in wet ARMD

Wet ARMD or neovascular ARMD

Symptom
Profound central vision impairment
Sudden decrease (weeks)

Vision distorted

Complications of ARMD
1. Decreased contrast sensitivity

It occurs at early phase of onset.


The macular at this stage has discrete yellow spots or drusen.
The hyperpigmentation of RPE can decreased contrast sensitivity
of the eye.

2. Decreased visual acuity

Common in late stage.


It is due to slowly progressive atrophy of photoreceptors, RPE and
choriocapillaries.
RPE detachment can occur.
The gradual vision impairment occurs gradually over months or years.
Normally both eye is affected but asymmetry

3. Metamorphopsia
It occurs due to thickened Bruch membrane of the eye.
It may cause unilateral metamorphosia and lead to
impairment of central vision.

Patient complains of all the object seen smaller than actual size. (micropsia)

4. Central scotoma
It occurs when the
foveal area is affected.
The scotoma, or
central blind spot, can
be due to geographic
atrophy or to the
damage of
photoreceptor cells
from choroidal
neovascularization
(leaking blood
vessels).
Patient complaints of difficult to recognize the face

Clinical manifestations of age-related macular degeneration


Phase

Clinical manifestation

Associated visual defect

Early
stage

Focal drusen
Irregular pigmentations of the
retinal pigment epithelium

Good visual function


Abnormal dark adaptation
Reading problem in dark room
Blue-yellow defect
Driving car at night is impaired

Late
stage

Detachment of the retinal pigment


epithelium
Rip in the retinal pigment
epithelium
Choroidal neovascularization
(CNV)
Disciform scar
Geographic atrophy of the RPE

Decreased visual acuity


Metamorphopsia
Central scotoma

Ocular Examination

Visual acuity
Pinhole visual acuity test
Contrast sensitivity (can be
measured with the use of a contrast
sensitivity chart or neutral density
filters)
loss of peak contrast sensitivity
with increasing drusen severity
Patient with ARMD usually
demonstrates profound loss of
acuity on contrast sensitivity test.

Pupillary responses
To differentiate the central scotoma
due to optic nerve disease or
macular disease

Color Vision
Most of the ARMD patient suffered
yellow-blue defect.
But patient must be differentiate
with other macular disease such as
diabetic retinopathy.

Visual field
These include:
Facial Amsler
Amsler grid
Goldmann perimetry
Automated Perimetry
No one type of visual field is
good for all situations.

All Fundus Related


Procedures

Fundus Biomicroscopy
Fundus photography
Opthalmoscopy
Fundus Fluorescein
angiography
Optical coherence tomography
(OCT)

Amsler Grid
Purpose:
It can give useful
information regarding
central scotoma, areas of
missing, blurred, or
distorted lines.
It is sensitive to small
scotoma within central 10
of visual field.
The test is also useful for
differentiating neuroophthalmic and macular
disease.
Patient experienced deep dark spot at the center of the Amsler Grid

Instruction:
1. Hold the chart at a reading distance
of 30 cm; adequate and even lighting
is important.
2. You should wear your fully prescribed
spectacles and for elderly, their
reading glasses, during the test.
3. Cover the left eye, and use your right
eye to focus on the center dot.
4. If patient difficult to see the white dot
at the center, ask them to imagine the
intersect of the two line at the center.
5. Ask patient: Do you notice any wavy,
broken or distorted lines or blurred or
missing areas of vision within the
chart?
6. Repeated the above examining on
your left eye.

It is a 10 x 10 cm square grid formed


by multiple white lines on a black
background and with a white dot at
the center.

Fundus Related Examinations


Purpose:
To see fundus and macula for both eyes.

Clinical findings:
Clinical features

Signs

Hard drusen
(nodular)

Small, round, discrete, yellow-white lesions, and usually located at


the macula.

Soft drusen
(Exudative)

Larger lesions with ill-defined edges associated with exudative


ARMD.

Non-exudative
ARMD

Hyperplastic changes of RPE associated with slowly progressive


degeneration of the overlying neuroretina and underlying
choriocapillaries.

Exudative ARMD

Present with elevated macular area with subretinal fluid or blood


associated with clumps of exudates. If the lesion recover, it will leave
with subretinal disciform scarring.

Basic Treatment
There is NO CURE
T(x) : slow the progression of disease & prevent the vision loss
Wet AMD :

a lot of treatments are available


mainly for stopping the growth of new blood vessels
if delayed t(x), scar formation
Ex: anti-vascular endothelial growth factor (anti-VEGF), Photodynamic Therapy (PDT, a laser
treatment), Anti-angiogenic drug (Intravitreal steroid (triamcinolone acetonide)), Surgery
Age-Related Eye Disease Study (AREDS) showed that for certain individuals, antioxidants can
decrease the risk of vision loss in patients with intermediate to advanced dry age-related macular
degeneration, such as
500 g of vitamin C
400 IU of Vitamin E
15 mg of beta-carotene
80 mg of Zinc oxide
2 mg of Copper

Dry AMD:
no treatment available
does not involve new blood vessels growing
Low vision aids may be helpful

58. Blepharitis
Terdiri dari blefaritis anterior dan
posterior
Blefaritis anterior: radang
bilateral kronik di tepi palpebra
Blefaritis stafilokokus: sisik
kering, palpebra merah,
terdapat ulkus-ulkus kecil
sepanjang tepi palpebra, bulu
mata cenderung rontok
antibiotik stafilokokus
Blefaritis seboroik: sisik
berminyak, tidak terjadi
ulserasi, tepi palpebra tidak
begitu merah
Blefaritis tipe campuran

Tx blefaritis seboroik: perbaikan


hygiene mata dengan cara:
kompres hangat untuk evakuasi dan
melancarkan sekresi kelenjar
tepi palpebra dicuci + digosok perlahan
dengan shampoo bayi untuk
membersihkan skuama
pemberian salep antibiotik eritromisin
(bisa digunakan kombinasi antibioti-KS)

Blefaritis posterior: peradangan


palpebra akibat difungsi kelenjar
meibom bersifat kronik dan bilateral
Kolonisasi stafilokokus
Terdapat peradangan muara meibom,
sumbatan muara oleh sekret kental

Blepharitis

Definisi

Gejala

Tatalaksana

Blefaritis superfisial

Infeksi kelopak superfisial yang


diakibatkan Staphylococcus

Terdapat krusta dan bila


menahun disertai dengan
meibomianitis

Salep antibiotik
(sulfasetamid dan
sulfisoksazol), pengeluaran
pus

Hordeolum

Peradangan supuratif kelenjar


kelopak mata

Kelopak bengkak, sakit, rasa


mengganjal, merah, nyeri bila
ditekan

Kompres hangat, drainase


nanah, antibiotik topikal

Blefaritis
skuamosa/seboroik

Blefaritis diseratai skuama atau


krusta pada pangkal bulu mata
yang bila dikupas tidak terjadi luka
pada kulit, berjalan bersamaan
dengan dermatitis sebore

Etiologi: kelainan metabolik


atau jamur. Gejala: panas,
gatal, sisik halus dan
penebalan margo palpebra
disertai madarosis

Membersihkan tepi kelopak


dengan sampo bayi, salep
mata, dan topikal steroid

Meibomianitis
(blefaritis posterior)

Infeksi pada kelenjar meibom

Tanda peradangan lokal pada


kelenjar tersebut

Kompres hangat, penekanan


dan pengeluaran pus,
antibiotik topikal

Blefaritis Angularis

Infeksi Staphyllococcus pada tepi


kelopak di sudut kelopak atau
kantus

Gangguan pada fungsi


pungtum lakrimal, rekuren,
dapat menyumbat duktus
lakrimal sehingga mengganggu
fungsi lakrimalis

Dengan sulfa, tetrasiklin,


sengsulfat

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas

Medical Condiions
Blepharoptosis
abnormal low-lying upper eyelid margin with the eye in
primary gaze. Normally, the upper lid covers 1.5 mm of the
superior part of the cornea.

Blepharospasme
abnormal contraction of the eyelid muscles.

Blepharochalasis
a rare syndrome consisting of recurrent bouts of upper
eyelid edema associated with thinning, stretching, and fine
wrinkling of the involved skin.
The lower eyelids are not commonly involved.
These episodes often result in eyelid skin redundancy

59. TRAUMA MATA (DISLOKASI LENSA)


Kondisi Akibat trauma mata
Iridodialisis

known as a coredialysis, is a localized


separation or tearing away of the iris
from its attachment to the ciliary body;
usually caused by blunt trauma to the
eye

may be asymptomatic and require no treatment, but


those with larger dialyses may have corectopia
(displacement of the pupil from its normal, central
position) or polycoria (a pathological condition of the
eye characterized by more than one pupillary opening
in the iris) and experience monocular diplopia, glare, or
photophobia

Hifema

Blood in the front (anterior) chamber of


the eyea reddish tinge, or a small
pool of blood at the bottom of the iris
or in the cornea.
May partially or completely block
vision.
The most common causes of hyphema
are intraocular surgery, blunt
trauma, and lacerating trauma
The main goals of treatment are to
decrease the risk of rebleeding within
the eye, corneal blood staining, and
atrophy of the optic nerve.

Treatment :elevating the head at night, wearing an


patch and shield, and controlling any increase in
intraocular pressure. Surgery if non- resolving hyphema
or high IOP
Complication: rebleeding, peripheral anterior
synechiea, atrophy optic nerve, glaucoma (months or
years after due to angle closure)

TRAUMA MATA (DISLOKASI LENSA)


Kondisi Akibat trauma mata
Hematoma
Palpebral

Pembengkakan atau penimbunan darah


di bawah kulit kelopak akibat pecahnya
pembuluh darah palpebra.

Sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Bila


perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua
kelopak dan berbentuk seperti kacamata hitam yang
sedang dipakai

Perdarahan
Subkonjungtiva

Pecahnya pembuluh darah yang


terdapat dibawah konjungtiva, seperti
arteri konjungtiva dan arteri episklera.
Bisa akibat dari batu rejan, trauma
tumpul atau pada keadaan pembuluh
darah yang mudah pecah.

Pemeriksaan funduskopi perlu dilakukan pada setiap


penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat
trauma tumpul. Akan hilang atau diabsorbsi dengan
sendirinya dalam 1 2 minggu tanpa diobati.

Penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola


lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan
terlihat keruh dengan uji plasedo yang positif

Edema Kornea

Terjadi akibat disfungsi endotel kornea


local atau difus. Biasanya terkait dengan
pelipatan pada membran Descemet dan
penebalan stroma. Rupturnya membran
Descemet biasanya terjadi vertikal dan
paling sering terjadi akibat trauma
kelahiran.

Ruptur Koroid

Trauma keras yang mengakibatkan


ruptur koroid perdarahan subretina,
biasanya terletak di posterior bola mata

Perdarahan subretina, visus turun dengan sangat, bila


darah telah terabsorpsi maka daerah ruptur akan
tampak berwarna putih (daerah sklera)

Subluksasi

Lensa berpindah tempat

Penglihatan berkurang, pada iris tampak iridodenesis


(iris tampak bergetar atau bergoyang saat mata
bergerak)

TRAUMA MATA (DISLOKASI LENSA)


Dislokasi Lensa :
putusnya zonula Zinn kedudukan lensa terganggu
Subluksasi Lensa :
putusnya sebagian zonula Zinn lensa berpindah tempat.
Luksasi lensa anterior :
seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus lensa masuk
ke dalam bilik mata depan
Luksasi lensa posterior :
putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa
lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran
bawah polus posterior fundus okuli

Lens Dislocation Etiology


1) Congenital - ectopia lentis - It is usually bilateral
a) Marfans's syndrome : mesodermal dystrophy
The lens is displaced superotemporally
Arachnodactyly of hands and feet long fingers and
Toes
High arched palate
Span of arms is more than the height; tall individual
Congenital anomalies of CVS - dissecting aneurysm
b) Marchesani syndrome : Mesodermal dystrophy.
It is the opposite of Marfan's syndrome.
Ectopia lentis
Short stubby fingers and toes
Short individual
Excess of subcutaneous tissue
c) Homocystinuria

Etiology
2) Traumatic - Concussion injury
3) Spontaneous
Buphthalmos
Hypermature cataract
Sudden perforation of corneal ulcer

Ectopia Lentis
Symptoms : In subluxation when the lens is clear.
Defective vision due to curvature myopia (due to tear of some
fibres of suspensory ligament the lens becomes spherical) and
astigmatism (due to tilting of lens)
Uniocular diplopia : There are 2 different images of the same object
formed on the retina, one through the aphakic part and one
through the phakic part of the pupil.
Signs:
In subluxation:
Iridodonesis (tremulousness of iris) and phakodonesis (tremulousness of
lens) on movement of eyeball side to side
Unequal depth of AC in different parts.

In dislocation
In anterior dislocation - the lens is seen in AC.
In posterior dislocation there are signs of aphakia (deep AC, jet black
pupil, iridodonesis,) and the lens is seen in the vitreous.

Ectopia Lentis
Complications:
Secondary glaucoma
Uveitis

Treatment:
Subluxated lens
concave or convex lenses may be tried to improve vision.
The lens may be removed with cryoprobe or with wire vectis.

Dislocated lens:
Anterior dislocation - lens may be removed with cryoprobe or with
wire vectis.
Posterior dislocation of lens: Vision may be improved with
aphakic glasses; Lens may be removed with wire vectis

60. Komplikasi Pascaoperasi Katarak


EARLY COMPLICATION
Corneal edema (10%)
Elevated IOP (28%)
Increased anterior
inflammation (26%).
Wound leak (1%)
Iris prolapse (0.7%)
Endophthalmitis (0.1%)

LATE COMPLICATION
Posterior capsule
opacification (1050% by
2 years)
Cystoid macular edema
(112%)
Retinal detachment
(0.7%)
Corneal decompensation
Chronic endophthalmitis

Acute postoperative endophthalmitis


Komplikasi yg mengancam
penglihatan yg harus segera
diobati.
Onset biasanya 17 hari setelah
op.
Etiologi tersering Staphylococcus
epidermidis, Staphylococcus
aureus, & Streptococcus species.
Gejala:
a painful red eye;
reduced visual acuity, usually
within a few days of surgery
a collection of white cells in the
anterior chamber (hypopyon).
posterior segment inflammation
lid swelling.

Faktor risiko
Pasien dengan blepharitis,
konjungtivitis, penyakit
nasolakrimal,
komorbid(diabetes), dan
complicated surgery (PC rupture
with vitreous loss, ACIOL,
prolonged surgery).
Diagnosis
pemeriksaan mikrobiologi dari
Anterior chamber tap dan biopsi
vitreous (dgn antibiotik
intravitreus scr simultan utk
pengobatan)

Acute postoperative endophthalmitis


TATALAKSANA

Pertimbangkan:

Antibiotic intravitreus: vancomycin 1


mg dlm 0.1 mL (gram positive
coverage) dikombinasikan dengan
amikacin 0.4 mg dlm 0.1 mL atau
ceftazidime 2 mg dlm 0.1 mL (gramnegative coverage).

Moxifloxacin atau gatifloxacin oral


(broad spectrum dan penetrasi
intraokular baik)

Ceftazidime bisa menimbulkan


presipitasi dengan vankomisin shg spuit
harus dipisah
Vitrectomy: jika tajam penglihatan
hanya berupa light perception atau
lebih buruk

Antibiotik topikal (per jam):


(moxifloxacin or gatifloxacin) atau
vancomycin DS (50 mg/mL), amikacin
(20 mg/mL), atau ceftazidime (100
mg/mL)
Corticosteroids topikal (cth
dexamethasone 0.1%/ jam), intravitreal
(dexamethasone 0.4 mg in 0.1 mL),
atau sistemic (prednisone PO 1
minggu) untuk mengurangi inflamasi.

Oxford American Handbook of Ophthalmology

61. Ulkus Kornea

ULKUS KORNEA

Ulkus kornea adalah hilangnya


sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea

ditandai dengan adanya infiltrat


supuratif disertai defek kornea
bergaung, dan diskontinuitas
jaringan kornea yang dapat terjadi
dari epitel sampai stroma.

Etiologi: Infeksi, bahan kimia,


trauma, pajanan, radiasi, sindrom
sjorgen, defisiensi vit.A, obatobatan, reaksi hipersensitivitas,
neurotropik

Gejala Subjektif

Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva


Sekret mukopurulen
Merasa ada benda asing di mata
Pandangan kabur
Mata berair
Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
Silau
Nyeri
nfiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit
nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer kornea
dan tidak disertai dengan robekan lapisan
epitel kornea.

Gejala Objektif

Injeksi siliar
Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan
adanya infiltrat
Hipopion

ULKUS KORNEA
Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2
:
1. Ulkus kornea sentral
Ulkus kornea bakterialis
Ulkus kornea fungi
Ulkus kornea virus
Ulkus kornea acanthamoeba
2.Ulkus kornea perifer
Ulkus marginal
Ulkus mooren (ulkus
serpinginosa kronik/ulkus
roden)
Ulkus cincin (ring ulcer)

Penatalaksanaan :
harus segera ditangani oleh spesialis
mata
Pengobatan tergantung penyebabnya,
diberikan obat tetes mata yang
mengandung antibiotik, anti virus, anti
jamur,
sikloplegik (to prevent formation of
adhesions between the iris and the lens
or cornea; relax any ciliary muscle
spasm that can cause a deep aching
pain and photophobia)
Mengurangi reaksi peradangan dengan
steroid (kontroversial, terutama pada
kasus dgn penyebab virus)
Berikan analgetik oral jika nyeri tidak
berkurang
Jangan menggosok-gosok mata yang
meradang
Mencegah penyebaran infeksi dengan
mencuci tangan

An inflammatory or more seriously, infective condition of the cornea


involving disruption of its epithelial layer with involvement of the
corneal stroma
Causative Agent

Feature

Treatment

Fungal

Fusarium & candida species, conjungtival


injection, satellite lesion, stromal infiltration,
hypopion, anterior chamber reaction

Protozoa infection
(Acanthamoeba)

associated with contact lens users swimming in


pools

Viral

HSV is the most common cause, Dendritic


lesion, decrease visual accuity

Acyclovir

Staphylococcus
(marginal ulcer)

Tobramycin/cefazol
in eye drops,
quinolones
(moxifloxacin)

Streptococcus

Rapid corneal destruction; 24-48 hour, stromal


abscess formation, corneal edema, anterior
segment inflammation. Centered corneal ulcers.
Traumatic events, contact lens, structural
malposition

connective tissue
disease

RA, Sjgren syndrome, Mooren ulcer, or a


systemic vasculitic disorder (SLE)

Pseudomonas

Natamycin,
amphotericin B,
Azole derivatives,
Flucytosine 1%

62. Asthenophia
Asthenopia = Eye strain
Various classification
Asthenopia often occurs during reading or performance of near point
activities.
Asthenopia may be classified as internal or external.
The internal type of asthenopia consists of sensations of strain and aches felt
inside the eye.
The external type consists of sensations of dryness and irritation on the front
surface of the eye.

Some possible causes of internal asthenopia


Uncorrected refractive errors; vergence anomalies such as convergence
insufficiency and decompensated heterophoria; accommodative dysfunctions
such as accommodative insufficiency

External types of asthenopia are mainly related to conditions in the


viewing environment
often associated with glare from lighting, altered quality of the viewed image
owing to poor contrast, improper optimal gaze angles, flickering stimuli such
as computer displays, and dry eye.

62. Asthenopia
Type of internal asthenopia:
Accomodative asthenopia: due
to strain on ciliary muscles.
most common form.

Muscular asthenopia: due to


weakness of extra ocular
muscles.
commonly seen in squints and
nerve palsies.

To differentiate between these


two types: a simple patch test
will help.
Patch one eye for several hours,
if symptoms persists
accommodative stress.
On resting one eye if the
symptoms are relieved due to
muscular incompetence.

Internal
Asthenopial

The near point of accommodation (NPA) is the point closest


to the eye at which a target is sharply focused on the retina.

Causes of Asthenopia
Uncorrected refractive errors: Mainly seen with hypermetropia &
astigmatism; presbyopia:
Prolonged near work in people with no refractive errors, can also cause
some degree of eyestrain. This can be attributed to dry eye.
Inadequate illumination
Accomodative insufficiency
Happens when the amplitude of accommodation (AA) is lower than expected
for the patient's age and is not due to sclerosis of the crystalline lens.
The accommodative amplitude (AA) is the power of the lens that permits such
clear vision (in diopters (D))
Patients with accommodative insufficiency usually demonstrate poor
accommodative sustaining ability.

Convergence insufficiency
the inability to maintain binocular function (keeping the two eyes working
together) while working at a near distance.
Typically, one eye will turn outward (intermittent exotropia) when focusing on
a word or object at near.

Muscular imbalance (defects of ocular motility), anisekonia

63. Keratitis/ulkus Fungal


Gejala nyeri biasanya dirasakan diawal, namun lama-lama
berkurang krn saraf kornea mulai rusak.
Pemeriksaan oftalmologi :
Grayish-white corneal infiltrate with a rough, dry texture and feathery
borders; infiltrat berada di dalam lapisan stroma
Lesi satelit, hipopion, plak/presipitat endotelilal
Bisa juga ditemukan epitel yang intak atau sedikit meninggi di atas
infiltrat stroma

Faktor risiko meliputi :


Trauma mata (terutama akibat tumbuhan)
Terapi steroid topikal jangka panjang
Preexisting ocular or systemic immunosuppressive diseases
Sumber: American Optometric Association. Fungal Keratitis. / Vaughan Oftalmologi Umum 1995.

Keratitis/ ulkus Fungal


Meskipun memiliki karakteristik, terkadang sulit membedakan
keratitis fungal dengan bakteri.
Namun, infeksi jamur biasanya localized, dengan button appearance
yaitu infiltrat stroma yang meluas dengan ulserasi epitel relatif kecil.

Pd kondisi demikian sebaiknya diberikan terapi antibiotik


sampai keratitis fungal ditegakkan (mis. dgn kultur, corneal
tissue biopsy).

Stromal infiltrate

Ulkus kornea Jamur

Lesi satelit (panah merah) pada


keratitis jamur

Keratitis fungi bersifat indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya
infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi).
Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.

Ulkus kornea pneumokokal


Streptokokus pneumonia
Muncul 24-48 jam setelah
inokulasi pd kornea yg abrasi
Khas sebagai ulkus yang
menjalar dari tepi ke arah
tengah kornea (serpinginous).
Ulkus bewarna kuning keabuabuan berbentuk cakram
dengan tepi ulkus yang
menggaung.
Ulkus cepat menjalar ke
dalam dan menyebabkan
perforasi kornea, karena
eksotoksin yang dihasilkan
oleh streptokok pneumonia.
Efek merambat ulkus
serpiginosa akut
Obat: mofifloxacin,
gatifloxacin, cefazolin

Ulkus kornea
Bakterial
Ulkus kornea stafilokokus

Ulkus sering indolen, mungkin disertai


sedikit infiltrat dan hipopion
Ulkus seringkali superfisial
Obat: vankomisin

Ulkus kornea pseudomonas

Pseudomonas aeruginosa
Awalnya berupa infiltrat kelabu/ kuning di
tempat yang retak
Terasa sangat nyeri
Menyebar cepat ke segala arah krn adanya
enzim proteolitik dr organisme
Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna
hijau kebiruan
Berhubungan dengan penggunaan soft
lens
Obat: mofifloxacin, gatifloxacin,
siprofloksasin, tobramisin, gentamisin

An inflammatory or more seriously, infective condition of the cornea


involving disruption of its epithelial layer with involvement of the
corneal stroma
Causative Agent

Feature

Treatment

Fungal

Fusarium & candida species, conjungtival


injection, satellite lesion, stromal infiltration,
hypopion, anterior chamber reaction

Protozoa infection
(Acanthamoeba)

associated with contact lens users swimming in


pools

Viral

HSV is the most common cause, Dendritic


lesion, decrease visual accuity

Acyclovir

Staphylococcus
(marginal ulcer)

Tobramycin/cefazol
in eye drops,
quinolones
(moxifloxacin)

Streptococcus

Rapid corneal destruction; 24-48 hour, stromal


abscess formation, corneal edema, anterior
segment inflammation. Centered corneal ulcers.
Traumatic events, contact lens, structural
malposition

connective tissue
disease

RA, Sjgren syndrome, Mooren ulcer, or a


systemic vasculitic disorder (SLE)

Pseudomonas

Natamycin,
amphotericin B,
Azole derivatives,
Flucytosine 1%

64. OKLUSI ARTERI RETINA


Kelainan retina akibat sumbatan akut arteri retina
sentral yang ditandai dengan hilangnya penglihatan
mendadak.
Predisposisi
Emboli paling sering (hipertensi, aterosclerosis, penyakit
katup jantung, trombus pasca MCI, tindakan angiografi,
Penyakit spasme pembuluh darah karena endotoksin
(keracunan alkohol, tembakau, timah hitam
Trauma(frakturorbita)
Koagulopati (kehamilan, oral kontrasepsi)
Neuritis optik, arteritis, SLE
Kuliah SUB BAG. VITREORETINA
ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

Gejala Klinis :

Visus hilang mendadak tanda nyeri


Amaurosis Fugax (transient visual loss)
Lebih sering laki-laki diatas 60thn
Fase awal setelah obstruksi gambaran fundus
normal.
Setelah 30 menit retina polusposterior pucat
kecuali di daerah foveola dimana RPE dan koroid
dapat terlihat Cherry Red Spot
Setelah 4-6 minggu : fundus normal kembali
kecuali arteri halus, dan berakhir papil atropi
Kuliah SUB BAG. VITREORETINA
ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

Kuliah SUB BAG. VITREORETINA


ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

Penatalaksanaan :
Tx berkaitan dengan
penyakit sistemik
Untuk memperbaiki visus
harus waspada sebab 90
menit setelah sumbatan
kerusakan retina
ireversible.
Prinsip gradient
perfusion pressure
(menurunkan TIO secara
mendadak sehingga
terjadi referfusi dengan
menggeser sumbatan)

Gradient perfusion
pressure :
Parasentesis sumbatan di
bawah 1 jam 0,1 0,4cc
Masase bola mata (dilatasi
arteri retina)
blocker
acetazolamide
Streptokinase (fibrinolisis)
Mixtur O2 95% dengan
CO2 5% (vasodilatasi)

Kuliah SUB BAG. VITREORETINA


ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

OKLUSI VENA RETINA SENTRALIS (CENTRAL


RETINA VEIN OCCLUSION)
Kelainan retina akibat
sumbatan akut vena
retina sentral yang
ditandai dengan
penglihatan hilang
mendadak.

Predisposisi :

Usia diatas 50 thn


Hipertensi sistemik 61%
DM 7% -Kolestrolemia
TIO meningkat
Periphlebitis (Sarcoidosis,
Behset disease)
Sumbatan trombus vena
retina sentralis pada
daerah posterior lamina
cribrosa)

Gejala Klinis
1. Tipe Noniskemik :
FFA (Fundus Fluorescein
Angiography) area nonperfusi
kecil 10 disc - Gejala lebih ringan.

Vena dilatasi ringan dan


sedikit berkelok
Perdarahan dot dan flame
shaped
dapat disertai dengan atau
tanpa edama papil

2. Tipe Iskemik :
FFA area nonperfusi diatas
10 disc
Vena dilatasi lebih nyata
Perdarahan masif pada ke 4
kuadran
Cotton wool spot
Rubeosis iridis
Marcus Gunn +
Perdarahan vitreous
Edama retina dan edama
makula

Pemeriksaan :
FFA (Fundus Fluorescein
Angiography)
ERG
(Electroretinogram)
Tonometri

Penatalaksanaan :
Memperbaiki
underlying disease
Fotokoagulasi laser
Vitrektomi
Kortikosteroid belum
terbuti efektivitasnya
Anti koagulasi sistemik
tidak direkomendasikan

Defini dan gejala


Oklusi arteri
sentral
retina

Penyumbataan arteri sentralis retina dapat disebabkan oleh radang arteri, thrombus dan
emboli pada arteri, spsame pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran darah, giant
cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan trauma. Secara
oftalmoskopis, retina superficial mengalami pengeruhan kecuali di foveola yang
memperlihatkan bercak merah cherry(cherry red spot). Penglihatan kabur yang hilang
timbul tanpa disertai rasa sakit dan kemudian gelap menetap. Penurunan visus
mendadak biasanya disebabkan oleh emboli

Oklusi vena
sentral
retina

Kelainan retina akibat sumbatan akut vena retina sentral yang ditandai dengan
penglihatan hilang mendadak.
Vena dilatasi dan berkelok, Perdarahan dot dan flame shaped , Perdarahan masif pada ke
4 kuadran , Cotton wool spot, dapat disertai dengan atau tanpa edema papil

Ablatio
retina

suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina (RIDE). Gejala:floaters,
photopsia/light flashes, penurunan tajam penglihatan, ada semacam tirai tipis berbentuk
parabola yang naik perlahan-lahan dari mulai bagian bawah hingga menutup

Perdarahan
vitreous

Perdarahan pada selaput vitreous sampai ke dalam vitreous. Gejala: penglihatan buram
tiba-tiba, peningkatan floaters,dan kilatan cahaya

Amaurosis
Fugax

Kehilangan penglihatan tiba-tiba secara transient/sementara tanpa adanya nyeri,


biasanya monokular, dan terkait penyakit kardiovaskular

65. Episcleritis
Simple episcleritis
This common condition is a
benign, recurrent
inflammation of the episclera
it is most common in young
women.
Episcleritis is usually selflimiting and may require little
or no treatment.
It is not usually associated
with any systemic disease,
although around 10% may
have a connective tissue
disease.

Clinical features

Sudden onset of mild discomfort, tearing


photophobia; may be recurrent.
Sectoral (occasionally diffuse) redness that
blanches with topical vasoconstrictor (e.g.,
phenylephrine 10%); globe nontender;
spontaneous resolution 12 weeks.

Treatment

Supportive: reassurance cold


compresses.
Artificial tears
Topical: consider lubricants NSAID (e.g.,
ketorolac 0.3% 3x/day; uncertain benefit).
Although disease improves with topical
steroids, there may be rebound
inflammation on withdrawal.
Systemic: if severe or recurrent disease,
consider oral NSAID (e.g., flurbiprofen 100
mg 3x/day for acute disease).

Nodular episcleritis
Clinical features
Sudden onset of FB sensation,
discomfort, tearing photophobia.
It may be recurrent.
Red nodule arising from the
episclera
can be moved separately from the
sclera (cf. nodular scleritis) and
conjunctiva
blanches with topical
vasoconstrictor (e.g.,
phenylephrine 10%)
does not stain with fluorescein;
globe nontender
Spontaneous resolution occurs in
56 weeks.

Treatment
Treat as for simple episcleritis, but
there is a greater role for ocular
lubricants.
Patients with severe or prolonged
episodes may require artificial
tears and/or topical
corticosteroids.
Nodular episcleritis is more
indolent and may require local
corticosteroid drops or antiinflammatory agents.
Topical ophthalmic 0.5%
prednisolone, 0.1%
dexamethasone, or 0.1%
betamethasone daily may be used.

Skleritis
Skleritis merupakan peradangan sclera profunda yang
disertai dengan gejala fotofobia, lakrimasi, nyeri bola
mata.
Nyeri bersifat konstan dan tumpul, bola mata juga
terasa nyeri
Tanda utama skleritis adanya adanya bagian mata yang
berwarna ungu gelap akibat dilatasi pleksus vascular
profunda di sclera dan episklera.
Skleritis terjadi bilateral pada 1/3 kasus, lebih banyak
pada wanita; timbul pada dekade ke-5 sampai ke-6
Sering dijumpai keratitis atau uveitis.

Causes and Systemic Associations of Scleritis


1. Rheumatoid arthritis
2. Connective tissue disorders
Wegener granulomatosis
Polyteritis nodosa
Systemic lupus erythematosus

3. Miscellaneous
Relapsing polychondritis
Herpes zoster ophthalmicus
Surgically induced

Necrotizing scleritis with inflammation


Painful and most severe type
Complications - uveitis, keratitis, cataract and glaucoma
Progression

Avascular patches

Scleral necrosis and


visibility of uvea

Spread and coalescence


of necrosis

Treatment

Oral steroids
Immunosuppressive agents (cyclophosphamide, azathioprine, cyclosporin)
Combined intravenous steroids and cyclophosphamide if unresponsive

Applied anatomy of vascular coats


Normal

Episcleritis

Radial superficial episcleral Maximal congestion


vessels
of episcleral vessels
Deep vascular plexus
adjacent to sclera

Scleritis

Maximal congestion of
deep vascular plexus
Slight congestion of
episcleral vessels

66. Konjungtivitis
Conjunctivitis is swelling (inflammation) or infection of
the membrane lining the eyelids (conjunctiva)
Pathology

Etiology

Feature

Treatment

Bacterial

staphylococci
streptococci,
gonocci
Corynebacter
ium strains

Acute onset of redness, grittiness, topical antibiotics


burning sensation, usually bilateral Artificial tears
eyelids difficult to open on waking,
diffuse conjungtival injection,
mucopurulent discharge, Papillae
(+)

Viral

Adenovirus
herpes
simplex virus
or varicellazoster virus

Unilateral watery eye, redness,


discomfort, photophobia, eyelid
edema & pre-auricular
lymphadenopathy, follicular
conjungtivitis, pseudomembrane
(+/-)

http://www.cdc.gov/conjunctivitis/about/treatment.html

Days 3-5 of worst, clear


up in 714 days without
treatment
Artificial tears relieve
dryness and inflammation
(swelling)
Antiviral herpes simplex
virus or varicella-zoster
virus

Pathology

Etiology

Feature

Treatment

Fungal

Candida spp. can


cause
conjunctivitis
Blastomyces
dermatitidis
Sporothrix
schenckii

Not common, mostly occur in


immunocompromised patient,
after topical corticosteroid and
antibacterial therapy to an
inflamed eye

Topical antifungal

Vernal

Allergy

Chronic conjungtival bilateral


inflammation, associated atopic
family history, itching,
photophobia, foreign body
sensation, blepharospasm,
cobblestone pappilae, Hornertrantas dots

Removal allergen
Topical antihistamine
Vasoconstrictors

Inclusion

Chlamydia
trachomatis

several weeks/months of red,


irritable eye with mucopurulent
sticky discharge, acute or
subacute onset, ocular irritation,
foreign body sensation, watering,
unilateral ,swollen lids,chemosis
,Follicles

Doxycycline 100 mg PO
bid for 21 days OR
Erythromycin 250 mg
PO qid for 21 days
Topical antibiotics

Conjunctivitis

Follicles

Papillae

Redness

Chemosis

Purulent discharge

67. Trichiasis
Suatu kelainan dimana bulu mata
mengarah pada bola mata yang
akan menggosok kornea atau
konjungtiva
Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain seperti
pemfigoid, trauma kimia basa dan
trauma kelopak lainnya, blefaritis,
trauma kecelakaan, kontraksi
jaringan parut di konjungtiva dan
tarsus pada trakoma
Gejala :
Konjungtiva kemotik dan hiperemi,
keruh
Erosis kornea, keratopati dan ulkus
Fotofobia, lakrimasi dan terasa
seperti kelilipan
blefarospasme

Trichiasis
Tatalaksana:
Yang utama: bedah
Lubrikan seperti artificial tears dan salep
untuk mengurasi iritasi akibat gesekan
Atasi penyakit penyebab trikiasis, cth SSJ,
ocular cicatrical pemphigoid)

Tatalaksana Bedah trikiasis


segmental (fokal)
Epilasi: dengan forsep dilakukan
pencabutan beberapa silia yang salah
letak, dilakukan 2-3 kali. Biasanya dicoba
untuk dilakukan epilasi terlebih dahulu.
Trikiasis bisa timbul kembali.
Elektrolisis/ elektrokoagulasi, ES: nyeri
Bedah beku (krioterapi): banyak
komplikasi
Ablasi denga radiofrekuensi: sangat
efektif, cepat , mudah, bekas luka minimal

Tatalaksana bedah
untuk trikiasis yg
disebabkan krn
kelainan anatomi:
Entropion: dilakukan
tarsotomi
Posterior lamellar
scarring: Grafting

68. TRAUMA KIMIA MATA


Merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat terpaparnya bahan
kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola
mata tersebut
Keadaan kedaruratan oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada
mata, baik ringan, berat bahkan sampai kehilangan penglihatan
Etiologi : 2 macam bahan yaitu yang bersifat asam (pH < 7) dan yang
bersifat basa (pH > 7,6)
Pemeriksaan Penunjang :

Kertas Lakmus : cek pH berkala


Slit lamp : cek bag. Anterior mata dan lokasi luka
Tonometri
Funduskopi direk dan indirek

http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf

Klasifikasi Hughes pada Trauma Kimia

Derajat I
Prognosis baik.
Terdapat erosi epitel kornea
(kornea Jernih)
Tidak ada iskemia dan nekrosis
kornea. ataupun konjungtiva

Derajat II
Prognosa baik
Pada kornea terdapat kekeruhan
yang ringan. kornea berkabut
dengan gambaran iris yang masih
terlihat
Iskemia < 1/3 limbus

Klasifikasi Hughes pada Trauma Kimia

Derajat III
Prognosis kurang
epitel kornea hilang total, stroma
berkabut dengan gambaran iris & pupil
tidak jelas
Terdapat iskemia 1/3 sampai limbus &
nekrosis ringan kornea dan konjungtiva

Derajat IV
Prognosis buruk
Kekeruhan kornea yang opak,
pupil tidak dapat dilihat
Konjungtiva dan sclera pucat.
Iskemia > limbus

TRAUMA KIMIA MATA


TRAUMA BASA LEBIH BERBAHAYA DIBANDINGKAN ASAM; gejala: epifora, blefarosasme, nyeri

Trauma Asam :
Bahan asam mengenai mata maka
akan segera terjadi koagulasi protein
epitel kornea yang mengakibatkan
kekeruhan pada kornea, sehingga bila
konsentrasi tidak tinggi maka tidak
akan bersifat destruktif
Biasanya kerusakan hanya pada
bagian superfisial saja
Bahan kimia bersifat asam : asam
sulfat, air accu, asam sulfit, asam
hidrklorida, zat pemutih, asam
asetat, asam nitrat, asam kromat,
asam hidroflorida

Trauma Basa :
Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel
dan terjadi proses safonifikasi, disertai
dengan dehidrasi
Basa akan menembus kornea, kamera
okuli anterior sampai retina dengan
cepat, sehingga berakhir dengan
kebutaan.
Pada trauma basa akan terjadi
penghancuran jaringan kolagen kornea.
Lebih sering menyebabkan glaukoma
Bahan kimia bersifat basa: NaOH, CaOH,
amoniak, Freon/bahan pendingin lemari
es, sabun, shampo, kapur gamping,
semen, tiner, lem, cairan pembersih
dalam rumah tangga, soda kuat.

http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf

TRAUMA KIMIA MATA - TATALAKSANA


Tatalaksana Emergensi :
Irigasi : utk meminimalkan
durasi kontak mata dengan
bahan kimia dan
menormalkan pH mata; dgn
larutan normal saline (atau
setara)
Double eversi kelopak mata :
utk memindahkan material
Debridemen : pada epitel
kornea yang nekrotik

Tatalaksana Medikamentosa :
Steroid : mengurangi
inflamasi dan infiltrasi
neutrofil
Siklopegik : mengistirahatkan
iris, mencegah iritis (atropine
atau scopolamin) dilatasi
pupil
Antibiotik : mencegah infeksi
oleh kuman oportunis

http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf; Ilmu Penyakit Mata, Sidarta Ilyas

TRAUMA KIMIA MATA TATALAKSANA

Removing the offending agent

Immediate copious irrigation

Prophylactic topical antibiotics

Controlling IOP

Inflammatory inhibits reepithelialization


and increases the risk of corneal ulceration
and perforation
Topical steroids
Ascorbate (500 mg PO qid)

Preventing infection

artificial tears
Ascorbate collagen remodeling
Placement of a therapeutic bandage contact
lens until the epithelium has regenerated

Controlling inflammation

Pain relief Topical anesthetic

Promoting ocular surface(epithelial)healing

With a sterile balanced buffered solution


normal saline solution or ringer's lactate
solution
Until the ph (acidity) of the eye returns to
normal

In initial therapy and during the later


recovery phase, if IOP is high (>30 mm Hg)

Control pain

Cycloplegic agents ciliary spasm


Oral pain medication

69. Conjunctivitis

Konjungtivitis Inklusi
Disebabkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis, biasanya
terdapat pada dewasa muda yang aktif secara seksual.
Gejala dan tanda :
Mata merah, pseudoptosis, bertahi mata (terutama pagi hari)
Papila dan folikel pada kedua konjungtiva tarsus (terutama inferior)
Keratitis superfisial mungkin ditemukan tapi jarang

CHLAMYDIAL KONJUNGTIVITIS
EPIDEMIOLOGY
Adult chlamydial conjunctivitis is a
sexually transmitted disease (STD)
All ages but particularly young adults
More women than men affected C.
trachomatis serotypes D-K
Histopathology: basophilic intracytoplasmic
epithelial inclusion bodies (on Giemsa
staining)
SYMPTOMS
Unilateral or bilateral involvement
Purulent discharge, crusting of lashes,
swollen lids, or lids "glued together"
Patient may also complain of:
red eyes
irritation
tearing
photophobia
blurred vision

SIGNS
Preauricular lymphadenopathy
Mucopurulent discharge
Conjunctival injection
Chemosis
Follicular reaction (especially bulbar or
plica semilunaris follicles)
Superior micropannus
Fine or coarse epithelial or subepithelial
corneal infiltrates
TREATMENT
Options include one of the following:
Azithromycin 1000mg single dose
Doxycycline 100mg BID for 7 days
Tetracycline 100mg QID x 7 days (avoid in
pregnant women and in children)
Erythromycin 500 mg QID x 7 days
Patient and sexual contacts should be
evaluated and treated for other STDs.

http://www.aao.org/theeyeshaveit/red-eye/chlamydial-conjunctivitis.cfm

Etiologi

Diagnosis

Karakteristik

Viral

Konjungtivitis folikuler
akut

Merah, berair mata, sekret minimal, folikel sangat


mencolok di kedua konjungtiva tarsal

Klamidia

Trachoma

Seringnya pd anak, folikel dan papil pd konjungtiva


tarsal superior disertai parut, perluasan pembuluh
darah ke limbus atas

Konjungtivitis inklusi

Mata merah, sekret mukopurulen (pagi hari), papil


dan folikel pada kedua konjungtiva tarsal (terutama
inferior)

Konjungtivitis vernalis

Sangat gatal, sekret berserat-serat, cobblestone pd


konjungtiva tarsal superior, horner-trantas dots
(limbus)

Konjungtivitis atopik

Sensasi terbakar, sekret berlendir, konjungtiva


putih spt susu, papil halus pada konjungtiva tarsal
inferior

Konjungtivitis
fliktenularis

Reaksi hipersensitif tersering akibat protein TB,


nodul keabuan di limbus atau konjungtiva bulbi,
mata merah dan berair mata

Keratokonjungtivitis sicca

Akibat kurangnya film air mata, tes shcirmer


abnormal, konjungtiva bulbi hiperemia, sekret
mukoid, semakin sakit menjelang malam dan
berkurang pagi

Alergi/hipersensitivitas

Autoimun

70. Computer Vision Syndrome


One important cause of asthenopia.
A group of eye & vision related problems that result from prolonged
computer use.
When we concentrate on the computer, we tend to blink less the eyes
tend to get dry The tear film stability decreases, eyes get itchy & red.
Concentrating at a short working distance also tends to cause varying
degrees of ciliary spasm increases the eye strain & causes pain in &
around the eyes.
Improper sitting position during work with bending forwards to get clear
screen images, aggravates the problems of headache, neck pain &
backache.
Other various factors in the working environment:

Inadequate lighting in the room


Improper angulation of the monitor screen
Dust on the screen, causes more glare
Increased air conditioning/ direct air blowing from fan
Decreased hydration busy working hours leads to decreased drinking of water,
that increases dry eye .

Symptoms
Symptoms range from mild discomfort to severe
headaches.
Tired, dry eyes
Watering
Burning sensation
Redness, itching
Induced by accomodation & convergence

Pain in & around the eyes


Headache
Neck pain
Twitching around the eye (Myokymia)

Maintain a good posture


Keep the screen at an angle of 20 degrees
Avoid direct light falling on the screen
Clean the monitor of dust
Take short breaks at regular intervals
Use antiglare protector for screen or eyes as is
comfortable
20-20-20 RULE:
Every 20 minutes take a break for 20 seconds & shift your
focus from the screen to objects that are at a distance of
20feet or more or give a slight massage to the eyes.

NEUROLOGI

71. Spondilitis TB

72. Tekanan Intra Kranial


Normal : 4-14 mmHg.
Tekanan intrakranial
diatas 20mmHg :
kerusakan otak.
Doktrin Monro-Kellie.
Isi kavitas kranial : otak,
darah, & cairan
cerebrospinal.

Doktrin Monro-Kellie

Kompliance Otak : Tekanan Intrakranial ~ Volume


Intrakranial.

TTIK kerusakan otak.


Lesi massa fokal pergeseran garis tengah dan
herniasi otak.
4 macam herniasi otak :
1. herniasi subfalcine
2. herniasi uncal
3. herniasi transtentorial
4. herniasi tonsillar

Tekanan perfusi otak : pertukaran oksigen dan nutrisi


dari pembuluh darah ke jaringan otak.
Tekanan Perfusi Otak =
Tekanan Arteri Rata-Rata Tekanan Intrakranial.

Tekanan intrakranial > 30 mmHg


Tekanan arteri rata-rata < 90 mmHg
Tekanan perfusi otak < 50 mmHg

Morbiditas dari penderita.

Herniasi Otak

Types of brain herniation[3]


1) Uncal 2) Central 3)
Cingulate 4) Transcalvarial
5) Upward 6) Tonsillar

PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK


Cedera otak primer : iskemia & berbagai perubahan
fisiologis & metabolik akibat langsung trauma.
Cedera otak sekunder dapat terjadi sesaat setelah
trauma terjadi atau sebagai akibat dari cedera otak
primernya tersebut.

Cedera otak primer

Insult sekunder

Cedera otak sekunder.


Mencegah terjadinya cedera otak sekunder.

Pengelolaan peningkatan TIK


Tindakan umum

Elevasi kepala 30

Meningkatkan venous return CBV menurun TIK turun

Hiperventilasi ringan

Menyebabkan PCO2 vasokonstriksi CBV TIK

Pertahankan tekanan perfusi otak


(CPP) > 70 mmHg
(CPP=MAP-ICP)

Pertahankan normovolemia

Tidak perlu dilakukan dehidrasi, karena menyebabkan CPP


hipoperfusi iskemia

Pertahankan normothermia

Suhu dipertahankan 36-37C


Terapi hipothermia (ruangan berAC)
Setiap kenaikan suhu tubuh 1C meningkatkan kebutuhan cairan
10%
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006

Pencegahan kejang
Diphenil hidantoin loading dose 13-18mg/kgBB
diikuti dosis pemeliharaan 6-8mg/kgBB/hari

Diuretika
Menurunkan produksi CSS
Tidak efektif dalam jangka lama

Kortikosteroid
Tidak dianjurkan untuk cedera otak
Bermanfaat untuk anti edema pada peningkatan TIK
non trauma, misal tumor/abses otak
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006

Manitol
Osmotik diuresis, bekerja intravaskuler pada BBB
yang utuh
Efek
Dehidrasi (osmotik diuresis)
Rheologis
Antioksidan (free radical scavenger)

Dosis 0,25-1g/kgBB/pemberian, diberikan 46x/hari


Diberikan atas indikasi:
Ada tanda klinis terjadinya herniasi
Klinis & radiologis TIK meningkat

Terapi primer peningkatan TIK


Evakuasi/eksisi massa (hematoma)
Kraniotomi
Memperbaiki BBB
Mengurangi penekanan CBF iskemia

Drainase CSS
Dengan ventrikulostomi
100-200 cc/hari

73. Radikulopati
Radikulopati adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan gangguan
fungsi dan struktur radiks akibat proses patologik yang dapat mengenai
satu atau lebih radiks saraf dengan pola gangguan bersifat dermatomal.
Etiologi
Proses kompresif, Kelainan-kelainan yang bersifat kompresif sehingga
mengakibatkan radikulopati adalah seperti : hernia nucleus pulposus
(HNP) atau herniasi diskus, tumor medulla spinalis, neoplasma tulang,
spondilolisis dan spondilolithesis, stenosis spinal, traumatic dislokasi,
kompresif fraktur, scoliosis dan spondilitis tuberkulosa, cervical
spondilosis
Proses inflammatori, Kelainan-kelainan inflamatori sehingga
mengakibatkan radikulopati adalah seperti: Gullain-Barre Syndrome
dan Herpes Zoster
Proses degeneratif, Kelainan-kelainan yang bersifat degeneratif
sehingga mengakibatkan radikulopati adalah seperti Diabetes Mellitus

Tipe-tipe Radikulopati

Radikulopati lumbar
Radikulopati lumbar merupakan problema yang sering terjadi yang disebabkan
oleh iritasi atau kompresi radiks saraf daerah lumbal. Ia juga sering disebut
sciatica. Gejala jarang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa sebab seperti
bulging diskus (disk bulges), spinal stenosis, deformitas vertebra atau herniasi
nukleus pulposus. Radikulopati dengan keluhan nyeri pinggang bawah sering
didapatkan (low back pain)
Radikulopati cervical
Radikulopati cervical umunya dikenal dengan pinched nerve atau saraf terjepit
merupakan kompresi [ada satu atau lebih radix saraf uang halus pada leher.
Gejala pada radikulopati cervical seringnya disebabkan oleh spondilosis cervical.
Radikulopati torakal
Radikulopati torakal merupakan bentuk yang relative jarang dari kompresi saraf
pada punggung tengah. Daerah ini tidak didesain untuk membengkok sebanyak
lumbal atau cervical. Hal ini menyebabkan area thoraks lebih jarang
menyebabkan sakit pada spinal. Namun, kasus yang sering yang ditemukan pada
bagian ini adalah nyeri pada infeksi herpes zoster.

Lasegues Test
Prosdur: pasien supine. Fleksikan sendi
pinggul pasien dengan lutut tertekuk. Jaga
pinggul tetap dalam keadaan fleksi, kemudian
ekstensikan tungkai bawah.
Tes positif: radikulopati sciatik (+), jika:
Nyeri tidak ada pada kondisi pinggul dan lutut
fleksi.
Nyeri muncul saat pinggul fleksi, dan kemudian
lutut diekstensikan.

Lasegues Test

Bragards Test
Prosedur: pasien supine. Kaki pasien lurus
kemudian elevasi hingga titik dimana rasa nyeri
dirasakan. Turunkan 5o dan dorsofleksi kaki.
Positive Test: nyeri akibat traksi nervus sciatik.
Nyeri dengan dorsiflexion 0 to 35 extradural
sciatic nerve irritation.
Nyeri dengan dorsiflexion from 35 70 intradural
problem (usually IVD lesion).
Nyeri tumpul paha posterior - tight hamstring.

Bragards Test

Lhermittes Test (or Phenomenon)


Sensasi seperti tersengat listrik
yang menjalar ke secara radikuler
menuju ke arah bawah sepanjang
medula spinalis atau dapat pula
menjalar ke arah ekstrimitas yang
muncul saat dilakukan fleksi pada
leher (Lhermitte sign +).
Hasil positif didapatkan pada
pasien dengan keterlibatan
cervical cord atau spondilitis
servikal, juga pada pasien dengan
tumor dan multiple sklerosis.

Patrick Test (FABER) and contra-patrick test


Deteksi kondisi patologis dari sendi paggul dan sakroiliaka.
Pemeriksaan (+) jika terasa nyeri pada salah satu atau kedua
sendi tersebut.

Patrick Test

Contra-patrick Test

74. Parkinson
Parkinson:
Penyakit neuro degeneratif karena gangguan pada ganglia
basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman
dopamine dari substansia nigra ke globus palidus.
Gangguan kronik progresif:
Tremor resting tremor, mulai pd tangan, dapat meluas hingga
bibir & slrh kepala
Rigidity cogwheel phenomenon, hipertonus
Akinesia/bradikinesia gerakan halus lambat dan sulit, muka
topeng, bicara lambat, hipofonia
Postural Instability berjalan dengan langkah kecil, kepala dan
badan doyong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan sendiri

Hemibalismus/sindrom balistik
Gerakan involunter ditandai secara khas oleh
gerakan melempar dan menjangkau keluar yang
kasar, terutama oleh otot-otot bahu dan pelvis.
Terjadi kontralateral terhadaplesi

Chorea Huntington
Gangguan herediter autosomal dominan, onset
pada usia pertengahan dan berjalan progresif
sehingga menyebabkan kematian dalam waktu 10
12 tahun

Parkinson Disease
Gejala dan Tanda Parkinson
Gejala awal tidak spesifik
Nyeri
Gangguan tidur
Ansietas dan depresi
Berpakaian menjadi lambat
Berjalan lambat

Gejala Spesifik
Tremor
Sulit untuk berbalik badan
di kasur
Berjalan menyeret
Berbicara lebih lambat

Tanda Utama Parkinson :


1. Rigiditas
2. Bradykinesia

: peningkatan tonus otot


: berkurangnya gerakan spontan (kurangnya kedipan mata, ekspresi
wajah berkurang, ayunan tangan saat berjalan berkurang ), gerakan
tubuh menjadi lambat terutama untuk gerakan repetitif
3. Tremor
: tremor saat istirahat biasanya ditemukan pada tungkai, rahang dan
saat mata agak menutup
4. Gangguan berjalan dan postur tubuh yang membungkuk

Penatalaksanaan Parkinson

Prinsip pengobatan parkinson adalah


meningkatkan aktivitas dopaminergik di
jalur nigrostriatal dengan memberikan :
Levodopa diubah menjadi dopamine
di substansia nigra
Antagonis dopamine
Menghambat metabolisme dopamine
oleh monoamine oxydase dan cathecolO-methyltransferase
Obat- obatan yang memodifikasi
neurotransmiter di striatum seperti
amantadine dan antikolinergik

Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology 4th edition. 2005

75. Epilepsi
Definisi: suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang akibat dari
adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.
Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010

Kejang
Kejang merupakan perubahan fungsi otak
mendadak dan sementara sebagai dari
aktivitas neuronal yang abnormal dan
pelepasan listrik serebral yang berlebihan.
(Betz & Sowden,2002)

Manifestasi Klinik
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a) Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat
mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
Tanda tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi .
Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan jtuh dari udara, parestesia.
Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
Kejang tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.

b) Parsial kompleks
Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku

2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )


a) Kejang absens
Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b) Kejang mioklonik
Kedutan kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron
dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c) Kejang tonik klonik
Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang
tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d) Kejang atonik
Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala
menunduk,atau jatuh ke tanah.
Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

EEG
Elektro Enselo Grafi (EEG) adalah suatu alat yang
mempelajari gambar dari rekaman aktifitas listrik
di otak, termasuk teknik perekaman EEG dan
interpretasinya.
Pembacaan EEG oleh dokter dijadikan acuan
untuk tindakan dan penanganan selanjutnya
kepada pasien.
Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk
membantu menetapkan jenis dan focus dan
kejang.

Epilepsy - Classification
Focal seizures account
-

for 80% of adult epilepsies


Simple partial seizures
Complex partial seizures
Partial seizures secondarilly
generalised

Generalised seizures
(include absance
type)
Unclassified seizures

Pemilihan OAE pada Remaja dan Dewasa


Tipe Bangkitan

Lini 1

Lini 2

Lini 3

Lena

VPA
LTG

ESM

LEV
ZNS

Mioklonik

VPA

TPM
LEV
ZNS

LTG
CLB
CZP
PB

Tonik Klonik

VPA
CBZ
PHT
PB

LTG
OXC

TPM
LEV
ZMS
PRM

Atonik

VPA

LTG
TPM

FBM

Parsial

CBZ
PHT
PB
OXC
LTG
TPM
GBP

VPA
LEV
ZNS
PGB

TGB
VGB
FBM
PRM

Unclassified

VPA

LTG

TPM
LEV
ZNS

CBZ: carbamazepine,
CLB: clobazam
CZP: clonazepam
ESM: ethosuximide
FBM: falbamate
GBP: gabapentine
LEV: Levetiracetam
LTG: lamotrigine
OXC: oxcarbamazepine
PB: phenobarbital
PGB: pregabalin
PHT: phenytoin
PRM: pirimidon
TGB: tiagabine
VGB: vigabatrine
VPA: sodium valproate
ZNS: zonisamide

Pemilihan OAE pada Anak


Tipe Bangkitan

Lini 1

Lini 2

Lini 3

Lena

VPA
LTG

ESM

LEV
ZNS

Mioklonik

VPA

TPM
ZNS

LTG
CLB
PB

Tonik Klonik

VPA
CBZ
PB

LTG
TPM
PHT

ZMS
OXC
LEV

Parsial

CBZ
VPA
PB

LTG
TPM
OXC
ZNS

CLB
PHT
GBP
LEV

Spasme Infantil

VGB
ACTH

VPA
NTZ

LTG
ZNS
TPM

Lennox-gastaut

VPA

LTG
TPM

CLB
FBM

Unclassified

VPA

LTG

TPM
LEV
ZNS

ACTH: adrenocorticotropic hormone


CBZ: carbamazepine,
CLB: clobazam
CZP: clonazepam
ESM: ethosuximide
FBM: falbamate
GBP: gabapentine
LEV: Levetiracetam
LTG: lamotrigine
NTZ: nitrazepam
OXC: oxcarbamazepine
PB: phenobarbital
PGB: pregabalin
PHT: phenytoin
PRM: pirimidon
TGB: tiagabine
VGB: vigabatrine
VPA: sodium valproate
ZNS: zonisamide

Penghentian OAE
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa
kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara
bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa
penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang
penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni,
1. Syarat umum yang meliputi :
Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana
penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
Gambaran EEG normal
Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6bulan.
Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.

Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE


Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG abnormal
Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
Penggunaan OAE lebih dari 1
Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian
evaluasi.

Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010

76. Tension Type Headache


(TTH) adalah sakit kepala yang terasa seperti
tekanan atau ketegangan di dalam dan disekitar
kepala.
Nyeri kepala karena tegang yang menimbulkan
nyeri akibat kontraksi menetap otot- otot kulit
kepala, dahi, dan leher yang disertai dengan
vasokonstriksi ekstrakranium.
Nyeri ditandai dengan rasa kencang seperti pita di
sekitar kepala dan nyeri tekan didaerah
oksipitoservikalis.
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.

Menurut International Headache Society Classification, TTH


terbagi atas 3 yaitu:
Episodik tension-type headache,
Chronik-tension type Headache, dan
Headache of the tension type not fulfilling above criteria
Etiologi
Tension (keteganggan) dan stress.
Tiredness (Kelelahan).
Ansietas (kecemasan).
Lama membaca, mengetik atau konsentrasi
(eye strain)
Posture yang buruk.
Jejas pada leher dan spine.
Tekanan darah yang tinggi.
Physical dan stress emotional
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.

Diagnosis TTH
Diagnosis nyeri kepala sebahagian besar didasarkan atas keluhan, maka
anamnesis memegang peranan penting.
Dari anamnesis, biasanya gejala terjadinya TTH terjadi setiap hari dan
terjadi dalam 10 kali serangan dalam satu hari.
Durasi atau lamanya TTH tersebut dapat terjadi selama antara 30 menit
sampai dengan 7 hari.
Nyerinya dapat bersifat unilateral atau bilateral, dan pada TTH tidak
adanya pulsating pain serta intensitas TTH biasanya bersifat ringan.
Pada TTH pun terdapat adanya mual, muntah dan kelaian visual seperti
adanya fonofobia dan fotofobia
Pemeriksaan tambahan pada TTH adalah pemeriksaan umum seperti
tekanan darah, fungsi cirkulasi, fungsi ginjal, dan pemeriksaan lain seperti
pemeriksaan neurologi (pemeriksaan saraf cranial, dan intracranial
particular), serta pemeriksaan lainnya, seperti pemeriksaan mental status.
Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi (foto rontgen, CT Scan), Elektrofisiologik (EEG, EMG)
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.

Tatalaksana
TTH umumnya mempunyai respon yang baik
dengan pemberian analgesik seperti ibuprofen,
parasetamol / asetaminofen, dan aspirin.
Kombinasi Analgesik/sedative digunakan secara
luas (contoh , kombinasi analgesik/antihistamine
seperti Syndol, Mersyndol and Percogesic).
Pengobatan lain pada TTH
termasuk amitriptyline / mirtazapine /
dan sodium valproate (sebagai profilaksi).
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.

77. Meningoensefalitis TB
Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan
piamater yang dapat terjadi secara akut dan kronis.
Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak.
Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan
pada meningen dan otak yang disebabkan oleh
Mikobakterium tuberkulosis (TB).
Penderita dengan meningoensefalitis dapat
menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan
ensefalitis.

Patologi

Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi
otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi
eksudat gelatinous.
Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara
mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear
(PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang
fibrin.
Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah
ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi
fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang
berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark
serebral karena iskemia.
Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus
obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen
luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang akan
semakin menyumbat.
Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan karakteristik dari
menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB.

Gejala klinis meningitis TB dibagi 3 stadium:


Stadium I : Stadium awal (2-3 minggu)
Gejala prodromal non spesifik : apatis, iritabilitas, nyeri
kepala, malaise, demam, anoreksia
Stadium II : Intermediate (transisi 1-3 minggu)
Gejala menjadi lebih jelas: mengantuk, kejang
Defisit neurologik fokal : hemiparesis, paresis saraf
kranial(terutama N.III dan N.VII, gerakan involunter
Hidrosefalus, papil edema
Stadium III : Advanced ( 3 minggu setelah gejala awal)
Penurunan kesadaran
Disfungsi batang otak, dekortikasi, deserebrasi

Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :8


1. Anamnese: ditegakkan berdasarkan gejala klinis, riwayat kontak dengan
penderita TB
2. Lumbal pungsi:
Gambaran LCS pada meningitis TB : Warna jernih / xantokrom, jumlah Sel
meningkat MN > PMN, Limfositer, protein meningkat, glukosa menurun
<50 % kadar glukosa darah.
Pemeriksaan tambahan lainnya : Tes Tuberkulin, Ziehl-Neelsen ( ZN ), PCR
3. Rontgen thorax: TB apex paru, TB milier
4. CT scan otak
Penyengatan kontras ( enhancement ) di sisterna basalis
Tuberkuloma : massa nodular, massa ring-enhanced
Komplikasi : hidrosefalus
5. MRI
Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi
Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam
kultur CSS. Namun pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang
lama dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari
penderita

Regimen terapi: 2RHZE / 7-10RH


Indikasi Steroid : Kesadaran menurun, defisit
neurologist fokal
Dosis steroid : Deksametason 10 mg bolus
intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena
selama 2 minggu selanjutnya turunkan
perlahan selama 1 bulan.

CSF Finding in Meningitis

Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Am Fam Physician. 2010;82(12):1491-1498

78. Head Injury

78. Airway Management

ATLS Coursed 9th Edition

Cervical in-lin immobilization

Indikasi Airway definitif

Krikotirotomy
Suatu insisi untuk
mengamankan jalan nafas
pasien selama situasi keadaan
darurat tertentu, misalnya
adanya benda asing di saluran
nafas, edema saluran nafas,
pasien yang tidak mampu
bernafas dengan sendiri
secara adekuat, atau pada
kasus trauma berat wajah
yang menghalangi masuknya
endotrakeal tube melalui
mulut.

TEKNIK KRIKOTIROTOMI :
Pasien tidur terlentang, kepala ekstensi
Cari daerah antara puncak tulang rawan tiroid
dan kartilago krikoid
Infiltrasi dengan anastetikum
Buat sayatan
Tusukkan pisau dengan arah ke bawah
Masukkan kanul atau bila tidak tersedia bisa
pipa plastik untuk sementara

LEBIH DARI 24 JAM

MENGIRITASI JARINGAN DI SEKITAR SUBGLOTIS

TERBENTUK JARINGAN GRANULASI

STENOSIS SUBGLOTIK

79. Etiologi Stroke:


1. Stroke Hemoragik
a. Intra cerebral hemoragik (ICH)
OK : Hypertensi, Aneurysma dan arterioveneus Malformasi (AVM)
b. Sub Arachnoid Hemoragik (SAH)

diagnosis medis : CT brain scan


2. Stroke Non Hemoragik (Iskemik)
OK : Arteriosklerosis & sering dikaitkan dengan : DM,

Hypercolesterolemia, Asam urat, hyperagregasi trombosit


3. Emboli Sumber dari tronkus di arteria carotis communis di jantung
Lepas trombus embolus otak.

Vaskularisasi Otak
1. Sistem Karotis Sinistra dan Dextra
- Masuk Cavum Cranii
Carotis Interna Carotis Cerebre Media
2. Sistem Vertebra Basilaris

3. Sistem Vaskularisasi Yang Terganggu Menentukan Topis


Lesi

Intracerebral Haemorrhage

Subarachnoid Haemorrhage

80. Cerebellum
Terdiri dari 2 hemisfer yg dihubungkan oleh vermis
Terbagi atas 3 lobus:
1. Lobus anterior
corpus cerebelli
2. Lobus posterior
3. Lobus flokulonodularis
Fungsi Cerebellum:
1. Koordinasi gerakan volunter
2. Keseimbangan tubuh
3. Tonus otot
4. Mekanisme memori & motor learning

Control of body posture &


equilibrium.

Friday, January 01, 2016

Control of muscle tone & stretch


reflex.

Friday, January 01, 2016

Control of voluntary movements.

Friday, January 01, 2016

Signs of cerebellar dysfunction.


Tone & posture disturbance
Atonia or hypotonia
Attitude changes.
Rotation of face to opposite side
Lowering of shoulder.
Outward rotation & abduction of leg.

Deviation movements.
Effect on deep reflexes. (weak & pendular)

Friday, January 01, 2016

Signs of cerebellar dysfunction.


Equilibrium disturbance. (drunken gait)
Movements disturbance.
Ataxia
Intention tremors
Nystagmus.
Dysarthria.
Astasia.

Friday, January 01, 2016

Clinical tests of cerebellar


dysfunction.
Upper limb

Finger nose test


Diadokokinesia.
Rebound phenomenon.
Past pointing.

Friday, January 01, 2016

Lower limb.
Rombergs test.
Tandem gait.

Tests .

Friday, January 01, 2016

81. Cedera Medulla Spinalis


Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf
yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan
sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang
vertebra.
Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis,
masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari
tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat
terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan
sementara ataupun permanen terjadi akibat dari
kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut
sebagai cedera medula spinalis.

PATOFISIOLOGI
Kompresi karena tulang,
ligamen,herniasi diskus intervertebralis
& hematom
paling berat akibat kompresi tulang, trauma hiperekstensi corpus
dislokasi ke posterior.

Regangan jaringan.biasanya terjadi pada hiperpleksi,


toleransi medula spinalis terhadap regangan tergantung usia

Edema.timbul segera setelah trauma


Sirkulasi terganggu.

PATOFISIOLOGI
2 jam pasca cedera terjadi invasi sel-sel
inflamasi dimulai oleh microglia dan leukosit
polimorfonuklear.
4 jam pasca cedera hampir separuh medula
spinalis menjadi nekrotik.
6 jam pasca cedera terjadi edema primer
vaskogenik.
48 jam terjadi edema dan nekrotik krossektional pada tempat cedera.

Manifestasi lesi traumatik


Komusio ,Kontusio,Laserasio,Perdarahan
Kompresi, Hemiseksi ,Transeksi medula spinalis
Sindrom medula spinalis bagian anterior &
posterior
Shok spinal
Aktivitas refleks yg meningkat

Transeksi medula spinalis akan terjadi


masa Spinal Shok
Semua gerakan volunter dibawah lesi hilang
secara mendadak
Semua sensibilitas bawah lesi hilang
Semua refleks hilang.
Berlangsung 3-6 mg

KLASIFIKASI
ASIA (American Spinal Injury Association) dan
IMSOP (International Medical Society of
Paraplegia) pada tahun 1990 dan 1991.
Berdasarkan fungsi:
Berdasarkan tipe dan lokasi:

Berdasarkan fungsi:
Grade A complete : tidak ada fungsi
motorik atau sensorik sampai sefmen
S4-S5
Grade B incomplete : tidak ada fungsi
sensorik tapi fingsi motorik masik ada
di bawah level cedera spinal sampai
segmen S4-S5

Berdasarkan fungsi:
Grade C incomplete : fungsi motorik
masih ada dibawah level cedera spinal dan
sebagian besar 10 otot ektrimitas dibawah
level cedera spinal mempunyai kekuatan
motorik <3
Grade D incomplete : idem grade C, tapi
kekuatan motorik 3
Grade E normal : fungsi motorik dan
sensorik normal

Berdasarkan tipe dan lokasi:


Incomplete spinal cord injury : ASIA/IMSOP grade B, C, dan D :
Cervico-Medullary Syndrome
Central Cord Syndrome
Anterior Cord Syndrome
Posterior Cord Syndrome
Brown-Sequard Syndrome
Conus Medullaris Syndrome
Complete cauda equina injury : ASIA/AMSOP grade A
Incomplete cauda equina injury : ASIA/IMSOP grade B, C dan
D.

GEJALA KLINIK
Cervico-Medullary
Syndrome
Respiratory arrest,
hipotensi, tetraplegia.
C1 C4, ggn sensibilitas
wajah,
Lengan lebih berat dari
tungkai

Central cord syndrome


Gangguan motorik pada
ekstrimitas atas lebih berat
dari tungkai dengan
gangguan sensibilitas
sembuh spontan

Sacral sparing

GEJALA KLINIK
Anterior Cord Syndrome
Paralisis komplit yang
mendadak dengan
hiperestesia pada tingkat
lesi, dibawah lesi ada rasa
raba, merupakan kasus
yang harus dintervensi
operasi secara dini.

Posterior cord syndrome


Jarang ada, kelemahan dr
batas lesi kebawah
Gangguan proprioseptik

GEJALA KLINIK
Brown-sequard syndrome
Gangguan motorik dan
propioseptik sisi ipsilateral
dan gangguan sensasi rasa
suhu dan nyeri pada sisi
kontralateral
Cedera hiperekstensi

Conus Medullaris
syndrome
Daerah T11-T12 dan T12-L1
24% dari kasus
Gangguan lower motor
neuron, flaksid tungkai &
sfingter ani,
spastisitas(kronik).

Sensory Test/Dermatome
A dermatome : an area of skin that
is mainly supplied by a single spinal
nerve.
There are 8 cervical nerves (C1
being an exception with no
dermatome), 12 thoracic nerves, 5
lumbar nerves and 5 sacral nerves.
Each of these nerves relays
sensation (including pain) from a
particular region of skin to the
brain.
Supplied by sensory neurons that
arise from a spinal nerve ganglion.
Symptoms that follow a dermatome
(e.g. like pain or a rash) may
indicate a pathology that involves
the related nerve root
http://en.wikipedia.org/wiki/Dermatome_(anatomy)#Clinical_significance

Sensory Test/Dermatome

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum
1.Tentukan cedera medula spinalis akut?
2.Lakukan stabilisasi medula spinalis
3. Atasi gangguan fungsi vital yaitu airways, breathing
4.Perhatikan perdarahan dan sirkulasi,
hipotensi, shok neurogenik
5.Medical: methylprednisolon 30mg/kgBB iv bolus dalam
15 menit, dilanjutkan 5,4mg/kgBB iv hingga 24 jam bila
dosis inisial diberikan <3jam setelah trauma, atau hingga
48 jam bila dosis inisial diberikan 3-8jam post trauma. Di
atas 8 jam tidak ada pengaruh pemberian steroid.

82. Afasia
Kelainan yang terjadi karena kerusakan dari
bagian otak yang mengurus bahasa.
yaitu kehilangan kemampuan untuk
membentuk kata-kata atau kehilangan
kemampuan untuk menangkap arti kata-kata
sehingga pembicaraan tidak dapat
berlangsung dengan baik.

Afasia menimbulkan problem dalam bahasa


lisan (bicara dan pengertian) dan bahasa
tulisan (membaca dan menulis). Biasanya
membaca dan menulis lebih terganggu dari
pada bicara dan pengertian.
Afasia bisa ringan atau berat. Beratnya
gangguan tergantung besar dan lokasi
kerusakan di otak.

Pembagian Afasia :
1. Afasia Motorik (Broca)
2. Afasia Sensorik (Wernicke)
3. Afasia Global

Afasia Motorik :
- Terjadi karena rusaknya area Broca di
gyrus frontalis inferior.
- Mengerti isi pembicaraan, namun tidak
bisa menjawab atau mengemukakan
pendapat
- Disebut juga Afasia Expressif atau Afasia
Broca
- Bisa mengeluarkan 1 2 kata(nonfluent)

Afasia Sensorik
- Terjadi karena rusaknya area Wernicke di
girus temporal superior.
- Tidak mengerti isi pembicaraan, tapi bisa
mengeluarkan kata-kata(fluent)
- Disebut juga Afasia reseptif atau Afasia
Wernicke

Afasia Global
- Mengenai area Broca dan Wernicke
- Tidak mengerti dan tida bisa
mengeluarkan kata kata

83. ORBITA

RUANGAN BERBENTUK PIRAMIDA


APEX DI POSTERIOR
MEDIAL DIPISAHKAN HIDUNG
LATERAL DAN MEDIAL BENTUK SUDUT 45
LINGK. ANT < POST., UNTUK PROTEKSI
CAVUM ORBITA BERHUB. SINUS PARANASALIS

ORBITA ATAS SINUS FRONTALIS


ORBITA BAWAH SINUS MAKSILARIS
MEDIAL SIN. ETHMOIDALIS &
SPHENOIDALIS, BILA INFEKSI, MERUSAK
LAMINA PAPIRASEA
DASAR RELATIF TIPIS, MUDAH RUSAK O/K
TRAUMA BOLA MATA = BLOW OUT FRACTURE,
HERNIASI ISI CAVUM ORBITA KE SINUS
MAKSILARIS
EROSI ATAP O/K TUMOR OTAK ATAU TROMBOSIS
PEMBULUH DARAH, DENYUTAN BOLA MATA

TULANG ORBITA

ATAP ORBITA
SEBAGIAN OS FRONTALIS
ANTEROLATERAL : FOSSA LAKRIMALIS
(KELENJAR LAKRIMALIS)
POSTERIOR : ALA MINOR OS SPHENOID
(KANALIS OPTIK)

ATAP ORBITA

LATERAL ORBITA
FISURA ORBITALIS SUPERIOR :
MEMISAHKAN DENGAN ATAP
MEMISAH ALA MAYOR DAN MINOR OS
SPHENOID
ANTERIOR : OS ZIGOMATIKUS
PALING KERAS & KUAT
MELEKATNYA :
- JAR. IKAT PENUNJANG
- OTOT ORBIKULARIS BAG. LAT
- CEK LIGAMEN

LATERAL ORBITA

DASAR ORBITA
FISSURA ORBITALIS INFERIOR PEMISAH
LATERAL ORBITA
PARS ORBITALIS OS MAXILLARIS PALING LUAS,
RUSAK BILA BLOW OUT FRACTURE
POSTERIOR : OS PALATINA
RIMA ORBITA BAG. BAWAH :
PROSESUS MAX. OS MAXILLA
OS ZYGOMATICUS

DASAR ORBITA

MEDIAL - POSTERIOR
OS ETHMOID, TULANG TIPIS SEPERTI KERTAS,
MENEBAL DI ANTERIOR DAN MENYATU DENGAN
OS LAKRIMAL
POSTERIOR : CORPUS SPHENOID

KRISTA LAKRIMAL
POSTERIOR : PROS. ANGULARIS OS FRONTALIS
K. L ANT. MUDAH DIPALPASI DARI KELOPAK
MATA : PROSESUS FRONTALIS OS MAXILLARIS
SACCUS LAKRIMALIS TERLETAK DI FOSSA
LAKRIMALIS DI ANTARA KRISTA LAKRIMALIS

ISI ORBITA
SEKITAR 30 ML
BOLA MATA = 1/5 = 20% = 6-7 CC
BERISI :

OTOT
LEMAK
PEMBULUH DARAH
SYARAF
KELENJAR & JARINGAN GETAH BENING

SEPTUM ORBITA :
FASIA TIPIS PEMBATAS ANTERIOR
POSTERIOR M. ORBICULARIS OCULI
BARIER KELOPAK MATA DENGAN BULBUS OKULI

SYARAF ORBITA
MOTORIK
N.III (OKULOMOTOR) :
MASUK MELALUI ANNULUS ZINNII
BERCABANG 2, SUPERIOR & INFERIOR
SUP. : M. REKTUS SUPERIOR & LEVATOR
PALPEBRA SUPERIOR
INF. BERCABANG 2 :
REKTUS MEDIAL
REKTUS INFERIOR, BERLANJUT OBLIGUS
INFERIOR DAN GANGLION SILIARIS (M.
SILIARIS & M. SFINGTER PUPIL)

SYARAF MOTORIK
N. IV (TROCHLEARIS)
MASUK MELALUI FISURA SPHENOIDALIS
MENSYARAFI M. OBLIGUS SUPERIOR

N. VI (ABDUSCENS)
MASUK MELALUI ANNULUS ZINNII
MENSYARAFI M. REKTUS LATERAL

N. VII (FASIALIS)
M. ORBIKULARIS OKULI

SYARAF SENSORIS MATA


N.II (OPTIKUS) : SYARAF PENGLIHATAN
N.V (TRIGEMINUS) :
N. OFTALMIKA
N. FRONTALIS : ALIS DAN KELOPAK MATA ATAS
N. NASALIS : GANGLION SILIARIS
N. LAKRIMALIS : GLANDULA LAKRIMALIS

N. MAKSILARIS
N. INFRAORBITA :

KELOPAK MATA BAWAH


BIBIR ATAS & PIPI
HIDUNG
SISTIM LAKRIMALIS

N. ZIGOMATIKA :
KULIT REGIO ZIGOMA
ANASTOMOSE N. LAKRIMALIS : GLD. LAKRIMAL

PERSYARAFAN MATA

84. Tumor Intrakranial


Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang
bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna), membentuk massa dalam ruang
tengkorak kepala (intra cranial) atau di sumsum
tulang belakang (medulla spinalis).
Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya
dapat berupa tumor primer maupun metastase

Epidemiologi

Etiologi

Laki-laki (60,74 persen) >

Belum diketahui secara jelas


Faktor-faktor:

perempuan (39,26 persen)


Usia terbanyak 51 sampai
60 tahun (31,85 persen)
Kelompok usia yang
bervariasi dari 3 bulan - usia
50 tahun

Herediter
Sisa-sisa embrional
Radiasi
Virus
Substansi-substansi
Karsinogenik

Patofisiologi
Tumor intrakranial = massa baru
TIK
Gangguan fokal (tergantung lokalisasi tumor)
Peningkatan TIK mengganggu sirkulasi otak =
nekrosis di otak.
Penambahan massa atupun oedem otak
(sirkulasi yg terhambat) herniasi.

Manifestasi Klinis
Gangguan kesadaran akibat tekanan
intrakranium yang meninggi:
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium
dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
Sindroma unkus atau sindroma kompresi
diansefalon ke lateral
Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap
batang otak
Herniasi serebelum di foramen magnum

Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang


tinggi:

Sakit kepala
Muntah
Gangguan mental
Kejang fokal

Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang:

Elektroensefalografi (EEG)
Foto polos kepala
Arteriografi
Computerized Tomografi (CT Scan)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Penilaian CT Scan pada


tumor otak:
Tanda proses desak
ruang:
Pendorongan struktur
garis tengah otak
Penekanan dan
perubahan bentuk
ventrikel

Gambaran MRI Tumor Otak


MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dan dapat mendeteksi kelainan
jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi.

Diagnosa Banding
Abses intraserebral
Epidural hematom
Hipertensi intrakranial benigna
Meningitis kronik

Penatalaksanaan
Terapi Suportif
Antikonvulsan
Kortikosteroid

Terapi Definitif
Pembedahan
Radiasi
Kemoterapi
Imunoterapi

Prognosis
Tergantung jenis tumor spesifik atau tipe tumor.
Angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years
survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan
hidup 10 tahun (10 years survival) berkisar 3040%.
Prognosis di Indonesia masih buruk.

85. Klasifikasi Nyeri


1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan
kerusakan jaringan.
Pada umumnya, tipe nyeri ini tidak memerlukan terapi
khusus karena perlangsungannya yang singkat.
Nyeri ini dapat timbul jika ada stimulus yang cukup
kuat sehingga akan menimbulkan kesadaran akan
adanya stimulus berbahaya, dan merupakan sensasi
fisiologis vital.
Intensitas stimulus sebanding dengan intensitas nyeri.
Contoh: nyeri pada operasi, nyeri akibat tusukan jarum,
dll.
Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management,
Ann Intern Med; 140:441-451

2. Nyeri Inflamatorik
Nyeri dengan stimulasi kuat atau berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan atau lesi jaringan.
Nyeri tipe II ini dapat terjadi akut dan kronik dan pasien
dengan tipe nyeri ini, paling banyak datang ke fasilitas
kesehatan.
Contoh: nyeri pada rheumatoid artritis.
3. Nyeri Neuropatik
Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem
saraf perifer
Seperti pada neuropati diabetika, post-herpetik neuralgia,
radikulopati lumbal, dll) atau sentral (seperti pada nyeri
pasca cedera medula spinalis, nyeri pasca stroke, dan nyeri
pada sklerosis multipel).
Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management,
Ann Intern Med; 140:441-451

4. Nyeri Fungsional
Bentuk sensitivitas nyeri ini ditandai dengan tidak
ditemukannya abnormalitas perifer dan defisit neurologis.
Nyeri disebabkan oleh respon abnormal sistem saraf
terutama hipersensitifitas aparatus sensorik.
Beberapa kondisi umum memiliki gambaran nyeri tipe ini
yaitu fibromialgia, iritable bowel syndrome, beberapa
bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri kepala tipe
tegang.
Tidak diketahui mengapa pada nyeri fungsional susunan
saraf menunjukkan sensitivitas abnormal atau hiperresponsifitas

Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management,
Ann Intern Med; 140:441-451

Nosiseptor pada otot


Sebanyak 75% dari inervasi sensorik pada otot rangka disuplai oleh ujung
saraf bebas yang terdapat di fascia otot, dinding pembuluh darah, tendon,
dan di antara serat otot.
Tipe-tipe dari ujung-ujung saraf bebas ini yaitu, yaitu serat saraf aferen Adelta (grup III) yang tipis bermielin dan tipe C (grup IV) yang tidak
bermielin. Setelah kehilangan selubung mielinnya, terminal dari ujung
saraf bebas tersebut dapat memanjang sekitar 1 mm sebagai ujung akson
tanpa myelin dan mempersarafi daerah seluas 25 x 200 mikrometer.
Nyeri otot terutama disebabkan oleh aktivasi serat aferen tipe IV karena
serat tersebut memiliki ambang yang lebih tinggi terhadap stimulasi
mekanik dan dapat dieksitasi oleh kontraksi iskemik dari otot. Perannya
cenderung ergoreseptif dibandingkan nosiseptif.
Namun serat A-delta grup III juga berkontribusi terhadap nyeri otot.
Walaupun hanya sebagian kecil dari serat saraf C tidak bermielin ini yang
berespon terhadap peregangan dan kontraksi otot, beberapa dari serat ini
berespon saat terjadi iskemia dan kontraksi otot di saat yang bersamaan.
Noxious stimulation dari otot, fascia, dan tendon menghasilkan derajat
yang beragam dari rasa nyeri yang dalam, yang menyebar dan sulit untuk
dicari lokasi tepatnya.

PSKIATRI

86. Bipolar Disorder

Mood
disorder

1 or more
episodes of
mania or
hypomania

history of one
or more major
depressive
episodes

Bipolar
disorder

can be mixed
Increase suicide
risk

With/without
psychosis

Epidemiology
Bipolar disorder

Mean age onset: 20

Bipolar disorder I

one or more manic


or mixed mood
episodes

affects men and


women equally

Bipolar disorder II

one or more major


depressive episodes
and at least one
hypomanic episode

more common in
women

Etiology
Trauma

Anatomic
abnormalities

Environmental
factors

Genetic

Others

Remain unclear

Exposure to
chemicals or
drugs

Secondary Cause of Bipolar Mania

Acute Manic Algorithm Therapy

Acute Depressive Episode

Pharmacological Therapy of Bipolar


Disorder

Pharmacological Therapy of Bipolar


Disorder Cont...

87. Fobia
F40. GGN ANSIETAS FOBIK
Agorafobia: Ansietas dicetuskan oleh adanya situasi berupa banya
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah dan
bepergian sendiri, yg sbnrnya pada saat kejadian ini tidak
membahayakan
Pasien menghindari situasi fobik (house bound)
Fobia Sosial: Ansietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi
sosial ertentu (outside the family circle)
Fobia Khas: Ansietas terbatas pada adanya objek atau situasi fobik
tertentu
Klaustrofobia (tempat sempit), xenofobia (orang/sesuatu yg asing),
akrofobia (tempat tinggi)

Ansietas

Acrophobia fear of heights


Agoraphobia fear of open places
Ailurophobia fear of cats
Hydrophobia fear of water
Claustrophobia fear of closed spaces
Cynophobia fear of dogs
Mysophobia fear of dirt and germs
Pyrophobia fear of fire
Xenophobia fear of strangers

Terapi Fobia
Desensitisasi sistematik (serial), ketika klien
secara progresif dipajankan pada objek yang
mengancam, di lingkungan yang aman, sampai
ansietas berkurang.
Flooding, bentuk desensitisasi cepat yang
dilakukan oleh terapis, ketika individu
dihadapkan dengan objek fobia sampai objek
tsb tidak menimbulkan ansietas.

Fobia Spesifik
Terapi yang menjadi pilihan pada fobia spesifik adalah
terapi paparan/terapi desensitisasi:
Terapis melakukan desensitisasi pada pasien menggunakan
beberapa seri paparan dan terapis akan mengajari pasien
berbagai teknik untuk mengatasi ansietas, termasuk relaksasi,
breathing control, and cognitive approaches.
Pendekatan perilaku kognitif meliputi realisasi bahwa situasi
yang menimbulkan fobia sebenarnya merupakan situasi yang
aman.
In the special situation of blood-injection-injury phobia, some
therapists recommend that patients tense their bodies and
remain seated during the exposure to help avoid the possibility
of fainting from a vasovagal reaction to the phobic stimulation.
Beta blocker may be useful in the treatment of specific phobia,
especially when the phobia is associated with panic attacks.
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.

88. Mental Retardation

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.

American
Association on
Mental
Retardation
(AAMR)

http://pedsinreview.aappublications.org/content/27/6/204.full

PPDGJ-III
Ketentuan subtipe retardasi mental meliputi:
F70: Ringan (IQ 50-69)
F71: Sedang (IQ 35-49)
F72: Berat (IQ 20-34)
F73: Sangat Berat (<20)

89. Gangguan Disosiatif (Konversi)


Gejala utama adalah adanya kehilangan dari
integrasi normal, antara:
ingatan masa lalu,
kesadaran identitas dan penginderaan segera, &
kontrol terhadap gerakan tubuh

Terdapat bukti adanya penyebab psikologis,


kejadian yang stressful atau hubungan
interpersonal yang terganggu
Tidak ada bukti adanya gangguan fisik.
PPDGJ

Diagnosis
Amnesia

Karakteristik

Gangguan
Disosiatif
Hilang daya ingat mengenai
kejadian stressful atau traumatik yang
baru terjadi (selektif)

Fugue

Melakukan perjalanan tertentu ke tempat di luar kebiasaan, tapi


tidak mengingat perjalanan tersebut.

Stupor

Sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan volunter & respons


normal terhadap rangsangan luar (cahay, suara, raba)

Trans

Kehilangan sementara penghayatan akan identitias diri &


kesadaran, berperilaku seakan-akan dikuasai kepribadian lain.

Motorik

Tidak mampu menggerakkan seluruh/sebagian anggota gerak.

Konvulsi

Sangat mirip kejang epileptik, tapi tidak dijumpai kehilangan


kesadaran, mengompol, atau jatuh.

Anestesi &
kehilangan
sensorik

Anestesi pada kulit yang tidak sesuai dermatom.


Penurunan tajam penglihatan atau tunnel vision (area lapang
pandang sama, tidak tergantung jarak). Contoh: buta konversi dan
tuli konversi

PPDGJ

Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III.
Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.

90. Sexual Disorder (Parafilia)


Diagnosis

Karakteristik

Fetishism

Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the


use of nonliving objects (e.g., female undergarments).

Frotteurism

Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving


touching and rubbing against a nonconsenting person.

Masochism

Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the


act (real, not simulated) of being humiliated, beaten, bound, or
otherwise made to suffer.

Sadism

Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving acts


(real, not simulated) in which the psychological or physical suffering
(including humiliation) of the victim is sexually exciting to the person.

Voyeurism

Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the


act of observing an unsuspecting person who is naked, in the process
of disrobing, or engaging in sexual activity.

Necrophilia

Necrophilia is an obsession with obtaining sexual gratification from


cadavers.

Diagnosis
Pedophilia

Eksibisionis

Karakteristik
Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving
sexual attraction to prepubescent children (generally 13 years or
younger) and the pedophilia must at least 16 years or older and at
least 5 years older than the child
Seseorang yang selalu ingin memperlihatkan kemaluannya/genital
kepada orang lain (biasanya orang asing) untuk mendapatkan
kepuasan seksual

Fetishism and Transvestic Fetishism


Fetishism
Mendapatkan kepuasaan seksual dari benda-benda mati
(i.e., inanimate and/or tactile)
Numerous targets of fetishistic arousal, fantasy, urges, and
desires

Transvestic Fetishism
Mendapatkan rangsangan seksual dengan memakai
pakaian dari lawan jenis
Laki-laki yang mengalami gangguan ini biasa menunjukkan
perilaku yang lebih maskulin sebagai kompensasi
Sebagian besar tidak didapatkan perilaku kompensasi
Many are married and the behavior is known to spouse

91. Gangguan Waham Menetap


KRITERIA DIAGNOSIS
Waham merupakan satu-satunya ciri klinis yang khas atau gejala
yang paling menonjol. Waham tersebut harus sudah ada sedikitnya
tiga bulan lamanya dan harus bersifat khas pribadi bukan budaya
setempat.
Gejala depresif atau bahkan suatu episode depresif lengkap
mungkin terjadi secara intermitten, dengan syarat bahwa wahamwaham tersebut menetap pada saat-saatp tidak terdapat gangguan
afektif itu.
Tidak boleh ada bukti-bukti tentang adanya penyakit otak.
Tidak boleh ada halusinasi auditorik atau hanya kadang-kadang saja
ada dan bersifat sementara.
Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan,
siar pikiran, penumpukan afek, dsb)

92. Ansietas
Diagnosis

Characteristic

Gangguan panik

Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan


perasaan akan datangnya kejadian menakutkan.
Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya
provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif
bebas dari gejala di antara serangan panik.

Gangguan fobik

Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit,
cedera, dan kematian.

Gangguan
penyesuaian

Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku


dalam waktu <3 bulan dari awitan stresor. Tidak
berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang lain.

Gangguan cemas
menyeluruh

Ansietas berlebih terus menerus disertai ketegangan motorik


(gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas
otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan
gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita).

Gangguan Fobik
Diagnosis

Karakteristik

Fobia Khas

Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera,
dan kematian.

Fobia sosial

Rasa takut yang berlebihan akan dipermalukan atau melakukan


hal yang memalukan pada berbagai situasi sosial, seperti bicara di
depan umum, berkemih di toilet umum, atau makan di tempat
umum.

Agorafobia

Kecemasan timbul di tempat atau situasi di mana menyelamatkan


diri sulit dilakukan atau tidak tersedia pertolongan pada saat
terjadi serangan panik. Situasi tersebut mencakup berada di luar
rumah seorang diri, di keramaian, atau bepergian dengan bus,
kereta, atau mobil.

PPDGJ

93. Gangguan Somatoform


Diagnosis

Karakteristik

Gangguan somatisasi

Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1


seksual, 1 pseudoneurologis).

Hipokondriasis

Keyakinan ada penyakit fisik.

Disfungsi otonomik
somatoform

Bangkitan otonomik: palpitasi, berkeringat,


tremor, flushing.

Nyeri somatoform

Nyeri menetap yang tidak terjelaskan.

Gangguan Dismorfik
Tubuh

Preokupasi adanya cacat pada tubuhnya


Jika memang ada kelainan fisik yang kecil,
perhatian pasien pada kelainan tersebut akan
dilebih-lebihkan

PPDGJ

Gangguan Hipokondrik
Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:
Keyakinan yang menetap adanya sekurangkurangnya 1 penyakit fisik yang serius,
meskipun pemeriksaan yang berulang tidak
menunjang
Tidak mau menerima nasehat atau dukungan
penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ditemukan penyakit/abnormalitas fisik

94. Gangguan Kepribadian

95. Sexual Dysfunction


Sexual desire disorders

Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD);


Persistently or recurrently deficient (or absent) sexual
fantasies and desire for sexual activity
Sexual Aversion Disorder (SAD)
Persistent or recurrent extreme aversion to, and avoidance
of, all (or almost all) genital sexual contact with a sexual
partner.

Sexual arousal disorders

Female Sexual Arousal Disorder (FSAD)


Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until
completion of the sexual activity, an adequate lubricationswelling response of sexual excitement.
Male Erectile Disorder
Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until
completion of the sexual activity, an adequate erection.

(APA, 2000)

Orgasmic disorders
Female Orgasmic Disorder (Inhibited Female Orgasm)
Male Orgasmic Disorder (Inhibited Male Orgasm)
Premature Ejaculation

Sexual pain disorders


Dyspareunia: recurrent or persistent genital pain associated with
sexual intercourse.
Vaginismus: involuntary muscle constriction of the outer third of
the vagina that interferes with penile insertion and intercourse.

Sexual dysfunction due to general medical condition


Substance-Induced Sexual Dysfunction
With impaired desire/With impaired arousal/With impaired
orgasm/With sexual pain/With onset during intoxication

Sexual Dysfunction Not Otherwise Specified (NOS)

96. Depresi
Gejala utama:
1. afek depresif,
2. hilang minat &
kegembiraan,
3. mudah lelah &
menurunnya
aktivitas.

Gejala lainnya:
1. konsentrasi menurun,
2. harga diri & kepercayaan diri
berkurang,
3. rasa bersalah & tidak berguna
yang tidak beralasan,
4. merasa masa depan suram &
pesimistis,
5. gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh
diri,
6. tidur terganggu,
7. perubahan nafsu makan (naik
atau turun).
PPDGJ

Depresi
Episode depresif ringan: 2 gejala utama + 2 gejala lain > 2
minggu
Episode depresif sedang: 2 gejala utama + 3 gejala lain, >2
minggu.
Episode depresif berat: 3 gejala utama + 4 gejala lain > 2
minggu. Jika gejala amat berat & awitannya cepat,
diagnosis boleh ditegakkan meski kurang dari 2 minggu.
Episode depresif berat dengan gejala psikotik: episode
depresif berat + waham, halusinasi, atau stupor depresif.
PPDGJ

DSM-IV Criteria

Terapi Depresi
Sasarannya adalah perubahan biologis/efek
berupa mood pasien.
Karena mood pasien dipengaruhi kadar
serotonin dan nor-epinefrin di otak, maka
tujuan pengobatan depresi adalah modulasi
serotonin dan norepinefrin otak dengan agenagen yang sesuai.
Dapat berupa terapi farmakologis dan non
farmakologis.

Terapi Non Farmakologis


PSIKOTERAPI
interpersonal therapy: berfokus pada konteks sosial
depresi dan hub pasien dengan orang lain
cognitive - behavioral therapy : berfokus pada mengoreksi
pikiran negatif, perasaan bersalah yang tidak rasional dan
rasa pesimis pasien

ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT): aman dan


efektif, namun masih kontroversial
diindikasikan pada :
depresi yang berat diperlukan respons
yang cepat, respon terhadap obat jelek

Terapi Farmakologis

Dosis Obat Antidepresan

97. Zat Psikoaktif

Opioid
Ganja
Hipnotik sedatif
Amfetamin
Alkohol
Kokain
Halusinogen

Intoksikasi vs Putus Obat


Intoksikasi adalah gejala yang timbul akibat
mengkonsumsi NAPZA dalam jumlah yang
menimbulkan tanda dan gejala.
Putus obat adalah gejala yang timbul akibat
mengurangi atau menghentikan konsumsi
NAPZA.
Toleransi adalah kebutuhan dosis zat NAPZA lebih
besar untuk menimbulkan gejala.

Tatalaksana Intoksikasi
Intoksikasi gol. Opioid: Naloxone 0,4-2 mg IV,
dapat pula diulang setiap 2-3 menit, sampai dosis
maksimal 10 mg.
Intoksikasi ganja/ kanabis: Reassurance, bila perlu
dapat diberikan obat golongan benzodiazepin
(diazepam, clobazam).
Intoksikasi kokain/ amfetamin: Diazepam 10-30
mg po atau iv, atau clobazam 3x10 mg. Bila
terdapat palpitasi, dapat diberikan propranolol.
Intoksikasi gol. Hipnotik sedatif: waspadai tanda
depresi pernafasan, oksigen.

98. F50 Gangguan Makan


F50.0 Anoreksia Nervosa
u/ diagnosis dibutuhkan :
BB dipertahankan 15 % dibawah yang seharusnya
Berkurangnya BB dilakukan sendiri dengan
menghindari makanan

cara

Distorsi body image takut gemuk terus menerus.


Adanya gangguan endokrin yang meluas

Jk terjadi pada masa pra-pubertas maka perkembangan


pubertas tertunda

F50.2 Bulimia Nervosa


u/ diagnosis pasti dibutuhkan:
Terdapat pre-okupasi yang menetap u/
makan dan ketagihan.
Pasien berusaha melawan efek kegemukan
dengan :
Merangsang muntah o/ diri sendiri
Menggunakan pencahar berlebihan
Menggunakan obat penekan nafsu makan

Merasa ketakutan yang luar biasa u/ gemuk

99. Warna Pil Psikiatri


Warna pil tidak dapat digunakan sebagai cara
identifikasi suatu obat karena satu jenis obat
dapat memiliki berbagai warna
Namun, dapat digunakan sebagai gambaran
kasar, bila disertai dengan efek obat dan keluhan
pasien
Adanya gejala parkinsonism (mulut cadel dan
kaku) menandakan adanya gejala ekstrapiramidal
Golongan obat yang memiliki efek
ekstrapiramidal adalah golongan antipsikotik
atipikal

Stelazine = trifluoperazine

Prochlorproperazine,
trifluoperazine, dan
chlorpromazine termasuk ke
dalam golongan phenotiazin
yang merupakan
antipsikotik tipikal

Anda mungkin juga menyukai