Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi politik berupa sosialisasi politi, partispasi politik dan
komunikasi kebijakan pasti memiliki efek yang sangat dominan pada
perkembangan kesejahteraan negara. Salah satunya komunikasi politik berupa
Peraturan Presiden pasti memiliki efek sendiri terhadap kelangsungan suatu
negara.
Keluarnya Peraturan Presiden Perpres Nomor 39 Tahun 2015 yang
mengatur tentang peningkatan fasilitas uang muka untuk beli mobil bagi
pejabat negara mendapat perhatian dari masyarakat.
Kebijakan ini keluar bersamaan dengan kenaikan harga BBM. Peraturan
Presiden ini seolah hanya menguntungkan bagi pejabat negara tanpa
memikirkan rakyat. Oleh karna itu, Keputusan ini di protes keras oleh
partisiapn-partisipan politik

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat
beberapa pertanyaan rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini, yaitu:
1. Jelaskan efek politik yang berkaitan dari sosialisasi politi, partispasi
politik dan komunikasi kebijakan?
2. Bagaimana perkembangan permasalahan yang terkait peraturan
presiden mengenai peningkatan uang muka mobil pejabat negara?
3. Bagaimana analisis permasalahan dalam efek politik yang ditimbulkan?

C. Manfaat
Makalah ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembaca ataupun peminat
topik komunikasi, yaitu:
1. Dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan, pemahaman dan
pengalaman dalam menyelesaikan makalah ini, serta memberikan
informasi bagaimana perkembangan masalah peraturan presiden mengenai
peningkatan uang muka mobil pejabat negara
2. Dengan makalah ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan tentang
efek politik dan kaitannya dengan permasalahan peraturan presiden
mengenai peningkatan uang muka mobil pejabat negara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan Sosial & Budaya Masyarakat
A. Proses Transisi & Perubahan Dalam Masyarakat
Proses transisi adalah proses peralihan. Jika dikaitkan dengan
perubahan social dan budaya dalam masyarakat, proses transisi adalah
suatu masa dimana sebuah msyarakat berada dalam peralihan dari

penggunaan produk budaya lama ke produk budaya baru. Atau bisa juga
dikatakan sebagai masa peralihan dari pola perilaku yang lama ke pola
perilaku yang baru.
Proses peralihan ini biasanya akan menciptakan keteganganketegangan tertentu bagi mereka yang tidak siap meneriman perubahan
yang ada. Lambat laun ketegangan itu akan berkurang dan seseorang akan
mulai menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilainilai sosial, pola-pola perilaku, lapisan-lapisan dalam masyarakat,

interaksi sosial dan sebagainya.


Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembagalembaga

kemasyarakatan

di

dalam

suatu

masyarakat

yang

mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikapsikap

dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam

masyarakat.
Banyak para sosiolog dan ahli lainnya yang mengemukakan
tentang teori perubahan social dan kebudayaan:
- William F Ogburn mengemukakan ruang lingkup perubahanperubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material

maupun immaterial.
Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahanperubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Bentuk-bentuk perubahan:
1. Perubahan lambat dan perubahan cepat
2. Perubahan kecil dan perubahan besar
3. Perubahan yang dikehendaki atau perubahan yang direncanakan
dan perubahan yang tidak dikehendaki atau perubahan yang tidak

direncanakan.
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial dan kebudayaan:
a. sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri
- bertambah atau berkurangnya penduduk
- penemuan2 baru
- pertentangan2 dalam masyarakat
- terjadinya pemberontakan atau revolusi

b. sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat


-

sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di

sekitar manusia
peperangan
pengaruh kebudayaan masyarakat lain

Faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan:


a.

faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan


- kontak dengan kebudayaan lain
- sistem pendidikan yang maju
- sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju
- toleransi terhadap perbuatan2 menyimpang
- system lapisan masyarakat yang terbuka
- penduduk yang heterogen
- ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan

tertentu
- orientasi kedepan
- nilai meningkatkan taraf hidup
b. faktor-faktor yang menghambat terjadinya perubahan
- kurangnya berhubungan dengan masyarakat lain
- perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
- sikap masyarakat yang tradisionalistis
- rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
- prasangka terhadap sesuatu yang baru/asing

B. Budaya Massa
Dalam sosiologi, istilah massa mengandung pengertian kelompok
manusia yang tidak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang
bersifat sementara, dan dapat dikatakan segera akan berakhir. Kelompok
manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya cepat tenggelam. Masingmasing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang lain yang sekelompok
dengannya.
Budaya massa merupakan budaya populer yang dihasilkan industri
produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan kepada khalayak
konsumen. Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat demi kepentingan
pasar.

Dulu, semua budaya massa adalah simbol kedaulatan kultural dari orangorang yang tidak terdidik. Dari asal kata budaya massa merupakan istilah untuk
mass culture, istilah Inggris dari bahasa Jerman masse dan kultur. Di Eropa
budaya ini ditujukan kepada mayoritas masyarakat kelas menengah ke bawah
yang tak terpelajar, seperti kelas pekerja dan kaum miskin mass atau masse.
Karena itu istilah budaya massa, diidentikkan dengan ejekan atau merendahkan
apa yang menjadi pilihan kaum kelas menengah ke bawah tersebut. Pilihanpilihan itu seperti pilihan produk, ide, perasaan, pikiran dan sikap masyarakat
Eropa yang tidak terpelajar. Sementara itu yang berlawanan dengan istilah masse
kultur adalah istilah high culture yang berarti kebudayaan tinggi atau kebudayaan
elit. Disebut kebudayaan elit, karena istilah ini digunakan untuk menyebut atau
mengacu kepada kaum terpelajar dan kelas menengah ke atas. Berkaitan dengan
pilihan produk kesenian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pikiran serta
perasaan mereka yang menjatuhkan kepada pilihan pada jenis produk yang
bernilai tinggi.
Pemakaian kedua istilah di atas, dibandingkan untuk menyebut perbedaan
selera berupa pilihan-pilihan produk antara kedua kelas sosial, yaitu kaum tidak
terpelajar dan kaum terpelajar. Pemakaian istilah masse kultur (budaya massa)
mengandung ejekan atau sikap merendahkan pilihan produk, ide, dan pemikiran
mayoritas kelas menengah ke bawah.
Ciri-ciri dari budaya Massa (populer):
1. Tren. Budaya yang menjadi tren dan diikuti atau disukai orang banyak
berpotensi menjadi budaya populer
2. Keseragaman bentuk. Hasil ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya
diikuti oleh banyak plagiat. Karya tersebut menjadi pionir bagi karyakarya lain yang berciri sama, sebagai contoh; genre musik pop yang
diambil dari kata populer, adalah genre musik yang notasi nada tidak
terlalu kompleks, lirik lagunya sederhana dan mudah diingat;
3. Adaptabilitas, Budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi oleh
khalayak karena mengarah pada tren
4. Durabilitas, Budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas
menghadapi waktu, budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya

bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan


dirinya, atau akan bertahan seperti ikon Mc.Donald dan Coca-cola yang
sudah eksis berpuluh-puluh tahun
5. Provitabilitas, Dari sudut pandang ekonomi, budaya populer berpotensi
menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya.
Mendefinisikan budaya dan populer, pada dasarnya adalah konsep
yang masih diperdebatkan karena rumit. Definisi tersebut bersaing dengan
berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural Theory
and Popular Culture, membahas enam definisi, yaitu; Pertama, definisi
kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya luhur, misalnya:
festival-festival kesenian lokal jauh lebih disukai; Kedua, budaya populer juga
didefinisikan sebagai sesuatu yang diabaikan saat telah memutuskan apa yang
disebut budaya luhur. Namun, banyak karya yang melangkahi atau melanggar
batas-batas ini, misalnya Shakespeare, Dickens, Puccini, Verdi, Pavarotti, Nessun,
dan Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang
perbedaan-perbedaan tersebut, seperti sistem pendidikan; Ketiga menyamakan
budaya pop dengan budaya massa yang terlihat sebagai budaya komersial,
diproduksi massal untuk konsumsi massa.
Dari perspektif Eropa Barat, budaya populer dianggap sebagai budaya
Amerika. Budaya populer didefinisikan sebagai budaya otentik masyarakat.
Namun, definisi ini bermasalah, karena banyak cara untuk mendefinisikan
masyarakat.1[11] Storey berpendapat bahwa ada dimensi politik pada budaya
populer, yaitu teori Neo-Gramscian;
melihat budaya populer sebagai tempat perjuangan antara resistensi
dari kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan persatuan yang
beroperasi dalam kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat.
Suatu pendekatan postmodernisme pada budaya populer tidak lagi mengenali
perbedaan antara budaya luhur dan budaya populer.2[12]
1
2

Storey menekankan bahwa, budaya populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi
industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi budaya massa.
Penelitian dari karya Shakespeare, Weimann dan juga Barber Bristol, menemukan
banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare dalam partisipasinya
terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi kontemporer, seperti
Dario Fo dan John Mc.Grath, menggunakan budaya populer Gramscian yang
meliputi tradisi masyarakat kebanyakan, seperti tren batik saat ini misalnya.
Budaya populer selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat
dan waktu. Budaya populer membentuk arus dan pusaran yang mewakili suatu
perspektif interdependent-mutual kompleks dan nilai-nilai yang mempengaruhi
masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Beberapa arus
budaya populer mungkin muncul dari atau menyeleweng menjadi suatu subkultur,
melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya populer yang minim
mainstream. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya populer sangat khas
menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.
Sedangkan budaya massa memiliki beberapa karakter, yaitu: 3[13]
Pertama, nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan
budaya populer. acara-acara infotainmen, seperti Indonesian Idol, Penghuni
Terakhir, dan sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini;
Kedua, budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga
tidak mengerucut di tingkat elite, namun apabila ada elite yang terlibat dalam
proses ini, maka itu bagian dari basis massa itu sendiri; Ketiga, budaya massa juga
memproduklsi budaya massa seperti infotainment adalah produk pemberitaan
yang diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat
memanfaatkannya sebagai hiburan umum; Keempat, budaya massa sangat
berhubungan dengan budaya populer sebagai sumber budaya massa. Bahkan
secara tegas dikatakan bahwa bukan populer kalau budaya massa, artinya budaya
tradisional dapat menjadi budaya populer apabila menjadi budaya massa, contoh
Opera Van Java.
3

Pada awalnya kesenian tradisional berkembang dalam masyarakat


tradisional dengan karakter-karakter tradisional, namun ketika kesenian ini
dikemas di media massa, maka sentuhan populer mendominasi seluruh kesenian
tradisional itu, baik kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi
masyarakat kampungan, namun secara massal menjadi konsumsi semua lapisan
masyarakat di perkampungan dan perkotaan; Kelima; budaya massa, terutama
yang diproduksi oleh media massa diproduksi dengan menggunakan biaya yang
cukup besar, karena itu dana yang besar harus menghasilkan keuntungan untuk
kontinuitas budaya massa itu sendiri, karena itu budaya massa diproduksi secara
komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kegiatan
budaya massa, namun juga menghasilkan keuntungan bagi capital yang
diinvestasikan pada kegiatan tersebut; Keenam, budaya massa juga diproduksi
secara

eksklusif

menggunakan

simbo-simbol

kelas

sehingga

terkesan

diperuntukkan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup.


Syarat utama dari eksklusivitas budaya massa ini adalah keterbukaan dan
ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya secara mass
adalah tumbuhnya budaya massa dan budaya populer. Dalam realitas
kebudayaan
dimanakonsumsi
simbol

mengalahkan

produksi,

nilai-tanda

dan

nilai-

mengalahkan nilai-guna dan nilai-tukar, penampilan menjadi tujuan,


tuntutan
mengejar keuntungan adalah satu-satunya pegangan, maka tak pelak,
budaya
massa dan budaya populer adalah jawaban bagi masyarakat yang
demikian.
Sebagai semangat zaman baru, budaya massa dan budaya populer
pun
membawakan nilai-nilai baru, kegairahan baru dan etos kerja baru. Dalam
rentang

sejarah yang panjang, kebudayaan pop telah menarik minat para


akademis,
teoritis, analisis, kritisi, dan para pendukung kajian budaya yang
mencuat
bersamaan dengan kian derasnya gelombang kebudayaan pop dengan
segala
pernik, warna, dan nuansa yang menyertainya serta dengan muatan budaya
yang
dikandungnya (Ibrahim, 1997 :17).
Budaya massa dan budaya populer kemudian semakin berkembang
dengan
awal kebangkitan era ekonomi pasar pada abad ke-17 M. Dalam kurun ini,
budaya
massa dan budaya populer telah menjadi bagian ekonomi politik
kapitalisme yang
dituntun oleh prinsip kemajuan, keuntungan dan perluasan produksi.
Prinsipprinsip seperti mass production (produksi massal), minimization of
cost
(pembiayaan yang rendah), standarization (standarisasi), homogenization
of taste
(penyeragaman selera dan citarasa), differenziation (diferensiasi) dan
constan

11
Universitas
Sumatera Utara

acceleration (percepatan konstan) menjadi hukum baru proses produksi (Ibrahim,


1997: 19).
Allan OConnor adalah salah seorang pengkaji budaya, saat menyoroti
topik popular culture, menjelaskan bahwa terma ini mengacu pada proses
budaya yang berlangsung di antara masyarakat umumnya (general public)
(Ibrahim, 1997 :18). Lalu, kalau budaya massa tak bisa dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari, sebelum ia menjadi bagian di dalam masyarakat, pasti ada kelompok
atau bagian masyarakat yang merancang atau memproduksinya. Bagian produk
budaya itu sampai ke masyarakat, dan produk yang bagaimana pula yang
dibutuhkan oleh sejumlah massa yang besar. Semua ini tidak mungkin tanpa
ada melibatkan teknologi. Pertumbuhan teknologi adalah hasil peradaban manusia
yang penting tidak hanya menghasilkan produk budaya yang dibuat dalam jumlah
besar (massa production), tapi berkat teknologi pula produk budaya bisa
disebarkan (dissemination) (Ibrahim, 1997 :19).
Dalam

perkembangan

lebih

lanjut,

industrialisasi

tidak

hanya

memungkinkan proses massifikasi, yang menurut standartisasi produk budaya dan


homogenisasi cita rasa, tapi juga ia telah membawa perkembangan baru dengan
semakin terbentangnya peluang pasar. Inilah yang menandai komersialisasi atas
produk budaya. Dengan komersialisasi, produk budaya (massa) berubah seirama
dengan percepatan tuntutan komersial atas produk budaya dan sasaran
berondongan iklan. Kalau kenyataan inilah yang tidak bisa ditolak, yang muncul
dalam pertumbuhan masyarakat modern yang terjadi hamper pada semua wilayah
adalah munculnya pasar, keunggulan korporasi raksasa, dan tersedianya teknologi
baru dalam proses produksi budaya (Ibrahim, 1997 :20).

12

Masyarakat yang terbentuk dari hasil polesan industri inilah yang kemudian
dikenal sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa adalah suatu
kategori masyarakat industrial. Sementara budaya massa mewakili korelasi
budaya dari masyarakat massa dan media massa. Budaya massa dibedakan
berdasarkan standar produksi massa dan pemasarannya. Tentu saja industri media
massa memegang peran penting dalam drama ini. Tak heran, kalau media massa
merupakan basis bagi apa yang disebut industri kebudayaan. Dan, sebagai
output media yang penting adalah kebudayaan pop (Ibrahim, 1997 :21).
Budaya populer yang saat ini banyak menarik perhatian dunia adalah
kebudayaan populer dari Korea Selatan. Fenomena Hallyu (Korean wave) telah
membawa aliran nilai-nilai budaya Korea meluas ke berbagai negara dan menarik
banyak massa. Hallyu merupakan fenomena dalam dunia industri hiburan modern
Korea. Produk-produk hallyu antara lain adalah drama, film dan musik (K-pop).

2.2 Budaya Populer dan Hiburan, sebagai Realitas Sosial


Pemikiran tentang budaya populer menurut Ben Agger (1992:24) dalam
dikelompokkan pada empat aliran, (a) budaya di bangun berdasarkan kesenangan
namun tidak berdasarkan substansial, dan mengentaskan orang dari kejenuhan
kerja sepanjang hari; (b) kebudayaan populer menghancurkan budaya tradisional;
(c) kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Marx kapitalis;
dan (d) kebudayaan populer merupakan budaya yang menetas dari atas (Burhan
Bungin, 2008 :49).
Kebudayaan populer banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang
dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti pementasan

13

mega bintang, kendaraan pribadi,fashion, model rumah, perawatan tubuh dan


semacamnya.
Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan, maka budaya itu
umumnya menempatkan unsur populer sebagai unsur utamanya. Dan budaya akan
memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran
pengaruh di masyarakat (Burhan Bungin, 2008 :50).
Sebagaimana yang di jelaskan bahwa budaya populer lebih banyak
mempertontonkan sisi hiburan, yang kemudian mengesankan lebih konsumtif.
Richard Dyer (During, 1993: 217-272) mengatakan, hiburan merupakan
kebutuhan pribadi masyarakat yang telah di pengaruhi oleh stuktur kapitalis.
Hiburan menyatu dengan makna-makna hiburan dan saat ini di dominasi oleh
musik. Saat musik merupakan perangkat hiburan yang lengkap yang di padukan
dengan berbagai seni lainnya. Hampir tidak dapat ditemui sebuah hiburan tanpa
mengabaikan peran musik, sebaliknya musik menjadi sebuah bangunan hiburan
yang besar dan paling lengkap (Burhan Bungin, 2008 :51).

2.3 Kaum Muda dan Musik Pop


Kajian Cultural Studies berkenaan dengan budaya musik pop lebih tepat
dimulai dengan karya Stuart Hall dan Paddy Whannel (1964). Sebagaimana
mereka tegaskan, potret anak muda sebagai orang lugu yang di ekploitasi oleh
industri musik-pop terlalu disederhanakan. Menanggapi hal ini, mereka
berpendapat bahwa terdapat konflik yang sangat sering antara penggunaan teks
atau praktik yang di pahami oleh khalayak, dan penggunaan yang dimaksudkan
oleh para produser. Secara signifikan, mereka mengakui bahwa meskipun konflik

secara khusus menjadi ciri ranah hiburan remaja sampai pada tingkat tertentu,
konflik ini juga jamak bagi keseluruhan wilayah hiburan massa dengan sebuah
setting komersial. Budaya musik pop lagu, majalah, konser, festival, komik,
wawancara dengan bintang pop, film, dan sebagainya membantu memperlihatkan
pemahaman akan identitas dikalangan kaum muda.
Budaya yang disediakan oleh pasar komersial memainkan peran penting. Ia
mencerminkan sikap dan

sentimen yang telah ada disana, dan pada saat

bersamaan menyediakan wilayah yang penuh ekspresi serta sederet simbol yang
melalui simbol itu sikap tersebut dapat di proyeksikan. Ia adalah area ekspresi diri
bagi kaum muda dan padang rumput yang subur bagi provider komersial. Selain
itu, lagu-lagu pop merefleksikan kesulitan remaja dalam menghadapi kekusutan
persoalan emosional. Lagu-lagu pop menyerukan kebutuhan untuk menjalani
kebutuhan untuk menjalani kehidupan secara langsung dan intens. Lagu-lagu itu
mengekspresikan dorongan akan keamanan didunia emosional yang tidak pasti
dan berubah-ubah. Fakta bahwa lagu-lagu itu diproduksi bagi pasar komersial
berarti bahawa lagu dan setting itu kekurangan autensitas. Kendati demikian,
lagu-lagu itu mendramatisasi perasaan-perasaan autentik (John Storey, 1996
:126).

2.4 Media Sosialisasi


Media sosialisasi merupakan tempat di mana sosialisasi itu terjadi atau
disebut juga sebagai agen sosialisasi atau sarana sosialisasi. Yang dimaksud
dengan agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang membantu seorang individu
menerima nilai-nilai dari agen sosialisasi tersebut.

15

2.4.1 Kelompok Bermain


Kelompok bermain baik berasal dari kerabat, tetangga, maupun teman sekolah
merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya besar dalam membentuk pola-pola
perilaku seseorang. Di dalam kelompok bermain individu mempelajari norma
nilai, kultural, peran, dan semua persyaratan lainnya yang dibutuhkan individu
untuk

memungkinkan

permainannya.

partisipasinya

Singkatnya,

yang

kelompok

efektif

bermain

ikut

di

dalam

kelompok

menentukan

dalam

pembentukan sikap untuk berprilaku yang sesuai dengan kelompoknya.


2.4.2 Media Massa
Dalam kehidupan masyarakat modern, komunikasi merupakan sesuatu kebutuhan
yang sangat penting terutama untuk menerima dan menyampaikan informasi dari
satu pihak ke pihak lain. Akibat pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam waktu yang sangat singkat, informasi-informasi tentang
peristiwa-peristiwa, pesan, berita, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya dengan
mudah diterima masyarakat.

2.5 Adaptasi Gaya Hidup


Mengutip dalam Ritzer (2007: 121) menjelaskan bahwa adaptasi
(adaptation) merupakan sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal
yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya.
Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan
beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:
2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.

16

3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.


4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan
dan sistem.
6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.
Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan
proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial
terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.

Dalam Narwoko (2004: 163) menjelaskan gaya hidup sebagai berikut:


Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kelas sosial satu dengan
kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidak sama, bahkan ada
kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya
hidup yang eksklusif untuk membedakan dirinya dengan kelas yang lain.
Berbeda dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersikap konservatif
di bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru
perawatan kesehatan, cara mendidik anak dan hal-hal lainnya, gaya hidup
dan penampilan sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan
eksklusif (Dickson, 1968).
Gaya hidup sebagai pembeda kelompok akan muncul dalam masyarakat
yang terbentuk atas dasar stratifikasi sosial. Setiap kelompok dalam stratum sosial
tertentu akan memiliki gaya hidup yang khas. Dapat dikatakan bahwa gaya hidup
inilah yang menjadi simbol prestise dalam sistem stratifikasi sosial (Ibrahim,
1997: 228).
Masuk pada level konsumsi, yang dikonsumsi masyarakat pada level ini
bukan lagi sesuatu berdasar nilai guna, nilai pakai, tetapi sesuatu yang kalau
disebut dalam iatilah teoritis adalah simbol. Di sini kemudian citra atau image
menjadi sangat penting, ia berjalan seiring melesatnya kemajuan dunia informasi

17

di mana informasi bukan lagi sekedar sebagai alat atau modal untuk berdagang,
melainkanmenjadi produk sendiri (Ibrahim, 1997: 181)\

2.6 Interaksionisme Simbolik


Teori Interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) adalah
pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat.
Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi
manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran simbol atau komunikasi yang
sarat makna.
Interaksionisme simbolik memandang manusia bukan dilihat sebagai
produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak
sebagian, merupakan aktor-aktor bebas. Menurut Blumer, interaksionisme
simbolis bertumpu pada tiga premis (Poloma, 2004: 258).
a. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasar makna-makna yang ada
pada sesuatu itu.
b. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang
lain.
c. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial
berlangsung.
Sama halnya dengan Blumer, para penganut interaksionisme simbolik
seperti Manis dan Meltzer, A Rose dan Snow mencoba mengemukakan prinsip
dasar dari teori interaksionisme simbolik ( Ritzer, 2009:392) antara lain;
a. Manusia ditopang oleh kemampuan berfikir yang membedakan
interaksionisme simbolik dengan behaviorisme yang menjadi akarnya.

18

Kemampuan berfikir memungkinkan orang untuk bertindak secara


reflektif, mengonstruksi dan mengarahkan apa yang mereka lakukan.
Penganut interaksionisme simbolik memandang bahwa pikiran muncul
dalam sosialisasi kesadaran.
b. Kemampuan berfikir dibentuk oleh interaksi sosial. Kemampuan
berfikir manusia berkembang pada saat masa kanak-kanak dan dipoles saat
masa sosialisasi dewasa.
c. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang
memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikir tersebut.
d. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan
interaksi khas manusia
e. Orang mampu mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan
dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka dalam situasi
tersebut
f. Jalinan pola tindakan dengan interaksi ini kemudian menciptakan
kelompok dan masyarakat

Dilihat dari perspektif teori interaksionisme simbolik, remaja yang fanatik


terhadap budaya pop Korea memaknai budaya populer Korea sebagai sesuatu
yang menarik sehingga membuat mereka menyukai hal tersebut. Musik K-pop
atau drama-drama Korea diartikan sebagai simbol yang mengarahkan tindakan
mereka sehingga banyak perilaku remaja yang yang berkiblat pada budaya Korea.
Penggemar fanatik akan cenderung menjadi Korea-sentris, yakni tidak hanya
sekedar menyukai musik K-pop atau dramanya saja tetapi juga produk-produk

19

Universitas Sumatera Utara

budaya populer Korea lainya, seperti seni budaya asli Korea, bahasa
Korea,
produk-produk teknologi buatan Korea, bahkan negara Korea itu sendiri.

2.7 Identitas
Identitas merupakan suatu penyadaran yang dipertajam akan diri
sendiri
dan sebagai suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti
masa
lampaunya sendiri bagi orang lain dan bagi diri sendiri (Erikson, 1989).
Konsepsi
yang kita yakini tentang diri kita disebut dengan identitas diri, sementara
itu
harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial (Barker, 2008:
173).
Giddens mengatakan bahwa identitas diri adalah apa yang kita
pikirkan
tentang diri kita sebagai pribadi (Barker, 2008). Identitas
bukanlah
kumpulan sifat-sifat yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang
bisa
kita tunjuk. Giddens menyebut identitas sebagai proyek yakni
identitas
merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam
proses,
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas
membentuk
apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu
dan
masa kini, bersama dengan apa yang kita pikir dan inginkan
sebagai
20

lintasan harapan kedepan.

Budaya media menkonstruksikan identitas penggemar melalui


tayangantayangan budaya populer Korea. Tayangan tersebut membentuk bentuk
identitas
penggemar sebagai pecinta budaya pop Korea. Identitas tersebut
kemudian
terekspresi dari cara berpenampilan (fashion), penggunaan bahasa Korea
dalam
berkomunikasi dan penggunaan nama-nama Korea.

DAFTAR PUSTAKA

Nimmo,Dan.2010.Komunikasi Politik:Hubungan Antara Khalayak dan Efek.ed


5.Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Arifin, Prof. Dr. Anwar.2011. Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-TujuanStrategi-dan Komunikasi Politik Indonesia. Ed2. Yogyakarta.Graha Ilmu.

21

22

Anda mungkin juga menyukai