pesisir dapat dilakukan secara optimal, efisien dan berkelanjutan serta memberikan manfaat bagi
masyarakat pesisir yang mengelolanya[6].
Saat ini telah ada Undang-Undang yang secara mengkhusus mengatur mengenai pulau-pulau
kecil dan wilayah pesisir. Undang-Undang tersebut adalah UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut UU Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (UU WP-PPK).
Hadirnya UU WP-PPK ini juga merupakan bagian dari pembaharuan hukum Agaria. Selama
ini wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur oleh berbagai peraturan perundang-undangan
sehingga selain tidak mampu memberikan kepastian hukum serta menjamin pemanfaatan secara
maksimal dan berkelanjutan. Sementara itu Peraturan perundangundangan yang ada lebih
berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan
kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relative
kurang[7].
Dengan adanya UU WP-PPK diharapkan memberikan kepastian dan perlindungan hukum
serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui
pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta
masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha[8].
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Bentuk Penguasaan Wilayah Perairan Pesisir dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil?
2. Apa peraturan pelaksana dari UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1.
Wilayah pesisir adalah kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan
ekosistem laut, yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan di
laut, secara geografi ke arah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh dari
darat[9].
Di Indonesia pengertian yang digunakan adalah wilayah pesisir sebagai wilayah yang
merupakan kawasan pertemuan antara daratan dan lautan, ke arah darat meliputi bagian daratan
baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses yang berkaitan
dengan laut atau sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin.
Sedangkan ke arah laut kawasan pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran[10].
UU WP-PPK memberikan pengertian Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara
Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Menurut kesepakatan secara internasional bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai
wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena
pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua
(continental shelf)[11].
2.
Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan. dan Kawasan Strategis
Nasional Tertentu adalah Kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian
lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi
kepentingan nasional Berdasarkan rumusan pengertian wilayah pesisir dan kawasan pesisir
seperti yang dicontohkan di atas, kawasan pesisir bisa diartikan sebagai sebagian atau semua
wilayah pesisir yang ditunjuk dan atau ditetapkan sebagai kawasan pesisir. Boleh jadi, semua
wilayah pesisir di satu wilayah administratif dinyatakan sebagai kawasan pesisir. Namun, bisa
juga hanya sebagian dari wilayah pesisir yang dinyatakan sebagai kawasan pesisir. Kewenangan
pemerintah untuk menyelenggarakan pengurusan pemerintahan atau layanan publik berlangsung
di kawasan pesisir, bukan di wilayah pesisir. Sekali lagi, kesimpulan ini didasarkan atas
pemahaman bahwa kewenangan adalah hak dalam sektor hukum publik. Sebagai hak,
kewenangan harus memiliki kejelasan jenis, subyek dan obyek. Istilah kawasan menunjuk pada
wilayah pesisir yang sudah jelas batas-batasnya beserta sumber daya yang terkandung di
dalamnya. Batasan-batasan tersebut diperoleh dengan proses penetapan dan penunjukan oleh
badan negara atau pemerintah. Penunjukan dan penetapan kawasan pesisir berfungsi untuk
membuat distingsi atau pembedaan antara keberlakuan kewenangan dengan darat dan laut.
B. Pembahasan
1.
Bentuk Penguasaan Wilayah Perairan Pesisir dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Bentuk penguasaan Wilayah Perairan Pesisir adalah dengan Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir yang selanjutnya disingkat HP-3. Yang dimaksud dengan HP-3 adalah adalah
hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta
usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas
keluasan tertentu.
HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan
dasar laut. diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Pemberiannya wajib mempertimbangkan
kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan
kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.
HP-3 dapat diberikan kepada Orang perseorangan warga negara Indonesia, Badan hukum
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau
pemberiannya adalah paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang tahap ke satu
untuk paling lama 20 (dua puluh) tahun.
HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran,
kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Politik hukum dari adanya pembatasan tersebut adalah karena
suaka perikanan merupakan kawasan perairan tertentu baik air payau maupun air laut dengan kondisi
dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung atau berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu,
yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Alur pelayaran merupakan bagian dari perairan baik
alami maupun buatan yang dari segi kedalaman, lebar, dan hambatan pelayaran lainnya dianggap
aman untuk dilayari. Kawasan pelabuhan meliputi daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan
kepentingan pelabuhan. Pantai umum merupakan bagian dari kawasan pemanfaatan umum yang
telah dipergunakan masyarakat antara lain untuk kepentingan kegiatan sosial, budaya, rekreasi
pariwisata, olah raga, dan ekonomi.
HP-3 juga dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak
tanggungan. Wujud pemberian HP-3 adalah dalam bentuk sertifikat HP-3. HP-3 berakhir karena
jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi; ditelantarkan; atau
dicabut untuk
kepentingan umum. Ditelantarkan maksudnya merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemegang
HP-3 dengan tidak berbuat sesuatu terhadap perairan pesisir selama tiga tahun berturut-turut. Terkait
dengan tata cara pemberian, pendaftaran ,dan pencabutan HP-3 akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah, namun sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum juga diterbitkan.
2.
Peraturan Pelaksanaa UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Meskipun saat ini pemerintah belum mengeluarkan satu pun peraturan pelaksana pasca UU
WP-PPK yang merupakan amanat dari UU WP-PPK namun terdapat bebarapa peraturan
perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam rangka pelaksanaan UU WPPPK, yakni sebagai berikut :
PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara
Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 8132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3776);
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3816);
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3952);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002, tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4211);
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan
Pasir Laut (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 61);
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67/Tahun 2002 tentang Pengakuan Wewenang
Kabupaten dan Kota;
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat;
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.34/Men/2002 tentang Pedoman Umum
Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu
Kedepannya pemerintah harus memfokuskan untuk mengeluarkan semua peraturan
pelaksanaa yang sebagaimana diperintahkan oleh UU WP-PPK. Hal demikian adalah sangat
penting agar politik hokum yang terkandung dalam UU WP-PPK dapat tercapai dengan
maksimal
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.
Bentuk penguasaan Wilayah Pesisir adalah dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir yang
selanjutnya disingkat HP3
2.
Peraturan Pelaksana yang digunakan dalam rangka pelaksanaan UU WP-PPK adalah masih
peraturan pelaksana yang lama, yang telah ada sebelum UU WP-PPK.
B. Saran
1. Dalam kaitan dengan implementasinya bahwa HP-3 harus dilaksanakan secara konsisten sebab
menyangkut sumber daya alam yang mempunyai pengaruh yang signifikan baik dari segi
ekonomi, dan kelangsungan lingkungan hidup.
2. Kedepannya pemerintah harus memfokuskan untuk mengeluarkan semua peraturan pelaksanaa
yang sebagaimana diperintahkan oleh UU WP-PPK. Hal demikian adalah sangat penting agar
politik hokum yang terkandung dalam UU WP-PPK dapat tercapai dengan maksimal.
TINJAUAN PUSTAKA
Irwandi Idris, Sapta Putra Ginting, Budiman, Membangunkan Raksasa Ekonomi, PT Sarana
Komunikasi Utama, Bogor.
Soegiarto,dalam Rohmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, dan M.J Sitepu, dalam
Nurkhotimah, Komentar atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
Pulau-Pulau kecil, www.nurkhotimah.blogspot.com
Ringkasan Eksekutif : Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil, www.legalitas.org
Pulau Kecil
[8] Idem
[9] Irwandi Idris, Sapta Putra Ginting, Budiman, Membangunkan Raksasa Ekonomi, PT Sarana Komunikasi Utama,
Bogor, 2007 hal 197
[10] Soegiarto,dalam Rohmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, dan M.J Sitepu, dalam
Nurkhotimah, Komentar atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
Pulau-Pulau kecil, www.nurkhotimah.blogspot.com