Materialisme Historis Dan Realitas Transenden
Materialisme Historis Dan Realitas Transenden
Johanes Lengkong
I.
Pendahuluan
Pertentangan antara Marx dengan Agama, terutama Kekristenan menjadi sebuah hal yang
menarik di awal kemunculan pemikiran Marx. Ia dianggap sebagai seorang ekstrimis radikal
yang mengejek agama sebagai opium bagi masyarakat. Agama dipandang olehnya sebagai
lembaga sosial yang hanya memberikan mimpi kepada masyarakat yang tersegregasi ke dalam
kelas-kelas sosial. Agama tidak memberikan jawaban konkrit bagi kemiskinan dan penindasan
yang dilakukan oleh para pemilik modal kepada para pekerja. Perbedaan kehidupan yang sangat
jauh antara para pemilik modal dengan pekerja seakan-akan dilestarikan oleh agama. Teriakanteriakan tentang keadilan di atas mimbar oleh kaum rohaniawan justru menjadi semangat bagi
para pemilik modal untuk semakin menindas kaum pekerja. Kasih yang diajarkan oleh para
pemuka agama diartikan sebagai mengasihi diri sendiri dengan memperkaya diri dan tidak
mempedulikan orang lain. Agama justru melestarikan kelas-kelas sosial yang semakin
mengalienasi orang-orang kecil, kaum buruh dan pekerja. Dalam kondisi seperti ini, agama harus
dieksklusi dari kehidupan manusia. Sang Khalik diseret turun dari takhta mahasuci-Nya.
Begitu juga sebaliknya, agama melihat pemikiran Marx sebagai sesuatu yang menghujat
(blaspheme) hakekat Sang Khalik. Dengan meniadakan agama dari kehidupan sosial, Marx
dipandang sebagai musuh dari agama. Pandangannya, sama seperti Feuerbach, dianggap
meniadakan eksistensi realitas transenden. Penolakan terhadap Marx ini mulai terjadi terutama
ketika pemikiran Marx bertemu dengan sosialisme Lenin. Marxisme-Leninisme yang
diterjemahkan menjadi absolutisme negara kemudian menundukkan agama ke dalam kekuasaan
negara.
Pertentangan antara keduanya terus berlangsung hingga saat ini. Pada masa orde baru di
Indonesia, pemikiran Marx sangat dilarang. Dengan dalih mencegah Komunisme muncul
kembali di bumi Indonesia, pemerintah melakukan pelarangan terhadap munculnya literatur dan
organisasi massa yang bernafaskan Marx. Alasan lainnya adalah pemikiran Marx tidak cocok
untuk diterapkan di Indonesia yang merupakan negara yang mengakui dan melindungi
keberadaan agama. Agama pun membuat aturan yang jelas untuk membatasi tersebarnya virus
Marx. Di dalam Gereja Katolik Roma, Paus Pius IX menulis Syllabus of Errors (1864) sebagai
bentuk resistensi terhadap sosialisme yang berkembang pada saat itu, bahkan juga terhadap
perkembangan peradaban modern.1 Walaupun pada akhirnya muncul gerakan sosialisme gereja,
baik Katolik dan Protestan, tetapi hanya bersifat lokal, kecil dan tidak mengubah posisi gereja
terhadap sosialisme.
Seiring dengan perkembangan jaman, kebencian terhadap pemikiran MarxDi dalam
tulisan ini, penulis berusaha melihat hubungan sepanjang sejarah perjumpaan Marxisme
(pemikiran Marx) dan agama, dalam hal ini gereja. Ketegangan antara keduanya ternyata
menjadi sesuatu yang kreatif dengan munculnya Christian Marxist yang berusaha
mengawinkan dan membuat Marxisme alternatif yang lebih ramah terhadap agama. Agama
sebagai opium diintepretasi ulang dan menjadi sebuah kritik tajam yang membuat agama, dalam
hal ini kekristenan berbenah diri. Selain itu, teologi-teologi kontemporer pun muncul,
diantaranya teologi pembebasan di Amerika Latin yang terinspirasi oleh ideologi Marxisme
tentang perjuangan kelas dan restorasi manusia menjadi summum bonum.
I.
I.
diperlukan lagi. Demikian juga dengan norma dan aturan dalam agama, yang diyakini oleh
manusia sebagai landasan etis bagi kehidupan yang baik dan harmonis di dalam dunia, tidak lagi
diperlukan ketika pengetahuan absolut itu telah diraih oleh manusia.
Dalam hubungan dengan realitas ekonomis manusia dalam konteksnya, Marx mengatakan bahwa
agama adalah candu bagi masyarakat. ia disebut candu karena ia dapat menenangkan masyarakat
yang sedang sakit. Masyarakat yang saat itu tersegregasi ke dalam kelas-kelas sosial (pemodal
dan buruh) dininabobokan oleh agama. Kebahagiaan semu yang diberikan oleh agama menjadi
obat yang paling baik dan manjur bagi masyarakat yang sebenarnya teralienasi oleh struktur
kerja yang menindas. Agama menciptakan fantasi terutama bagi mereka yang miskin dan
terpinggirkan. Masyarakat pun bungkam dan tak mampu bangkit menuntut hak mereka demi
kesetaraan.
I.
Pada tahun 1960-an, angin perubahan sosial semakin menguatkan perjuangan kelompok
marxist kiri di Amerika Latin. Orang-orang Kristen mengimplementasi pemikiran marxist
sebagai usaha pembebasan. Mereka menerima pandangan marxist tentang keadilan sosial tetapi
menolak konsep materialisme historis. Konferensi Uskup Amerika Latin di Puebla, Meksiko,
pada tahun 1979 menghasilkan teologi pembebasan yang menjadi kritik bagi teologi Barat yang
justru menyebabkan dan melestarikan ketidakadilan.
Teologi pembebasan berangkat dari konteks sosial masyarakat Amerika Latin pada saat
itu, dimana orang-orang hidup di dalam kemiskinan. Mereka hidup
dalam poncho dan favella kumuh yang tidak layak huni. Dengan kekayaan material alam yang
berlimpah, penduduk Amerika Latin ternyata tidak dapat menikmatinya. Kapitalisme Eropa dan
Amerika Utara mulai merambah daerah Amerika Latin. Lapangan-lapangan kerja berupa pabrik
dan lahan tambang, dan perkebunan dibuka yang menyebabkan ketergantungan luar biasa
masyarakat terhadapnya. Mereka teralienasi dan terasing dari tanah mereka sendiri. Di Brazil
misalnya, 76 persen anak-anak dibawah lima tahun terkena malnutrisi. Di daerah pegunungan
Andes, penduduk mengunyah daun kakao sebagai usaha mereka bertahan dari kelaparan. Di
Bolivia, beberapa keluarga tinggal di dalam kandang babi dan ayam. Tiga perempat dari
keseluruhan penduduk Amerika Latin adalah buta huruf. Sebagian besar dari antara mereka
terserang penyakit dan membutuhkan perawatan medis yang memadai.11
Inti dari teologi pembebasan adalah teologi yang berakar pada praksis kehidupan sosial
masyarakat, terutama masyarakat dunia ketiga yang miskin dan terasing. Paulo Freire, di dalam
karyanya,Pedagogy of The Oppressed, mengatakan bahwa sebagaian besar penduduk Amerika
Latin adalah buta huruf. Hal ini imembodohkan mereka dan membuat mereka tak berdaya
menghadapi penindasan para pemilik modal dan kuasa. Menurutnya, perlu diadakan penyadaran
(conscientization) melalui pendidikan. Dengan penyadaran ini, mereka akan sadar bahwa dirinya
tertindas dan berusaha keluar dari penindasan itu, tanpa ada keinginan untuk menindas kembali.
Berangkat dari Marx, Freire mengatakan bahwa manusia menentukan sendiri sejarahnya,
sehingga setiap orang harus bangkit dan berjuang bagi kebaikan dan kebahagiaan dirinya.12
Praksis teologi pembebasan dijelaskan secara rinci oleh Gustavo Guttierrez dalam
karyanya, A Theology of Liberation. Menurutnya, teologi pembebasan adalah upaya
menghidupkan Injil dengan berbagi hidup dan perjuangan bersama dengan orang miskin. Dari
usaha praksis untuk menghidupkan Injil, teologi pembebasan berusaha mencari akar dari
kemiskinan dan penindasan, dan akhirnya berefleksi tentang apa yang harus dilakukan oleh
gereja. Dari praksis ini kemudian akan lahir suatu bentuk iman yang baru, yang lahir dari
belarasa terhadap yang miskin dan menderita.13
Teologi pembebasan mengadaptasi pemikiran Marx, tetapi tidak dibangun atasnya. Ia
dibangun atas dasar pengalaman kehidupan masyarakat Amerika Latin dan refleksi iman mereka.
Teori Marx yang diadaptasi dengan sangat baik adalah kaitan antara teori dan praksis, keterkaitan
sebab-sebab politik dan ekonomi dengan perkembangan masyarakat, dan relasi antara ideologi
dan struktur sosial. Lebih jauh lagi, teologi pembebasan yang sangat anti kapitalis ini bukan
merupakan refleksi belaka, tapi proyeksi dari modal produksi sosialis yang dicita-citakan. Bukan
refleksi, dalam arti bukan menggambarkan apa yang sudah terjadi, melainkan proyeksi, yaitu
gambaran dari utopia yang ingin dihadirkan oleh para pendukung teologi pembebasan. Mereka
berpikir perubahan di aras idea dapat mendahului perubahan di aras basis material, sama halnya
dengan pikiran Marx sendiri. tetapi juga perlu diingat, bahwa ide-ide tidak dapat membawa
masyarakat keluar dari ide-ide dunia lama itu. Ide-ide tidak dapat berbuat apapun. Supaya ide-ide
I.
itu dapat terwujud, harus ada orang-orang yang melaksanakan ide-ide itu dengan usaha nyata
mereka. Di sini Marx menuntut adanya suatu gerakan dan praksis sosial.14
Teologi pembebasan, yang tentunya mengadopsi teori analisis kelas Marx, secara tidak
langsung berhasil mendorong terciptanya beberapa revolusi sosial di beberapa negara di Amerika
Latin, misalnya gerakan sosialisme Allende di Chile dan revolusi Castro di Kuba. Pendekatan
Marxis yang diadopsi memberikan analisis sosial yang kuat untuk membongkar dominasi
ekonomi dan politik pihak kapitalis-kapitalis asing. Kaum agamawan pun mengorbankan
semangat juang ini di dalam ruang-ruang gereja dan khotbah yang membakar semangat juang.
Sosialisme dibutuhkan pada saat itu sebab negara-negara Barat kapitalis secara sistematis
mengakibatkan keterbelakangan di Amerika Latin dan dunia ketiga pada umumnya. 15
Di Indonesia masa lalu, kita melihat munculnya resistensi-resistensi terhadap kapitalisme
global dan lokal dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu. Dahulu muncul Haji Misbach di
dalam Syarikat Islam (SI) merah yang merupakan penggerak munculnya komunisme Islam di
Indonesia. Sebagai seorang propagandis PKI, ia berkeliling Jawa dan mengajarkan tentang
penafsiran baru dalam ajaran sosial Islam yang tentunya paralel dengan prinsip-prinsip dasar
Marxisme, terutama soal eksploitasi kaum buruh.
Penutup
Perkawinan antara agama, khususnya kekeristenan, dengan teori dan analisis Marx
ternyata menghasilkan sesuatu yang menarik. Agama ternyata tidak hanya menjadi candu bagi
masyarakat, tetapi juga menjadi sebuah ketegangan yang kreatif. Di dalam masyarakat dunia
ketiga yang sebagian besar merupakan negara yang memposisikan agama sebagai dasar, paham
Marxist akan dianggap sesat dan berbahaya. Menyeret Tuhan turun dari takhtanya menjadi suatu
hal yang kontra produktif pada akhirnya. Oleh karena itu, perlu ada sebuah sintesis baru antara
agama dengan Marxisme, dimana keduanya bisa saling belajar satu sama lain. Para teolog
berusaha membela dengan mengatakan bahwa Marx pun harus bisa melihat sebuah hal-hal
penting dalam agama, misalnya relasi interpersonal. Di dalam perjuangan kelas, relasi
interpersonal dan ikatan yang kuat antara individu yang satu dengan individu yang lainnya
sangat menentukan berhasil tidaknya perjuangan itu. Ikatan yang kuat ini didapat dalam agama.
Setiap individu, dengan iman yang sama yang berangkat dari realitas, saling mengikat diri dalam
solidaritas bersama. Persekutuan orang beriman menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan.
Sebaliknya, agama pun harus belajar dari Marx yang menyatakan pentingnya praksis
sosial daripada janji-janji keselamatan yang mengawang-awang. Agama harus berangkat dari
realitas sosial. Sudah bukan saatnya agama mengambil jarak dengan realitas, karena
sesungguhnya agama merupakan bagian dari realitas historis dunia. Menurut Marx, agama
menjadi cermin sehat tidaknya suatu masyarakat. Agama merupakan simptom dari masyarakat
yang sakit. Jadi bukan agama yang harus disembuhkan (dilenyapkan), tetapi masyarakat yang
sakit itu, dimana di dalamnya banyak terdapat kondisi-kondisi material yang perlu mendapatkan
perawatan dari segenap elemen sosial, termasuk agama.