hari SMRS.
Riwayat pengobatan: Riwayat Operasi ( - )
Riwayat kesehatan/ penyakit dahulu: Pasien tidak pernah mengalami hal serupa.
Riwayat Keluarga: Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan seperti pasien.
Riwayat Pekerjaan: Pasien bekerja sebagai seorang penjual di warung.
Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik: Tidak ada yang berhubungan
7. Pemeriksaan fisik
I.
Status Present
A. Kondisi Umum : Lemas, Sakit sedang
B. Status Vital
II.
: Kesadaran
: Compos Mentis
Berat Badan
: 47 Kg
TD
: 110/50 mmHg
HR
Pernapasan
: 22 x / menit
Suhu
Status General
Kepala
: Deformitas (-)
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
: trismus (+)
Leher
Bibir
: sianosis (-)
Lidah
: beslag (-)
Thorax
Pulmo Anterior
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi
Pulmo Posterior
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Atas
: ICS II LMCS
Kanan
Kiri
Auskultasi
Palpasi
: sulit dinilai
Perkusi
: timpani (+)
Genitalia
Ekstremitas
III.
: edema
sianotik
Status neurologis
A. G C S
: E4 M6 V5
Pupil
: isokor 3 mm/3 mm
: +/+
: +/+
Kaku kuduk
:-
Laseque
: sulit dinilai
Kernig
: sulit dinilai
Patrick/kontra Patrick
: sulit dinilai
Brudzinski I
: sulit dinilai
Brudzinski II
: sulit dinilai
:-
B. Nervi Craniales
Kelompok Optik
Kiri
Nervus II (visual) :
Visus
Kesan Normal
Kesan Normal
Lapangan Pandang
Kesan Normal
Kesan Normal
Melihat Warna
Kanan
Kesan Normal
Kesan Normal
3 mm
3 mm
Bentuk Pupil
Bulat
Bulat
Nistagmus
Strabismus
Lateral
Atas
Bawah
Medial
Diplopia
Kelompok Motorik
: sulit dinilai
: sulit dinilai
: dbn
4
Menutup mata
: dbn
Menggembungkan pipi
: sulit dinilai
Memperlihatkan gigi
: sulit dinilai
Sudut bibir
: sulit dinilai
: sulit dinilai
Reflek menelan
: sulit dinilai
: sulit dinilai
Memutar kepala
: sulit dinilai
: sulit dinilai
Menjulurkan lidah
: sulit dinilai
C. Badan
Motorik
Gerakan respirasi
: Thoraco abdominal
: Simetris
: Simetris
Sensibilitas
Rasa suhu
: Dbn
Rasa nyeri
: Dbn
Rasa raba
: Dbn
Pergerakan
: Bebas/Bebas
Kekuatan
: 5555/5555
Tonus
: +/+
5
Trofi
: -/-
Refleks
Biceps
: +/+
Triceps
: +/+
Hoffman Trommer
: -/-
Pergerakan
: Terbatas/Terbatas
Kekuatan
: 2222/2222
Tonus
: -/-
Trofi
: -/-
Refleks
Patella
: +/+
Achilles
: +/+
Babinski
: -/-
Chaddok
: -/-
Gordon
: -/-
Oppenheim
: -/-
Klonus
Paha
: -/-
Kaki
: -/-
Tanda Laseque
Tanda Kernig
Sensibilitas
Rasa suhu
: dbn
Rasa nyeri
: dbn
Rasa raba
: dbn
F. Gerakan Abnormal
: opistotonus (+)
G. Fungsi Vegetatif
Miksi
Defekasi
Repetisi/pengulangan
Atensi/kalkulasi
: baik
Memori
: baik
Fungsi bahasa
IV.
: baik
: baik
Diagnosis Banding
1. Tetanus
2. Meningitis bakterialis
V.
Diagnosis Sementara
Tetanus
VI.
Planning
a. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
VII.
Terapi
Folley catheher
Dulcolax supp
Daftar Pustaka
1
Adams, E. B.; Holloway, R.; Thambiran, A. K.; Dessy, S. D.: Usefulness of Intermittent
Positive Pressure Respirations in The Treatment of Tetanus. Lancet 1966;11761180.
Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM,
8
editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.p.14014.
4
Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Ohs Intensive Care Manual. 6th ed.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.
Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol. 6 No.
3.
[Internet].
2006
[cited
2013
Oct
20].
Available
from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf.
6
Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19. [Internet]. 2005 [cited
2013
Oct
20].
Available
from:
http://www.update.anaesthesiologist.org/wp-
content/tetanus-areview.pdf.
7
Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature. Br J
Anaesth.2001;87(3):477-87.
Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al. Management
and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.
Hasil Pembelajaran
1. Tetanus
2. Kasus pasien dengan tetanus
3. Menegakkan diagnosis tetanus
4. Tatalaksana tetanus
RANGKUMAN
1. Subjektif :
9
Pasien datang ke RS dengan keluhan seluruh badan terasa kaku yang dirasakan sejak 10
hari SMRS. Keluhan dirasakan tiba tiba tanpa didahului demam ataupun kejang
sebelumnya. Pasien juga mengeluhkan leher terasa kaku, sulit untuk menunduk maupun
melihat ke kanan dan ke kiri, mulut pasien terasa sulit dibuka sehingga pasien kesulitan
dalam berbicara serta makan. Perut pasien juga terasa keras serta kedua kaki terasa lemah
yang menyebabkan pasien tidak dapat beraktifitas seperti biasa hanya dapat berbaring.
Pasien juga merasakan sering berkeringat banyak dan jantung terasa berdebar. BAK tidak
bisa. Riwayat jatuh terduduk, tertusuk paku, maupun luka yang terjadi sebelum keluhan
muncul disangkal pasien. Gigi berlubang (+). Pasien belum pernah mengalami hal seperti ini
sebelumnya. Keluarga pasien juga tidak ada yang pernah mengalami hal yang sama seperti
pasien
2. Objektif :
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat mendukung diagnosis tetanus. Pada kasus
ini diagnosis ditegakkan berdasarkan:
Gejala klinis : kaku seluruh tubuh, leher sulit digerakkan, mulut sulit dibuka, perut
keras seperti papan, kedua tungkai bawah melemah, berkeringat dan jantung
berdebar, serta tidak bisa BAK dan BAB.
Pemeriksaan fisik : trismus (+), kuduk kaku (+), defans muscular (+), opistotonus
(+), retensio urin et alvi (+).
Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang kejang otot
rangka1. Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit
ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi,
infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan
berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum
menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris2.
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob.
Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam
periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu
jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah
kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus;
pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui
ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah
pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada
lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan
menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten
yang bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit
memiliki efek klinis3,4,5. Tetanolisin menyebabkan lisis dari selsel darah merah2.
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf
pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan
perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan
saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat1.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih
memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan
otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat3,5.
Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah vesicle associated
membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul
ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu
transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan
-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga
terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refl eks motorik sehingga muncul aktivitas
saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme
otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah
11
terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena
paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis
yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya
irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga
memanjangkan durasi penyakit ini3,5.
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90% penderita,
gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi 5. Selang waktu sejak munculnya gejala pertama
sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset maupun periode
inkubasi secara signifikan menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan
periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat penyakitnya3.
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan
ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada kelompok
otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat
masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah
dan faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia.
Peningkatan tonus otot otot trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan
dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris3,5,6,7.
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat
menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Dalam 2448 jam dari kekakuan otot menjadi
menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan
mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot
masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka
meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otototot leher bagian
belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan
gejala kuduk kaku sampai opisthotonus2.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara
spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang
menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi
ekstensi2.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang
menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otototot laring
dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine
12
Penegakkan diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan
menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril.
Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif
berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu)
dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ). Pemeriksaan darah
dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30%
positif), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi1.
4. Planning
13
a)
Diagnostik
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :
Hasil
14,3 g/dl
42,5 %
20,4 x 103 l
213 x 103 l
4,73 x 103 l
132 mg/dl
3,0 mmol/L
103 mmol/L
131 mmol/L
43 mg/dl
1,2 mg/dl
Nilai Normal
14 18 (pria)
40 50 % (pria)
4 9 (dewasa)
150 350
45
<200
45
97 137
136 144
10 50
1,4
Berdasarkan hasil diatas tampak adanya peningkatan leukosit yang menandakan adanya
infeksi serta penurunan kadar natrium dan kalium.
b) Terapi
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah :
-
Folley catheher
Dulcolax supp
14
Ada
tiga
sasaran
penatalaksanaan
tetanus,
yakni:
(1)
membuang
sumber
tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang (suportif)
sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme1,7,9,10.
Membuang Sumber Tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut3,5,9. Antibiotika diberikan untuk
mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah
minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa
pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif
mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan
penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap
penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G
100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus
tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis
terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA)5,9,11.
Netralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.
Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan
intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi
British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah
500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar
luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat
pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia
berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian
intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit
diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga 1,3,9.
15
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif dengan
toksoid karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan3,5,9.
Pengobatan suportif
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi lebih
sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya mengalami spasme otot 9.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis
diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral
dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per
rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat badan 10 kg,
atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian
diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi
(tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal
adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan
masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan 3,12.
Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine
seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan
otonom3,5. Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat
ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8
jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa.5,10 Morphine bisa
memiliki efek sama dan biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis berlebihan
dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan
penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan
peningkatan metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis 5.
Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk
mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula asam amino
sangat membantu membatasi katabolisme protein 9. Pada hari pertama perlu pemberian cairan
secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda
dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada
16
risiko aspirasi9.
c) Pendidikan:
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya, menjelaskan
faktor resiko dan rencana terapi untuk membantu proses penyembuhan dan pemulihan.
d) Konsultasi:
Terapi selanjutnya dan perawatan di ruangan dikonsultasikan kepada dokter spesialis saraf.
Mengetahui
Pendamping
Pendamping
17