Anda di halaman 1dari 89

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Konsep diri adalah semua ide pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahui
individu tentang dirinya dan mempengaruhi ndividu dalam berhubungan dengan orang lain
(Stuart dan Sundeen, 1998). Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan
kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan
dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginan. Sedangakan Beck, William dan
Rawlin (1986) meyatakan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara
utuh, baik fiscal, emosional intelektual, sosial, dan spiritual. Menurut Willian D. Brooks
(1976), konsep diri adalah factor yang sangat penting dan menentukan dalam komunikasi
antar-pribadi. Kunci keberhasilan hidup seseorang adalah konsep diri positif. Konsep diri
memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang, karena
konsep diri dapat dianalogikan sebagai suatu operating system dalam menjalankan komputer.
Menurut Hurlock (1994) yang dimaksud konsep diri adalah kesan (image) individu
mengenai karakteristik dirinya yang mencakup fisik, sosial, emosional, aspirasi dan
achievement. Secara umum konsep diri dibagi atas beberapa bagian, gambaran diri (body/self
image), ideal diri dan harga diri (self esteem). Sikap seseorang terhadap dirinya secara sadar
ataupun tidak sadar merupakan gambaran atas diri orang tersebut. Sikap ini mencakup
persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan, potensi tubuh saat ini dan
masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap
individu serta pekerjaan yang ditekuninya. Pada akhirnya, konsep diri adalah sesuatu yang
dibentuk, bukan ada secara otomatis seiring dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
1

individu. Oleh karenanya, pembentukan konsep diri berkaitan erat dengan lingkungan dimana
individu hidup dan beraktivitas.
Perkembangan yang berlangsung yang di alami setiap manusia, menyebabkan
manusia tersebut pada akhirnya sadar akan keberadaan dirinya, dan kemudian membantu
pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan.Individu yang memiliki konsep diri
yang positif, cenderung memiliki penerimaan diri dan harga diri yang positif juga, hal ini
merupakan kunci dari aktualisasi diri. Individu yang memiliki konsep diri seperti itu akan
memiliki rasa kesadaran diri yang tinggi dan menganggap dirinya berharga.
Kebudayaan di masyarakat dalam mempersepsikan pekerjaan yang sesuai di
kalangan perempuan masih kuat. Terlebih perempuan masih dipersepsikan untuk pekerjaan
yang lebih mudah. Pekerjaan yang lebih mudah adalah yang tidak mengandalkan tenaga
banyak dan di dalam ruangan. Pekerjaan seperti itu dianggap lebih pantas untuk perempuan,
dan untuk pekerjaan yang lebih menantang di anggap lebih pantas untuk laki-laki. Namun di
jaman sekarang ini kaum wanita banyak yang tidak lagi peduli dengan persepsi masyarakat
seperti itu. Tingginya kebutuhan akan kehidupan sehari-hari telah menuntut manusia terlebih
wanita untuk melakukan pekerjaan apapun itu demi memenuhi kebutuhan hidup. Sekalipun
harus mengesampingkan gender dalam pemilihan pekerjaan. Apapun pekerjaan akan
dilakukan demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ada yang melakukan dengan cara negatif
seperti mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ada pula yang melakukannya dengan
positif dengan melakukan pekerjaan apapun yang penting halal.
Pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang seharusnya dikerjakan laki-laki,
tetapi demi kebutuhan wanita pun mengerjakannya. Sekalipun itu pekerjaan dari kalangan
bawah seperti: tukang parkir, penarik becak, penjaga pom bensin, supir angkot, dan lain-lain.
Kehidupan wanita yang menjadi tukang parkir pasti berbeda dengan wanita pada umumnya
termasuk dengan kehidupan sosialnya. Namun wanita yang berani mengambil pekerjaan

seperti ini juga akan berdampak pada kehidupan keluarga mereka. Terutama bagaimana
wanita tersebut memandang dirinya sebelum dan sesudah menjadi tukang parkir.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti perempuan-perempuan seperti ini.
pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah tukang parkir perempuan yang ada
di kota medan. Pemilihan lokasi di kota Medan dilakukan karena jumlah tukang parkir yang
lebih banyak dibandingkan kota-kota lain di Sumatera Utara. Berdasarkan Uraian konteks
masalah di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana konsep diri tukang parkir
wanita yang ada di kota Medan serta alasan wanita-wanita ini memilih pekerjaan tersebut.

1.2 Fokus Masalah


Agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas, maka penulis membatasi masalah
sesuai judul yang diketengahkan atau dengan kata lain memfokuskan masalah yakni
permasalahan yang berkisar mengenai identitas diri petugas parkir wanita . Identitas diri yang
dimaksud merupakan citra diri dari seorang petugas parkir wanita yang terbilang masih
jarang dari orang orang sekitar , keluarga , teman bahkan objek penelitian itu sendiri .
Sehingga muncul pertanyaan Bagaimana konsep diri petugas parkir wanita dikota Medan?
Maka dari itu peneliti memfokuskan penelitian kepada petugas parkir wanita sebagai objek
kajian.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut ini :
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep diri petugas parkir sebagai seorang wanita.
2. Untuk mengetahui bagaimana komunikasi antar pribadi yang dilakukan ibu yang
berprofesi

sebagai seorang petugas parkir di dalam keluarga dan kerabat dengan

konsep diri yang ada.


3. Untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam membangun komunikasi didalam
pekerjaan petugas parkir ini
4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi

1.4 Manfaat Penelitian


Secara operasional, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah manfaat
teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, minimalnya
dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Penulis
1) Menambah wawasan penulis mengenai wacana citra diri manusia, untuk
selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku.
2) Melatih penulis mengerjakan penelitian yang berikutnya.

b. Bagi Lembaga Pendidikan


1) Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas lembaga
pendidikan yang ada, termasuk para pendidik yang ada di dalamnya, dan penentu
kebijakan dalam lembaga pendidikan, serta pemerintah secara umum.
2) Dapat menjadi contoh konkrit sebagai acuan bagi lembaga pendidikan dalam
mengkaji citra diri manusia.

c. Bagi Ilmu Pengetahuan


1) Menambah keilmuan tentang nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam
penelitian.
2) Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan sehingga dapat memperkaya dan
menambah wawasan bagi peneliti berikutnya

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

Paradigma adalah pandangan mendasar mengenai pokok persoalan, tujuan, dan sifat
dasar bahan kajian. Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu
berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi yang
dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Paradigma kualitatif
mencanangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas sosial para idealis, yang
memberikan suatu tekanan pada pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial dan
paradigma kualitatif ini memandang kehidupan sosial sebagai kreatifitas bersama individuindividu.Oleh karena itu, melalui paradigma kualitatif dapat menghasilkan suatu realitas yang
dipandang secara objektif dan dapat diketahui yang melakukan interaksi sosial (Ghony dan
Almanshur, 2012:73).Menurut Maxwell (1996), kelebihan paradigma adalah pemahaman
makna, dimana makna merujuk pada kognisi, afeksi, intense, dan apa saja yang berada di
bawah paying perspektif partisipan. Peneliti bukan saja tertarik pada aspek fisik pada
kejadian itu, melainkan bagaimana mereka memaknai semua itu, dan bagaimana makna itu
mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada makna seperti itu disebut intrepretif
(Maxwell dalam Ghony dan Almanshur,2012:77). Dalam kegiatan kajian, paradigma
kualitatif dijabarkan ke dalam langkah-langkah (Ghony dan Almanshur,2012:77): (1)
penentuan pumpun kajian (focus of study), yang mencakup kegiatan memilih masalah yang
memenuhi syarat kelayakan dan kebermaknaan, (2) pengembangan kepekaan teoretik dengan
menelaah bahan pustaka yang relevan dan hasil kajian sebelumnya, (3) penentuan kasus atau
bahan kajian, yang meliputi kegiatan memilih dari mana dan dari siapa data diperoleh, (4)

pengembangan protokol pemerolehan dan pengolahan data, yang mencakup kegiatan


menetapkan piranti, langkah dan teknik pemerolehan dan pengolahan data yang digunakan,
(5) pelaksanaan kegiatan pemerolehan data, yang terdiri atas kegiatan mengumpulkan data
lapangan atau melakukan pembacaan naskah yang dikaji, (6) pengolahan data perolehan,
yang meliputi kegiatan penyandian (coding), pengkategorian (categorizing), pembandingan
(comparing), dan pembahasan (discussing), (7) negosiasi hasil kajian dengan subjek kajian,
dan (8) perumusan simpulan kajian, yang meliputi kegiatan penafsiran dan penyatu-paduan
(interpreting and intergrating) temuan ke dalam bangunan pengetahuan sebelumnya, serta
saran bagi kajian berikutnya.
Karena sifat dasar bahan yang dikaji serta tujuan yang ingin dicapai, bisa saja
langkah-langkah tersebut diubah menurut dinamika di lapangan.Fokus kajian, misalnya
mungkin mengalami penajaman dan perumusan ulang setelah peneliti melakukan penjajakan
lapangan.Tentu saja, penajaman ulang perlu dilakukan berdasarkan ketersediaan data, serta
dimaksudkan untuk meningkatkan kebermaknaan kajian. Setiap kajian berparadigma
interpretif harus memenuhi kriteria: (1) keterpercayaan (credibility), (2) kebergantungan
(dependability), dan (3) kepastian (confirmability), dan (4) keteralihan (transferability)
(Ghony dan Almanshur,2012:77). Kepercayaan membuktikan bahwa data perolehan dan
simpulan kajian benar-benar dapat dipercaya.Ketergantungan membuktikan bahwa temuan
dan simpulan kajian benar-benar bersandar pada data mentah.Kepastian membuktikan bahwa
kebenaran temuan dan simpulan kajian bisa dilacak berdasarkan data perolehan. Sedangkan
keteralihan membuktikan bahwa temuan dan simpulan penelitian bisa diberlakukan pada
kasus lain yang memiliki ciri-ciri samadengan kasus yang dikaji.

2.1.1 Komunikasi

Definisi dan prinsip komunikasi

Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan manusia laonnya.


Manusia ingin mengetahui apa yang terjadi dengan lingkungan sekitarnya bahkan yang
terjadi dengan dririnya. Rasa ingin tahu inilah membuat manusia berkomunikasi dengan yang
lain. Komunikasi adalah hal yang fundamental didalam kehidupan manusia untuk memenuhi
kebutuha dan rasa ingin tahu tersebut.
Laswell mengatakan bahwa komunikasi itu memiliki lima unsur utama, yaitu
(Effendy,2001:9):
1. Komunikator (Sender)
Komunikator merupakan seseorang yang menyampaikan pesan atau informasi
kepada seseorang atau sejumlah orang. Komunikator yang baik ialah komunikator yang
selalu memperhatikan umpan balik sehingga ia mengubah gaya komunikasinya jika ia
mengetahui bahwa umpan balik dari komunikasi bersifat kurang baik/ negatif.
2. Pesan (Message)
Pesan adalah seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.
Penyampaian pesan dapat dilakukan secara verbal dan non verbal. Penyampaian pesan secara
verbal dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa, sedangkan pesan secara non verbal
dapat dilakukan dengan menggunakan alat, isyarat, gambar, atau warna untuk mendapatkan
umpan balik dari komunikan.
3. Media(Channel)
Media adalah saluran komunikasi atau tempat dimana berlalunya pesan dari
komunikator kepada komunikan. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi

adalah, bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain lain sebagainya yang dapat secara langsung
menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan
4. Komunikan (Receiver/Recepient)
Komunikasi adalah orang yang menerima pesan dari komunikator. Komunikan yang
akan memberikan umpan balik kepada komunikator. Umpan balik memainkan peranan
penting dalam komunikasi atau berhentinya komunikasi yang diutarakan oleh komunikator.
Oleh sebab itu umpan balik dapat bersifat positif ataupun negatif.
5. Efek (Effect)
Efek merupakan tanggapan atau seperangkat reaksi pada komunikan setelah
menerima pesan dari komunikator.

Tahap tahap komunikasi(Effendy, 2001:11) :


1. Proses Komunikasi Secara Primer
Dalam proses komunikai ini, komunikator menyampaikan pikiran atau perasaannya
kepada komunikan dengan menggunakan lambang sebagai media. Lambang disini pada
umumnya adalah bahasa, tetapi dalam situasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang
digunakan dapat berupa gerak tubuh, warna dan gambar.

2. Proses Komunikasi Secara Sekunder


Dalam proses komunikasi ini, komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan
dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang
lambang pada media kedua karena komunikan berada di tempat yang relatif lebih jauh atau
jumlahnya banyak.
Misalnya dengan menggunakan surat, telepon, majalah, radio, televisi, dan
sebagainya. Proses ini merupakan sambungan dari proses primer untuk enembus ruang dan
9

10

waktu , dalam prosesnya komunikasi sekunder ini akan semakin efektif efesien karena
didukung oleh teknologi komunikasi yang semakin canggih.
Dengan demikian, dapat dismpulkan bahwa komunikasi merupakan proses
penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain secara verbal
maupun nonverbal, baik dilakukan secara tatap muka langsung ataupun secara tidak langsung
melalui media. Komunikasi akan berhasil jika dalam komunikasi tersebut terjadi pemahaman
yang sama diantara kedua belah pihak. Proses komunikasi ditujukan untuk menciptakan
komunikasi yang efektif.

2.1.2 Fenomenologi

Studi Fenomenologis (Phenomenological studies) Istilah fenomenologi secara


etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani
phainesthai yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan
fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat
karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan
sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.
Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu menunjuk ke
luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran
kita, karena fenomenologi selalu berada dalam kesadaran kita. Oleh karena itu dalam
memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat penyaringan (ratio), sehingga
mendapatkan kesadaran yang murni (Denny Moeryadi, 2009). Donny (2005: 150)
menuliskan fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari
obyek-obyek sebagai korelasi dengan kesadaran. Fenomenologi juga merupakan sebuah
pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia. Fenomenologi bermakna

10

11

metode pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan


pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah logis, sistematis kritis, tidak berdasarkan
apriori/prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi sebagai metode tidak hanya digunakan
dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan pendidikan.
Dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama pada
kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna
merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk
mengidentifikasi kualitas yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan
mendalam dan teliti (Smith, etc., 2009: 11). Prinsip-prinsip penelitian fenomenologis ini
pertama kali diperkenalkan oleh Husserl. Husserl mengenalkan cara mengekspos makna
dengan mengeksplisitkan struktur pengalaman yang masih implisit. Konsep lain
fenomenologis yaitu Intensionalitas dan Intersubyektifitas, dan juga mengenal istilah
phenomenologik Herme-neutik yang diperkenalkan oleh Heidegger. Setiap hari manusia
sibuk dengan aktifitas dan aktifitas itu penuh dengan pengalaman. Esensi dari pengalaman
dibangun oleh dua asumsi (Smith, etc., 2009: 12). Pertama, setiap pengalaman manusia
sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan
pengalamannya sendiri yang memang bersifat subyektif. Kedua, setiap bentuk kesadaran
selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika melihat mobil melewati kita, kita berpikir
siapa yang mengemudikannya, mengharapkan memiliki mobil seperti itu, kemudian
menginginkan pergi dengan mobil itu. Sama kuatnya antara ingin bepergian dengan mobil
seperti itu, ketika itu pula tidak dapat melakukannya. Itu semua adalah aktifitas yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, sebuah sikap yang natural. Kesadaran diri mere-fleksikan pada
sesuatu yang dilihat, dipikirkan, diingat dan diharapkan, inilah yang disebut dengan menjadi
fenomenologi.

11

12

Penelitian fenomenologis fokus pada sesuatu yang dialami dalam kesadaran


individu,

yang

disebut

sebagai

intensionalitas.

Intensionalitas

(intentionality),

menggambarkan hubungan antara proses yang terjadi dalam kesadaran dengan obyek yang
menjadi perhatian pada proses itu. Dalam term fenomenologi, pengalaman atau kesadaran
selalu kesadaran pada sesuatu, melihat adalah melihat sesuatu, mengingat adalah mengingat
sesuatu, menilai adalah menilai sesuatu. Sesuatu itu adalah obyek dari kesadaran yang telah
distimulasi oleh persepsi dari sebuah obyek yang real atau melalui tindakan mengingat atau
daya cipta (Smith, etc., 2009: 12).
Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga
merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri.Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri,
melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu.Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang
sama berlaku untuk kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesa-daran (directedness of
consciousness) dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang
bertujuan pada satu obyek. Smith, etc., (2009: 17) menuliskan bahwa menurut Heidegger
pandangan lain dalam konsep fenomenologi adalah mengenai person (orang) yang selalu
tidak

dapat

dihapuskan

dari

dalam

konteks

dunianya

(person-in-context)

dan

intersubyektifitas. Keduanya juga merupakan central dalam fenomenologi. Intersubyektifitas


berhubungan dengan peranan berbagi (shared), tumpang tindih (over-lapping) dan hubungan
alamiah dari tindakan di dalam alam semesta. Intersubyektifitas adalah konsep untuk
menjelaskan hubungan dan perkiraan pada kemampuan mengkomunikasikan dengan orang
lain dan membuat rasa (make sense) pada yang lain.
Relatedness-to-the world merupakan bagian yang fundamental dari konstitusi
fenomenologis. Untuk mencapai sikap fenomenologis dalam Smith, etc., (2009: 13) Husserl
mengembangkan metode fenomenologi yang direncanakan untuk mengidentifikasi struktur
inti dan ciri khas (feature) dari pengalaman manusia. Untuk itu, perlu memperhatikan

12

13

konsekuensi-konsekuensi dari taken-for-granted (menduga untuk pembenaran) dari cara-cara


hidup yang familiar, setiap hari alam semesta adalah obyek. Untuk itu perlu kategori untuk
taken-for-granted pada suatu obyek (alam semesta) agar memusatkan persepsi kita pada
obyek (alam semesta).
Metode fenomenologi Husserl dalam Denny Moeryadi (2009) dimulai dari
serangkaian reduksi-reduksi. Reduksi dibutuhkan supaya dengan intuisi kita dapat
menangkap hakekat obyek-obyek. Reduksi-reduksi ini yang menying-kirkan semua hal yang
mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschau.Reduksi pertama, menyingkirkan segala
sesuatu yang subyektif.Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus
diajak bicara. Kedua, menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki
dan diperoleh dari sumber lain. Ketiga:menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala
sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau
reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin
(memperlihatkan diri). Menurut Smith, etc., (2009: 14) masing-masing reduksi memberikan
perbedaan lensa atau prisma, dan perbedaancara dalam berpikir dan pengambilan keputusan
berdasarkan pemikiran logis tentang fenomena pada sisi lain. Susunan reduksi direncanakan
untuk memandu peneliti jauh dari kebingungan dan salah arah dari asumsi-asumsi dan
prekonsepsi-prekonsepsi dan kembali menuju pada esensi dari pengalaman dari fenomena
yang telah given. Dalam fenomenologi dilakukan pengujian dengan deskripsi dan refleksi
terhadap setiap hal yang penting terutama dari fenomena yang given. Deskripsi dari
pengalaman yang fenomenologis hanya merupakan tahap pertama. Yang real/nyata dilakukan
dalam pengujian adalah untuk mendapatkan pengalaman dengan lebih general.
Pengujian dilakukan dengan mencoba dan menetapkan apakah inti dari pengalaman
subyektif dan apakah essensi atau ide dari obyek (Smith, etc., 2009: 14). Fenomenologi juga
mengadakan refleksi mengenai pengalaman langsung atau refleksi terhadap gejala/fenomena.

13

14

Dengan refleksi ini akan mendapatkan pengertian yang benar dan sedalam-dalamnya. Dalam
fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang orang
pertama, yakni dari orang yang mengalaminya. Fokus fenomenologi bukan pengalaman
partikular, melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif yang
mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang. Fenomenologi berfokus pada
makna subyektif dari realitas obyektif di dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas
kehidupannya sehari-hari. Alfred Schults sebagaimana dituliskan oleh Smith, etc., (2009:
15)mengadopsi dan mengembangkan fenomenologi ini dengan pendekatan interpretatif
praktis. Teori tentang interpretative ini bermula dari teori hermeneutik. Hakekat dari metode
hermeneutik adalah metode interpretasi, memahami suatu gejala dari bahasanya baik lisan
maupun tulisan, dan bertujuan ingin mengetahui suatu gejala dari gejala itu sendiri yang
dikaji secara mendalam.
Hermeneutik pada awalnya merepresentasikan sebuah usaha untuk menyediakan
dasar-dasar yang meyakinkan untuk menginterpretasi yang berhubungan dengan teks-teks Alkitab.Selanjutnya dikembangkan sebagai fondasi filosofis untuk menginterpretasi secara
meningkat dan meluas pada teks-teks, seperti teks sejarah dan literature kerja. Teoris-teoris
hermeneutik perhatian pada apa metode dan tujuan dari interpretasi itu sendiri. Apakah
mungkin untuk mengkover maksud atau makna yang original dari seorang author? Apakah
hubungan antara konteks dari produksi teks (pada sejarah di masa lalu) dengan konteks dari
interpretasi teks (relevansinya dengan kehidupan sekarang). Schiermacher yang pertamakali
menuliskan secara sistematis mengenai hermeutik sebagai mempunyai bentuk yang umum
(generic form). Menurutnya interpretasi melibatkan apa yang disebut interpretasi grammatical
dan psychological.
Dalam studi fenomenologis ini dibantu dengan Analisis Fenomenologi Interpretatif
(AFI) atau Interpretative Phenomenologi Analysis (IPA). IPA dalam Smith dan Osborn

14

15

(2009:97-99) bertujuan untuk mengungkap secara detail bagaimana partisipan memaknai


dunia personal dan sosialnya. Sasaran utamanya adalah makna berbagai pengalaman,
peristiwa, status yang dimiliki oleh partispan. Juga berusaha mengeksplorasi pengalaman
personal serta menekankan pada pesepsi atau pendapat personal seseorang individu tentang
obyek atau peristiwa. IPA berusaha memahami secara seperti apa dari sudut pandang
partisipan untuk dapat berdiri pada posisi mereka. Memahami dalam hal ini memiliki dua
arti, yakni memahami-interpretasi dalam arti mengidentifikasi atau berempati dan makna
kedua memahami dalam arti berusaha memaknai. IPA menekankan pembentukan-makna baik
dari sisi partisipan maupun peneliti sehingga kognisi menjadi analisis sentral, hal ini berarti
terdapat aliansi teoritis yang menarik dengan paradigma kognitif yang sering digunakan
dalam psikologi kontemporer yang membahas proses mental.
Analisis Data dalam Penelitian Fenomenologi Data dari fenemena sosial yang diteliti
dapat dikumpulkan dengan berbagai cara, diantaranya observasi dan interview, baik interview
mendalam (in-depth interview). In depth dalam penelitian fenomenologi bermakna mencari
sesuatu yang mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang
fenomena sisoal dan pendidikan yang diteliti. In-depth juga bermakna menuju pada sesuatu
yang mendalam guna mendapatkan sense dari yang nampaknya straight-forward secara aktual
secara potensial lebih complicated. Pada sisi lain peneliti juga harus memformulasikan
kebenaran peristiwa/ kejadian dengan pewawancaraan mendalam. ataupun interview. Data
yang diperoleh dengan in-depth interview dapat dianalisis proses analisis data dengan
Interpretative Phenomenological Analysis sebagaiman ditulis oleh Smith (2009: 79-107).
Tahap-tahap Interpretative Phenomenological Analysis yang dilaksanakan sebagai berikut: 1)
Reading and re-reading; 2) Initial noting; 3) Developing Emergent themes; 4) Searching for
connections across emergent themes; 5) Moving the next cases; dan 6) Looking for patterns
across cases.

15

16

Masing-masing tahap analisis diuraikan sebagai berikut:


1. Reading and Re-reading.
Dengan membaca dan membaca kembali peneliti menenggelamkan diri dalam data
yang original. Bentuk kegiatan tahap ini adalah menuliskan transkrip interviu dari rekaman
audio ke dalam transkrip dalam bentuk tulisan. Rekaman audio yang digunakan oleh peneliti
dipandang lebih membantu pendengaran peneliti dari pada transkrip dalam bentuk tulisan.
Imaginasi kata-kata dari partisipan ketika dibaca dan dibaca kembali oleh peneliti dari
transkrip akan membantu analisis yang lebih komplit. Tahap ini di laksanakan untuk
memberikan keyakinan bahwa partisipan penelitian benar-benar menjadi fokus analisis.
Peneliti memulai proses ini dengan anggapan bahwa setiap kata-kata partisipant sangat
penting untuk masuk dalam fase analisis dan data kata-kata itu diperlakukan secara aktif.
Membaca kembali data dengan model keseluruhan struktur interviu untuk selanjutnya
dikembangkan, dan juga memberikan kesempatan pada peneliti untuk memperoleh
pemahaman mengenai bagaimana narasi-narasi partisipant secara bersama-sama dapat terbagi
dalam beberapa bagian. Dengan membaca dan membaca kembali juga memudahkan
penilaian mengenai bagaimana hubungan dan kepercayaan yang dibangun antar interviu dan
kemudian memunculkan letak-letak dari bagian-bagian yang kaya dan lebih detail atau
sebenarnya kontradiksi dan paradox.
2. Initial Noting.
Analisis tahap awal ini sangat mendetail dan mungkin menghabiskan waktu. Tahap
ini menguji isi/konten dari kata, kalimat dan bahasa yang digunakan partisipan dalam level
eksploratori. Analisis ini menjaga kelangsungan pemikiran yang terbuka (open mind) dan
mencatat segala sesuatu yang menarik dalam transkrip. Proses ini menumbuhkan dan
membuat sikap yang lebih familier terhadap transkrip data. Selain itu tahap ini juga memulai
mengidentifikasi secara spesifik cara-cara partisipan mengatakan tentang sesuatu, memahami

16

17

dan memikirkan mengenai isu-isu. Tahap 1 dan 2 ini melebur, dalam praktiknya dimulai
dengan membuat catatan pada transkrip. Peneliti memulai aktifitas dengan membaca,
kemudian membuat catatan eksploratori atau catatan umum yang dapat ditambahkan dengan
membaca berikutnya. Analisis ini hampir sama dengan analisis tekstual bebas. Di sini tidak
ada aturan apakah dikomentari atau tanpa persyaratan seperti membagi teks kedalam unit-unit
makna dan memberikan komentar-komentar pada masing-masing unit. Analisis ini dilakukan
dengan tujuan untuk menghasilkan seperangkat catatan dan komentar yang komprehensif dan
mendetail mengenai data. Beberapa bagian dari interviu mengandung data penelitian lebih
banyak dari pada yang lain dan akan lebih banyak makna dan komentar yang diberikan. Jadi
pada tahap ini peneliti mulai memberikan komentar dengan menduga pada apa yang ada pada
teks.
Aktifitas ini menggambarkan difusi kebijakan gender pada pola-polanya seperti
hubungan, proses, tempat, peristiwa, nilai dan prinsip-prinsip dan makna dari difusi kebijakan
gender bagi partisipan. Dari sini kemudian dikembangkan dan disamping itu peneliti akan
menemukan lebih banyak catatan interpretatif yang membantu untuk memahami bagaimana
dan mengapa partisipan tertarik dengan kebijakan gnder mainstreaming.
Deskripsi yang peneliti kembangkan melalui initial notes ini menjadi deskripsi inti
dari komentar-komentar yang jelas merupakan fokus dari fenomenologi dan sangat dekat
dengan makna eksplisit partisipant. Dalam hal ini termasuk melihat bahasa yang mereka
gunakan, memikirkan konteks dari ketertarikan mereka (dalam dunia kehidupan mereka), dan
mengidentifukasi konsep-konsep abstrak yang dapat membantu peneliti membuat kesadaran
adanya pola-pola makna dalam keterangan partisipan. Data yang asli/original dari transkrip
diberikan komentar-komentar dengan menggunakan ilustrasi komentar eksploratory.
Komentar eksploratori dilaksanakan untuk memperoleh intisari. Komentar eksploratori
meliputi komentar deskriptif (descriptive comment), komentar bahasa (linguistic comment)

17

18

dan komentar konseptual (conceptual comment) yang dilakukan secara simultan. Komentar
deskriptif difokuskan pada penggambaran isi/content dari apa yang dikatakan oleh participant
dan subjek dari perkataan dalam transkrip. Komentar bahasa difokuskan pada catatan
eksploratori yang memperhatikan pada penggunaan bahasa yang spesifik oleh participant.
Peneliti fokus pada isi dan dan makna dari bahasa yang disampaikan. Komentar konseptual
ini lebih interpretative difokuskan pada level yang konseptual. Koding yang konseptual ini
menggunakan bentuk bentuk yang interogatif (mempertanyakan).
Setelah memberikan komentar eksploratori peneliti melakukan dekonstruksi
(deconstruction). Ini membantu peneliti untuk mengembangkan strategi dekontekstualisasi
yang membawa peneliti pada fokus yang lebih detail dari setiap kata dan makna dari
partisipan penelitian. De-konstekstualisasi membantu mengembangkan penilaian yang secara
alamiah diberikan pada laporan-laporan partisipan dan dapat menekankan pentingnya
konsteks dalam interviu sebagai keseluruhan, dan membantu untuk melihat interrelationship
(saling hubungan) antar satu pengalaman dengan pengalaman lain. Setelah dekonstruksi
peneliti melakukan tinjauan umum terhadap tulisan catatan awal (overview of writing initial
otes).
Langkah ini dilaksanakan dengan memberikan catatan-catatan eksploratory yang
dapat digunakan selama mengeksplore data dengan cara: 1) Peneliti memulai dari transkrip,
menggarisbawahi teks-teks yang kelihatan penting. Pada saat setiap bagian teks
digarisbawahi berusaha juga untuk menuliskan dalam margin keteranganketerangan mengapa
sesuatu itu dipikirkan dan digarisbawahi dan karena itu sesuatu itu dianggap penting; 2)
Mengasosiasi secara bebas teks-teks dari partisipan, menuliskan apapun yang muncul dalam
pemikiran ketika membaca kalimat-kalimat dan kata-kata tertentu. Ini adalah proses yang
mengalir dengan teks-teks secara detail, mengeksplore perbedaan pendekatan dari makna
yang muncul dan dengan giat menganalisis pada level yang interpretative.

18

19

3. Developing Emergent Themes (Mengembangkan kemunculan tema-tema).


Meskipun transkrip interviu merupakan tempat pusat data, akan tetapi data itu akan
menjadi lebih jelas dengan diberikannya komentar eksploratori (exploratory commenting)
secara komphrehensip. Dengan komentar eksploratori tersebut maka pada seperangkat data
muncul atau tumbuh secara substansial. Untuk memunculkan tema-tema peneliti memenej
perubahan data dengan menganalisis secara simultan, berusaha mengurangi volume yang
detail dari data yang berupa transkrip dan catatan awal yang masih ruwet (complexity) untuk
di mapping kesalinghubungannya (interrelationship), hubungan (connection) dan pola-pola
antar catatan eksploratori. Pada tahap ini analisis terutama pada catatatan awal lebih yang dari
sekedar transkrip. Komentar eksploratori yang dilakukan secara komprehensip sangat
mendekatkan pada simpulan dari transktip yang asli. Analisis komentar-komentar
eksploratori untuk mengidentifikasi munculnya tema-tema termasuk untuk memfokuskan
sehingga sebagian besar transkrip menjadi jelas. Proses mengidentifikasi munculnya tematema termasuk kemungkinan peneliti mengobrak-abrik kembali alur narasi dari interviu jika
peneliti pada narasi awal tidak merasa comfortable. Untuk itu peneliti melakukan reorganisasi
data pengalaman partisipan.
Proses ini merepresentasikan lingkaran hermeneutik. Keaslian interviu secara
keseluruhan menjadi seperangkat dari bagian yang dianalisis, tetapi secara bersama-sama
menjadi keseluruhan yang baru yang merupakan akhir dari analisis dalam melukiskan suatu
peristiwa dengan terperinci.
4. Searching for connection a cross emergent themes
Partisipan penelitian memegang peran penting semenjak mengumpulkan data dan
membuat komentar eksploratori. Atau dengan kata lain pengumpulan data dan pembuatan
komentar eksploratori di lakukan dengan berorientasi pada partisipan. Mencari hubungan
antar tema-tema yang muncul dilakukan setelah peneliti menetapkan seperangkat tema-tema

19

20

dalam transkrip dan tema-tema telah diurutkan secara kronologis. Hubungan antar tema-tema
ini dikembangkan dalam bentuk grafik atau mapping/pemetaan dan memikirkan tema-tema
yang bersesuaian satu sama lain. Level analisis ini tidak ada ketentuan resmi yang berlaku.
Peneliti didorong untuk mengeksplore dan mengenalkan sesuatu yang baru dari hasil
penelitiannya dalam term pengorganisasian analisis. Tidak semua tema yang muncul harus
digabungkan dalam tahap analisis ini, beberapa tema mungkin akan dibuang. Analisis ini
tergantung pada keseluruhan dari pertanyaan penelitian dan ruang lingkup penelitian.
Mencari makna dari sketsa tema-tema yang muncul dan saling bersesuaian dan
menghasilkan struktur yang memberikan pada peneliti hal-hal yang penting dari semua data
dan aspek-aspek yang menarik dan penting dari keterangan-keterangan partisipan. Hubunganhubungan atau koneksi-koneksi yang mungkin muncul dalam Interpretative Pheno-menology
Analysis

selama

proses

analisis

meliputi:

Abstraction,

Subsumtion,

Polarization,

Contextualization, Numeration, dan Function.


5. Moving the next cases
Tahap analisis 1- 4 dilakukan pada setiap satu kasus/partisipan. Jika satu kasus
selesai dan dituliskan hasil analisisnya maka tahap selanjutnya berpindah pada kasus atau
partisipan berikutnya hingga selesai semua kasus. Langkah ini dilakukan pada semua
transkrip partisipan, dengan cara mengulang proses yang sama.
6. Looking for patterns across cases
Tahap akhir merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari polapola
yang muncul antar kasus/partisipan. Apakah hubungan yang terjadi antar kasus, dan
bagaimana tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus yang lain memandu peneliti
melakukan penggambaran dan pelabelan kembali pada tematema. Pada tahap ini dibuat
master table dari tema-tema untuk satu kasus atau kelompok kasus dalam sebuah institusi/
organisasi.

20

21

2.1.3 Konsep Diri (Self Concept)


1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri (self concept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap
pembicaraan tentang kepribadian manusia.Konsep diri merupakan sifat yang unik pada
manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari mahkluk hidup
lainnya.Para ahli psikologi kepribadian berusaha menjelaskan sifat dan fungsi dari konesp
diri, sehingga terdapat beberapa pengertian. Konsep diri dinyatakan melalui sikap dirinya
yang merupakan aktualisasi orang tersebut. Manusia sebagai organisme yang memiliki
dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar keberadaan dirinya.
Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri
individu bersangkutan.
Semakin

berkembang

seseorang,

semakin

lebih

mampu

dia

mengatasi

lingkungannnya. Namun, sementara dia mengetahui lingkungannya, dia pun akan semakin
mengatahui siapa dirinya, dan dia pun mengembangkan sikap terhadap dirinya sendiri dan
perilakunya. Pengetahuan dan sikap inilah dikenal sebagi konsep diri (self concept).
Konsep diri berarti segala yang seseorang ketahui tentang dirinya sendiri, semua apa
yang dipercayai, dan apa yang telah terjadi dalam hidup anda terekam dalam metal hard
drive kepribadian seseorang, yaitu dalam self concept seseorang. Self concept seseorang
mendahului dan memprediksi tingkat performa dan efektivitas setiap tindakannya. Tingkah
laku nyata seseorang akan selalu konsisten dengan self concep yang terdapat di dalam
dirinya.
Pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri
memengaruhi prilaku adalah sebuah prinsip penting, Herbert Mead berpendapat bahwa
karena manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya
21

22

sendiri.Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Penting juga diingat
bahwa Mead melihat diri sebagai sebuah proses, bukan struktur. Memiliki diri memaksa
seseorang

untuk

mengkonstruksi

tindakan

dan

responya,

daripada

sekedar

mengekspresikannya. (Richard & Lynn 2007 : 102)


Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah konsep memiliki arti gambaran,
proses atau hal-hal yang digunakan oleh akal budi untuk memahami sesuatu. Istilah diri
berarti bagian-bagian dari individu yang terpisah dari yang lain. Konsep diri dapat diartikan
sebagai gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri atau penilaian terhadap dirinya sendiri
(KBBI, 2008).
Konsep diri merupakan sebuah konstruk psikologis yang telah lama menjadi
pembahasan dalam ranah ilmu-ilmu sosial (Marsh & Craven, 2008).Shavelson, Hubner, &
Stanton (1976) menyatakan bahwa konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap
dirinya sendiri, dimana persepsi ini dibentuk melalui pengalaman dan interprestasi seseorang
terhadap dirinya sendiri. Marsh (1990) juga menambahkan bahwasanya konsep diri
merupakan nilai dari hasil proses pembelajaran yang dilakukan dan dari hasil situasi
psikologis yang diterima. Menurut Purkey (1988), konsep diri merupakan totalitas dari
kepercayaan terhadap diri individu, sikap dan opini mengenai dirinya, dan individu tersebut
merasa hal tersebut sesuai dengan kenyataan pada dirinya. Menurut Rice & Gale (1975)
konsep diri terdiri diri dari berbagai aspek, misalnya aspek sosial, aspek fisik, dan moralitas.
Konsep diri merupakan suatu proses yang terus selalu berubah, terutama pada masa kanakkanak dan remaja. Menurut Gage dan Berliner (1998) selain merupakan cara bagaimana
individu melihat tentang diri mereka sendiri, konsep diri juga mengukur tentang apa yang
akan dilakukan di masa yang akan datang, dan bagaimana mereka mengevaluasi performa
diri mereka. Menurut Burns (1993) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa
yang kita pikirkan dan orang lain pikirkan mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang

22

23

kita inginkan. Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu dan itu
bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri individu (Mulyana, 2007 :
27). Sedangkan menurut William D. Brooks, Rochman Natawidjaya (1979: 102) menjelaskan
bahwa konsep diri adalah persepsi individu tentang dirinya, kemampuan dan
ketidakmampuannya, tabiat-tabiatnya, harga dirinya dan hubungannya dengan orang
lain.Konsep diri juga merupakan gambaran mental diri sendiri yang terdiri dari
pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan diri dan penilaian terhadap diri sendiri
(James F Calhoun, 1995: 90). Pengertian konsep dirimenurut Jalaludin Rakhmat (1996: 125)
yaitu Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita, persepsi ini boleh bersifat psikologis,
sosial dan psikis.Konsep diri bukan hanya gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian
kita.Hurlock (1999) menambahkan bahwasanya konsep diri individu dapat menentukan
keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya konsep diri adalah
sebuah pandangan ataupun persepsi individu mengenai dirinya sendiri yang terbentuk melalui
interaksi dengan lingkungan serta berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan individu
tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori konsep diri Shavelson ,dkk(1976).

2. Perkembangan Teori Konsep diri


Freud pada tahun 1900 mengungkapkan bahwasanya hal yang terpenting dari diri
individu adalah proses mental. Freud mengatakan bahwasanya konsep diri merupakan sebuah
unit psikologis yang paling dasar untuk memahami proses mental individu. Konsep ini terus
dikembangkan oleh Freud dalam perkembangan teori ego dan dalam interpretasi terhadap diri
individu. Dalam perkembangannya, konsep diri semakin luas digunakan dalam dunia terapi
dan konseling. Lecky pada tahun 1945 menggunakan istilah konsistensi diri yang mengacu
pada dasar-dasar perilaku individu dalam terapi dan pada tahun 1948, Raimy
23

24

memperkenalkan istilah konsep diri dalam wawancara konseling karena ia melihat


bahwasanya dasar-dasar dari konseling adalah bagaimana individu tersebut melihat dirinya
secara utuh dalam konsep dirinya (Purkey, 1988). Selanjutnya, Roger pada tahun 1947
mencoba untuk mengembangkan pola self dalam sebuah sistem psikologis. Roger menilai
bahwa self merupakan dasar atau hal utama yang menjadi bagian dari kepribadian dan
penyesuaian individu. Roger juga mengatakan bahwasanya self merupakan produk sosial
yang tumbuh dari proses interpersonal yang dilakukan.
Teori konsep diri semakin berkembang pada tahun 1970 sampai tahun 1980-an
dengan pola konsep diri umum. Pada saat itu semakin banyak peneliti yang menyadari betapa
pentingnya mempelajari konsep diri karena konsep diri sangat mempengaruhi perilaku
individu.Dalam permasalahan seperti penggunaan alkohol, permasalahan keluarga,
penyalahgunaan obat-obatan, masalah akademis dan lain sebagainya, sangat dipengaruhi oleh
konsep diri seseorang.
Sehingga banyak para peneliti mengembangkan suatu cara bagaimana agar dapat
menguatkan konsep diri untuk menjadi lebih baik (Purkey, 1988). Pada awalnya konsep diri
merupakan suatu konstruk yang bersifat umum atau yang lebih dikenal dengan istilah
unidimensional (Prasetyo, 2006). Konsep diri umum merupakan generalisasi pemahaman
konsep diri tanpa melihat deskripsi spesifik dari apa yang dilihat secara khusus. Hal ini
mengandung arti bahwa konsep diri umum merupakan pemahaman seorang individu terhadap
diri mereka secara umum tanpa melihat bagian-bagian yang lebih spesifik dari diri mereka
(Puspasari, 2007).
Perkembangan konsep diri selanjutnya lebih mengarah pada konsep diri yang
bersifat spesifik atau yang lebih dikenal dengan istilah multidimensional.Konsep diri spesifik
merupakan pola penilaian konsep diri individu yang melihat ke dalam perspektif yang lebih
luas terhadap diri individu, sehingga bisa mendapatkan gambaran diri individu dari berbagai

24

25

sudut pandang yang beragam dan dinamis (Metivier, 2009).Jika hanya ada satu penjelasan
mengenai konsep diri unidimensional, maka pada konsep diri multidimensional dapat melihat
diri seseorang dari berbagai konteks, seperti konsep diri spiritual, konsep diri sosial, konsep
diri terhadap lingkungan dan lain sebagainya (James, dalam Metivier, 2009).
Pada seperempat abad terakhir, penelitian mengenai konsep diri semakinmeningkat.
Hal ini disebabkan karena keinginan para peneliti untuk mengembangkan konstruk konsep
diri pada diri individu. Salah satu pola pengembangan konsep diri yang banyak dilakukan
adalah dengan menggunakan pola konsep diri yang bersifat multidimensional (Marsh &
Craven, 2008).Marsh & Parker (dalam Metivier, 2009) mengatakan bahwasanya pola
pengukuran konsep diri yang bersifat multidimensional memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan pola unidimensional. Dalam konsep diri yang bersifat multidimensional
kita dapat melihat karakteristik individu dari berbagai macam konteks pada diri individu,
dapat memprediksi perilaku seseorang, dapat membantu menyelesaikan permasalahan pada
individu, dan dapat mengembangkan integrasi antar konstruk daripada konsep diri yang
bersifat unidimensional.
Dalam

penelitian

ini,

peneliti

menggunakan

konsep

diri

yang

bersifat

multidimensional.Hal ini dilakukan untuk mengetahui konsep diri secara spesifik sehingga
mendapatkan berbagai macam konsep diri individu dari sudut pandang yang beragam selain
dari beberapa keunggulan pola konsep diri multidimensional yang telah disebutkan di atas.
3. Jenis dan Struktur Konsep Diri
Shavelson, Hubner, dan Stanton (1976) membagi konsep diri menjadi beberapa
bagian, yakni general-esteem, konsep diri akademis dan konsep diri non akademis. Dimana
konsep diri akademis dan non akademis dibagi menjadi beberapa bagian lagi seperti dalam
tabel berikut :

25

26

Struktur konsep diri Shavelson, Hubner, & Stanton (1976)


Konsep diri secara umum dibagi ke dalam 4 jenis konsep diri, yakni :
a. Konsep diri akademis (Academic self concept), yang terdiri dari konsep diri mengenai
kemampuan berbahasa inggris, sejarah, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
b. Konsep diri Sosial (social self-concept), yang terdiri dari konsep diri teman sebaya
(peers) dan konsep diri terhadap orang berpengaruh (significant others).
c. Konsep diri emosional (emotional self-concept).
d. Konsep diri fisik (physical self-concept), yang terdiri dari konsep diri kemampuan fisik
dan konsep diri mengenai penampilan diri. Kemudian pada tahun 1985, Marsh merevisi
struktur konsep diri bersama dengan Shavelson dengan pola sebagai berikut :

Struktur Konsep Diri Marsh & Shavelson (1985)


Dalam pola ini Marsh & Shavelson tidak membentuk pola hierarkial. Namun lebih
kepada pola multifacet dari general konsep diri kepada banyak jenis konsep diri seperti
konsep diri penampilan fisik, hubungan dengan orangtua, akademis, problem-solving,
spiritual, hubungan teman sebaya baik yang sejenis maupun lawan jenis, kejujuran,
emosional dan lain-lain. Marsh & Shavelson (1985) dalam teorinya membuat 13 jenis konsep
diri yang dapat diteliti dalam diri individu, yakni :
1. Konsep diri umum (general self-concept)
2. Konsep diri akademis (academic self-concept).
3. Konsep diri matematika (mathematic self-concept).
4. Konsep diri problem-solving.
5. Konsep diri spiritual.
6. Konsep diri kestabilan emosi (emotional self-concept).

26

27

7. Konsep diri yang berhubungan dengan teman yang berjenis kelamin sama(same
sex peers self-concept).
8. Konsep diri yang berhubungan dengan teman yang berjenis kelamin berbeda
(opposite sex peers self-concept).
9. Konsep diri hubungan orangtua (parent self-concept).
10. Konsep diri penampilan fisik (physical appearance self-concept).
11. Konsep diri kekuatan fisik (physical ability self-concept).
12. Konsep diri verbal (verbal self-concept).
13. Konsep diri kejujuran (honesty self-concept).
4. Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang
manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau
respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai
siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola
asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung
mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya :
suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak
adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb dianggap sebagai hukuman akibat
kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan
apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang
baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep
diri yang positif.
Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan.
Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang
27

28

mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai
dan selalu berhasil mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah.
Bisa saja saat itu ia jadi merasa bodoh, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia
berusaha memperbaiki nilai.

Dalam konsep diri ini terdapat beberapa unsur antara lain:

1. Penilaian diri merupakan pandangan diri terhadap:


o Pengendalian keinginan dan dorongan-dorongan dalam diri. Bagaimana kita
mengetahui dan mengendalikan dorongan, kebutuhan dan perasaan-perasaan
dalam diri kita.
o Suasana hati yang sedang kita hayati seperti bahagia, sedih atau cemas.
Keadaan ini akan mempengaruhi konsep diri kita positif atau negatif.
o Bayangan subyektif terhadap kondisi tubuh kita. Konsep diri yang positif akan
dimiliki kalau merasa puas (menerima) keadaan fisik diri sendiri. Sebaliknya,
kalau merasa tidak puas dan menilai buruk keadaan fisik sendiri maka konsep
diri juga negatif atau akan jadi memiliki perasaan rendah diri.
2. Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana individu menerima
penilaian lingkungan sosial pada diri nya. Penilaian sosial terhadap diri yang cerdas, supel
akan mampu meningkatkan konsep diri dan kepercayaan diri. Adapun pandangan lingkungan
pada individu seperti si gendut, si bodoh atau si nakal akan menyebabkan individu memiliki
konsep diri yang buruk terhadap dirinya.
3. Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau
citra diri, yaitu merupakan gambaran:

28

29

Siapa saya, yaitu bagaimana kita menilai keadaan pribadi seperti tingkat kecerdasan, status
sosial ekonomi keluarga atau peran lingkungan sosial kita.

Saya ingin jadi apa, kita memiliki harapan-harapan dan cita-cita ideal yang ingin dicapai
yang cenderung tidak realistis. Bayang-bayang kita mengenai ingin jadi apa nantinya,
tanpa disadari sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh ideal yang yang menjadi idola, baik itu
ada di lingkungan kita atau tokoh fantasi kita.

Bagaimana orang lain memandang saya, pertanyaan ini menunjukkan pada perasaan
keberartian diri kita bagi lingkungan sosial maupun bagi diri kita sendiri.
Konsep diri yang terbentuk pada diri juga akan menentukan penghargaan yang

berikan pada diri. Penghargaan terhadap diri atau yang lebih dikenal dengan self esteem ini
meliputi penghargaan terhadap diri sebagai manusia yang memiliki tempat di lingkungan
sosial. Penghargaan ini akan mempengaruhi dalam berinteraksi dengan orang lain.

5. Faktor Lingkungan terhadap Pembentukan Konsep diri.

Kita mungkin patut mempertanyakan, mengapa beberapa bagian kota terlihat sukses
dan lainnya tidak? Mengapa orang-orang lebih senang tinggal di lingkungan tertentu
dibandingkan dengan lainnya? Kenapa anak belajar lebih baik pada sebuah lingkungan
ketimbang lingkungan lainnya?.Seringkali orang bertindak secara instinctive. Mereka
melakukan sesuatu berdasarkan naluri untuk alas an yang tidak dapat mereka jelaskan secara
pasti. Setiap orang memiliki perasaan dasar, yang secara bawah sadar menjadi kekutan yang
mendasari perilakunya.Kekuatan ini sering juga disebut sebagai NILAI.
Nilai adalah sesuatu yang bertahan lama dan menjadi penopang psikologis semua
makhluk hidup.Nilai memberi manusia kerangka berfikir, dimana manusia merencanakan dan
membangun

kehidupannya.Nilai

dibuat

untuk

sebuah tujuan

akhir.Misalnya,

kita
29

30

mengharapkan kehidupan yang relative tidak rumit, produktif, aktif dan menarik.Kita
menginginkan memiliki rumah yang tidak terlalu kecil, memiliki halaman yang nyaman dan
mudah diurus. Orang lain mungkin memiliki rumah yang cukup luas, memiliki kolam renang
dan garasi untuk parkir mobil mewah milik pribadi.
Semua orang memiliki nilai individual yang berbeda dalam hidupnya dan dipenuhi
dengan berbagai cara. Sebagai contoh, pengalaman masa kecil yang miskin akan mendorong
keinginan untuk mencuri di masa dewasa atau malah menjadi seorang dermawan. Tidak
adanya privasi di masa kanak-kanak (di mana bisa juga akibat budaya) dapat menghasilkan
efek yang bervariasi terhadap setiap orang.

2.1.4 Presentasi Diri


Manusia adalah mahluk social yang sangat bergantung dengan sesamanya dalam
mencapai tujuan perorangan maupun kolektif.pengalaman inklusi sosial juga penting, sebab
orang yang disisihkan atau diabaikan secara social akan mengalami tekanan atau stress.
Karenanya, salah satu aspek yang sering tampak dalam interaksi social adalah keinginan
untuk menciptakan kesan yang baik bagi orang lain. Istilah self-presentation (presentasi diri)
mengacu pada usaha kita untuk mengontrol kesan yang ingin disampaikan.Tujuan utama dari
presentasi diri ini adalah mengatur interaksi agar mendapatkan hasil yang kita inginkan.
Mengapa presentasi diri penting bagi pemahaman tentang diri? Ada beberapa sebab.
Yang pertama ialah karena kita ingin orang memandang kita secara positif, tetapi terkadang
usaha yang kita lakukan justru menciptakan kesan yang lain. Lalu yang kedua adalah
terkadang kita ingin meminimalkan kesan buruk.
Presentasi diri membantu kita mendeskripsikan diri kita kepada orang lain. Selain
itu, presentasi diri juga mempengaruhi pengetahuan diri kita.ketika kita melakukan sesuatu

30

31

secara terang-terangan atau di depan public, hal tersebut dapat mempengaruhi konsep diri
kita secara lebih kuat ketimbang saat kita bertindak secara privat.
Dalam interaksi tentunya manusia tidak dapat menghindari untuk mengungkapkan
dirinyapada orang lain. Sungguhpun mereka mencoba untuk membatasi apa yang
diungkapkan, tapi tetaplah akan bercerita sedikit tentang dirinya, bahkan walaupun mereka
meyakini bahwa tak akan membohongi orang tentang siapa sesungguhnya dirinya, dalam
kenyataannya tetap berusaha membentuk atau mengelola kesan.
Teori Presentasi diri (self presentation) adalah upaya untuk menumbuhkan kesan
tertentu di depan orang lain dengan cara menata perilaku. Untuk memperoleh presentasi diri
yang baik orang mencoba mengelola impresi diri (impression management). Impresi yang
pertama kali kita buat di depan orang lain akan menentukan bagaimana hubungan orang lain
dengan kita.Ada berbagai cara untuk menumbuhkan kesan positif di depan orang lain :
a. Forsythe, Drake & Cox, 1985 : pakaian yang kita pakai adalah sesuatu yang sangat
menentukan kesan terhadap diri kita. Wanita yang berpakaian profesional ( Blazer dan
rokspan disaat melamar pekerjaan lebih sering diterima pada posisi manajemen jika
dibandingkan dengan wanita yang melamar dengan pakaian konvensional (misalnya
rok terusan).
b. Baron, 1989 : penampilan model rambut, kosmetik, dan kaca mata ikut pula
mempengaruhi kesan orang lain pada seseorang.
c. Jones and Pitman (1982) : mengemukakan lima teknik presentasi diri pada orang lain:
o Ingrasiasi (ingratiation)
o Promosi Diri (self promotions)
o Intimidasi
o Eksemplikasi ( exemplication)
o Suplikasi (supllication)

31

32

1. Ingratiation (presentasi diri agar disukai), menampilkan diri agar disukai orang
lain dan cenderung berperilaku berlebihan.
2. Self Promotion (presentasi diri agar dianggap kompeten), menampilkan diri
dengan segala kelebihan diri.
3. Intimidation (presentasi diri agar ditakuti), menampilkan diri sebagai orang yang
berbahaya.
4. Supplication (presentasi diri agar dikasihani), menampilkan diri dengan
menunjukkan kelemahan atau bergantung kepada orang lain.
5. Examplification (presentasi diri agar dianggap memiliki integrasi moral tinggi),
menampilkan diri sebagai orang yang rela berkorban untuk orang lain.
Setiap orang akan menggunakan kelima strategi tersebut atau menggunakan salah
satunya untuk mempresentasikan dirinya. Dengan pola pikir yang berbeda yang membuat
setiap orang itu berbeda dalam mempresentasikan dirinya dalam pemantauan diri (selfmontoring).
Konsep diri : terdiri 3 komponen utama yang saling mempengaruhi, yaitu : Diri ideal
(self ideal), citra diri (self image) dan harga diri (self esteem).
Masing masing komponen memiliki fungsi.setiap individu perlu memahami fungsi
masing masing komponen agar terbentuk konsep diri positif.
d. Self ideal : menetukan arah perkembangan diri dan pertumbuhan karakter serta
kepribadian. Merupakan gabungan dari semua kualitas serta ciri kepribadian orang yang
sangat dikagumi. merupakan gambaran dari sosok yang sangat diinginkan untuk menjadi
sepertinya.
e. Self image : cara individu melihat dan berpikir mengenai dirinya sendiri pada waktu
sekarang ini. Sering kali disebut cermin diri. Individu akan bertindak sesuai dengan
bayangan/gambar yang muncul didalam cermin

32

33

f. Self esteem : komponen yang bersifat emosional dan paling penting dalam menentukan
sikap dan kepribadian individu. Didefinisikan sebagai seberapa suka dan hormat seseorang
terhadap dirinya sendiri. Merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Ditentukan
oleh hubungan antara self ideal dan self image.
Dalam proses presentasi diri biasanya individu akan melakukan pengelolaan kesan
(impression management). Pada saat ini, individu melakukan suatu proses dimana dia akan
menseleksi dan mengontrol perilaku mereka sesuai dengan situasi dimana perilaku itu
dihadirkan serta memproyeksikan pada orang lain suatu image yang diinginkannya. Manusia
melakukan hal tersebut, karena ingin orang lain menyukainya, ingin mempengaruhi mereka,
ingin memperbaiki posisi, memelihara stasus dan sebagainya.
Dengan demikian presentasi diri atau pengelolaan kesan dibatasi dalam pengertian
menghadirkan diri sendiri dalam cara-cara yang sudah diperhitungkan untuk memperoleh
penerimaan atau persetujuan orang lain.
Ada dua komponen dalam pengelolaan kesan (impression management), yakni :
1. Motivasi pengelolaan kesan (impression-motivation): Motivasi pengelolaan kesan
menggambarkan bagaimana motivasi yang dimiliki untuk mengendalikan orang lain dalam
melihat diri atau untuk menciptakan kesan tertentu dalam benak pikiran orang lain.
2. Konstruksi pengelolaan kesan (impression-construction) : adalah menyangkut
pemilihan image tertentu yang ingin diciptakan dan mengubah perilaku dalam cara-cara
tertentu unruk mencapai suatu tujuan.

33

34

Goffman menggambarkan interaksi sosial sebagai suatu pertunjukan teater dimana


masing-masing orang bertindak dalam jalur tertentu. Jalur itu adalah sejumlah tindakan
verbal dan nonverbal yang dipilih secara hati-hati untuk mengekspresikan diri. Tentu saja
jalur ini dapat berubah dan suatu situasi ke sitasi lain menurut derajat kepentingan yang
dimliki individu.
Menurut Goffman bahwa salah satu aturan dasar interaksi sosial adalah komitmen
yang saling timbal-balik diantara individu-individu yang terlibat mengenai peran (role) yang
harus dimainkannya.Satu pertanyaan yang cukup mendasar sehubungan dengan hal tersebut,
adalah bagaimana individu dapat menciptakan suatu kesan yang baik?
Goffman mengajukan syarat-syarat yang perlu dipenuhi bila individu mengelola
kesan secara baik, yaitu:
1.

Penampilan muka (proper front)

Yakni perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang lain mengetahui
dengan jelas peran si pelaku (aktor). Front ini terdiri dan peralatan lengkap yang kita gunakan
untuk menampilkan diri. Front ini mencakup 3 aspek (unsur) setting (serangkaian peralatan
ruang dan benda yang digunakan); appearance (penggunaan petunjuk artifaktual, misal
pakaian, rencana, atribut-atribut, dll; manner (gaya bertingkah laku, misal cara berjalan
duduk, berbicara, memandang, dll.)
2. Keterlibatan dalam perannya.
Hal yang mutlak adalah aktor sepenuhnya terlibat dalam perannya. Dengan
keterlibatannya secara penuh akan menolong dirinya untuk sungguh-sungguh
meyakini perannya dan bisa menghayati peran yang dilakukannya secara total.
3. Mewujudkan idealiasasi harapan orang lain tentang perannya.
Misalnya seorang dokter harus mengetahui tipe perilaku apa yang diharapkan dan
orang-orang pada umumnya mengenai perannya, dan memanfaatkan pengetahuan ini

34

35

untuk diperhitungkan dalam penampilannya. Kadang-kadang untuk memenuhi


harapan orang pada umumnya, dia harus melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak
perlu.Misalnya, seorang dokter yang ahli dan sudah berpengalaman sebenarnya dia
dapat mendiagnosa penyakit pasiennya hanya dengan menatap sekilas pada warna
kulit atau pupil matanya.Jika dia melakukan hal ini sebelum menuliskan resep obat
yang cocok, maka pasien mungkin merasa dibohongi. Untuk menghindari masalah
ini, maka dokter itu akan melengkapi pemeriksaan dengan stethoscope, thermometer,
dll. Meskipun hal tersebut sesungguhnya tak diperlukan untuk membuat diagnosa.

4. Mystification
Akhirnya Goffman mencatat bahwa bagi kebanyakan peran performance yang baik
menuntut pemeliharaan jarak sosial tertentu diantara aktor dan orang lain. Misalnya seorang
dokter harus memelihara jarak yang sesuai dengan pasiennya, dia tak boleh terlalu kenal
/akrab, supaya dia tetap menyadari perannya dan tidak hilang dalam proses tersebut.

Strategi Presentasi Diri

Presentasi diri dapat memiliki beberapa tujuan.Seseorang mungkin ingin disukai,


nampak kompeten, berkuasa, budiman atau menimbulkan simpati.Masing-Masing tujuan
melibatkan strategi presentasi yang bervariasi. Tujuan itu biasanya tidak hanya satu,
seseorang mungkin berusaha mencapai beberapa tujuan dalam waktu yang sama. Ada
beberapa straregi presentasi diri, yaitu:
1. Mengambil muka/menjilat (Ingratiation)
Tujuan dan strategi ini adalah supaya dipersepsi sebagai orang yang menyenangkan
atau menarik. Taktik yang umum meliputi memuji orang lain, menjadi pendengar yang baik,
ramah, melakukan hal-hal yang memberi keuntungan pada orang lain dan menyesuaikan diri
atau konform dalam sikap dan perilakunya. Jones dan Wortman memberi nama sebagai taktik
35

36

illicit (gelap/rersembunyi) karena motivasi pelaku yang sebenarnya tersembunyi. Sebab yang
ditekankan adalah membangun penampilan sebagai orang yang benar-benar tulus hatinya dan
perilakunya itu asli (otentik).
2. Mengancarn atau menakut-nakuti (intimidation)
Straregi ini digunakan untuk menimbulkan rasa takur dan cara memperoleh
kekuasaan dengan meyakinkan pada seseorang bahwa ia adalah orang yang berbahaya. Jadi
berbeda dengan penjilat (ingranarory) yang ingin disukai, maka mereka justru ingin
ditakuti.Straregi intimidasi kemungkinan lebih sering digunakan dalam situasi dimana
meloloskan diri adalah tidak mudah.
3. Promosi diri (self-promotion)
Ketika tujuan seseorang adalah supaya dilihat nampak kompeten atau ahli pada
tugas tertentu, strategi promosi diri biasanya digunakan. Orang yang menggunakan strategi
ini akan menggambarkan kekuatan dan berusaha untuk memberi kesan dengan prestasi
mereka. Melebih-lebihkan tentang kemampuan diri dapat beresiko mereka dianggap
sombong, dan tidak dapat dipercaya. Menyadari masalah ini, cara yang digunakan adalah
tidak langsung sehingga memungkinkan orang lain sampai pada kesimpulan bahwa dia
kompeten.
4. Pemberian contoh/teladan (Exemplification)
Orang yang menggunakan strategi ini berusaha memproyeksikan penghargaannya
pada kejujuran dan moralitas.Biasanya mereka mempresentasikan dirinya sebagai orang yang
jujur, disiplin dan baik hati atau dermawan, Kadang-kadang penampilan yang ditunjukkan ini
memang keadaan yang sebenarnya, namun yang sering pengguna strategi ini berusaha
memanipulasi dan tidak tulus hari dalam melakukannya.Permohonan (suppli/ication). Strategi
ini dengan cara memperlihatkan kelemahan atau ketergantungan untuk mendapatkan
pertolongan atau simpati. Ini merupakan alternatif straregi yang terakhir, jika orang tidak

36

37

memiliki sumber-sumber yang dapat digunakan untuk melakukan strategi-strategi yang


tersebut di atas.Biasanya yang dilakukan adalah melakukan kritik pada diri sendiri.
5. Hambatan diri (self-handicapping)
Strategi ini digunakan ketika individu merasa egonya terancam karena kelihatan
tidak mampu.Ketika orang merasa kuatir bahwa kesuksesannya sebelumnya karena nasib
baik, mereka takut gagal dalam melaksanakan tugas.Sehingga mereka berpura-pura
mendapatkan suatu hambatan (rintangan) sebelum atau selama kejadian-kejadian yang
mengancam egonya.Ini dilakukan dalam rangka melindungi agar egonya tidak hancur
sehingga harga dirinya menurun.
6. Aligning actions
Yaitu usaha-usaha individu untuk mendefinisikan perilaku mereka yang nampaknya
diragukan karena sebenarnya bertentangan dengan norma-norma budaya. Cara-cara yang
pada umumnya dilakukan adalah dengan taktik disclaimers (penyangkalan) yaitu pernyataan
secara verbal dengan niat/tujuan menyangkal implikasi negatif dan tindakan-tindakan yang
akan datang dengan mendefinisikan tindakan-tindakan ini tidak relevan dengan identinas
sosial yang telah mereka miliki. Misalnya ucapan Saya tahu saya akan melanggar peraturan,
tetapi atau Mungkin ini gila bagimu, terapi. Selain itu dapat pula digunakan taktik accounts
(alasan-alasan) yaitu penjelasan-penjelasan yang ditawarkan seseorang untuk mengurangi
tanggung jawab setelah menampilkan tindakan-tindakan yang dapat mengancam identitas
sosialnya. Ada dua tipe accounts yaitu meminta maaf (tujuannya mengurangi atau
menghindari tanggung jawab bagi perilaku yang tak layak dengan menyatakan kejadiankejadian yang tak dapat dikendalikan, tekanan eksternal yang memaksa, memaksakan
tekanan internal) dan justifikasi (tetap bertanggung jawab atas perilaku tak layak, tetapi juga
mencoba untuk mendefinisikan bahwa perilaku itu cocok dalam situasi tersebut (misal :
Saya memang memukulnya, tetapi ia memukul saya lebih dulu).

37

38

7. Altercasting
Yaitu menggunakan taktik untuk memaksakan peran dan identitas pada orang lain.
Melalui straregi altercasting, manusia menempatkan orang lain dalam identitas situasi dan
peran yang menguntungkan dirinya. Pada umumnya altercasting melibatkan perlakuan
terhadap orang lain seolah-olah mereka telah merniliki identitas dan peran yang ingin
dipaksakan/bebankan. Misalnya seorang guru yang berkata Saya tahu kamu dapat
melakukan lebih baik daripada ini.Ucapan ini menekan murid untuk menikmati suatu
identitas kompetensi yang dipaksakan pada mereka.

2.1.5 Self-disclosure

Self disclosure adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan individuterhadap situasi


yangsedang dihadapinya serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau
berguna untuk memahami tanggapan individutersebut (Johson, dalam Supratiknya, 1995).
Konsep yang lebih jelas dikemukakan oleh DeVito, (1986), yang mengartikan self disclosure
sebagai salah satu tipe komunikasi dimana, informasitentang diri yang biasa dirahasiakan
diberitahu kepada orang lain. Ada beberapahal penting yang harus diperhatikan, yaitu
informasi yang diutarakan tersebut haruslah informasi baru yang belum pernah didengar
orang tersebut sebelumnya. Kemudian informasi tersebut haruslah informasi yang biasanya
disimpan/dirahasiakan. Hal terakhir adalah informasi tersebut harus diceritakankepada orang
lain baik secara tertulis dan lisan. Rogers (dalam Baron, 1994) mendefinisikan self disclosure
sebagai suatu keuntungan yang potensial dari pengungkapan diri kita kepada orang lain.
Menurut Morton (dalam Baron, dkk,. 1994) self disclosure adalah kegiatan membagi
perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain.Jadi dapat disimpulkan bahwa self
disclosure adalah bentuk komunikasi interpersonal yang didalamnya terdapat pengungkapan
38

39

ide, perasaan, fantasi, informasi mengenai diri sendiri yang bersifat rahasia dan belum pernah
diungkapkan kepada orang lain secara jujur.
A. Dimensi Self Disclosure
Self disclosure berbeda bagi setiap individu dalam hal kelima dimensi dibawah ini
(Devito, 1986):
1. Amount
Kuantitas dari pengungkapan diri dapat diukur dengan mengetahui frekuensi dengan
siapa individu mengungkapkan diri dan durasi dari pesan self-disclosing atau waktu yang
diperlukan untuk mengutarakan statemen self disclosure individu tersebut terhadap orang
lain.
2. Valence
Valensi merupakan hal yang positif atau negatif dari penyingkapan diri. Individu
dapat menyingkapkan diri mengenai hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
mengenai dirinya, memuji hal-hal yang ada dalam dirinya atau menjelek-jelekkan diri
individu sendiri. Faktor nilai juga mempengaruhi sifat dasar dan tingkat dari pengungkapan
diri.
3. Accuracy/Honesty
Ketepatan dan kejujuran individu dalam mengungkapkan diri. Ketepatan dari
pengungkapan diri individu dibatasi oleh tingkat dimana individu mengetahui dirinya sendiri.
Pengungkapan diri dapat berbeda dalam halkejujuran. Individu dapat saja jujur secara total
atau dilebih-lebihkan, melewatkan bagian penting atau berbohong.
4. Intention
Seluas apa individu mengungkapkan tentang apa yang ingin diungkapkan, seberapa
besar kesadaran individu untuk mengontrol informasi-informasiyang akan dikatakan pada
orang lain.
39

40

5. Intimacy
Individu dapat mengungkapkan detail yang paling intim dari hidupnya, hal-hal yang
dirasa sebagai periperal atau impersonal atau hal yang hanya bohong.
B. Faktor faktor Yang Mempengaruhi Self Disclosure
Menurut Devito (1986) ada beberapa faktor yang mempengaruhi Selfdisclosure yaitu
1. Menyingkapkan diri kepada orang lain
Secara umum Self Disclosure adalah hubungan timbal balik. Dyadic effect dalam
pengungkapan diri menyatakan secara tidak langsung bahwa dalam proses ini terdapat efek
spiral (saling berhubungan), dimana setiap pengungkapan diri individu diterima sebagai
stimulus untuk penambahan pengungkapan diri dari yang lain.Dalam hal ini, pengungkapan
diri antar kedua individu akan semakin baik jika pendengar bersikap positif dan menguatkan.
Secara umum, individu cenderung menyukai orang lain yang mengungkapkan cerita
rahasianya pada jumlah yang kira-kira sama.

2. Ukuran audiens
Pengungkapan diri, mungkin karena sejumlah ketakutan yang dirasakan oleh individu karena
mengungkapkan cerita tentang diri sendiri, lebihsering terjadi dalam kelompok yang kecil
daripada kelompok yang besar. Dengan pendengar lebih dari satu seperti monitoring
sangatlah tidak mungkin karena respon yang nantinya bervariasi antara pendengar. Alasan
lain adalah jika kelompoknya lebih besar dari dua, pengungkapan diri akan dianggap
dipamerkan dan terjadinya pemberitaan publik. Tak lama kemudian akan dianggap hal yang
umum karena sudah banyak orang yangtahu.

3. Topik

40

41

Topik mempengaruhi jumlah dan tipe pengungkapan diri. Menemukan bahwa pengungkapan
diri mengenai uang, kepribadian dan fisik lebih jarang dibicarakan daripada berbicara tentang
rasa dan minat, sikap danopini, dan juga pekerjaan. Hal ini terjadi karena tiga topik pertama
lebih sering dihubungkan dengan self-concept seseorang, dan berpotensi melukai orang
tersebut.

4. Valensi
Nilai (kualitas positif dan negatif) pengungkapan diri juga berpengaruh secara signifikan.
Pengungkapan diri yang positif lebih disukai daripada pengungkapan diri yang negatif.
Pendengar akan lebih suka jika pengungkapan diri orang lain yang didengarnya bersifat
positif.

5. Seks
Banyak penelitian mengindikasikan secara umum, bahwa wanita lebih terbuka daripada pria
tapi keduanya membuat disclosure (penyingkapan) negatif yang hampir sama dari segi
jumlah dan tingkatannya.

6. Ras, kewarganegaraan, dan umur


Terdapat perbedaan ras dan kebangsaan dalam pengungkapan diri. Murid kulit hitam lebih
jarang mengungkapkan diri mereka dibandingkan murid kulit putih. Murid di USA lebih
sering disclose (mengungkapkan diri) daripada kelompok yang sama di Puerto Rrico, Jerman,
Inggris dan di Timur Tengah. Juga terdapat perbedaan frekuensi pengungkapan diridalam
grup usia yang berbeda. Pengungkapan diri pada teman dengangender berbeda meningkat
dari usia 17-50 tahun dan menurun kembali.

41

42

7. Penerimaan hubungan (Receiver Relationship)


Seseorang yang menjadi tempat bagi individu untuk disclose mempengaruhi frekuensi dan
kemungkinan dari pengungkapan diri. Individu cenderung disclosure pada individu yang
hangat, penuh pemahaman, memberi dukungan dan mampu menerima individu apaadanya.

C. Tujuan Self Disclosure

Kita mengungkapkan informasi ke orang lain dengan beberapa alasan.Menurut Derlega &
Grzelak (dalam Taylor, 2000), lima alasan utama untuk pengungkapan diri adalah:
1. Expression
Kadang-kadang

individu

membicarakan

perasaannya

untuk

pelampiasan.

Mengekspresikan perasaan adalah salah satu alasan untuk penyingkapan diri.


2. Self Clarification
Dalam proses berbagi perasaan atau pengalaman dengan orang lain, individu
mungkin mendapat self-awareness dan pemahaman yang lebih baik. Bicara kepada teman
mengenai masalah dapat membantu individu untuk mengklarifikasi pikirannya tentang situasi
yang ada.
3. Social Validation
Dengan melihat bagaimana reaksi pendengar pada pengungkapan diri yang
dilakukan, individu mendapat informasi tentang kebenaran dan ketepatan pandangannya.

4. Social Control
Individu mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang dirinya,
sama seperti arti dari kontrol sosial. Individu mungkin menekan topik, kepercayaan atau ide

42

43

yang akan membentuk pesan yang baik pada pendengar. Dalam kasus yang ekstrim, individu
mungkin dengan sengaja berbohong untuk mengeksploitasi orang lain.
5. Relationship Development
Banyak penelitian yang menemukan bahwa kita lebih disclosure kepada orang dekat
dengan kita, seperti : suami/istri, keluarga, sahabat dekat. Penelitian lain mengklaim bahwa
kita lebih disclosure pada orang yang kita sukai daripada orang yang tidak kita sukai. Kita
lebih sering untuk terbuka kepada orang yang sepertinya menerima, memahami, bersahabat,
dan mendukung kita.

D. Resiko Self Disclosure

Valerian Derlega (dalam Taylor 2000) menyatakan ada beberapa resiko yang mungkin
dialami individu saat mereka sedang mengungkapkan diri, antaralain:
1. Indefference.
Individu berbagi informasi dengan orang lain untuk memulai hubungan. Terkadang,
hal itu dibalas oleh orang tersebut dan hubungan pun terjalin. Hal yang sebaliknya dapat
terjadi bilamana individu menemui orang yang tidak membalas dan kelihatan tidak tertarik
mengetahui tentang individu tersebut.
2. Rejection.
Informasi yang diungkapkan individu mungkin akan berakibat penolakan sosial.
3. Loss of Control.
Kadang-kadang orang lain menggunakan informasi yang diberikan sebagai alat
untuk menyakiti atau mengontrol perilaku individu.
4. Betrayal.

43

44

Ketika individu mengungkapkan informasi pada seseorang, individu sering


mengingatkan bahwa informasi ini rahasia. Tapi sering kali informasi ini tidak dirahasiakan
dan diberitahu kepada orang lain.

E. Tahapan Self Disclosure


Self disclosure melibatkan konsekuensi positif dan negatif. Keputusan untuk mengungkapkan
diri bersifat individual dan didasarkan pada beberapa pertimbangan. Adapun tahapan dalam
melakukan pengungkapan diri adalahsebagai berikut :
a. Pertimbangan akan motivasi melakukan pengungkapan diri
Setiap pengungkapan diri ditimbulkan oleh motivasi yang berbeda-beda pada setiap
individu. Pengungkapan diri sebaiknya didorong oleh pertimbangan dan perhatian yang ada
terhadap hubungan yang dijalani oleh individu, terhadap orang lain yang berada di sekeliling
individu dan terhadap diri sendiri. Pengungkapan diri sebaiknya berguna bagi semuaorang
yang terlibat.
b. Pertimbangan pantas atau tidaknya pengungkapan diri
Pengungkapan diri sebaiknya sesuai dengan konteks dan hubungan yang terjalin
antara pembicara dan pendengar. Individu harus memperhatikan waktu dan tempat yang tepat
untuk mengungkapkan diri. Pendengar yang dipilih biasanya adalah orang yang memiliki
hubungan yang dekat dengan individu. Penting untuk dipertimbangkan apakah pendengar
mau mendengarkan pengungkapan diri individu. Apakah pendengar dapat mengerti hal yang
diungkapkan oleh individu. Menurut DeVito (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003), jika
pendengar merupakan orang yang menyenangkan dan membuat individu merasa nyaman
serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan untuk membuka diri akan semakin
besar. Sebaliknya, individu akan menutup diri pada orang-orangtertentu karena merasa
kurang percaya.
44

45

c. Pertimbangan akan respon yang terbuka dan jujur.


Pengungkapan diri sebaiknya dilakukan di lingkungan yang mendukung adanya
respon yang jujur dan terbuka. Hindari pengungkapan diri jika pendengar berada sedang
terburu-buru atau ketika mereka berada pada situasi yang tidak memungkinkan adanya
respon yang jujur dan terbuka.
d. Pertimbangan akan kejelasan dari pengungkapan diri.
Tujuan dari pengungkapan diri adalah untuk menginformasikan bukan membuat
orang lain kebingungan. Seringkali individu hanya mengungkapkan informasi yang tidak
lengkap yang membingungkan pendengar. Sebaiknya individu mempertimbangkan informasi
apa yang hendak diungkapkan, dan mempersiapkan diri pada konsekuensi untuk
mengungkapkan diri lebih dalam lagi supaya pendengar dapat mengerti.
e. Pertimbangan kemungkinan pengungkapan diri pendengar.
Selama mengungkapkan diri, berikan pendengar kesempatan untuk mengungkapkan
dirinya. Raven & Rubin (dalam Dayakisni & Hudaniah,2003) menyatakan bila individu
menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi, pendengar akan cenderung memberikan reaksi
yang sepadan. Pada umumnya individu mengharapkan orang lain memperlakukannya sama
seperti individu memperlakukan orang lain tersebut. Pengungkapan diri pendengar
merupakan suatu tanda pengungkapan diri individu diterimaatau sesuai.
f. Pertimbangan akan resiko yang mungkin terjadi akibat pengungkapan diri.
Pengungkapan diri sebaiknya diikuti dengan pertimbangan konsekuensi yang terjadi
dari pengungkapan diri tersebut. Pengungkapan diri tidak selalu menghasilkan konsekuensi
yang positif seperti pemahaman dan penerimaan dari pendengar tetapi juga kemungkinan
akan adanya konsekuensi negatif seperti penolakan dan ketegangan. Franke & Leary(dalam
Taylor, Peplau & Sears, 2000) menyebutkan, bahwa individudengan orientasi seksual yang
berbeda berkeinginan untuk mengungkapkan diri, tetapi mereka takut bahwa pengungkapan

45

46

yang mereka lakukan akan menyebabkan kemarahan, penolakan dan atau diskriminasi.
Tahapan pengungkapan diri ini bukan merupakan suatu aturan kaku yang harus dilewati tahap
demi tahap. Individu dapat mengungkapkan diri mengikutitahap per tahap atau tidak secara
berurutan.

2.1.5 Gender dan Pembagian kerja

Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan hubungan sosial antara laki-laki
dan perempuan. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan
perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan
budaya setempat, maka gender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) dan
tempatnya. Gender juga sangat tergantung kepada tempat atau wilayah. Gender berbeda dari
seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Ini disebabkan yang
dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya
lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks sosial-budaya
bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.
Dalam terminologi feminis, gender sendiri didefinisikan sebagai perbedaan perilaku
(behavioral differences) atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Karena itu, gender juga sering disebut sebagai
jenis kelamin sosial. Dari definisi ini, dalam persepsi feminisme, gender hanya merupakan
produk budaya (nurture), bukan alami (nature), yakni sekadar hasil persepsi suatu
masyarakat atau bahkan bisa jadi hanya mitos atas apa yang disebut dengan sifat paten
(kodrat) laki-laki dan sifat paten (kodrat) perempuan.
Perbedaan ruang yang diberikan kepada wanita dan lelaki adalah merefleksikan
peran gender dalam lingkup social. Olehnya, wanita adalah lebih kecil dibanding lelaki dalam
46

47

masalah kepemilikan ruang dan dalam rumah di dalam rumah-rumah keluarga mereka,
termasuk dalam sistem masyarakat perkotaan yang masih menomorduakan peran wanita.
Dalam dunia kerja perbedaan keduanya begitu nyata, misalnya wanita biasanya cukup
menjadi sekretaris saja, yang memiliki ruang yang begitu sempit dibanding dengan peranperan yang dimiliki oleh lelaki, ataupun misalnya dengan sebutan-sebutan seperti chairman
bukan dengan chairwoman. Wanita dan lelaki dibesarkan di dalam suasana budaya yang
berbeda (intercultural communication). Dengan demikian mereka memiliki gaya bicara yang
berbeda pula. Perbedaan-perbedaan ini, kalau sedini mungkin tidak dipahami oleh kedua
pihak, sudah pasti akan menimbulkan kesemrawutan komunikasi.

Cheris Kramarae (dalam Sendjaja:1994) mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari


teori ini sebagai berikut:

Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena

pengalaman dan

aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.

Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi lebih dominan, menghambat
ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan.

Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mengubah perspektif


mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.
Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai komunikasi perempuan

berdasarkan beberapa temuan penelitian.


a. Perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri
dibanding laki-laki.
b. Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami
makna perempuan.

47

48

c. Perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendiri di luar sistem lakilaki yang dominan.
d. Perempuan cenderung untuk mengekspresikan lebih banyak ketidakpuasan
tentang komunikasi dibanding laki-laki.
e. Perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang
dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional.
f. Secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer
dalam masyarakat luas; konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi
terhadap bahasa.
g. Perempuan memiliki konsepsi humoris yang berbeda dari pada laki-laki.

Gender merupakan salah satu elemen paling mendasar dari konsep diri
kita.Mengetahui bahwa Aku adalah wanita atau Aku adalah pria adalah bagian inti dari
identitas personal kita yang biasanya diperoleh di awal masa anak. Adanya stereotip gender
yang mempunyai keyakinan tentang penggolongan-penggolongan ciri kepribadian pria dan
wanita menghasilkan stereotip budaya yang merupakan gambaran berbagai level masyarakat
tentangkedua gender yang biasa dijumpai di dalam berbagai media, seni dan kesusasteraan.
Kemungkinan besar, stereotip akan mempengaruhi persepdi terhadap orang lain bila
kita memiliki informasi dan bila gender seseorang tampil sangat mencolok.Salah satu
masalah adanya stereotip adalah bahwa hal tersebut dapat membiaskan penilaian terhadap
prestasi kerja pria dan wanita.
Terdapat banyak bukti bahwa pembedaan yang kaku antara apa yang harus
dilakukan pria dan wanita. Sekarang ini wanita semakin banyak melakukan hal-hal yang
semula dipandang hanya untuk pria.Khususnya peran serta wanita dalam pekerjaan
berupah meningkat dengan pesat, mengurangi peran eksklusif pria sebagai pencari

48

49

nafkah.Sekarang ini, lebih dari separuh wanita menikah memiliki pekerjaan, termasuk
sebagian besar ibu yang mempunyai anak masih kecil.

Paradigma Kerja dan Pembagian Kerja

Pekerjaan adalah salah satu model hubungan manusia dengan alam, sehingga
bekerja merupakan tindakan manusia yang paling dasar karena membuat diri manusia
menjadi nyata (Suseno 2003:105). Menurut Karl Marx dalam Suseno (2003) bahwa manusia
selalu melahirkan kekuatan-kekuatan hakikatnya ke dalam realitas alami; dengan demikian
alam menjadi alam manusia, mencerminkan siapa manusia itu, serta membuktikan realitas
hakikat manusia.
Makna pekerjaan menurut Karl Marx dalam Suseno (2003), tercermin dalam
perasaan bangga, di mana keringat yang tercurah berarti apa pun ketika dihadapkan dengan
kebanggaan melihat hasilpekerjaan kita. Pekerjaan membuktikan bahwa manusia tidak
berhayal, melainkan nyata. Di mana melalui pekerjaan, manusia membuktikan dirinya
sebagai makhluk sosial, karena tidak mungkin setiap orang menghasilkan sendirian apa saja
yang dibutuhkannya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia bergantung
pada hasil pekerjaan manusia lain. Demikian pula manusia lain membutuhkan hasil pekerjaan
lain, dan pekerjaan kita ternyata membuat orang lain gembira. Sebaliknya, karena manusia
menerima dan menghargai hasil pekerjaan manusia lain, maka manusia merasa diakui oleh
manusia lain tersebut. Disinilah, manusia merasa berarti karena tahu bahwa bahwa manusia
berarti bagi manusia lainnya.
Bekerja berarti manusia mengobjektivasikan diri ke dalam alam melalui
pekerjaannya dan ia melihat dirinya dalam hasil kerjanya, mendapat kepastian tentang bakat
dan kemampuannya (Suseno 2003:105). Menurut Suseno (2003:93), pekerjaan adalah
jembatan antarmanusia karena pekerjaan tidak saja menjembatani jarak antar manusia yang

49

50

sejaman, tetapi juga sebagai dimensi historis pekerjaan. Manusia hidup dalam dunia yang
merupakan hasil pekerjaan ratusan generasi manusia sebelumnya.
Karl Marx mengemukakan bahwa pekerjaan sebagai mata pencaharian untuk hidup
adalah pekerjaan yang menyenangkan dan mengembangkan kita, bukan apakah kita
menerima upah (Suseno2003). Namun kini, pekerjaan tidak lagi untuk mengembangkan diri
melainkan mengasingkan manusia, baik dari diri sendiri maupun untuk orang lain (Suseno
2003). Menurut Suseno (2003), tanda keterasingan itu adalah kekuasaan uang, pelacur umum,
mak jomblang manusia dan bangsa-bangsa. Manusia tidak lagi bertindak demi sesuatu yang
bernilai pada dirinya sendiri atau demi kebutuhan sesama, melainkan hanya sejauh
tindakannya menghasilkan uang. Semuanya dilihat dari segi harganya. Maka uang
menandakan keterasingan manusia dari alam dan dari sesama manusia (Susesno 2003:98).
Keterasingan dari manusia lain menurut Susesno terlihat dalam fakta bahwa kebutuhannya
tidak lagi mendesak manusia untuk memenuhinya meskipun manusia itu mampu. Manusia
hanya akan memenuhi kebutuhan orang lain sejauh manusia itu sendiri memperoleh
keuntungan darinya. Sifat sosial yang termasuk hakikat manusia sudah terasing.
Ada dua teori keterasingan yang dikemukakan Karl Marx dalam Suseno (2003),
yaitu: teori terasing dari diri sendiri dan teori terasing dari orang lain. Keterasingan dari diri
sendiri dalam pekerjaan mempunyai tiga segi, yaitu: (i) si pekerja merasa terasing dari
produknya, semakin si pekerja menghasilkan pekerjaan, semakin ia, dunia batinnya, menjadi
miskin; (ii) si pekerja baru ada pada dirinya sendiri apabila ia tidak bekerja, dan, apabila ia
bekerja, ia berada di luar dirinya sendiri. Pekerjaan sebagai sarana untuk mempertahankan
kehidupan fisik dan intinya adalah ia bekerja untuk tidak kelaparan; (iii) dalam pekerjaan,
manusia tidak mengembangkan diri, melainkan memiskinkan diri. Seluruh perhatian terpusat
pada satu-satunya saat di mana ia masih dapat menjadi diri sendiri, yaitu: waktu pekerjaan
selesai dan ia dapat pulang dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya. Ia tidak lagi bebas

50

51

karena bekerja di bawah perintah orang lain, dan pekerjaannya tidak lagi universal karena
sama dengan binatang, semata-mata terarah pada pemenuhan fisik di luar pekerjaan. Ia hanya
bekerja untuk dapat hidup terus. Hakikat manusia terasing, bahwa manusia itu sekaligus
terasing dari sesamanya.
Konsekuensi langsung dari keterasingan manusia dari produk pekerjaannya, dari
kegiatan hidupnya, dari hakikatnya sebagai manusia, adalah keterasingan manusia dari
manusia. Keterasingan dari hakikatnya berarti manusia terasing dari sesamanya karena
sifatnya yang sosial terasing juga daripadanya (Suseno 2003:97). Keterasingan tersebut,
menurut Suseno (2003), memiliki dua arah. Arah pertama: dalam sistem hak milik pribadi di
mana mereka yang bekerja berada, masyarakat terpecah ke dalam kelas-kelas para pekerja
dan kelas-kelas para pemiliki. Dua macam kelas ini saling berlawanan, bukan karena secara
emosional tidak saling menyukai, melainkan karena kepentingan mereka secara objektif
saling bertentangan. Si pemilik mau tak mau harus mengusahakan untung setinggi-tingginya.
Untuk itu ia harus mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk upah dan fasilitas pekerja
lainnya. Sedangkan para pekerja itu dengan sendirnya berkepentingan mendapat upah
setinggi mungkin dan syarat-syarat kerja yang baik. Kaum buruh dan para pemilik terasing
satu dengan yang lain. Arah kedua: keterasingan itu merusak hubungan di dalam masingmasing kelas, di mana buruh bersaing dengan sesama buruh, mereka berebut tempat kerja.
Sedangkan pemilik modal dengan pemilik modal bersaing berebut pasar.
Hak milik pribadi bukan hasil sebuah keputusan kebetulan, melainkan hasil sebuah
proses yang tidak terelakkan, yaitu: proses pembagian kerja. Di mana pembagian kerja perlu
untuk meningkatkan efisiensi kelompok dalam melindungi diri dan menjamin kebutuhankebutuhannya. Semula semua orang dalam kelompok masih melakukan semua kegiatan
bersama-sama dan itu tidak efisien, maka untuk itu masyarakat purba melakukan pembagian
kerja. Di mana perempuan secara alami sudah lain dengan laki-laki karena mengandung,

51

52

melahirkan dan menyusui anak, maka diberi pekerjaan di sekitar tempat tinggal kelompok.
Sedangkan laki-laki berburu dan berperang. Yang pandai membuat kampak dan pedang
disuruh tinggal di rumah dan bekerja, tak perlu berburu. Segala keterasingan manusia adalah
akibat dari sistem hak milik pribadi, bukan keadaan politis, bukan agama yang menjadi
sumber keterasingan dan egoisme manusia, melainkan penataan produksi menurut sistem hak
milik pribadi (Magnis-Suseno 2003:101).
Tahap hak milik pribadi menurut Magnis-Suseno (2003) bukanlah suatu
kecelakaan melainkan suatu tahap yang pasti dalam perjalanan umat manusia dan memang
harus dilalui untuk menuju ke tahap kebebasan. Tahap hak milik pribadi tak terelakkan
karena pembagian kerja harus terjadi. Pembagian kerja maka umat manusia dapat menjamin
kelangsungan hidup manusia. Jadi, menurut Magnis- Suseno, meskipun keterasingan manusia
dianggap negatif, namun merupakan tahap yang harus dilalui oleh umat manusia. Menurut
Karl Marx dalam Suseno (2003:100) bahwa pekerjaan yang mengasingkan adalah pekerjaan
upahan. Orang yang bekerja demi upah tidak bekerja demi pekerjaan dan tidak demi
pengembangan diri. Orang ini bekerja karena terpaksa. Untuk hidup ia membutuhkan uang
dan untuk mendapatkan uang ia harus bekerja sesuai kehendak majikan yang menawarkan
pekerjaan. Maka baik pekerjaan itu sendiri maupun hasil pekerjaannya tidak ada sangkut
pautnya dengan kepribadiannya. Demi upah, si pekerja memperalat kegiatan hakikinya, jadi
ia memperalat dirinya sendiri, maka ia pun terasing dari hakikatnya. Sistem hak milik adalah
akibat langsung dari suatu keterasingan dalam pekerjaan. Dalam sistem hak milik majikan
memonopoli kesempatan kerja.
Karena itu, orang perlu bekerja harus mengkontrakkan diri kepada majikan. Dengan
demikian majikan dapat hidup dari penghisapan tenaga kerja buruh, sedangkan buruh harus
menyangkal diri dan memperbudak diri pada majikan. Menurut Karl Marx yang dikutip
dalam Suseno (2003), bahwa umat manusia dibedakan dalam 3 tahap (Gambar 12), yaitu:

52

53

a. Tahap pertama: masyarakat purba sebelum pembagian pekerjaan


b. Tahap kedua: tahap pembagian kerja sekaligus tahap hak milik dan tahap
keterasingan (saat ini masih berlangsung)
c. Tahap ketiga: tahap kebebasan, yaitu apabila hak milik pribadi sudah dihapus.

Menurut Suseno (2003) bahwa sistem hak milik pribadi juga mengasingkan majikan
dari hakikatnya. Majikan pun tidak mampu mengembangkan diri sebagai manusia. Ia hanya
pasif menikmati hasil kerja orang lain, padahal menurut Arsitoteles bahwa nikmat pasif saja
tidak mengembangkan manusia. Menurut Karl Marx, majikan mengalami sudut madu
keterasingan, sedangkan buruh mengalami sudut pahitnya (dikutip dalam Suseno 2003:101).
Nilai tenaga kerja adalah jumlah nilai semua komoditi yang perlu dibeli oleh buruh agar ia
dapat hidup, artinya agar ia dapat memulihkan tenaga kerjanya serta memperbaharuinya dan
menggantikannya kalau ia sudah tidak dapat bekerja lagi. Jadi, nilai tenaga kerja buruh
adalah jumlah nilai makanan, pakaian, tempat tinggal, dan semua kebutuhan hidup lainnya si
buruh dan keluarganya, sesuai dengan tingkat sosial dan kultural masyarakat yang
bersangkutan.
Upah adalah imbalan atau pembayaran bagi tenaga kerja buruh. Upah yang wajar
dalam arti buruh mendapat upah yang senilai (equivalen) dengan apa yang diberikannya. Jadi
sesuai dengan hokum yang secara resmi atau umum berlaku di pasar, yang adalah mencukupi
buruh untuk dapat memulihkan tenaga kerja serta membesarkan anak-anak yang akan
menggantikannya apabila tenaga kerjanya sendiri sudah habis.
Menurut Karl Marx, nilai lebih adalah diferensi antara nilai yang diproduksi selama
satu hari oleh seorang pekerja dan biaya pemulihan tenaga kerjanya. Jika barang yang
dihasilkan dalam waktu 8 jam dijual seharga Rp.20.000. Sedangkan buruh dibayar untuk
upah kerja 8 jam adalah Rp.10.000. Yang apabila dikonversikan pada harga barang yang

53

54

dijual artinya, Rp.10.000 tersebut hanya untuk bekerja selama 4 jam untuk memproduksi
barang seharga Rp.20.000. Jadi sisa jam kerja, 4 jam tersebut adalah nilai lebih yang
didapatkan oleh majikan. Menurut Marx, nilai lebih inilah merupakan satu-satunya sumber
laba sang kapitalis. Laba suatu perusahaan seluruhnya tergantung dari besar kecilnya nilailebih. Sistem kapitalis adalah sistem yang menghasilkan keuntungan karena nilai-lebih yang
diciptakan oleh buruh dengan pekerjaannya yang tidak dibayar kepadanya. Jadi jika dilihat
seluruh harga sebuah produk dapat dikembalikan kepada pekerjaan tangan buruh, dan laba
perusahaan adalah nilai-lebih (Magnis-Suseno 2003:187).
Menurut Suseso (2003), nilai tenaga kerja adalah jumlah nilai semua komoditi yang
perlu dibeli oleh buruh agar ia dapat hidup, artinya agar ia dapat memulihkan tenaga kerjanya
serta mempe rbaharuinya dan menggantikannya kalau ia sudah tidak dapat bekerja lagi.
Sehingga, nilai tenaga kerja buruh merupakan penjumlahan nilai makanan, pakaian, tempat
tinggal, dan semua kebutuhan hidup lainnya si buruh dan keluarganya, sesuai dengan tingkat
sosial dan kultural masyarakat yang bersangkutan.Upah adalah imbalan atau pembayaran
bagi tenaga kerja buruh. Upah yang wajar dalam arti buruh mendapat upah yang senilai
(equivalen) dengan apa yang diberikannya, jadi sesuai dengan hukum yang secara resmi atau
umum berlaku di pasar, yang adalah mencukupi buruh untuk dapat memulihkan tenaga kerja
serta membesarkan anak-anak yang akan menggantikannya apabila tenaga kerjanya sendiri
sudah habis.
Keluarga merupakan salah satu bagian dari berbagai subsistem dalam masyarakat
(Megawangi 1999:66). Menurut Megawangi, keluarga dalam subsistem masyarakat tidak
akan lepas dari interaksinya dengan subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat.
Setiap keluarga (keluarga inti atau nuklir), memiliki tugas-tugas sebagaimana sistem sosial,
yaitu: menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola
kesinambungan tau pemeliharaan keluarga. Pembagian peran dalam keluarga menjadi dasar

54

55

dari pada pembagian peran tenaga kerja masyarakat. Oleh karena itu, divisi tenaga kerja
jender dalam masyarakat moderen membagi produksi dari segi jender dan ruang (sphere)
yang disebut ruang publik dan privat (Lengerman & Brantley 2003:422). Menurut
Lengerman & Brantley (2003), perempuan diberi tanggung jawab untuk ruang privat,
sedangkan lelaki diberikan akses ke ruang publik yang disebut juga dengan lokus dari
imbalan kehidupan sosial yang sesungguhnya uang, kekuasaan, status, kebebasan, peluang
untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut Agger (2008:207), pembagian kerja laki-laki dan perempuan sesungguhnya
didasari oleh ideologi patriarki atau supremasi laki-laki yang ada di wilayah privat/domestik
maupun publik. Chodorow yang dikutip Agger (2008), menganggap bahwa keluarga sebagai
satu tempat pertarungan di mana pembagian kerja secara seksual melemahkan dan merugikan
perempuan dan mereproduksi secara ketat pemisahan peran jender antara laki-laki dan
perempuan. Pernyataan tersebut, didukung Agger (2008), bahwa pembagian kerja secara
seksual dalam rumah tangga dan dunia kerja menunjukkan secara empirik pembedaan peran
jender dalam keluarga dan membentuk pola bagi ketimpangan jender di dunia kerja. Ini
merupakan peran sosial yang ditentukan, di mana status dan peran adalah pengakuan yang
diberikan oleh masyarakat bagi kita, terlepas dari kualitas individu maupun usaha-usahanya
serta status dan peran yang diperjuangkan melalui usaha-usaha manusia sendiri (Young &
Mack dalam Horton & Hunt 1984:121).
Menurut catatan Davis dalam Lengerman & Brantley (2003:422), meskipun fakta
saat ini didapati bahwa perempuan juga telah mendapatkan akses ke ruang publik, demikian
pula perempuan merasa bisa meminta laki-laki untuk membantu pekerjaan dalam ruang
privat, namun dua ruang ini secara konstan lebih banyak berinteraksi dalam kehidupan
perempuan ketimbang kehidupan laki-laki. Situasi tersebut dibentuk oleh ideologi patriarkis
dan seksisme yang juga pervasif di media masa.

55

56

Ini didukung oleh pernyataan para aktivis feminis kontemporer yang dikutip dalam
Lengerman & Brantley (2003:422), bahwa interaksi yang kompleks antara ruang publik dan
ruang privat telah memberikan tekanan bagi perempuan. Di dalam ruang privat, mereka
(perempuan) mendapati dirinya dalam ikatan waktu. Saat mereka kembali dari kerja ke
rumah, mereka harus kerja merawat anak dan rumah. Sementara itu, di ruang publik,
perempuan menemukan pengalaman mereka dalam dunia pendidikan, kerja, politik tersebut
masih dibatasi oleh diskriminasi, marjinalisasi, dan pelecehan serta perempuan dianggap
tidak mampu bersaing.
Hal ini dikemukakan Waldfoge ldalam Lengerman & Brantley (2003), bahwa
kemampuan perempuan untuk bersaing dalam karir dan profesi dirintangi oleh tuntutan dari
ruang privat. Sementara itu menurut Hochschild (1997), tuntutan di ruang publik dan
komitmen total perempuan pada dasarnya bersifat patriarkis. Hal ini menambah tekanan
komitmen rumah dengan menyurutkan sumber waktu dan enerji perempuan yang pada
gilirannya meningkatkan tuntutan agar mereka menangani krisis dalam rumah.
Menurut Agger (2008:207), pembagian kerja secara seksual telah membantu
menjelaskan bagaimana subordinasi perempuan di pasar kerja, politik, dan budaya, juga
mencerminkan dan memperkuat subordinasi perempuan di dalam rumah tangga. Masih dalam
catatatan Agger, bahwa akibat pembagian kerja yang berdasarkan seks telah menciptakan
obyektivitas perempuan oleh laki-laki. Di mana secara objek bagi laki-laki di keluarga, yang
bertindak baik sebagai pasangan pembantu maupun pasangan seksual. Mengobjektivikasikan
perempuan di wilayah publik. Perempuan mempunyai wewenang tinggi pada masyarakat
subsistensi. Namun ada pula yang menggambarkan bahwa dalam suatu masyarakat, posisi
perempuan mendekati budak (Widanti 2005:410). Dalam catatan Widanti bahwa pola umum
pembagian kerja terdiri atas 3 kelompok, yaitu:

56

57

a. Pada masyarakat berburu: perempuan mengumpulkan makanan dan binatang


kecil, sedangkan laki-laki berburu.
b. Pada masyarakat prakapitalis: perempuan tersubordinasi oleh kelas-kelas yang
dominan, tetapi dalam lingkungan keluarga, di mana produk dan nilai pakai dibuat,
perempuan tetap dapat mempertahankan wewenang.
c. Pada masyarakat kapitalis: sistem patriarki sebagai system sosial bergabung
dengan kapitalisme sebagai system ekonomi. Di dunia ketiga, pada awal industrialisasi, di
mana produk industri banyak menyerap tenaga kerja dan perempuan di tarik dari sektor
domestik memasuki sector industry.
Jenis-jenis pekerjaan yang mereka lakukan merupakan pekerjaan domestik yang
telah disosialisasikan dalam keluarga seperti menjahit, melayani, memasak, dan lain-lain.
Setelah industrialisasi intensif modal, maka lebih banyak laki-laki direkrut dalam pabrik.
Namun, untuk industri yang bertujuan ekspor, pekerja perempuan tidak diganti dengan mesin
atau pekerja laki-laki, sehingga buruh perempuan dengan upah murah, pekerjaan ringan dan
tidak berkembang. Sering pula mendapatkan perlakuan yang tidak bermartabat oleh atasan
atau buruh laki-laki.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
57

58

3.1 Metode Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang digunkan untuk mendekati
suatu masalah dan mencari jawabannya. Metodologi dengan kata lain adalah suatu
pendekatan umum untuk mengkaji suatu topik penelitian, metodologi dipengaruhi atau
berdasarkan perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi
yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan
peristiwa dan situasi lain. Sebagaimana perspektif yang merupakan suatu rentang juga dari
yang sangat kuantitatif hingga yang sangat kualitatif.
Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang bersifat rasional atau cara yang
masuk akal, empiris ataupun orang lain selain penenliti dapat mengamati dan mengetahui
cara yang digunakan dan sistematis ataupun menggunkan langkah yang bersifat logis yang
digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
memahami studi kasus pada penelitian terhadap konsep diri petugas parker wanita dikota
Medan.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih pada penelitian ini adalah di sekitar Kota Medan
(Tempat tempat yang biasa menjadi tempat para petugas parkir wanita bekerja).

3.3 Objek Penelitian

58

59

Objek penelitian merupakan apa yang menjadi sasaran penelitian. Dalam penelitian
ini yang menjadi sasaran penelitian adalah apa yang digambarkan dalam fokus permasalahan
dalam penenlitian ini yang adalah petugas parkir wanita.

3.4 Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian kualitatif disebut sebagai informan , yang artinya
adalah orng pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang
situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2010:132). Informan adalah orang-orang yang
dipilih untuk dapat diwawancarai atau diobservasi sesuai tujuan penelitian.Untuk itu, subjek
penelitian ini adalah petugas parkir wanita di sekitaran Kota Medan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dapat digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan berbagai data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
wawancara. Metode wawancara mendalam adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu tidak
memiliki setting wawancara yang baku. Penyampaian pertanyaan akan berbeda di setiap
wawancara karena tidak terstruktur tadi. Tetapi, peneliti tetap menggunakan panduan
wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan.Wawancara dilakukan secara langsung atau
bertatap muka untuk mendapatkan data yang lengkap dan mendalam.

59

60

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1

Proses Penelitian
Peneliti dalam proses penelitian menentukan 5 narasumber pertama yang kemudian

apabila data yang dikumpulkan belum mendapat data jenuh maka narasumber akan ditambah
kembali. Peneliti yang berjumlah lebih dari 15 orang disebar dalam bentuk kelompok
kelompok yang masing masing kelompok berjumlah 3 orang dan setiap kelompok bertugas
untuk mengumpulkan data dari para narasumber dan kemudian menganalisis data yang telah
dikumpulkan .
Penelitian yang dilakukan pada tanggal 10 Desember 17 Desember dan data data
yang telah ada dikumpulkan pada tanggal 18 Desember dan didiskusikan bersama dengan
anggota kelompok lain pada tanggal yang sama . Adapun tahap tahap dalam melakukan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pertama menyusun draf pertanyaan wawancara berdasarkan dari unsur unsur
kredibilitas yang akan ditanyakan pada narasumber atau informan.
2. Kedua, melakukan wawancara dengan petugas parkir wanita yang ada di Kota
Medan .
3. Ketiga melakukan dokumentasi langsung dilapangan untuk melengkapi data-data
yang berhubungan dengan penelitian
4. Keempat, memindahkan data penelitian yang berbentuk daftar dari semua
pertanyaan yang diajukan kepada narasumber atau informan.
5. Kelima, menganalisis hasil data wawancara yang telah dilakukan.
60

61

Pengalaman dilapangan juga menjaga suatu keuntungan yang dialami oleh setiap
peneliti.Dalam melakukan penelitian ini terdapat banyak hambatan dan juga kemudahan yang
dialami oleh peneliti .Secara keseluruhan beberapa hambatan yang dialami oleh para peneliti ,
antara lain ;
1. Lokasi dalam mewawancarai narasumber tidak mendukung karena lokasi wawancara
yang tidak kondusif , karena lokasi wawancara kebanyakaan di jalan raya maka
peneliti sedikit terganggu dengan lalu lalang kendaraan , narasumber juga sering
meninggalkan peneliti untuk bekerja atau memparkirkan kendaaran yang datang
maupun pergi.
2. Kesulitan dalam mencari petugas parkir resmi karena disebabkan banyak yang tidak
resmi.
3. Jawaban yang diberikan oleh para narasumber terlalu normative yang berarti hanya
point point nya saja.
4. Beberapa petugas parkir wanita menolak untuk diwawancarai dikarenakan dia tidak
menganggap dirinya adalah petugas parkir melainkan hanya membantu menjaga
kendaaraan.
5. Beberapa petugas parkir menolak dikarenakan narasumber takut akan wartawan dan
mereka takut untuk diwawancarai sehingga perlu mengganti narasumber.
Selain hambatan dalam melakukan penelitian ini terdapat juga kemudahan dalam
melakukan wawancara ini , diantaranya ;
1. Lokasi petugas parkir berdekatan dengan Universitas Sumatera Utara yang dimana
tempat para peneliti menempuh pendidikan
2. Mudah dalam menemukan Entry Point ( cara masuk ke pembicaraan ) karena para
petugas parkir menerima kami dengan baik.
3. Dalam menyusun pertanyaan tidak terlalu susah dikarenakan narasumber tidak perlu
menggunakan bahasa bahasa ilmiah

61

62

Untuk pada kesempatan lain kami menghimbau kepada peneliti lain yang
mempunyai judul yang serupa kami menyarankan agar tidak mengulangi kesalahan kesalahan
yang telah kami lakukan secara langsung dan tidak langsung serta peneliti dapat mengatasi
hambatan hambatan diatas dengan cara yang lebih baik .
Secara keseluruhan kami sebagai peneliti menikmati proses penelitian karena kami
mendapat pengalaman dalam menyusun skripsi , membuat pertanyaan , mewawancarai
narasumber dengan baik , dll .

4.1.2

Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang telah kami lakukan , adalah sebagai berikut ;
1. Konsep diri petugas parkir wanita telah terungkap melalui penelitian ini . Konsep diri
petugas parkir wanita dibagi dalam dua hal yaitu konsep diri positif dan konsep diri
negative .
Konsep diri positif yang telah kami temukan antara lain :
a. Para petugas parkir wanita bekerja sebagai petugas parkir dengan tujuan untuk
membantu

ekonomi

keluarga

yang

tidak

mendukung

apabila

hanya

mengharapkan penghasilan dari sang suami . Beberapa narasumber kami juga


mengaku menjadikan petugas parkir sebagai profesi mereka karena suami
mereka telah meninggal , anak nya tidak akan mempunyai biaya pendidikan
apabila tidak bekerja , pekerjaan terdahulu tidak mendukung , mendapatkan
penghasilan tambahan , dll . Kami sebagai memberi hormat kepada semangat
para wanita yang rela bekerja kasar demi menghidupi ataupun membantu
keluarga mereka.

62

63

b. Para narasumber yang notabene adalah wanita dalam menjalankan pekerjaannya


yang terbilang kasar tidak mempunyai ketakutan sama sekali padahal bisa
dibilang mungkin saja mereka di ganggu oleh petugas parkir laki laki .
c. Mereka tidak bekerja hanya mencari uang saja tetapi mereka ikut membantu
mengatur ketertiban kendaraan orang lain tanpa memaksakan tarif parkir.
d. Mereka sebagai petugas parkir resmi tidak pernah memaksakan pemilik
kendaraan untuk membayar tariff parkir resmi , mereka menerima berapapun
yang pemilik kendaraan berikan.
e. Jam kerja yang terbilang tidak lumrah untuk wanita tidak menjadi ketakutan bagi
para petugas parkir wanita ini.
f. Petugas parkir bisa terbilang menjadi pekerjaan yang dipandang sebelah mata
oleh beberapa orang tetapi para narasumber kami mengatakan mereka tidak malu
atau minder menjadi petugas parkir selama pekerjaan mereka itu halal dan tidak
merugikan orang lain.
Konsep diri negatif yang telah kami temukan antara lain :
a. Beberapa narasumber mengakui karena pekerjaan sebagai petugas parkir yang
memakan banyak waktu menjadikan keluarga mereka jarang bertemu satu sama
lain.
2. Komunikasi antar pribadi antara narasumber dengan keluarga,kerabat, teman terhadap
atau karena pekerjaan sebagai petugas parkir disetiap narasumber berbeda beda .
Beberapa narasumber mengakui tidak mempunyai kendala berarti dalam membangun
komunikasi dengan keluarga, kerabat dan teman sedangkan ada 1 narasumber kami
yang mengakui komunikasi dia dengan keluarganya terkhusus anaknya menjadi
berkurang karena pekerjaan yang mengharuskan dia diluar rumah untuk waktu yang
sedikit lama. Sedangkan untuk komunikasi atau hubungan dengan kerabat dan teman
narasumber kami, mereka mengakui terdapat beberapa kerabat yang mendukung
profesi mereka namun tidak sedikit juga yang mempertanyaan keputusan mereka
63

64

menjadi petugas parkir dan menurut pengakuan narasumber kami mereka juga
mendapat hinaan dari berbagai pihak mengenai pekerjaan mereka.
3. Didalam profesi sebagai petugas parkir wanita tentulah pasti mereka mengalami
berbagai hambatan dalam bekerja , melalui wawancara yang kami lakukan dituturkan
lebih dalam mereka sering dipandang sebelah mata oleh pemilik kendaraan sehingga
tidak jarang mereka tidak dibayar oleh pemilik kendaraan tersebut selain itu beberapa
kesempatan mereka juga tidak diakui sebagai petugas parkir padahal mereka
merupakan petugas parkir resmi yang menggunakan tanda pengenal petugas parkir.
Komunikasi petugas parkir ini juga sering kali mengalami hambatan ketika pemilik
kendaraan susah diberitahu kalau mereka merupakan petugas parkir resmi , hal itu
dilakukan pemilik kendaraan dengan tujuan untuk tidak membayar tarif parkir yang
ada. Masalah jenis kelamin mungkin menjadi salah satu factor besar para pemilik
kendaraan memandang sebelah petugas parkir wanita ini.

4.1.3

Profil Informan

1. Christina Purba
Ibu Christina Purba merupakan salah seorang dari sedikit wanita yang memberikan
dirinya menjadi petugas parkir di Kota Medan . Ibu ini bertugas di Jalan Sisingamangaraja
simpang limun , Medan Ia berasal dari Pangkalan Brandan Sumatera Utara yang kemudian
berpindah dan mencari nafkah di Kota Medan bersama keluarganya. Menjadi tukang parkir
merupakan pekerjaan sehari-hari nya yang sudah ia jalankan selama 3 tahun. Alasan ibu
Christina Purba menjadi tukang parkir ialah untuk membantu kebutuhan rumah untuk

64

65

keluarganya. Ia mengaku mengalami suka duka selama menjadi tukang parkir. Suka yang ia
alami adalah ia mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya tersebut. Sementara duka yang ia
alami ialah terkadang ada beberapa pemarkir yang enggan membayar uang parkir ataupun
kabur begitu saja. Pihak keluarga ibu Christina mendukung pekerjaannya karena tidak adanya
lagi lahan pekerjaan lain yang tersedia.
Ibu Christina mengaku tidak merasa malu ataupun bangga menjadi seorang tukang
parkir. Ia mengaku senang dengan pekerjaannya. Ia merasa senang karena pekerjaan yang ia
lakoni merupakan pekerjaan yang halal yang susah untuk didapatkan di jaman sekarang.
Ibu Christina mengaku tidak takut bersaing dengan tukang parkir laki-laki lainnya.
Ia merasa tidak ada bedannya tukang parkir laki-laki maupun wanita dan keduanya dapat
bekerja sama-sama. Ia juga mengaku tidak takut mengutip biaya parkir bilamana yang
memarkirkan kendaraan merupakan preman. Ia merasa itu merupakan tugasnya. Bila preman
tersebut meminta ijin maka ia akan memberi ijin pada mereka.
Selama 3 tahun ia melakoni profesinya, ibu Christina merasa tidak ada tantangan
yang berat yang ia rasakan. Tantangan yang cukup berat ia rasakan adalah ketika awal ia
menjadi tukang parkir ada beberapa preman setempat yang suka meminta uang kepadanya.
Sekali ia akan memberikan uang pada mereka tetapi selanjutnya bila dimintai lagi ia akan
melawan.
Pekerjaan ibu Christina sebelum menjadi tukang parkir ialah seorang pedaang yang menjual
sayur di rumah nya di Jakarta sebelum akhirnya pindah ke Medan dan tidak mendapatkan
pekerjaan lalu memutuskan untuk menjadi seorang tukang parkir.
Ibu Christina hanya bekerja di malam hari dimulai dari habis maghrib menjelang
subuh.
Ibu Christina sudah terdaftar sebagai petugas parkir resmi di Dinas Perhubungan dan sudah

65

66

mendapatkan badge name yang selalu ia kalungkan setiap ia menjalankan pekerjaannya


sebagi tukang parkir.
Ibu Christina mengatakan bahwa orang-orang yang memarkirkan kendaraannya
maupun orang-orang disekitar tempat ia bekerja tidak pernah mengejek ataupun merendahkan
nya melainkan bersikap dan memperlakukannya dengan baik serta menghargainya. Walaupun
beberapa orang terkadang sering merendahkannya.
Ibu Christina tidak mematokkan tarif parkir. Berapa pun yang diberikan akan ia
terima. Beberapa orang sering memberi tarif yang kurang dari seharusnya namun ada pula
yang memberi lebih kepadanya. Menjadi seorang tukang parkir merupakan mata pencaharian
utamanya. Ia memiliki suami yang juga berprofesi sebagai tukang parkir. Suami ibu Christina
bekerja sebagai tukang parkir di tempat yang sama dari pagi hingga sore hari.
Alasan ibu Christina memilih memjadi tukang parkir pada malam hari ialah karena
pagi hari ia haru mengurus anak-anaknya, mengurus rumah, memasak dan menjalankan
perannya sebagai ibu rumah tangga. Sementara di malam hari ketika anak-anaknya sudah
tidur barulah ia memulai perannya sebagi tukang parkir.
Orang-orang terdekatnya seperti anak-anak, keluarga, maupun teman-temannya
tidak memberikan komentar apa-apa perihal pekerjaannya sebagi tukang parkir. ibu Christina
mengaku mereka semua mendukung profesinya sebagai tukang parkir.

2. E. Simorangkir
E. Simorangkir adalah petugas parkir wanita yang berasal dari Helvetia. Pekerjaan
menjadi petugas parkir wanita adalah pekerjaan utamanya dalam mencari nafkah.Ia sudah
menjalani pekerjaannya sebagai petugas parkir selama 2 tahun. Sebelumnya, ia berjualan di
monza namun, usahanya tidak berjalan lancar seperti yang diharapkannya, maka dari itu ia
beralih menjadi seorang petugas parkir.
66

67

Menjadi seorang petugas parkir wanita pastinya tidak mudah dan ada suka dan duka
yang dialami oleh ibu E. Simorangkir. Sukanya adalah pekerjaan menjadi petugas parkir
memiliki waktu yang bebas, duka yang dialaminya adalah ia menerima cukup banyak hinaan
yang diterimanya, karena banyak yang menganggap bahwa pekerjaan ini tidak layak untuk
dikerjakan oleh seorang perempuan. Pihak keluarga tidak memberikan dukungan atas apa
yang telah ia putuskan untuk mencari nafkah, karena pekerjaan menjadi petugas parkir adalah
pekerjaan yang cukup memalukan terlebih untuk seorang perempuan. Kerabat ibu E.
Simorangkir beberapa mendukung dan ada juga yang tidak mendukung karena alasana yang
sama yang diberikan pihak keluarga.
Namun, ibu E.Simorangkir memiliki sikap yang tidak pantang menyerah, demi
mencari nafkah untuk keluarganya ia rela melakukan pekerjaan ini selama masih halal,
bahkan ia tidak takut untuk bersaing dengan petugas parkir lainnya yang berada di daerah
yang sama tempat ia bekerja.
Ia sudah terdaftar menjadi petugas parkir resmi, sehingga ia dapat melaksanakan
pekerjaan nya dengan lancar dan juga tetap menaati hukum yang berlaku sebagai warga
masyarakat yang baik.
Ibu E. Simorangkir mengaku selama ia melakukan pekerjaannya ia menemukan
beberapa pengendara yang ramah, dan ada juga pengendara yang sombong. Selain itu, ia
tidak mematokkan tarif parkir, ia menerima berapapun uang yang diberikan kepadanya, rata
rata pengendara memberikan 2000-3000 rupiah.

3. Jojor Barita
Jojor Barita adalah seorang petugas parkir perempuan yang berasal dari Pahae
Sarula, Tapanuli Utara yang saat ini bertugas menjadi petugas parkir di Pintu 4 USU.
Sebelum menjadi seorang petugas parkir perempuan, ia mengaku sempat bekerja
67

68

menjadipekerja di Rumah Makan APJ.

Ibu Jojor telah menjadi seorang petugas parkir

perempuan selama kurang lebih 2 tahun, dikarenakan pendapatan sang suami yang belum
bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga dan juga dikarenakan sang suami yang pindah
bekerja di kota Pematang Siantar.
Selama menjadi seorang petugas parkir perempuan dia mengakui bahwa menjadi
seorang petugas parkir juga adalah keputusan yang menyenangkan dan juga tidak
menyenangkan, dimana sisi menyenangkannya adalah ibu Jojor dapat melakukan interaksi
langsung dengan banyak orang juga mendapatkan banyak kenalan juga jika ia sedang bekerja
di depan Pintu 4 USU, ia tidak perlu bersaing denga petugas parkir lainnya, sisi tidak
menyenangkannya adalah bahwa Anak, Keluarga besar dan juga kerabat tidak memberikan
tanggapan positif akan keputusan yang diambilnya.
Ibu jojor mengakui bahwa pekerjaan yang diambilnya adalah pekerjaan yang cukup
berat, dimana ia mengatakan bahwa beberapa pengendara mobil dan motor yang membantah
dan juga tidak ingin membayar tarif parkir. Ibu Jojor mengakui bahwa dirinya tidak
menentukan tarif parkir, ia selalu menerima berapapun yang diberikan pengendara, dimana
rata rata pengendara mobil memberikan uang Rp 2000 Rp 3000 dan pengendara motor
memberikan uang Rp 1000 Rp 2000.
Jam kerja ibu Jojor tidak tentu namun, ia mengatakan bahwa biasanya dia bekerja
mulai sekitar jam 9 malam sampai jam 12 malam, hal ini lah yang membuat nya tidak
memiliki cukup waktu untuk memberikan perhatian yang lebih kepada anak anaknya.
Namun, menjadi petugas parkir perempuan bukanlah pekerjaan yang memalukan baginya,
pekerjaan apapun dapat dilakukan selama pekerjaan tersebut halal.

4.

Nurdianti

68

69

Sosok yang menjadi petugas parkir di J.I.H. Misbah ini adalah seorang ibu yang
sangat bertanggungjawab kepada anak-anaknya. Karena demi menyekolahkan anak-anaknya,
ia rela menyandang status yang tidak biasa yaitu menjadi petugas parkir wanita. Keadaan
ekonomi keluarga yang menuntutnya harus bergerak mencari nafkah demi kelangsungan
hidupnya dan anak-anaknya. Pendidikan anak-anaknya adalah alasan terbesar baginya untuk
berjuang dalam pekerjaannya. Karena menurut ibu yang berasal dari Tapnuli ini, anakanakynya harus sekolah tinggi agar tidak bernasib sama sepertinya yang tidak menacapi
pendidikan tinggi sehingga hanya bisa menjadi seorang petugas parkir saja.
Selama dua tahun menggeluti pekerjaannya, ibu Nurdianti tidak pernah sedikitpun
merasa minder atau pun malu. Menurutrnya, selama pekerjaan yang ia lakoni adalah
pekerjaan halal tidak ada alasan untuk malu apalagi keluarganya terutama anak-anaknya
mendukung pekerjaannya dan tidak mempermasalahkan sedikitpun. Ngapai malu orang
bukan mencuri kok awak kerjanya ucap ibu Nurdianti tanpa ada rasa malu sedikitpun atas
pekerjaannya.
Persaingan dalam pekerjaannya pun tidak pernah meluluhkan semangatnya untuk
terus mencari nafkah. Persaingan sesama petugas parkir tidak menjadi beban pikiran ibu
Nurdianti sama sekali, bahkan menurutnya rezeki masing-masing orang sudah diatur oleh
sang Khalik jadi tidak perlu takut akan persaingan apalagi karena dirinya adalah wanita.
Bukan hanya persaingan yang dialami ibu Nurdianti selama bertugas menjadi
petuigas parkir, tapi ada tantangan-tantangan lainnya yang menghambat pekerjaannyta.
Misalnya saja, ada orang yang tidak membayar tarif parkir padahal sudah jelas melihat ada
ibu Nurdianti sebagi petugas parkir. ;selain itu, ibu Nurdianti juga sering mendapat sikap
yang tidak baik dari para pengendara kendaraan yang parkir di wilayahnya, kadang baik,
kadang ada yang jutek, ya taulah namanya juga manusia tutur ibu Nurdianti. Juga ketika ada
razia, ibu Nurdianti kerap kali harus menghindar sekalipun sudah menjadi petugas parkir

69

70

yang resmi. Namun semua itu hanyalah pelengkap alias bumbu-bumbu dalam kehidupan ibu
Nurdianti dalam menjalani pekerjaannya.

5. Tinari Marbun
Petugas parkir wanita ini tidak memiliki pilihan lain untuk mencari penghasilan lain
selain menjadi petugas parkir dikarenakan tuntutan hidup yang mengharuskannya menjadi
kepala keluarga sekaligus pencari nafkah yang harus menghidupi keluarganya. Kehidupan
keras di Medan yang tidak sama dengan kampung halamannya, Sibolga menjadikan ibu
Tinari menjadi sosok yang tidak malu menjadi petugas parkir sekalipun ia adalah seorang
wanita dan itu adalah pekerjaan yang tidak biasa dilakukan oleh kaum wanita apalagi ibu
Tinari menjadikan pekerjaannya ini adalah sebagai pekerjaan utamanya tanpa adanya
pekerjaan lain.
Selama empat bulan pertama ibu Tinari menjadi petugas parkir, banyak suka dan
duka yang telah ia alami. Lebih banyak dukanya, sih daripada suka hahaha tutur ibu Tinari
sembari menjelaskan bahwa masih banyak orang yang tidak memperhitungkan pekerjaannya
ini sehingga ibu Tinari sering menelan ludah ketika jasanya tidak dihargai sama sekali. Selain
tidak membayar uang parkir, masih banyak orang yang berpura-pura tidak melihat kalau ada
petugas parkir yang menjaga kendaraan mereka sehingga lagi-lagi jasa ibu Tinari diberikan
secara cuma-cuma. Selain itu, setiap harinya ibu Tinari harus menyetor uang kepada
penanggungjawabnya sebesar Rp 60.000,- yang otomatis akan memotong penghasilannya.
Namun tetap dengan senyum diwajahnya, ibu Tinari juga bersyukur bahwa masih ada saja
yang peduli kepada petugas parkir dan menghargai jasanya dengan memberi upah lebih atas
jasa ibu Tinari. Selain suka-duka yang dialami ibu Tinari, kerap kali ibu Tinari juga terlibat
cekcok dengan petugas parkir pria yang berusaha untuk menggeser wilayah kekuasaan ibu

70

71

Tinari, namun ibu Tinari tidak gentar untuk memperjuangkan haknya dan terus gigih
mempertahankan pekerjaan yang ia cintai tersebut.
Ketiga anak ibu Tinari pun bangga memiliki ibu yang sangat berjuang untuk
menghidupi mereka dan tidak malu atas pekerjaan ibu mereka tersebut. Selain ketiga
anaknya, keluarga besar ibu Tinari juga tidak mempermasalahkan pekerjaan ibu Tinari
tersebut. Dan selama keluarganya masih mendukung dan menerima ibu Tinari akan terus
menekuni pekerjaan yang tidak biasa bagi kaum wanita ini.

4.1.4 Analisis Deskriptif Hasil Penelitian


Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi
antarpribadi, karena setiap orang akan bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan
konsep dirinya. Suksesnya komunikasi antarpribadi banyak bergantung pada kualitas konsep
diri, positif atau negatif. Pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi dan pada
saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan akan diri kita.
Peneliti dalam melakukan penelitian melakukan system kerja yang dimana beberapa
peneliti mencari dan melakukan wawancara dengan objek penelitian yaitu petugas parkir
wanita . Awalnya para peneliti melakukan perkenalan singkat dengan narasumber dimulai
dari menanyakan Nama Ibu siapa ya buu? kemudian dilanjutkan lagi menanyakan
pertanyaan lain. Untuk memudahkan dalam memahami isi wawancara kami telah
menyusunnya dalam bentuk daftar pertanyaan dan jawaban
2. Ibu dari mana asal daerahnya bu?
Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :

Tapanuli

Tapanuli Utara, di Pahae Sarula

Pangkalan Brandan, Sumatera Utara

Dari Sibolga

Helvetia.
3.Apakah pekerjaan ibu sehari hari sebagai tukang parkir?
71

72

Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :

Iya.

Tentu saja

Iya, tukang parkir kerjaan utama

Tidak, ada cadangan atau tambahan-tambahan yang lain.

Iya dekk..
4.Sudah berapa lama ibu menjadi tukang parkir?
Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :

3 tahun dek

Sudah dua tahun bang jadi kek gini

Sudah dua tahun juga lah dek


Dari bulan apa itu ya dekk..Agustus lah sampai sekarang ( Desember )
, 4 bulanlah berarti sudah

2 tahun lebih lah dek udah jadi tukang parkir


5. Apa alasan ibu menjadi tukang parkir?
Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :
Happy aja, asalkan ada duit yang dibawa pulang. Karena suami saya
sudah meninggal, jadi saya putuskan bekerja sendiri, jadi tukang parkir

pun yang penting halal.


Untuk membantu keluarga
Sebenarnya sih enggak mendukung, tapi karena pendapatan suami
nggak cukup ya terpaksa.
Supaya anak bisa sekolah
Pertama karena dulu pekerjaan saya sebagai jualan monza tidak lancar,

maka beralih ketukang parkir. Kedua karena pekerjaan ini bebas waktu.
6. Apa suka duka selama menjadi tukang parkir?
Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :
Sukanya menjadi tukang parkir yaitu mendapat penghasilan uang. Dukanya
menjadi tukang parkir yaitu terkadang yang parkir tidak membayar parkir

ataupun kabur begitu saja


Gimana bilangnya ya, kalo senangnya sih jadi banyak kenal sama orang gitu.
Kalo kita dirumah-rumah aja kan ngga ketemu siapa-siapa. Kalo sedihnya
kadang ibu bilang kan Parkir, Dek. Dianya jawab Mana ada Parkir, Bu.

Enggak mau bayar gitu.


Suka
: Ada yang memberikan uang lebih
Duka : Ada yang pura-pura tidak tahu kalau penjaga parkir ada,
72

73

Ada yang tidak rela memberi uang parkir.(Rp 2000)


Masih harus menyetor lagi ke penanggung jawab sebesar Rp 60.000.
Duka nya, banyak yang nggamau bayar parkir langsung kabur aja. Kalo suka

nya, kalo ada sisa setorannya lebih kan enak kali senang
Dukanya banyak hinaan, sukanya waktu tidak terikat.
7. . Apakah keluarga mendukung profesi ibu?
Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :
Ya, mendukung. Karena tidak ada lagi lahan pekerjaan yang lain
Alasan tidak mendukung ya anak enggak mendapat perhatian lagi

kan. Lagian kan jauh.


(Keluarga geleng-geleng kepala menyatakan salut), kok bisa Ibu saya
ini berani menjadi tukang parkir seperti laki-laki jadinya?, sambil

dicontohkan Ibu itu.


Tidak sama sekali.

8.Apakah ibu merasa malu atau minder sebagai tukang parkir?


Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :

Tidak malu atau minder. Tidak bangga juga. Tetapi senang menjadi
tukang parkir.

Enggaklah, gak minder. Nggak malu. Toh halal, kita pun nggak
ngemis.

Tidak, karena pekerjaannya halal

Ngga, ngapain malu orang bukan mencuri awak. Awak kerjanya

Tidak
9. Apakah ibu tidak takut bersaing dengan tukang parkir laki laki?
Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :
Tidak takut dek ibu
Enggak ada saingan-saingan gitulah. Sendiri aja kok jadi tukang parkir

disini.
Tidak takut, karena kalau kita benar untuk apa takut. Kalau kita bersikap
baik dengan laki-laki, dia juga akan baik. Karena tempatnya jugakan sudah

ditetapkan. Masing-masing ada tempat kerjanya sendiri-sendiri.


Nggaklah, ngapain bersaing. Rezeki udah diatur masing-masing
Tidak pernah takut.

10. Apakah tidak takut menjadi tukang parkir wanita?


Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :
73

74

Tidak
Enggak. Enggak takut. Sejauh ini enggak pernah diapa-apain kok

disini.

Tidak pernah takut

Tidak takut.

Nggaklah, kalo takut ngapain aku mau?


11. Apa tantangan selama menjadi tukang parkir wanita?
Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :

Ngak ada tantangan yang apakali dek

Tidak ada

Tidak ada, karena rumahku sekitar sini kok.


Tantangannya, ya itu tadi ada yang lari nggamau bayar. Kalo ada rajia
juga, padahal udah resminya kami ini

Kendaraan lalu-lalang begitu cepat.


12.. Apa pekerjaan ibu sebelum menjadi tukang parkir?
Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :

Berdagang, berjualan sayur

Sebelumnya jadi pekerja di rumah makan APJ


Sebelumnya dan sampai saat ini juga jadi Office Girl di sekitar
halaman Milenium Plaza. (membersihkan halaman Di Milenium Plaza

pada saat malam hari)


Jualan monza.

13. Pekerjaan ibu dari jam berapa ke jam berapa?


Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :

Dari jam 7 malam sampai 3 pagi

Jam kerja enggak tentu ya. Kadang pukul 21.00-24.00

1 siang sampai jam 10 malam (1x 2hari)

Dari pagi ampe malam lah

Bebas, tidak terikat waktu


14. Bagaimana sikap ataupun perlakuan yang parkir disini memperlakukan ibu ?
Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :

Baik dan menghargai

Sikapnya biasa-biasa ajalah. Nggak ada ngulah.


Kadang pura-pura tidak tahu kalau ada tukang parkir,Memberikan
uang yang kurang dari tarif yang ditetapkan,Ada yang tidak mau
bayar
74

75

Kadang ada yang baik, kadang ada yang jutek, kadang ada yang kaya
mana-mana. Taulah manusia ini
Sebagian besar pengendara ramah, beberapa sombong

15. Apakah ibu sering mematokkan tariff parkir?


Beberapa jawaban langsung dari narasumber adalah sebagai berikut :
Enggak pernah matok gitulah. Lihat situasi aja kondisi gimana. Permobil
tergantung yang ngasih, ada yang kasih dua ribu ada yang tiga ribu. Motor

juga gitu, ada yang dua ribu, seribu.


Tarif tetap, tapi kalau dikasih lebih,bersyukur kalaupun dikasi kurang

diterima saja.
Enggak lahh,terima aja yang dikasi
Ada lah, dua ribulah. Setorannya besar kali
ya, sering.

16. Apakah tanggapan dari orang-orang terdekat (teman ) mengenai profesi


ibu ?
Beberapa tanggapan orang orang terdekat menurut narasumber , yaitu :

Mendukung profesi ibu


Banyak juga sih yang bilang, nanya kenapa harus jadi tukang parkir.
Tapi dulu kan yang kerja disini Bapak, tapi sekarang merantau ke

Siantar. Jadi ya mau nggak mau kan, jadi Ibu yang ganti disini.

Selama masih halal mereka masih menerima


Ya mendukunglah, masa ngga mendukung. Kalo ngga didukung awak

ya mana jadi, ya dukunglah, anak awak pun bisa sekolah kan


Ada beberapa yang mendukung dan ada beberapa yang tidak.

4.2 Pembahasan
75

76

Sesuai dengan Teori yang terdapat dalam BAB 2, maka dalam BAB ini peneliti akan
mencoba menganalisis hasil dari penelitian lapangan dan menyesuaikan dengan teori yang
sebelumnya telah dibuat terlebih dahulu oleh peneliti.

4.2.1 Komunikasi
Pertama sekali peneliti akan menganalisis penelitian dengan subjek penelitian yaitu
tukang parkir wanita di kota Medan dengan teori komunikasi menurut Laswell mengatakan
bahwa komunikasi itu memiliki lima unsur utama, yaitu (Effendy,2001:9):
1. Komunikator (Sender)
Komunikator merupakan seseorang yang menyampaikan pesan atau informasi
kepada seseorang atau sejumlah orang. Komunikator yang baik ialah komunikator yang
selalu memperhatikan umpan balik sehingga ia mengubah gaya komunikasinya jika ia
mengetahui bahwa umpan balik dari komunikasi bersifat kurang baik/ negatif.
Komunikator dalam hal ini adalah tukang parker wanita yang menyampaikan
pesan kepada orang yang parker di tempat komunikator bekerja. Dalam masa penelitian
berlangsung, peneliti menemukan bahwa tukang parker di kota Medan adalah komunikator
yang baik. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tukang parker wanita ini juga selalu
memberikan umpan balik bagi komunikannya. Umpan balik yang peneliti lihat adalah ketika
orang yang parkir bertanya berapa harga parkir dan tukang parkir wanita ini menjawab sesuai
dengan pertanyaan komunikan tersebut. Bahkan ketika pun ada komunikan yang memberi
umpan balik negative seperti marah, tukang parkir wanita yang menjadi sampel peneliti
menjawab dengan positif.
2. Pesan (Message)
Pesan adalah seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.
Penyampaian pesan dapat dilakukan secara verbal dan non verbal. Penyampaian pesan secara

76

77

verbal dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa, sedangkan pesan secara non verbal
dapat dilakukan dengan menggunakan alat, isyarat, gambar, atau warna untuk mendapatkan
umpan balik dari komunikan.
Pesan yang disampaikantukang parkir wanita (komunikator) kepada orang
yang parkir (komunikan) adalah permintaan uang parkir seperti uang parkirnya, bang/kak.
Pesan seperti ini disebut pesan secara verbal. Komunikator juga terkadang menggunakan
pesan non verbal seperti meniupkan peluit menadakan tangan untuk memberi isyarat mundur
atau maju untuk mengeluarkan kendaraan orang yang parkir dari area parkir tersebut.
3. Media(Channel)
Media adalah saluran komunikasi atau tempat dimana berlalunya pesan dari
komunikator kepada komunikan. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi
adalah, bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain lain sebagainya yang dapat secara langsung
menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan
Media yang digunakan tukang parkir wanita yang menjadi sampel peneliti
adlah peluit. Dengan meniupkan peluit berarti tukang parkir telah melakukan komunikasi
kepada orang yang parkir tersebut. Biasanya tukang parkir meniupkan peluit untuk menarik
perhatian dari orang yang parkir ketika keluar atau masuk area parkir.
4. Komunikan (Receiver/Recepient)
Komunikasi adalah orang yang menerima pesan dari komunikator. Komunikan yang
akan memberikan umpan balik kepada komunikator. Umpan balik memainkan peranan
penting dalam komunikasi atau berhentinya komunikasi yang diutarakan oleh komunikator.
Oleh sebab itu umpan balik dapat bersifat positif ataupun negatif.
Komunikan dalam penelitian ini adlah orang yang parkir di area parkir tempat
tukang parkir wanita itu bekerja. Umpan balik juga selalu diberikan komunikan kepada
komunikator seperti pemberian uang parkir, atau isyarat senyum atau dengan membunyikan

77

78

klakson mobil/motor komunikan. Meskipun memang selama penelitian, peneliti juga melihat
ada beberapa komunikan yang juga sering memberi umpan balik yang negative terhadap
tukang parkir wanita. Umpan balik negative itu seperti marah ketika memberi uang parkir
atau bahkan tidak memberi uang parkir sesuai dengan tariff parkir area tersebut.
5. Efek (Effect)
Efek merupakan tanggapan atau seperangkat reaksi pada komunikan setelah
menerima pesan dari komunikator. Efek yang diterima tukang parkir wanita sebagai
komunikator dari orang yang parkir (komunikan) adalah reaksi-reaksi kecil sesuai dengan
komunikasi yang terjadi. Bila komunikasi positive yang terjadi antar komunikator dengan
komunikan, maka komunikator akan mendapatkan efek yang positif pula. Begitu pula
sebaliknya jika komunikasi yang terjadi adalah negative maka efek yang diterima keduanya
juga negative.
Tahap komunikasi(Effendy, 2001:11)
Tahap komunikasi yang terjadi antar tukang parkir dengan orang yang parkir adlah
tahap komunikasi primer. Tahap komunikasi ini berarti komunikasi yang terjadi secara
langsung tanpa menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua dan komunikasi yang
terjadi memang secara langsung.

4.2.2 Fenomenologi

78

79

Dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama pada
kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna
merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk
mengidentifikasi kualitas yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan
mendalam dan teliti (Smith, etc., 2009: 11). Penelitian fenomenologis fokus pada sesuatu
yang dialami dalam kesadaran individu, yang disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas
(intentionality), menggambarkan hubungan antara proses yang terjadi dalam kesadaran
dengan obyek yang menjadi perhatian pada proses itu. Dalam term fenomenologi,
pengalaman atau kesadaran selalu kesadaran pada sesuatu, melihat adalah melihat sesuatu,
mengingat adalah mengingat sesuatu, menilai adalah menilai sesuatu. Sesuatu itu adalah
obyek dari kesadaran yang telah distimulasi oleh persepsi dari sebuah obyek yang real atau
melalui tindakan mengingat atau daya cipta (Smith, etc., 2009: 12).
Sesuai dengan latar belakang penilitian ini, peneliti melihat bahwa tukang parkir
wanita merupakan fenomena langka yang sudah menjadi fenomena biasa. Dikatakan
fenomena langka adalah sesuai dengan budaya bahwa yang bekerja adalah kaum laki-laki.
Bahkan ketika pun sudah terjadi emansipasi wanita, maka posisi pekerjaan wanita adalah
didalam ruangan. Tetapi dari fenomena yang diteliti, adalah wanita yang bekerja mencari
nafkah sebagai tukang parkir yang merupakan pekerjaan diluar ruangan yang terkadang
dianggap pekerjaan kelas bawah. Maka dari fenomena ini pun terdapat banyak sekali makna
yang didapat oleh peneliti. Seperti emansipasi wanita yang sudah menyelimuti seluruh
pekerjaan bahkan sekalipun itu pekerjaan yang tidak berkelas. Wanita-wanita yang bekerja
sebagai tukang parkir ini pun memiliki alas an mengapa mereka harus menggeluti pekerjaan
ini, seperti untuk mencari nafkah.

4.2.3 Konsep Diri (Self Concept)

79

80

1. Pengertian Konsep Diri


Konsep diri (self concept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap
pembicaraan tentang kepribadian manusia.Konsep diri merupakan sifat yang unik pada
manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari mahkluk hidup
lainnya.Para ahli psikologi kepribadian berusaha menjelaskan sifat dan fungsi dari konesp
diri, sehingga terdapat beberapa pengertian. Konsep diri dinyatakan melalui sikap dirinya
yang merupakan aktualisasi orang tersebut. Manusia sebagai organisme yang memiliki
dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar keberadaan dirinya.
Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri
individu bersangkutan.
Dalam

penelitian

ini,

peneliti

menggunakan

konsep

diri

yang

bersifat

multidimensional. Konsep diri multidimensional dapat melihat diri seseorang dari berbagai
konteks, seperti konsep diri spiritual, konsep diri sosial, konsep diri terhadap lingkungan dan
lain sebagainya (James, dalam Metivier, 2009). Petugas parkir wanita yang menjadi subjek
penelitian memiliki konsep diri dinamis yang menjadi bagian konsep diri yang bersifat
multidimensional. Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari
perubahan. Artinya petugas parkir menurut peniliti memiliki konsep diri yang positif
meskipun dalam keadaan yang berubah yang harus bekerja sebagai tukang parkir tidak sertamerta merubah konsep diri mereka sebelumnya. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam
jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi
sesaat. Dalam konsep diri ini terdapat beberapa unsur, yaitu:
1.

Penilaian diri merupakan pandangan diri terhadap pengendalian keinginan

yang terjadi didalam diri, suasana hati, dan bayangan subyektif terhadap kondisi tubuh kita.
Petugas parkir wanita menilai diri mereka sendiri positif. Hal ini Nampak dari mereka yang
memang tidak pernah merasa malu dengan pekerjaannya. Dari penelitian lapangan yang

80

81

peneliti lakukan mereka juga menunjukkan suasana hati yang senang selama apa yang
mereka kerjakan adalah halal dan dapat mencukupi kebutuhan keluarga mereka.
2.

Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana individu menerima

penilaian lingkungan sosial pada diri nya. Penilaian social yang petugas parkir ini dapatkan
dari lingkungannya memang tidak selamanya positif, termasuk dengan orang-orang sekitar
tempatnya bekerja. Penilaian negative itu seperti bertanya kenapa sih harus jadi tukang
parkir atau bahkan sikap sepele yang bias menyebabkan konsep diri menjadi negative.
Tetapi sesuai dengan konsep diri dinamis yang dimiliki tukang parkir wanita ini, konsep diri
mereka tidak berubah dan tetap positif meskipun penilaian social yang didapat negative.
3.

Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau

citra diri. Citra diri yang didapat petugas parkir wanita dalam keluarga mereka memang ada
beberapa yang memiliki citra diri positif karena apa yang dikerjakannya pun masih halal.
Tetapi ada juga citra diri yang negative dari keluarga petugas parkir wanita ini, hal ini
nampak dari keluarga mereka yang tidak mendukung pekerjaan ini. Selain itu citra diri yang
didapat dari lingkungan sekitar pun memang tidak memiliki nilai tinggi disbanding dengan
wanita yang bekerja dikantoran, tetapi kembali lagi selama yang dilakukan adalah halal
masyarakat juga pasti ada yang menilai positif.

4.2.4 Presentasi Diri


Teori Presentasi diri (self presentation) adalah upaya untuk menumbuhkan kesan
tertentu di depan orang lain dengan cara menata perilaku. Untuk memperoleh presentasi diri
yang baik orang mencoba mengelola impresi diri (impression management). Impresi yang
pertama kali kita buat di depan orang lain akan menentukan bagaimana hubungan orang lain

81

82

dengan kita. Jones and Pitman (1982) : mengemukakan lima teknik presentasi diri pada orang
lain :
1. Ingratiation (presentasi diri agar disukai), menampilkan diri agar disukai orang
lain dan cenderung berperilaku berlebihan.
2. Self Promotion (presentasi diri agar dianggap kompeten), menampilkan diri
dengan segala kelebihan diri.
3. Intimidation (presentasi diri agar ditakuti), menampilkan diri sebagai orang yang
berbahaya.
4. Supplication (presentasi diri agar dikasihani), menampilkan diri dengan
menunjukkan kelemahan atau bergantung kepada orang lain.
5. Examplification (presentasi diri agar dianggap memiliki integrasi moral tinggi),
menampilkan diri sebagai orang yang rela berkorban untuk orang lain.
Sesuai dengan teknik presentasi diri menurut Jones dan Pitman (1982) petugas
parkir wanita ini memiliki teknik exemplification. Petugas parkir wanita yang diteliti
memang mempresentasikan diri mereka agar dianggap memiliki integrasi moral tinggi.
Artinya mereka ingin menampilkan bahwa mereka sebagai orang yang rela berkorban untuk
orang lain seperti keluarga, demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Selain itu petugas parkir wanita ini juga mengadakan Self-Disclosure kepada peneliti
dalam mengungkapkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Artinya petugas
parkir wanita ini juga tidak malu-malu untuk mengungkapkan informasi/bercerita kepada
peneliti, selama penelitian dilapangan.

4.2.5 Gender dan Pembagian kerja


Cheris Kramarae (dalam Sendjaja:1994) mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari
teori ini sebagai berikut:

82

83

Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena


pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian
kerja.

Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi lebih


dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif
perempuan.

Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus


mengubah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat
diterima laki-laki.

Jika beranjak dari teori ini maka peneliti menemukan ada beberapa hal yang tidak
sesuai lagi dengan teori gender dan pembagian kerja dengan petugas parkir wanita. Semua
asumsi itu sudah bertentangan dengan kenyataan yang ada. Nyatanya petugas parkir yang
berjenis kelamin wanita ini sudah menanggapi dunia sama dengan laki-laki yang berakar
pada pembagian kerja sebagai tukang parkir. Dominasi politik laki-laki pun terbukti tidak lagi
dominan terhadap ekspresi bebas bagi pemikiran alternative perempuan. Bahkan asumsi yang
ketiga yang menyebutkan perempuan harus menyesuaikan perspektif mereka agar dapat
diterima system ekspresi laki-laki, sekarang sudah saling menyesuaikan. Artinya petugas
parkir laki-laki juga harus sudah menerima keadaan bahwa wanita juga sudah ada yang
berprofesi sebagai petugas parkir.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

83

84

Dari hasil penelitian mengenai konsep diri seorang petugas parkir wanita, maka
dapat diambil kesimpulan sebagi berikut.
1. Ibu yang bekerja sebagai petugas parkir wanita berusia sekitar 30 40 tahun. Satu;
diantaranya masih baru beberapa bulan menjalani pekerjaan ini sedangkan empat lainnya
sudah mencapai tahun kedua juga tahun ketiga. Kelima informan kami, empat diantaranya
berasal dari luar kota Medan. Dari kelima informan yang diteliti, peneliti menemukan
bahwa kelima informan memutuskan untuk menjadi petugas parkir agar dapat membantu
mencari nafkah, membiayai pendidikan anak-anaknya, serta meningkatkan ekonomi
keluarga. Peneliti juga menemukan bahwa kelima informan merupakan orang-orang yang
disiplin dalam bekerja, namun tidak melupakan tanggung jawabnya terhadap keluarga
dengan mambagi waktu siang hari untuk keluarga dan malamnya untuk bekerja. Kelima
informan kami memulai pekerjaannya diantara jam 6 sore sampai 12 malam bahkan juga
ada yang sampai subuh.
2. Proses komunikasi informan wanita petugas parkir dengan keluarga dan anak-anaknya
terjalin dengan baik. Hal ini dapat dilihat oleh peneliti saat mereka mengatakan bahawa
mereka berhasil memberikan pengertian kepada keluarganya mengenai pekerjaanya.
Sehingga keluarganya dapat mengerti. Tapi salah satu informan yaitu ibu E. Simorangkir
tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya karena pekerjaan petugas parkir dianggap
bukan pekerjaan yang layak untuk kaum wanita, namun ibu E. Simorangkir tetap gigih
mempertahankan pekerjaannya sampai tahun keduanya demi menafkai keluarganya.
3. Dari kelima informan, peneliti menemukan bahwa kelima informan mendapatkan
pengalaman yang hampir sama baik pengalaman suka ataupun duka. Yaitu ketika banyak
orang yang tidak menghargai jasa mereka dan tidak memberikan tarif parkir yang sudah
ditentukan bahkan ada yang marah juga tidak terima ketika informan meminta tariff parkir.
5.2 Saran

84

85

Setelah melakukan penelitian mengenai konsep diri petugas parkir wanita, peneliti
memberikan saran yang kiranya bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu :
1.

Saran kaitan praktis :

a)

Perempuan-perempuan yang sudah menjadi atau yang ingin menjadi wanita

pekerja khususnya sebagai petugas parkir untuk lebih mempersiapkan kesiapan mental dan
lebih membangun komunikasi yang berkualitas dengan pekerjaan yang dia miliki bersama
keluarganya. Juga terhadap lingkungan yang akan selalu memandang negatif atau penuh
pertanyaan terhadap pilihan pekerjaan yang dia geluti pada awalnya.
b)

Masyarakat sebagai objek dari penghasilan petugas parkir setidaknya

menghargai jasa parkir mereka, terlebih lagi petugas parkir wanita karena jasa parkir itulah
sumber kehidupan mereka dan tidak ada salahnya sebagi manusia yang berakhlak kita saling
mambantu sesama.

85

86

Dokumentasi

86

87

87

88

88

89

Daftar Pustaka

Ghony, M.D. dan Almanshur, F. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif.


Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Effendy, Onong Uchjana.2001. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya

West, Richard. Lynn H.Turner. 2007. Pengantar Teori Komunikasi. Jakarta. Salemba
Humanika

Devito. Joseph A. 1989. Interpersonal Communication Book- Fifth Edition. New


York: Harper & Row.

89

Anda mungkin juga menyukai