Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Asma berasal dari terminologi Asthma yang berasal dari
bahasa Yunani yang memiliki makna sukar bernapas 1. Penyakit Asma
merupakan penyakit paru restriktif dengan mekanisme inflamasi kronis
saluran pernafasan yang ditambah dengan hiperaktivitas bronkus dan
obstruksi jalan napas. Proses ini memiliki efek bronkokonstriksi, dan edema
yang mengakibatkan menyempitnya jalan nafas 1. Asma menyebabkan gejala
seperti wheezing, shortness of breath, chest tightness, cough yang bervariasi
intensitas dan frekuensinya.
Penyakit Asma diperkirakan menjangkit 300 juta orang diseluruh dunia
dengan berbagai lapisan umur masyarakat 2. Pada sebuah National Health
Intervew Survey di Amerika Serikat, dideklarasikan bahwa sekitar 6,5 juta
orang terinfeksi Asma 1. Menurut WHO, pada tahun 2025 diperkirakan
penderita Asma mencapai 400 juta orang 1. Sementara berdasarkan Riskesdas
tahun 2013, prevalensi Asma di Indonesia terakumulasi sejumlah 4.5% dari
jumlah penduduk Indonesia dengan perincian perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki 3. Sumber dari Pusat Data Dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI ( Infodatin ) menyebutkan bahwa Bali berada di urutan ke-6
dalam provinsi yang memiliki prevalensi asma yang melebihi angka
nasional4.
Bagi negara berkembang, penyakit asma memiliki tendensi prevalensi
yang meningkat. Penyakit asma juga memiliki beban tersendiri bagi negara
berkembang, dengan meningkatnya treatment costs, selain itu asma juga
merupakan beban untuk health care systems, dan beban untuk masyarakat
karena hilangnya produktivitas 2. (GINA). Selain itu, berdasarkan estimasi,
meskipun asma kronis telah terkontrol dengan baik, beberapa pasien akan
membutuhkan kunjungan mendadak ke berbagai fasilitas kesehatan dari
mulai layanan kesehatan primer hingga Instalasi Gawat Darurat (IGD).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Mengenai Asma
2.1.1. Definisi Asma

Asma adalah penyakit kronis yang berpotensi serius, ditandai dengan


wheezing, shortness of breath, chest tightness, cough yang bervariasi
frekuensi dan intensitasnya. Gejala asma berkaitan dengan aliran udara
ekspirasi, seperti susah menghembuskan nafas karena bronkokonstriksi akibat
penyempitan jalan nafas. Gejala lainnya adalah penebalan dinding jalan nafas,
dan peningkatan mucus. Asma dapat dipicu oleh infeksi virus dan allergen
( debu, polen), merokok, olahraga, dan stres psikis dan fisik. Beberapa obat
juga dapat memicu asma, seperti -blocker, NSAID, dan Aspirin.5
2.1.2. Diagnosis Asma
Asma adalah penyakit heterogen dengan berbagai macam gejala
klinis, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan nafas kronis. Diagnosis asma
ditegakkan apabila: (1) riwayat gejala respirasi, seperti mengi, nafas pendek,
sesak di dada, dan batuk dan (2) adanya sumbatan aliran udara ekspirasi.
(tabel1)5
Tabel 1. Algoritma Diagnosis Asma

Dikutip dari GINA, berikut ini adalah kriteria yang termasuk riwayat
gejala respirasi dan sumbatan aliran udara ekspirasi (tabel2)
Tabel 2. Kriteria gejala respirasi dan kriteria variabilitas limitasi aliran
udara ekspirasi

2.1.3. Patofisiologi Asma


Asma mengimplikasikan berbagai macam fenotipe keparahan,
kronisitas, persistensi, dan respon terhadap terapi. Derajat keparahan penyakit
berhubungan dengan tingkat keparahan peradangan saluran napas, yang
mengatur hiperresponsifitas, derajat obstruksi, dan gejala.
Bronkokonstriksi terjadi karena kontraksi bronkus otot polos yang
disebabkan oleh kemungkinan rangsangan alergen, termasuk faktor intrinsik,
alergen, olahraga, stres, atau udara dingin. faktor vagal dan simpatik langsung
memodulasi tonusitas saluran napas. edema inflamasi dan aspirasi mukus
memperburuk limitasi aliran udara dan menghambat respon terhadap terapi
bronkodilator.
Airway perubahan otot polos telah terlibat

dalam,

respons

bronkospasme kronis buruk sebagai mediator mekanis dan inflamasi6.


2.2. Tinjauan Mengenai Asma Berat Eksaserbasi Akut
2.2.1. Definisi Asma Berat Eksaserbasi Akut
Asma eksaserbasi merupakan episode asma akut atau subakut yang
memiliki gejala progressively worsening shortness of breath,coughing,

wheezing, and chest tightness beserta kombinasinya. Penanganan untuk asma


eksaserbasi akut secara umum meliputi : (1) Perencanaan tatalaksana asma
dirumah pasien; (2) Pengenalan mengenai gejala tanda-tanda awal dan gejala
asma; (3) Peningkatan intensitas terapi dengan meningkatkan short-acting bagonists sesuai indikasi; (4) Komunikasi mengenai praktisi kesehatan dengan
pasien; (5) Mencari penanganan kegawatdaruratan untuk manifestasi asma
eksaserbasi akut derajat berat.4
2.2.2. Anamnesis Asma Berat Eksaserbasi Akut
Riwayat singkat Asma Eksaserbasi meliputi onset; penyebab
eksaserbasi; derajat keparahan gejala, terutama apabila dibandingkan dengan
eksaserbasi sebelumnya; dan respons terhadap pengobatan yang diberikan
sebelum masuk IGD. Sebagai tambahan, praktisi kesehatan juga harus
mencatat semua obat asma yang dipakai dalam beberapa waktu terakhir.
Kemudian, praktisi kesehatan juga harus mencatat riwayat penyakit lain,
terutama penyakit paru dan jantung yang diperparah dengan penggunaan
systemic corticosteroid. Misalnya, diabetes dan hipertensi.4
2.2.3. Tanda dan Gejala Asma Berat Eksaserbasi Akut
Gejala dalam asma eksaserbasi meliputi susah bernafas, batuk, mengi,
dan perasaan berat di dada. Sedangkan tanda dari asma eksaserbasi meliputi
agitasi, meningkatnya Respiratory Rate, meningkatnya Pulse Rate, dan
menurunnya fungsi paru setelah diukur dengan spirometri.4
2.2.4. Pemeriksaan Fisik Asma Berat Eksaserbasi Akut
Parameter spirometri yang harus di monitor antara lain :

Forced

Expiratory Volume in 1 second (FEV1), Peak Expiratory Flow (PEF), PaO2,


PaCO2, dan Arterial Oxygen Saturation (SaO2). Sedangkan ketidakmampuan
untuk berkata menyelesaikan satu kalimat atau satu frasa secara tuntas tidak
selalu ada. Selain itu, pemeriksaan fisik juga dapat menentukan status pasien,
tingkat kesadaran pasien, status cairan, keadaan cyanosis, penurunan fungsi
respirasi, dan mengi. Pada orang dewasa, pengukuran secara berkala dari
fungsi paru dengan menggunakan FEV1 atau PEF dilakukan 60 menit setelah
initial therapy, tes fungsi paru juga sangat berguna sebagai indikasi dari
kebutuhan untuk masuk rumah sakit. Namun, pada pasien yang mengalami
eksaserbasi berat dengan cyanosis, tes fungsi paru tidak dianjurkan ketika
gejala klinis muncul karena tes fungsi paru hanya memberikan sedikit

informasi tambahan dan membuat pasien menjadi tidak nyaman. Pada kasus
asma eksaserbasi berat, terapi harus dilaksanakan segera. Derajat eksaserbasi
ditentukan oleh pemeriksaan fisik singkat. Hal ini berkaitan dengan derajat
eksaserbasi yang terbagi menjadi 3 kategori, yaitu ringan, sedang, dan berat.
(Tabel1)4. Derajat eksaserbasi menentukan penatalaksanaan asma. Asma
dengan eksaserbasi derajat ringan ke eksaserbasi derajat sedang mampu untuk
ditangani dirumah atau self-care, sedangkan asma dengan eksaserbasi derajat
berat membutuhkan penatalaksanaan dan monitoring ketat di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) atau rawat inap.4

Tabel1. Klasifikasi derajat Asma Eksaserbasi

2.2.5. Penatalaksanaan Asma Berat Eksaserbasi Akut


Pada Instalasi Gawat Darurat (IGD), derajat dari Asma Eksaserbasi
menentukan intensitas dari penatalaksanaan dan frekeuensi monitoring.
Secara umum, penatalaksanaan primer seperti oksigen (O2), inhalasi 2agonists, dan systemic corticosteroid tetap diterapkan pada semua asma
eksaserbasi tanpa memperhitungkan derajat eksaserbasi. Namun, dosis dan
frekuensi administrasi dan monitoring berbeda tergantung dengan derajat
eksaserbasi.

Diluar

penatalaksanaan

primer

tersebut,

terapi

dengan

ipratropium bromide bisa digunakan pada asma eksaserbasi berat.4


2.2.6. Terapi Oksigen pada Asma Berat Eksaserbasi Akut
Oksigen diberikan lewat nasal cannule atau face mask dengan target
SaO2 diatas 90%, dengan pengecualian untuk ibu hamil dan orang dengan
penyakit jantung maka SaO2 harus diatas 95%.Oksigen harus selalu direspon
setiap saat sampai didapatkan respons yang adekuat terhadap terapi
bronkodilator.4
2.2.7. Terapi 2-agonists pada Asma Berat Eksaserbasi Akut
6

Short-acting 2-agonists (SABA) inhalan harus diberikan pada semua


pasien asma dengan semua tingkat eksaserbasi tanpa terkecuali. Menurut
penelitian, inhalasi SABA merupakan cara yang efektif. SABA merupakan
agen bronkodilator paling efektif dalam kapasitasnya untuk mengembalikan
obstruksi jalan nafas reversibel yang disebabkan oleh alergen aktivator. Pada
setting IGD, ketiga terapi yang terdiri dari Oksigen, Short-acting 2-agonists
(SABA), dan systemic corticosteroid, harus diberikan secara simultan setiap
20-30 menit sebagai initial therapy. Setelahnya, frekuensi dari terapi akan
bergantung respons pasien terhadap initial therapy (tabel 2). Pada pasien
dengan asma eksaserbasi berat (kriteria : FEV1 atau PEF < 40%), ada
pendapat yang mempertimbangkan bahwa pemberian secara continous dari
Short-acting 2-agonists (SABA) mungkin lebih efektif jika dibandingkan
dengan pemberian secara intermittent. Sementara, durasi bronkodilatasi dari
Short-acting 2-agonists (SABA) sebenarnya tidak diketahui secara mutlak,
namun, menurut pendapat ahli, durasi bronkodilatasi dari Short-acting 2agonists (SABA) pada pasien dengan asma kronis yang tak terkontrol akan
lebih cepat dan tidak memiliki reversibilitas dalam durasi yang lama. Selain
itu, akibat tingginya potensial dari cardiotoxicity, selective SABA
(albuterol,levalbuterol, dan pirbuterol) sebaiknya diberikan dalam dosis yang
tinggi. Pada asma dengan eksaserbasi berat, berikan salbutamol (albuterol) 410 puffs by pMDI + spacer, ulangi tiap20 menit selama 1 jam.5
2.2.8. Terapi dengan Systemic Corticosteroid
Systemic corticosteroid direkomendasikan terhadap semua pasien
asma dengan segala derajat eksaserbasi. Hal ini dikarenakan karena Systemic
corticosteroid memiliki evidence mempercepat resolusi obstruksi jalan nafas
dan Systemic corticosteroid juga terbukti mengurangi kekambuhan.7 Pada
setting IGD, systemic corticosteroid harus diberikan ke semua pasien asma
dengan eksaserbasi sedang ke berat dan/atau kepada pasien yang tidak
merespon kepada initial therapy dari Short-acting 2-agonists. Sebuah expert
panel dari American Thoracic Society merokemendasikan adminstrasi oral
dari

prednisone

yang

menunjukkan

efek

yang

setara

dengan

methylprednisolone intravena.8,9 Namun, pemberian secara oral lebih tidak

invasif untuk pasien. Sebagai adisi, dosis supplemental harus diberikan


kepada pasien yang mengkonsumsi corticosteroid secara regular, meskipun
pasien tersebut memiliki derajat eksaserbasi sedang. Masih diintisarikan dari
expert panel American Thoracic Society, sampai saat ini masih belum
ditemukan evidence yang menjamin efektivitas dari high-dose inhaled
corticosteroid. Efetktivitas dari high-dose inhaled corticosteroid dinilai tidak
lebih baik jika dibandingkan dengan oral corticosteroid pada setting IGD.
Pada asma dengan eksaserbasi berat berikan prednisolone 1mg/kg dengan
dosis maximal 50mg
2.2.9. Terapi dengan Inhalasi Ipratropium Bromide
Expert panel dari American Thoracic Society merekomendasikan
penggunaan dari Ipratropium Bromide secara inhalasi untuk penatalaksanaan
akut di IGD sebagai agen bronkodilator tambahan. Kombinasi dari Shortacting 2-agonists dan Inhalasi Ipratropium Bromide menunjukkan hasil
yang memuaskan dalam kapasitasnya mengurangi hospitalisasi, terutama
kaitannya pada pasien dengan obstruksi jalan nafas berat.10,11
2.2.10. Terapi dengan Agen Lain
Terapi dengan antibiotik secara umum tidak direkomendasikan untuk
penatalaksanaan asma akut dengan eksaserbasi berat karena virus merupakan
penyebab eksaserbasi berat yang lebih sering terlibat daripada bakteri. Oleh
karena itu, antibiotik sebaiknya digunakan secara rasional pada kasus yang
memiliki bukti infeksi bakteri yang kuat seperti pneumonia dan sinusitis.4
Status cairan harus dinilai sebelum memberi terapi cairan. Expert
panel dari American Thoracic Society tidak merokemendasikan penggunaan
methylxanthines, chest physiotherapy, mucolytics, dan obat sedatif.4
Magnesium Sulfat Intravena dapat dipertimbangkan pada pasien asma
dengan eksaserbasi berat yang mengancam nyawa dan/atau pada pasien asma
dengan eksaserbasi yang masih berat setelah penatalaksanaan konvensional
secara intensif selama satu jam.12,13 Magnesium Sulfat Intravena diberikan
dengan dosis 2g selama 20 menit pada orang dewasa.
Heliox-driven albuterol nebulization beberapa kali digunakan dengan
pertimbangan Heliox dapat mengurangi kerja dari sistem pernafasan. Namun,
penggunaan heliox tidak diimbangi dengan clinical trial dengan subjek
dengan skala besar.4

Pemberian 2-agonists intravena juga masih belum memiliki evidence


kuat

dan

Expert

merekomendasikan

panel

dari

pemakaian

American
dari

Thoracic

isoproterenol

Society

intravena

tidak
sebagai

penatalaksanaan asma akibat bahaya myocardial toxicity. Selain itu, tidak ada
evidence cukup untuk penggunaan leukotriene modifiers.14 atau noninvasive
ventilation15 sebagai penatalaksanaan asma akut.4
2.2.11. Intubasi pada Asma Eksaserbasi Berat
Expert panel dari American Thoracic Society membuat rekomendasi
sebagai berikut dalam kaitannya dengan intubasi : (1) Pasien dengan apnea
atau coma harus segera diintubasi. Apabila terdapat hypercapnia yang
persistent atau bahkan meningkat, kelemahan keadaan umum pasien, dan
menurunnya status mental pasien merupakan indikasi untuk penggunaan
ventilator. (2) Konsultasi dan sinergisme antar profesi, terutama dalam
manajemen ventilator sangat esensial karena ventilasi pada pasien dengan
asma berat memiliki resiko yang besar dan rumit. (3) Karena intubasi sulit
dilakukan pada pasien asma eksaserbasi berat, maka intubasi harus dilakukan
semielective dan sebelum terjadi henti nafas. Intubasi tidak boleh ditunda dan
oleh karena itu harus dilakukan di IGD. (4) Ada 2 hal yang dipertimbangkan
saat intubasi. Yang pertama : volume intravascular harus selalu dibuat dalam
keadaan stabil karena resiko hipotensi yang menyertai inisiasi ventilasi
tekanan positif. Yang kedua : tekanan ventilator yang tinggi harus dihindari
karena resiko barotrauma yang menyertai. (5) Strategi ventilator yang
direkomendasikan adalah strategi permissive hypercapnia atau controlled
hypoventilation karena strategi ini menyediakan oksigenasi yang adekuat
sementara meminimalisasi tekanan jalan nafas dan memperkecil resiko
barotrauma.16-18 Namun, strategi tersebut tidak selalu berhasil pada kasus
asma eksaserbasi berat dengan kondisi kritis. Terapi tambahan sangat
diperlukan untuk mengatasi problematika tersebut.4
2.3. Aspek Perioperatif pada Asma Berat Eksaserbasi Akut
Penilaian dan intervensi preoperasi merupakan salah satu pilar penting
dalam penatalaksanaan asma berat eksaserbasi akut. Ketika asma telah
terkontrol dengan baik, maka resiko komplikasi perioperatif menjadi
berkurang. Sebaliknya apabila asma tidak terkontrol dengan baik, maka
resiko komplikasi perioperarif menjadi meningkat.19
9

2.3.1. Anamnesis
Dalam anamnesis gejala klinis tak selalu ditemukan. Namun ada
beberapa kata kunci untuk asma berat yaitu riwayat frekuensi eksaserbasi,
riwayat masuk rumah sakit, riwayat tentang intubasi trakea dan riwayat
penggunaan ventilasi mekanik sebagai penanganan dari serangan asma berat.
Pasien harus ditanyakan mengenai triggering agent yang paling sering . Type,
dose, frekuensi terapi merupakan hal penting lain untuk ditanyakan. Infeksi
saluran respirasi, seperti infeksi sinus dapat memicu serangan asma. Pasien
dengan moderate-severe asma sebaiknya dicek mengenai PEFR ( peak
expiratory flow rate ) meter . Normalnya PEFR adalah 200-600 l/min .
Berbeda tergantung umur, jenis kelamin, tinggi, dan berat badan.19 Riwayat
menyeluruh secara umum dan pemeriksaan fisik memberikan informasi
mengenai identifikasi yang tepat dari keparahan penyakit, kontrol keparahan
gejala, dan stratifikasi risiko anestesi. Ulasan mengenai baseline exercise
tolerance, riwayat kunjungan ke rumah sakit untuk asma (termasuk riwayat
penggunaan intubasi endotrakeal karena causa asma atau pemasangan infus iv
karena asma), riwayat alergi, dan riwayat bedah / anestesi sangat penting.
regimen obat pasien harus ditinjau. Regimen obat pasien memberikan
petunjuk penting untuk tingkat keparahan penyakit. Misalnya, seorang pasien
dengan regimen agen tunggal seperti albuterol inhalasi cenderung memiliki
penyakit terkontrol ringan sementara pasien lain yang membutuhkan
beberapa kombinasi yang berbeda dari obat asma mungkin memiliki penyakit
yang lebih parah. Pasien harus ditanyakan tentang obat asma baru yang
dikonsumsi, perubahan frekuensi obat atau perubahan dosis obat. Ulasan
mengenai riwayat asma dan Persiapan preoperatif yang sesuai (ditambah
dengan pendekatan multidisiplin) mampu Mengurangi prognosis yang buruk.
Risiko bronkospasme intraoperatif merupakan salah satu komplikasi asma
yang mungkin terjadi, dapat ditingkatkan apabila terdapat faktor yang
memperberat sebelumnya, seperti kehadiran atopi, eksim, rhinitis alergi.
Riwayat asma dan riwayat atopi pada keluarga harus diidentifikasi dan
merupakan penanda peningkatan resiko perioperatif. Merokok atau perokok
pasif memberikan kontribusi untuk kontrol asma yang buruk dan merupakan
faktor resiko yang berkontribusi besar terhadap komplikasi pernafasan
10

intraoperatif general anestesi. Pasien harus disarankan untuk Berhenti


merokok selama 2 bulan sebelum operasi elektif20.
2.3.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik preoperatif harus difokuskan kepada tanda dari
bronkospasme akut atau infeksi paru aktif, chronic lung disease. Ketika aliran
udara ekspirasi berkurang, suara nafas juga akan berkurang . Cek Forced
Expiratory Time (FET) sebagai parameter exhalasi yang memanjang. 18
Pemeriksaan fisik tentu saja harus mencakup vital sign dan penilaian suara
nafas, penggunaan otot aksesori, dan tingkat hidrasi. Nafas terengah-engah,
penggunaan otot aksesori dan pemanjangan waktu ekspirasi merupakan tanda
dari asma tak terkendali. mengi pada auskultasi harus diwaspadai, terutama
jika mengi ada di fase siklus pernapasan dibandingkan akhir ekspirasi.
2.3.3. Pemeriksaan Penunjang
Secara umum tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang
penting secara signifikan. Pemeriksaan laboratorium tidak rutin diperlukan
Tes Analisis Gas Darah penting tapi mungkin didapatkan hasil yang normal
pada saat baseline. Namun, pada kasus yang berat, pemeriksaan gas darah
arterial pada temperatur ruangan berguna untuk menentukan baseline
oksigenasi di arteri, retensi karbon dioksida di arteri, dan status asam-basa di
arteri. Apabila tidak ada fasilitas analisis gas arteri, bisa digunakan pulseoximetry untuk menentukan baseline oksigenasi. X-ray dada juga bisa
dilakukan

untuk

menilai

hiperinflasi

paru.

Pengukuran

peak

flow

direkomendasikan oleh American Lung Association untuk selfmonitoring


penyakit. Tes spirometri bisa dilakukan untuk menilai Forced Expiratory
Volume (FEV1), yang mencerminkan tingkat obstruksi jalan napas. Dewasa
ini, fraksi kadaluarsa Nitrat Oksida atau Fraction of Expired Nitric Oxide
(FeNO) sudah dievaluasi sebagai ukuran kontrol asma 21. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menentukan bagaimana FeNO harus digunakan
bersama dengan evaluasi klinis dan spirometri untuk manajemen asma. Tes
EKG mungkin menunjukkan Right Ventricular Hypertrophy dan Right Atrial
Hypertrophy.18. Pemeriksaan obyektif, pemeriksaan fisik, dan anamnesis
mengenai riwayat asma pasien harus dirangkai bersama dengan derajat
penyakit pasien sehingga manajemen perioperatif dapat dilakukan secara
efektif.
11

2.3.4. Pembuatan Rencana Anestesi


Rencana anestesi harus memuat

cara

untuk

menghindari

bronkospasme. Tidak ada satu metode spesifik yang lebih menguntungkan


dari yang lain. Metode yang dipilih harus sesuai dengan keadaan pasien.
Sebagai tambahan, instrumentasi langsung jalan nafas sebaiknya dihindari.
Namun, sebagai catatan, apabila pasien nyeri atau gelisah pada saat regional
anestesia (peripheral nerve or neuraxial block) maka serangan asma mungkin
akan muncul. Resiko akan semakin meningkat apabila operasi yang dilakukan
adalah operasi jalan nafas . Operasi yang juga beresiko sangat tinggi adalah
operasi yang menggunakan intubasi trakea seperti operasi thorax dan upper
abdomen.18. Sebagai contoh, operasi saluran napas atas atau semua jenis
operasi yang melibatkan diafragma akan mengakibatkan peningkatan
morbiditas paru perioperatif. (tabel 3)

Tabel 3. Penilaian pre-operasi dan rencana anestesi pre-operasi untuk menilai


resiko bronkospasme

2.3.5. Persiapan Preoperatif


Beberapa persiapan yang harus dilakukan adalah (1) pasien harus
berhenti merokok dari 2 bulan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk

12

memberikan recovery kepada sistem endobranchial bronchial mucus


clearence. (2) fungsi paru harus ditingkatkan sampai ke baseline dengan
corticosteroid dosis oral jangka pendek. Oral methylprednisolone 40mg
sekitar 5 hari sebelum operasi terbukti dapat menurunkan mengi pasca
intubasi pada pasien asma berat dengan jalan nafas yang reversibel. (3)
selama periode perioperative, berikan short acting corticosteroid seperti
hydrocortisone intravena. (4) elective surgery sebaiknya jangan dilakukan
apabila ada bronkospasme akut. Penatalaksanaan terhadap bronkospasme
akut merupakan prioritas utama. (5) premedikasi yang optimal dapat
menghilangkan

anxiety,

memperkecil

resiko

bronkospasme,

dan

meningkatkan work of breathing.(6) pikirkan anticholinergic agent seperti


atropine untuk mengurangi reaktivitas jalan nafas. (7) smonitor komponen
jalan nafas. (volumes, pressure, airway flows, end tidal CO2 monitoring).
PIilihan pengobatan sebelum operasi elective didasarkan pada tingkat
keparahan. Penderita asma terkontrol mungkin hanya perlu short-acting 2agonist (SABA) sebelum operasi. Berbeda dengan pasien yang Moderatelycontrolled yang harus menambahkan kortikosteroid inhalasi pada regimen
short-acting -2 agonist (SABA) mulai dari satu minggu sebelum operasi.
Sementara pasien dengan Poorly-controlled asma perlu menambahkan oral
kortikosteroid ke regimen medikasi. Penggunaan kortikosteroid pre-operasi
sudah terbukti menekan produksi inflamasi sitokin dan Studi mengkonfirmasi
keselamatan dari pemberian kortikosteroid sistemik pada fase perioperative 22.
Pasien harus tetap mengkonsumsi semua obat sampai hari operasi tiba. Shortacting -agonist Tambahan diindikasikan terlepas dari derajat penyakit, yang
berguna untuk menangkal bronkokonstriksi akibat intubasi trakea 22. Preoperasi anxiolytics seperti midazolam membantu dalam mengurangi
kecemasan yang disebabkan bronkospasme22. Penggunaan steroid sistemik
dalam enam bulan terakhir merupakan indikasi untuk IV methylprednisolone
atau hidrokortison22. Perawatan juga harus diambil untuk mengevaluasi jenis
prosedur bedah. Daerah operasi telah terbukti menjadi faktor risiko untuk
komplikasi paru perioperatif pada pasien asma22.
2.3.6. Manajemen Intraoperatif

13

Tujuan utama pasien asma dilakukan anestesi adalah untuk


menghindari bronkospasme dan mengurangi respon terhadap intubasi trakea.
Bronkospasme berat dapat menyebabkan kejadian fatal atau kejadian subfatal
seperti kerusakan otak ireversibel karena ketidakmampuan untuk ventilasi22.
Instrumentasi terhadap jalan napas harus dihindari sebisa mungkin untuk
pencegahan bronkospasme. Penyebab umum bronkospasme sebenarnya
adalah ketidakadekuatan kedalaman anestesi sehingga langkah manajemen
awal harus mencakup pendalaman anestesi yang adekuat. Hal ini dapat
dicapai dengan meningkatkan konsentrasi anestesi inhalan atau oleh
administrasi rapid acting intravena bronkodilator seperti propofol atau
ketamine. Bronkospasme bisa dipicu oleh laryngoscopy, tracheal intubation,
airway suctioning, cold inspired gas, tracheal extubation. Sementara dari sisi
obat,

pelepasan

histamin,

aktivitas

muscarinic

dapat

menginduksi

bronkospasme. Obat yang paling sering menyebabkan bronkospasme adalah


neuromuscular blocking agents. Beberapa agents seperti atracurium dan
mivacurium dapat menyebabkan efek pelepasan histamin. Jika intubasi
endotrakeal dipandang perlu, histamin releasing blocker neuromuskuler harus
dihindari. Vecuronium, rocuronium, dan cis-atracurium aman untuk
digunakan pada penderita asma. Suksinilkolin, yang melepaskan rendahnya
tingkat histamin, telah digunakan dengan aman pada penderita asma dengan
hasil yang memuaskan. Pembalikan blokade neuromuskular dengan
Acetylcholinesterase inhibitor harus digunakan dengan hati-hati pada
penderita

asma

karena

risiko

efek

samping

muskarinik

termasuk

bronkospasme. Sejauh ini injeksi intravena opioid sebagai induksi dilaporkan


aman. Propofol adalah obat induksi pilihan pada pasien dengan hemodinamik
stabil karena kemampuannya untuk melemahkan respon bronchospastic
akibat intubasi baik pada penderita asma dan penderita non-asma 22. Namun,
monitoring harus dilakukan pada pasien asma dengan fungsi jantung yang
menurun, karena propofol menurunkan kontraktilitas jantung. Thiopental atau
etomidate juga dapat digunakan sebagai agen induksi tetapi tidak memiliki
efek bronkodilatasi seperti propofol dan dalam kasus thiopental, dapat
menyebabkan pelepasan histamin22. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa

14

Propofol memiliki kelebihan dibandingkan thiopental dan etomidate perihal


meningkatkan resistensi saluran napas. Pada perokok yang menjalani
anestesi, formulasi propofol yang menggunakan metabisulfit menginduksi
resistensi saluran pernafasan yang lebih tinggi dibandingkan apabila
diformulasi dengan kalsium edetat, observasi yang ketat diperlukan.
Ketamine adalah agen induksi yang ideal penderita asma dengan
hemodinamik yang tidak stabil karena kemampuannya untuk menghasilkan
relaksasi otot polos langsung dan bronkodilatasi tanpa penurunan tekanan
arteri atau resistensi vaskuler sistemik. Ketamine memiliki karakteristik
induksi yang sangat baik dan mempunyai efek bronkodilatasi. Dengan
mekanisme menghambat endothelin pathway. Namun, efek bronkodilatasi
ketamin tidak lebih efektif dibandingkan efek yang disebabkan propofol.
Dikarenakan kecenderungan untuk meningkatkan sekresi dan menyebabkan
dysphoria, maka tambahan benzodiazepine adalah tambahan yang berguna.
Lidocaine dapat mencegah bronkospasme dengan cara melemahkan respons
sensoris terhadap instrumentasi saluran napas atau iritasi saluran nafas.
Namun, inhalasi lidocaine sudah memiliki efek iritasi dan dapat memicu atau
memperparah bronkospasme. injeksi intravena lidokain memiliki onset cepat
untuk mencapai anestesia jalan nafas yang adekuat, tetapi memiliki efek
meningkatkan tonus bronkial. Namun, beberapa laporan menunjukkan
lidocaine intravena telah berhasil digunakan untuk mengurangi iritabilitas
saluran napas22. Beberapa laporan menganjurkan administrasi lidocaine
langsung ke pita suara untuk pengurangan resiko spasme laring, Namun,
laporan lain menunjukkan bahwa administrasi Lidokain langsung ke pita
suara dapat memicu hiperaktivitas saluran napas. Sementara administrasi
lidokain intravena lebih aman. Antimuscarinics seperti glikopirolat dan
atropin dapat menurunkan sekresi dan memberikan efek bronkodilatasi.
Anestesi uap adalah pilihan yang sangat baik untuk anestesi umum, karena
memiliki mekanisme menekan refleks jalan napas dan menghasilkan relaksasi
otot polos bronkus. Induksi anestesi inhalasi harus dipertimbangkan jika
keadaan memungkinkan. Sevofluran telah muncul sebagai agen pilihan,
sebagian studi menunjukkan sevofluran memiliki efek bronkodilator paling

15

efektif dibandingkan dengans inhalan lainnya. Sevofluran ditoleransi dengan


baik sebagai agen induksi inhalasi dan memiliki efek bronkodilator yang baik.
Desflurane meningkatkan tahanan jalan nafas dan harus dihindari pada
penderita asma, terutama pada anestesi umum tingkat ringan. Halotan
memiliki sifat larut dalam darah sehingga waktu induksi meningkat.22
Sangat penting bagi pasien untuk berada pada tingkat anestesi yang
dalam sebelum melakukan instrumen pada saluran napas, karena intubasi
trakea selama pasien berada pada tingkat anestesi yang ringan dapat memicu
bronkospasme. Teknik anestesi regional harus dipertimbangkan untuk
menghindari bronkospasme. Resiko komplikasi paru lebih rendah ketika
anestesi bedah dilakukan dengan anestesi epidural atau spinal.22
Penilaian klinis diperlukan untuk Intubasi trakea, memberikan anestesi
dengan masker, atau menggunakan laryngeal mask airway (LMA). Sementara
laporan lain menyebutkan bahwa peningkatan resistensi jalan nafas tidak
diamati pada pasien dengan penggunaan laryngeal mask. Dengan demikian,
penggunaan sungkup laring/laryngeal mask airway saluran mungkin lebih
baik untuk mengamankan jalan nafas dibandingkan dengan intubasi trakea
pada penderita asma. Maintenance anestesi dengan isoflurane dan sevoflurane
memberikan bronkodilatasi protektif. Peningkatan resistensi saluran napas
setelah intubasi endotrakeal telah terbukti mampu diturunkan secara cepat
setelah pemberian isoflurane.22
Apabila tidak terdapat kontraindikasi, ekstubasi ketika pasien sedang
dalam

anestesi

dalam

dapat

dilakukan

untuk

mengurangi

risiko

bronkospasme. Tanda-tanda bronkospasme intraoperatif termasuk mengi,


perubahan kapnografi (upslope pada gelombang CO2, atau menurun / tidak
ada gelombang CO2), penurunan volume tidal, atau tekanan puncak inspirasi
yang tinggi.22
2.3.7. Manajemen Postoperatif
Spasme laring, bronkospasme, obstruksi jalan nafas merupakan
komplikasi yang memiliki potensial untuk muncul. Suction dari saluran nafas
harus diberikan hati-hati. Aspirasi tidak hanya dapat menyebabkan injury
tetapi juga memicu bronkospasme berat. penggunaan profilaksis anti emetic
agent, gastric motility agent, antacid harus dipertimbangkan. mekanisme

16

respiratory

harus

sepenuhnya

dinilai

sebelum

ekstubasi

dan

kegawatdaruratan.
Apabila bronkospasme akut berlanjut pada akhir operasi atau
bronkospasme tidak membaik atau jika pasien memiliki difficult airway,
trauma, atau keadaan lambung yang penuh, maka ventilasi mekanis harus
dipertimbangkan pasca operasi untuk menghindari pasien mengalami
reversed neuromuscular block dan untuk memberikan waktu untuk pemulihan
jalan napas. Pengulangan administrasi dari 2-agonis seperti albuterol
sebelum munculnya kegawatdaruratan disarankan. Neostigmin meningkatkan
risiko bronkospasme akibat efek muscarinic dan pro-sekresi. Hal ini dapat di
netralisir dengan co-administrasi atropin atau glikopirolat.

Deep

extubation (trakea ekstubasi sementara pasien masih teranestesi) telah


dipraktekkan selama bertahun-tahun, terutama pada anak-anak, tetapi untuk
orang dewasa masih kurang. Deep extubation mengharuskan reversal
neuromuscular block.
Kunci untuk meminimalkan komplikasi paru pasca operasi adalah
kewaspadaan terhadap bronkospasme dan penyebabnya; Kontrol nyeri yang
baik, baik itu melalui rute neuroaksial atau patient controlled analgesia;
terapi bronkodilator; spirometri insentif, dan mobilisasi dini. Pengendalian
refluks gastro-esofagus sangat bermanfaat di asthma. Ventilasi tekanan positif
non-invasif merupakan pilihan dalam beberapa penderita asma yang memiliki
bronkospasme persisten setelah trakea extubation. Penanganan khusus harus
dipertimbangkan untuk memastikan keselamatan pasien dari komplikasi
intraoperatif seperti bronkospasme berat.18
Ventilasi pasca operasi harus dipertimbangkan. Ventilasi pasca operasi
memiliki tujuan untuk memberikan waktu lebih panjang sehingga klinisi
dapat melakukan penilaian manajemen medis, selain itu ventilasi pasca
operasi juga memiliki kegunaan untuk pemulihan fungsi saluran napas, dan
memberikan waktu untuk metabolisme neuromuskuler blocker tanpa perlu
agen pembalikan.Pemberian -agonis selama periode pemulihan pasca
operasi diperlukan untuk pasien dengan riwayat bronkospasme berulang.
Pemberian analgesia pasca operasi juga harus dipertimbangkan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien

17

BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Insiden asma meningkat di seluruh dunia, tetapi morbiditas dan kematian
menurun karena perbaikan dalam perawatan medis. Meskipun kejadian parah
bronkospasme perioperatif relatif rendah pada penderita asma menjalani
anestesi, ketika hal itu terjadi dapat mengancam nyawa.
Kunci untuk sebuah perioperatif yang uncomplicated adalah atensi
terhadap detail dalam penilaian pra operasi, dan mempertahankan obat antiinflamasi dan regimen bronkodilator melalui periode perioperatif. Agen
pemicu harus diidentifikasi dan dihindari pada anak-anak, tetapi memiliki
bahaya yang melekat sendiri.
Sekarang tersedia pedoman pengelolaan asma. Meskipun sebagian besar
fokus pada penilaian dan manajemen terhadap pasien rawat jalan, namun
beberapa pedoman untuk tindakan perioperatif untuk pasien dengan asma
dan bronkospasme. Selain itu di era kedokteran modern ini juga telah dibuat
pedoman mengenai teater operasi dan unit perawatan pasca-anestesi atau unit
perawatan intensif. Mengingat prevalensi asma berat eksaserbasi akut dan
perjalanan penyakit yang bersifat subklinis, pendekatan standar dan rutin
untuk bronkospasme akut memungkinkan respon yang cepat dan lebih baik

18

Daftar Pustaka
1.

Kementrian Kesehatan RI.Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian


Kesehatan RI You Can Control Your Asthma.ISSN 2442-7659 [Internet].
2014 Mei 1 [cited 08 March 2016].
Available from
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatinasma.pdf
2. Katarina I. Universitas Sumatera Utara. Kajian Mengenai Asma. ISBN 3890134 [Internet]. 2015 June 21 [cited 18 March 2016]. Available from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/47553/4/Chapter%20I.pdf
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar
Riskesdas 2013. ISSN 2682-3395 [Internet]. 2013 December 1 [cited 9 March
2016]. Available from
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf
4. Schatz M, Kazzi AAN, Brenner B, Camargo Jr CA, Corbridge T, Krishnan
JA, Nowak R, Rachelefsky G. Supplemental Recommendations for the
Management and Follow-up of Asthma Exacerbations, an official workshop
report of the American Academy of Allergy, Asthma and Immunology
(AAAAI), the American Academy of Emergency Medicine (AAEM), and the
American Thoracic Society (ATS). 2009 American Academy of Allergy,
Asthma & Immunology; the American Thoracic Society; and Elsevier Inc.
[Internet] 2009 [cited 9 March 2016]; Vol 6. pp 353356, 2009. Available
from
https://www.thoracic.org/statements/resources/allergy-asthma/asthma.pdf
5. Global Initiative for Asthma. Pocket Guide for Asthma Management and
Intervention.GINA publications.[Internet] 2014 [cited 10 March 2015];2014
edition.Available from http://www.ginasthma.org
6. Burches BR, Jr, Warner DO. Bronchospasm after intravenous lidocaine.
Anesth Analg 2008; 107: 12602
7. Rowe BH, Edmonds ML, Spooner CH, Diner B, Camargo CA Jr.
Corticosteroid therapy for acute asthma. Respir Med 2004;98:275284
8. Harrison BD, Stokes TC, Hart GJ, Vaughan DA, Ali NJ, Robinson AA. Need
for intravenous hydrocortisone in addition to oral prednisolone in patients
admitted to hospital with severe asthma without ventilatory failure. Lancet
1986;1:181184.
9. Ratto D, Alfaro C, Sipsey J, Glovsky MM, Sharma OP. Are intravenous
corticosteroids required in status asthmaticus? JAMA 1988;260:527529.
10. Plotnick LH, Ducharme FM. Combined inhaled anticholinergics and beta2agonists for initial treatment of acute asthma in children. Cochrane Database
Syst Rev 2000; (4):CD000060.

19

11. Rodrigo GJ, Castro-Rodriguez JA. Anticholinergics in the treatment of


children and adults with acute asthma: a systematic review with metaanalysis.
Thorax 2005;60:740746. (published erratum appears in Thorax 2006;61:274
and Thorax 2006;61:458).
12. Cheuk DK, Chau TC, Lee SL. A meta-analysis on intravenous magnesium
sulphate for treating acute asthma. Arch Dis Child 2005;90:7477.
13. Rowe BH, Bretzlaff JA, Bourdon C, Bota GW, Camargo CA Jr. Intravenous
magnesium sulfate treatment for acute asthma in the emergency department: a
systematic review of the literature. Ann Emerg Med 2000;36:181190.
14. Camargo CA Jr, Smithline HA, Malice MP, Green SA, Reiss TF. A
randomized controlled trial of intravenous montelukast in acute asthma. Am J
Respir Crit Care Med 2003;167:528533
15. Ram FS, Wellington S, Rowe BH, Wedzicha JA. Non-invasive positive
pressure ventilation for treatment of respiratory failure due to severe acute
exacerbations of asthma. Cochrane Database Syst Rev 2005;1:CD004360.
16. Darioli R, Perret C. Mechanical controlled hypoventilation in status
asthmaticus. Am Rev Respir Dis 1984;129:385387.
17. Menitove SM,Goldring RM.Combined ventilator and bicarbonate strategy in
the management of status asthmaticus. Am J Med 1983;74:898901.
18. Tuxen DV. Permissive hypercapnic ventilation. Am J Respir Crit Care Med
1994;150:870874.
19. Woods BD, Sladen RN. Perioperative considerations for the patient with
asthma and bronchospasm. British Journal of Anaesthesia 103 (BJA/PGA
Supplement): i57i65 (2009)
20. Smetana GW, Conde MV (2008) Preoperative pulmonary update. Clin Geriatr
Med 24: 607-624, vii.
21. Petsky HL, Cates CJ, Lasserson TJ, Li AM, Turner C, et al. (2012) A
systematic review and meta-analysis: tailoring asthma treatment on
eosinophilic markers (exhaled nitric oxide or sputum eosinophils). Thorax
673: 199-208.
22. Applegate R, Lauer R, Lenart J, Gatling J, Vadi M (2013) The Perioperative
Management of Asthma. J Aller Ther S11: 007. doi:10.4172/2155-6121.S11007

20

Anda mungkin juga menyukai