Anda di halaman 1dari 6

ESSAI

PERMASALAHAN GIZI DI INDONESIA DAN MENGAPA MASALAH


TERSEBUT TIDAK SELESAI.

DISUSUN OLEH:
Ester Gabrielle A.H

K21115302

Kelompok 2

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

Masalah kurang gizi tetap menjadi fokus utama saat ini karena sangat terkait
dengan kualitas hidup manusia. Selama ini ada beberapa indikator kunci yang
sering digunakan untuk mengukur status kesehatan gizi penduduk antara lain
angka keberhasilan kehamilan, pertumbuhan anak, praktik pemberian ASI dan
akses pangan serta air bersih, maka hampir dapat dipastikan akan ditemukan
masalah gizi atau kurang gizi, masalah infeksi dan masalah kesehatan lainnya jika
faktor penentu status gizi tersebut tidak tercukupi.
Masalah gizi merupakan kelanjutan dari masalah kelaparan. Kelaparan sering
membuat orang menjadi memikirkan dirinya sendiri terkait kebutuhan akan
makanan untuk melangsungkan kehidupan, sehingga sering menyebabkan
perilaku yang tidak terpuji. Di Indonesia masalah kelaparan memang tidak
separah di Somalia dan sebagian besar negara di Afrika, namun di Indonesia
sendiri masih sering ditemukan kasus bayi atau balita yang mengalami
kekurangan kalori protein, yang dapat menyebabkan gangguan hingga infeksi
berat pada bayi atau balita tersebut.
Dalam hal Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan
oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan. Kualitas pangan mencerminkan
jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang
baik, maka unsur kualitas dan kuantitas menjadi hal yang harus terpenuhi.
Kualitas bukannya hanya mengenai faktor ekonomi dalam makanan tersebut
melainkan faktor gizi atau manfaat yang akan diberikan oleh makanan atau bahan
pangan tersebut.
Dari aspek kelompok penduduk, perempuan dewasa dan anak-anak
perempuan merupakan kelompok yang berisiko terkena kurang gizi karena pada
masyarakat tertentu secara kultural lebih mementingkan alokasi makanan kepada
laki-laki dewasa dan anak laki-laki. Bila hanya sedikit makanan yang tersedia
dalam rumah tangga, maka sisa makanan yang diperuntukan bagi perempuan akan
semakin sedikit.
Faktor lain adalah kebijakan praktik yang benar terhadap lingkungan dan
produktivitas pertanian. Kelompok yang sangat terpengaruh oleh kurang gizi

harus aktif berpartisipasi dalam proses perencanaan dan implementasi program


perbaikan gizi kesehatan.
Selain itu perlu dipertimbangkan pula bahwa suatu kebijakan atau program
seyogyanya disusun secara dinamis karena akan bergantung pada berbagai faktor
terkait seperti faktor sosial, ekonomi, politik, kelompok produk pangan, kelompok
sasaran, kelompok pedagang produk pangan. Faktor yang tidak kalah penting
adalah kelompok pakar yang akan memberikan bukti ilmiah terkait program
tersebut. Singkabrya, ada beberapa kelompok kunci dalam penyusunan suatu
kebijakan yaitu: pemegang kebijakan (biasanya pemerintah dan politisi),
kelompok berpengaruh (biasanya kelompok yang mempunyai kepentingan),
publik, dan media. Kelompok dominan dalam penyusunan kebijakan tersebut
terutama suasana politik negara. Para praktisi politik penyusun kebijakan akan
mempertimbangkan apakah kebijakan yang disusun akan mencapai hasil sesuai
dengan yang mereka harapkan sehingga akan memberi kredit positif kepada
kinerja mereka. Tanpa komitmen di tingkat politik tersebut maka akan sulit
memperoleh dukunganpelaksanaan program dan dukungan dalam pencapaian
hasil yang diharapkan sesuai tujuan program.
Konferensi tingkat tinggi pangan dunia pada tahun 1996 telah menetapkan
bahwa pada tahun 2015 negara akan menurunkan angka kelaparan dan kurang gizi
sebanyak 50%, namun karena lambatnya pencapaian tersebut maka dibutuhkan
waktu sampai tahun 2030. Di Indonesia, sampai saat ini masalah gizi terutama
masalah gizi buruk belum terselesaikan secara tuntas. Sering dipertanyakan,
mengapa hal itu dapat terjadi, padahal sudah banyak program diupayakan dan
jumlah pakar gizi dari berbagai tingkatan dan jalur pendidikan gizi sudah cukup,
baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk program gizi masyarakat dengan
tujuan penanggulangan masalah gizi, sudah banyak program yang diluncurkan,
antara lain program edukasi gizi, program imlementasi gizi melalui pernberian
makanan maupun produk-produk suplementsi seperti pil zat besi dan vitamin A,
program fortifikasi bahan makanan atau pangan seperti fortifikasi yodium pada
garam maupun fortifikasi besi pada tepung. Meskipun demikian, maka angka
kurang gizi di masyarakat terutama pada kelompok rentan masalah gizi seperti

bayi, balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil dan menyusui serta lanjut usia masih
tetap menjadi masalah.
Menurut Cakrawati 2012 ada beberapa masalah kurang gizi di Indonesia
yaitu:
1. KEP (Kekurangan Energi Protein)
Penyakit kurang gizi akibat kurangnya asupan energi dan sumber zat
pembangun (protein) dalam waktu yang lama. KEP dibedakan menjadi tiga
tipe yaitu: tipe kwashiorkor, tipe marasmus, tipe marasmiskwashiorkor.
2. KVA (Kekurangan Vitamin A)
Vitamin A merupakan Nutrisi esensial yang hanya dapat diperoleh dari luar
tubuh sehingga kekurangan vitamin A akan menyebabkan penyakit yang
berhubungan dengan mata, pnemonia hingga kematian. Pemerintah berupaya
menanggulangi penyakit gizi ini hingga sejak tahun 2006, namun karena
kekurangan vitamin A yang kronis banyak balita harus bergantung pada
suplementasi dari vitamin A.
3. GAKY (gangguan Akibat Kekurangan Yodium)
GAKY tidak berhungan dengan masalah kemiskinan melainkan masalah
pendistribusian makanan atau faktor geografis pada daerah tertentu tekhusus
daerah pegunungan. Defisiensi yang berlangsung pada waktu lama akan
mengganggu fungsi kelenjar tiroid yang secara perlahan menyebabkan
pembesaran kelenjar gondok.
4. AGB (Anemia Gizi Besi)
Anemia defisiensi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan satu atau
beberapa bahan makanan yang kaya akan zat besi. Defisiensi zat besi
menurunkan jumlah oksigen sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen. Defisiensi zat besi akan menurunkan jumlah oksigen jaringan, otot
kerangka, dan kemampuan berpikir.
5. Gizi Lebih
Seiring dengan perkembangan teknologi, termasuk teknologi in formasi dan
tranportasi terjadi juga perubahan pola aktivitas fisik menjadi kurang aktif
diikuti pula oleh transisi gizi yang ditandai dengan perubahan pada pola
komposisi tubuh. Obesitas merupakan penyakit akibat akumulasi lemak
secara berlebihan si seluruh jaringan tubuh.

Masalah gizi di Indonesia tidak kurun terselesaikan, hal merupakan akibat


dari masalah kultural, ekonomi, serta pemerintahan dan juga pendidikan yang
tidak memadai. Masalah akan terus memburuk dan menjadi beban berat masalah
kependudukan dan masalah pangan di Indonesia, jika pemerintah bahkan tidak
bisa menanggulanginya bahkan hanya dengan jalur edukasi.
Di masa mendatang, perbaikan status gizi populasi akan memberikan manfaat
yang besar sekali. Kecukupan gizi merupakan landasan kuat agar generasi muda
saat ini aman akan masa depannya sendiri dan masa depan generasi selanjutnya.
Orang yang cukup gizi akan lebih produktif lebih bahagia, membutuhkan sedikit
layanan medis, dan lebih mandiri dibandingkan dengan orang yang kurang gizi .
Bila kita ingin menjadi bagian dari rantai pemecahan masalah ketahanan Pangan,
masalah kelaparan ataupun kurang gizi, maka kita harus mulai turut serta sebagai
sukarelawan dalam berbagai program terkait, misalnya pemberian makanan,
memberikan kursus keterampilan mandiri, atau program layanan masyarakat
lainnya.

Daftar Pustaka
Cakrawati, Dewi dan NH, Mustika. 2012. Gizi dan Bahan Pangan, Gizi, dan
Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo.

Anda mungkin juga menyukai