Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak
2.1.1 Bagian-bagian Otak
Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. SSP dilindungi
oleh tulang-tulang yaitu sumsum tulang belakang dilindungi oleh ruas tulang belakang dan otak
dilindungi oleh tengkorak. Sebagian besar otak terdiri dari neuron, glia, dan berbagai sel
pendukung. Otak manusia mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon),
menerima 20% curah jantung, memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400
kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi
dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa
(Price & Wilson, 2006).

Gambar 1. Bagian-bagian Otak


Otak harus menerima kurang lebih satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari darah
total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. SSP sangat tergantung pada
aliran darah yang memadai untuk nutrisi dan pembuangan sisa-sisa metabolismenya. Suplai
darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang,
saling berhubungan erat sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel
(Muttaqin, 2008). Suplai darah otak dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri karotis interna
dan arteri vertebrobasiler.

Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis. Arteri karotis
interna terdiri dari arteri karotis kanan dan kiri, yang menyalurkan darah ke bagian depan otak
disebut sebagai sirkulasi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri anterior memberi suplai
darah pada struktur-struktur seperti nuklues kaudatus dan putamen basal ganglia, bagian kapsula
interna dan korpus kalosum, serta bagian lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks
somestetik dan korteks motorik. Bila arteri serebri anterior mengalami sumbatan pada cabang
utamanya, maka akan terjadi hemiplegia kontralateral yang lebih berat di bagian kaki
dibandingkan bagian tangan dan terjadi paralisis bilateral dan gangguan sensorik bila terjadi
sumbatan total pada kedua arteri serebri anterior (Muttaqin, 2008). Arteri serebri media
menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis, parietalis, dan frontalis korteks serebri, serta
membentuk penyebaran pada permukaan lateral yang menyerupai kipas. Apabila arteri serebri
media tersumbat di dekat percabangan kortikal utamanya dapat menimbulkan afasia berat bila
terkena hemisfer serebri dominan bahasa, kehilangan sensasi posisi dan diskriminasi taktil dua
titik kontralateral serta hemiplegia kontralateral yang berat terutama ekstremitas atas dan wajah
(Muttaqin, 2008).
Arteri vertebrobasiler yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai
sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan
sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi (Muttaqin, 2008). Aliran
vena otak meninggalkan otak melalui sinus dura mater yang besar dan kembali ke sirkulasi
umum melalui vena jugularis interna. Aliran vena otak tidak selalu paralel dengan suplai darah
arteri.
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu cerebrum, cerebellum, brainstem (batang otak),
dan limbic system (sistem limbik).
a. Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama
cerebral cortex, forebrain, atau otak depan. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan
berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut lobus yaitu lobus frontal, lobus
parietal, lobus occipital dan lobus temporal.
1) Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian depan cerebrum. Lobus
ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi,
2

perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan,


kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
2) Lobus parietal berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan
rasa sakit.
3) Lobus temporal berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi
dan bahasa dalam bentuk suara.
4) Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual
yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang
ditangkap oleh retina mata (Muttaqin, 2008).
b. Cerebellum
Cerebellum atau otak kecil adalah bagian dari sistem saraf pusat yang terletak di bagian
belakang tengkorak (fossa posterior cranial). Semua aktivitas pada bagian ini di bawah
kesadaran

(involuntary). Fungsi utama cerebelum yaitu mengkoordinasi dan memperhalus

gerakan otot serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh. Apabila terjadi cedera pada cerebelum, dapat mengakibatkan
gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot sehingga gerakan menjadi tidak terkoordinasi
(Price dalam Muttaqin, 2008).
c. Brainstem
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini
mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh,
mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight
(lawan atau lari) saat datangnya bahaya (Puspitawati, 2009). Batang otak terdiri dari tiga bagian,
yaitu:
1) Mesencephalon atau otak tengah (mid brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang
menghubungkan cerebrum dan cerebelum. Mesencephalon berfungsi untuk mengontrol
respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh, dan
fungsi pendengaran.
2) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju
bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla oblongata mengontrol fungsi

involuntary otak (fungsi otak secara tidak sadar) seperti detak jantung, sirkulasi darah,
pernafasan, dan pencernaan.
3) Pons disebut juga sebagai jembatan atau bridge merupakan serabut yang menghubungkan
kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan midbrain disebelah atas dengan medula
oblongata. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan pernapasan. Nukleus saraf
kranial V (trigeminus), VI (abdusen), dan VII (fasialis) terdapat pada bagian ini.
d. Limbic System (sistem limbik)
Sistem limbik merupakan suatu pengelompokan fungsional yang mencakup komponen
serebrum, diensefalon, dan mesensefalon. Secara fungsional sistem limbik berkaitan dengan halhal sebagai berikut.
1) Suatu pendirian atau respons emosional yang mengarahkan pada tingkah laku individu
2) Suatu respon sadar terhadap lingkungan
3) Memberdayakan fungsi intelektual dari korteks serebri secara tidak sadar dan
memfungsikan batang otak secara otomatis untuk merespon keadaan
4) Memfasilitasi penyimpanan suatu memori dan menggali kembali simpanan memori yang
diperlukan
2.2 Stroke Infark Trombotik
2.2.1 Definisi
Stroke infark trombotik adalah stroke yang disebabkan oleh karena adanya oklusi
pembuluh darah yang disebabkan oleh karena adanya trombosis.3
2.2.2 Etiologi
Trombus adalah pembentukan bekuan platelet atau fibrin di dalam darah yang dapat
menyumbat pembuluh vena atau arteri dan menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan lokal.
Trombus ini bisa terlepas dari dinding pembuluh darah dan disebut tromboemboli. Trombosis
dan tromboemboli memegang peranan penting dalam patogenesis stroke iskemik. Lokasi
trombosis sangat menentukan jenis gangguan yang ditimbulkannya, misalnya trombosis arteri
dapat mengakibatkan infark jantung, stroke, maupun claudicatio intermitten, sedangkan
trombosis vena dapat menyebabkan emboli paru.6
4

Trombosis merupakan hasil perubahan dari satu atau lebih komponen utama hemostasis
yang meliputi faktor koagulasi, protein plasma, aliran darah, permukaan vaskuler, dan konstituen
seluler, terutama platelet dan sel endotel. Trombosis arteri merupakan komplikasi dari
aterosklerosis yang terjadi karena adanya plak aterosklerosis yang pecah.6
Trombosis diawali dengan adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen
dibawahnya. Proses trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit dan dinding
pembuluh darah, akibat adanya kerusakan endotel pembuluh darah. Endotel pembuluh darah
yang normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan karena adanya glikoprotein dan
proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat
vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada endotel yang mengalami kerusakan, darah akan
berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian akan merangsang trombosit
dan agregasi trombosit dan merangsang trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat di dalam
granula-granula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag yang mengandung
lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan
jaringan kolagen pembuluh darah.6
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi
protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan
akibat serangan migrain. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat
menyebabkan terjadinya stroke trombotik.6
2.2.3 Faktor Resiko
Tabel 1. Faktor Resiko Stroke1,2
Bisa dikendalikan

Hipertensi
Penyakit Jantung
Fibrilasi atrium
Endokarditis
Stenosis mitralis
Infark jantung
Merokok
Dyslipidemia
Penggunaan alkohol
Inaktifitas fisik
Obesitas
5

Tidak bisa dikendalikan

Umur
Jenis kelamin
Herediter
Ras dan etnis
Geografi

2.2.4 Patofisiologi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya adalah
aterosklerosis, dengan mekanisme trombosis yang menyumbat arteri besar dan arteri kecil, dan
juga melalui mekanisme emboli. Terjadinya ateroskerosis diawali dari terbentuknya fatty streak
yang kemudian berkembang progresif sampai terjadi lesi sebagai akibat dari gangguan aliran
darah dan atau tebentuknya trombus yang menyebabkan iskemik pada organ target. 7
Kerusakan endotel menyebabkan perubahan permiabilitas endotel, perubahan sel endotel
atau perubahan hubungan antara sel endotel dan jaringan ikat dibawahnya. Sel endotel dapat
terlepas sehingga terjadi hubungan langsung antara komponen darah dan dinding arteri.
Kerusakan endotel akan menyebabkan pelepasan growth factor yang akan merangsang masuknya
monosit ke lapisan intima pembuluh darah. Demikian pula halnya lipid akan masuk kedalam
pembuluh darah melalui transport aktif dan pasif. Monosit pada dinding pembuluh darah akan
berubah menjadi makrofag akan memfagosit kholesterol LDL, sehingga akan terbentuk foam sel.
7

Monosit berubah menjadi makrofag oleh macrophage colony stimulating factor (M-CSF)
yang ekspresinya disebabkan oksidasi LDL dan faktor nuclear kappa B (NFkB). Kemampuan MCSF merangsang pengambilan dan degradasi modified lipoprotein oleh scavenger receptor akan
menyebabkan pembentukan sel busa yang akan menjadi fatty streak (prekusor plak
aterosklerosis) dan selanjutnya akan menjadi plak fibrosa. Platelet Derived Growth Factor
(PDGF) yang dihasilkan sel vaskular dan lekosit yang menginfiltrasi akan mempengaruhi
migrasi dan proliferasi sel otot polos dari tunika media ke intima. Sel otot polos dengan matrik
ekstraseluler akan membentuk kapsula fibrosa yang memisahkan inti lipid dengan aliran darah.
Transforming growth factor (TGF)-beta akan menghambat proliferasi sel otot polos dan
merangsang produksi matrik ekstraseluler. Pembentukan kapsula fibrosa plak aterosklerosis
tergantung keseimbangan kedua hal tersebut. 7
Proses tersebut berlanjut dengan terjadinya sel-sel otot polos arteri dari tunika adventisia
ke tunika intima akibat adanya pelepasan platelet derived growth factor (PDGF) oleh makrofag,
sel endotel, dan trombosit. Selain itu, sel-sel otot polos tersebut yang kontraktif akan
berproliferasi dan berubah menajdi fibrosis. Makrofag, sel endotel, sel otot polos maupun
limfosit T (terdapat pada stadium awal plak aterosklerosis) akan mengeluarkan sitokin yang
memperkuat interaksi antara sel-sel tersebut. 7
6

Adanya penimbunan kolesterol intra dan eksta seluler disertai adanya fibrosis maka akan
terbentuk plak fibrolipid. Pada inti dari plak tersebut, sel-sel lemak dan lainnya akan menjadi
nekrosis dan terjadi kalsifikasi. Plak ini akan menginvasi dan menyebar kedalam tunika media
dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan menebal dan terjadi penyempitan
lumen. Degenerasi dan perdarahan pada pembuluh darah yang mengalami akan menyebabkan
kerusakan endotel pembuluh darah sehingga terjadi perangsangan adhesi, aktifasi dan agregasi
trombosit, yang mengawali koagulasi darah dan trombosis. Trombosit akan terangsang dan
menempel pada endotel yang rusak, sehingga terbentuk plak aterotrombotik. 7
Tempat tersering terjadinya fatty streak adalah di daerah bifurkasio dengan aliran darah
yang turbulen. Arteri serebral plak sering terjadi pada bifurkasio arteri karotis dimana arteri
carotis interna berasal. Aterosklerosis pada arteri serebri media (MCA) mempengaruhi bagian
pertama (M1 segmen) dimana meluas dari tempat arteri berasal sampai bifurkasio pada fisura
sylvian. Pada sistem vertebrobasiler plak sering ditemukan pada tempat asal arteri vertebral dan
arteri basilar. Dengan bertambahnya usia fatty streak berubah menjadi plak fibrosa, sering
ditemukan pada usia pertengahan dan orang tua. Plak ini terdiri dari inti seluler debris, free
ekstraselular lipid, dan krista dari foam cells, otot polos yang berubah, limfosit dan connective
tissue. Aterosklerosis berkembang menjadi complicated lesion, dimana terjadi kalsifikasi, deposit
hemosiderin, dan gangguan permukaan lumen pembuluh darah.7
Aterosklerosis dapat menyebabkan stroke iskemik dengan cara trombosis yang
menyebabkan tersumbatnya arteri-arteri besar terutama a. karotis interna, a. serebri media atau a.
basilaris, dapat juga mengenai arteri kecil yang mengakibatkan terjadinya infark lakuner.
Sumbatan juga dapat terjadi pada vena-vena atau sinus venosa intra kranial. Dapat juga terjadi
emboli, dimana stroke terjadi mendadak karena arteri serebri tersumbat oleh trombus dari
jantung, arkus aorta atau arteri besar lainnya.7
2.2.5 Manifestasi Klinik
Gambaran klinis stroke iskemik tergantung pada area otak yang mengalami iskemik.3
Lokasi Oklusi

Gejala dan tanda

Arteri Serebri Anterior

Gejala oklusi arteri serebri anterior antara lain gangguan buang


air kecil yang terjadi oleh karena kegagalan penghambatan
refleks kontraksi kandung kemih. Terdapat pula paresis dan
hilangnya sensorik pada tungkai kontralateral.
7

Arteri Serebri Media


a. Stroke
pada

devisi Hemiparesis kontralateral yang terjadi pada wajah, tangan,

superior arteri serebri lengan namun kaki tidak mengalami paresis.


media

Gangguan hemisensorik kontralateral pada daerah distribusi


yang sama namun tidak terdapat homonimus hemianopsia.

b. Stroke

Bila terjadi pada hemisfer dominan terdapat gejala afasia broca


devisi Homonimus hemianopia, terdapat pula gangguan fungsi

pada

inferior

arteri

serebri sensorik kortikal seperti graphiestesia, dan stereognosis pada

media

kontralateral lesi
Gangguan visospasial, termasuk hilangnya kewaspadaan
terhadap kelainan yang diderita (anosognosia), neglek dan
gangguan untuk mengenal ekstremitas kontralateral, dressing
apraxia dan konstruksional apraxia bila yang terlibat adalah
hemisfer dominan, afasia wernicke dapat pula terjadi.

Acute confosional state (hemisfer non dominan)


c. Oklusi pada bifurcasio Hemiparese kontralateral, gangguan sensorik kontra lateral
atau

trifurcasio

serebri media
d. Oklusi

pada

arteri yang mengenai wajah dan lengan lebih berat dari pada tungkai,
homonym hemianopsia dan bila terkena pada hemisfer

dominan akan terjadi afasia global


pangkal Mirip dengan oklusi trifurkasio dengan tambahan infark pada

arteri media
Arteri karotis Interna

jaras motorik pada kapsula interna yang menghasilkan parese


kontra lateral lesi pada wajah, lengan, tangan dan tungkai.
Transient monocular blindness. Oklusi arteri karotis dapat
asimptomatik. Oklusi symptomatik menyebabkan syndrome
yang mirip dengan arteri serebri media (hemiplegi
kontralateral, defisit hemisensorik dan homonimus

Arteri Serebri posterior

hemianopsia, afasia pada hemisfer dominan)


Homonim hemianopia kontralateral lapangan pandang dengan
macular spared, abnormalitas okuler, parese N III, internuklear
Opthalamoplegi, deviasi mata ke vertical. Oklusi di lobus
occipital terutama pada hemisfer dominan pasien dapat
mengalami afasia anomik. Aleksia tanpa agraphia, ataupun
agnosia visual. Dapat pula terjadi sindrom diskoneksi korpus
8

kallosum.
Infark kedua hemisfer arteri serebri posterior menyebabkan
kebutaan kortikal, gangguanmemori, prosopagnosia (gangguan
mengenal wajah yang familiar), juga beberapa gangguan
a. Cabang

prilaku.
pedunkulus Sindroma weber: kelemahan wajah dan ekstremitas

arteri serebri posterior kontralateral, parese N.III ipsilateral


proksimal
b. Cabang

tegmntum Parese N III ipsilateral ataksia tungkai kontra lateral,

paramedian

arteri hemiballismus dan choreoathetosis

serebri posterior
Cabang arteri basilaris
a. Cabang distal arteri Hemiparese kontralateral, parese N XII ipsilateral, gangguan
vertebralis
sensorik kontralateral
b. PICA (posterior inferior Sindrom Wellenberg:
cerebellar arteri)

Ataksia tungkai ipsilateral, hilangnya rasa eksteroseptif


ipsilateral wajah dan kontralateral ekstremitas, sindrom horner

ipsilateral, vertigo, nistagmus, suara parau, disfagia, hiccup.


c. Arteri perforantes pada Hemiparese kontralateral, diartia, kadang ataksia kontralateral,
pons paramedia

ditambah dengan: parese N.VII dan N VIII ipsilateral, gaze


paresis (infark inferior) atau parese N VII kontralateral,

internuklear opthalmoplegia (infark superior)


d. AICA (anterior inferior Ataksia ipsilateral, hilangnya sensasi ipsilateral wajah dan
cerebellar arteri)
e. SCA

kontra lateral ekstremitas, vertigo, nistagmus, tuli dan tinnitus,

parese N VII, sindroma horner ipsilateral


(Superior Ataksia ipsi lateral, diartria, hilangnya sensorik kontralateral,

cerebellar arteri)

sindroma horner ipsilateral, choreoathetosis ipsilateral, tuli


ipsilateral

2.2.6 Diagnosis
Secara umum untuk membedakan apakah stroke perdarahan atau strok iskemik dapat
dilakukan dengan menghitung siriraj skor berikut:
Gejala/tanda

Skor Stroke Siriraj


Penilaian
9

Indeks

Derajat
Kesadaran
Vomitus
Nyeri kepala
Tekanan darah
Ateroma

Skor >1

(0) Kompos mentis


(1)
Somnolen
(2) Sopor/koma
(0) Tidak ada
(1)
Ada
(0) Tidak ada
(1)
Ada
Diastolik
(0) Tidak ada
(1) Salah satu atau lebih: DM, angina, penyakit
pembuluh darah.

X 2,5
X2
X2
X 0,1
X3

: Perdarahan Supratentorial

Skor -1 s.d 1 : perlu CT-Scan


Skor < -1

: Infark Serebri

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah, elektrolit, analisa gas darah,
hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim jantung, prothrombin time (PT) dan
activated partial thromboplastin time (aPTT). Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk
mendeteksi hipoglikemi maupun hiperglikemi, karena pada kedua keadaan ini dapat dijumpai
gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit ditujukan untuk mendeteksi adanya gangguan
elektrolit baik untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat maupun magnesium.6
Pemeriksaan analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk mendeteksi asidosis metabolik.
Hipoksia dan hiperkapnia juga menyebabkan gangguan neurologis. Prothrombin time (PT)
dan activated partial thromboplastin time (aPTT) digunakan untuk menilai aktivasi koagulasi
serta monitoring terapi. Dari pemeriksaan hematologi lengkap dapat diperoleh data tentang
kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit serta morfologi
sel darah. Polisitemia vara, anemia sel sabit, dan trombositemia esensial adalah kelainan sel
darah yang dapat menyebabkan stroke. 3,6,8

CT scan
Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke hemoragik.
Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk menegakan diagnosis stroke.3,6,8
10

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitive dibandingkan
CT scan. MRI mempunyai kelebihan mampu melihat adanya iskemik pada jaringan otak
dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non hemoragik. MRI juga digunakan pada kelainan
medulla spinalis. Kelemahan alat ini adalah preosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan
lebih lama, serta harga pemeriksaan yang lebih mahal.6

Angiografi: dapat dilakukan bila ada kecurigaan stenosis pembuluh darah balik ekstra cranial
maupun intracranial

EEG: Dilakukan pada pasien stroke yang dicurigai mengalami kejang.

2.2.8 PenatalaksanaanUmum Stroke Akut2


Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
A.

Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka evaluasi
dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat
serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan
(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi,
diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit
karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan
torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan
saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks,
koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah
NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class 1, Level of
evidence B).
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan

11

Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit

neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).


Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95% (ESO,

Class V, GCP).
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran
atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence C).
Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of evidence

C).
Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen

(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).


Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan
pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok,

atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.


Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang

lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.


b. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan hipotonik

seperti glukosa).
Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk
memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan

nutrisi.
Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
Optimalisasi tekanan darah.
Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat
vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi,

norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama

setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).


Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi Kardiologi).
Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus
dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan

12

penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class I, Level of


evidence C).
c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum
Tekanan darah
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan neurologi umum awal:
i. Derajat kesadaran
ii. Pemeriksaan pupil dan oculomotor
iii. Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari

pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).


Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V, Level of

evidence C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:
i.
Tinggikan posisi kepala 200 300
ii.
Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
iii.
Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
iv.
Hindari hipertermia
v.
Jaga normovolernia
vi.
Osmoterapi atas indikasi:
o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam
dengan target 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).
Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian

vii.

viii.

osmoterapi.
o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi
mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal
dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class
III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau
pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih
baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan

13

kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau
ix.

lidokain sebagai alternatif.


Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan
tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini

x.

xi.

tidak ada kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).


Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang menimbulkan
efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan

memberikan hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).


e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik
(AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi perdarahan simtomatik
sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral
dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
f. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh

fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak

dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).


Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat diberikan
selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama

pengobatan (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).


g. Pengendalian Suhu Tubuh
Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan

diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).


Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA Guideline)

atau 37,5 oC (ESO Guideline).3


Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan
(trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler,

analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.


Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic (AHA/ASA
Guideline).

B.

Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat2


14

1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan
vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk
kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada
penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti
bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada
keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya
boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan
melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %)
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada
gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik

diperkirakan

>6

minggu,

pertimbangkan untuk gastrostomi.


e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan
nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan.
Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien yang
mendapat warfarin.
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi,
pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedi dan
kontraktur) perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B and C).
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas
kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman (AHA/ASA, Level of
evidence A).1
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai Kasur antidekubitus.
15

d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.


e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam, heparin subkutan
5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid perlu diberikan (AHA/ASA, Level
of evidence A).5 Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral perlu
diperhatikan.6 Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima antikoagulan,
penggunaan stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk mencegah
thrombosis vena dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B).
4. Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar glukosa darah
>180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin(AHA/ASA, Class I,
Level of evidence C).. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia
berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa 1020%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor tranquilizer
seperti benzodiazepine short acting atau propofol bisa digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan pasien karena dapat
mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI, Dupleks
Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan
indikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).
C.

Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Stroke Akut2


Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah

sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien stroke
akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik >180 mmHg (BASC: Blood Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST:
International Stroke Trial 2002.
Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-shaped relationship)
(U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun hemoragik) dengan
16

kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada
level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan kecacatan.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga neurologis. Pada sebagian besar
pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan
serangan stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan
penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar
dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.
a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun
diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS)
>220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke
iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga
TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105
mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah
labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level of
evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150
mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan intracranial. Tekanan
darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral 60 mmHg.
d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan
tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90
mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

17

e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan
tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa,
Level of evidence B). Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.
f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada
penderita stroke perdarahan intraserebral.
g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol),
penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya
diatas.
h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan
tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
i. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan
dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko
terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada
pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam
mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung
pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas
kardiovaskular.
j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila
vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini
terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.
k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat dilakukan
dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal (AHA/ASA, Class IIa,
Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah belum jelas.
l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah
dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya
diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90
mmHg dalam 6 jam pertama.

D.

Penatalaksanaan Stroke Iskemik2


18

1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut


2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan diberikan
pada kebanyakan pasien stroke iskemik (AHA/ASA, Level of evidence A).
3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah secara
karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak direkomendasikan (grade A).
5. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut
6. Pemberian antikoagulan
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke ulang awal,
menghentikan perburukan deficit neurologi, atau memperbaiki keluaran setelah stroke
iskemik akut tidak direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke
iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
b. Antikoagulasi urgent tidak drekomendasikan pada penderita dengan stroke akut
sedang sampai berat karena meningkatnya risiko komplikasi perdarahan intracranial
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dlam jangka waktu 24 jam bersamaan dengan
pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence B).
d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke iskemik
akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih merekomendasikan heparin dosis
penuh pada penderita stroke iskemik akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi,
diseksi arteri atau stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi
pemberian heparin juga termasuk infark besar >50%, hipertensi yang tidak dapat
terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang luas.
7. Pemberian antiplatelet
a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24 sampai 48 jam setelah awitan
stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence A).
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada
stroke, seperti pemberian rtPA intravena (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan (AHA/ASA, Class
III, Level of evidence A).
d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah pemberian obat
trombolitik tidak dierkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke iskemik akut,
tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C), kecuali pada pasien
19

dengan indikasi spesifik, misalnya angina pectoris tidak stabil, non-Q-wave MI, atau
recent stenting, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah kejadian
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa
tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak dianjurkan dalam
terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik
akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk memperbaiki aliran
darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut, pemantauan kondisi
neurologis dan jantung harus dilakukan secara ketat. ((AHA/ASA, Class III, Level of
evidence B).
11. Tindakan endarterektomi carotid pada stroke iskemik akut akut dapat mengakibatkan
risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan. Tindakan endovascular belum
menunjukkan hasil yang bermanfaat, sehingga tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class IIb,
Level of evidence C).
12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif, sehingga
sampai saat ini belum dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). Namun,
citicolin sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan
citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan
dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS
(International Citicholin Trial in Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada penelitian yang
dilakukan oleh PERDOSSI secara multisenter, pemberian Plasmin oral 3x500 mg pada
66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada
penderita stroke akut berupa perbaikan motoric, score MRS dan Barthel index.
13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru diketahui sebesar 80%.
Beberapa faktor risiko sering dijumpai bersamaan. Penelitian The International Study On
Cerebral Vein And Dural Sinus Thrombosis (ISCVT) mendapatkan 10 faktor risiko
terbanyak, antara lain kontrasepsi oral (54,3%), trombofilia (34,1%), masa nifas (13,8%),
infeksi dapat berupa infeksi SSP, infeksi organ-organ wajah, dan infeksi lainnya (12,3%),
gangguan hematologi seperti anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obat-obatan
(7,5%), keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik termasuk cedera
20

kepala (4,5%), dan vaskulitis (3%). Penatalaksanaan CVST diberikan secara


komprehensif, yaitu dengan terapi antitrombotik, terapi simptomatik, dan terapi penyakit
dasar. Pemberian terapi UFH atau LMWH direkomendasikan untuk diberikan, walaupun
terdapat infark hemoragik (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Terapi
dilanjutkan dengan antikoagulan oral diberikan selama 3-6 bulan, diikuti dengan terapi
antiplatelet (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence C).
E.

Terapi Spesifik Stroke Akut2

Prosedur Aplikasi Pemberian Terapi Trombolisis rTPA pada Stroke Iskemik Akut.
Rekomendasi pengobatan stroke didasarkan pada perbedaan antara keuntungan dan
kerugian dalam tatalaksana yang diberikan. Fibrinolitik dengan rTPA secara umum memberikan
keuntungan reperfusi dari lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral yang bermakna. Pemberian
fibrinolitik merupakan rekomendasi yang kuat diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis
stroke iskemik akut ditegakkan (awitan 3 jam pada pemberian intravena dalam 6 jam pemberian
intraarterial).
1. Kriteria inklusi
a. Usia > 18 tahun
b. Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas
c. Awitan dapat ditentukan secara jelas (<3 jam, AHA guideline 2007 atau <4,5 jam,
ESO 2009)
d. Tidak ada bukti perdarahan intrakranial dari CT-Scan
e. Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan dan resiko yang mungkin
timbul dan harus ada persetujuan secara tertulis dari penderita atau keluarga untuk
dilakukan terapi rTPA
2. Kriteria eksklusi
a. Usia>80 tahun
b. Defisit neurologi yang ringan dan cepat membaik atau perburukan defisit neurologi
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

yang berat
Gambaran perdarahan intrakranial pada CT Scan
Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir
Infark multilobar (gambaran hipodens > 1/3 hemisfer serebri
Kejang pada saat onset stroke
Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis post iktal
Riwayat stroke atau cedera kepala berat dalam 3 bulan sebelumnya
Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada pemeriksaan fisik
Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2 minggu sebelumnya

21

k. Riwayat perdarahan gastrointestinal atau traktus urinarius dalam 3 minggu


l.
m.
n.
o.

sebelumnya
Tekanan darah sistolik > 185 mmHg, diastolik >110 mmHg
Glukosa darah <50 mg/dl atau > 400 mg/dl
Gejala perdarahan subarachnoid
Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau pungsi lumbal dalam 1

p.
q.
r.
s.
t.
u.

minggu sebelumnya
Jumlah platelet <100.000/mm3
Mendapat terapi heparin dalam 48 jam yang berhubungan dengan peningkatan aPTT
Gambaran klinis adanya perikarditis pascainfark miokard
Infark miokard dalam 3 bulan sebelumnya
Wanita hamil
Tidak sedang mengkonsumsi antikoagulan oral atau bila sedang dalam terapi

antikoagulan hendaklah INR < 1,7.


3. Golden hour untuk rencana pemberian rTPA (< 60 menit)
a. Pasien tiba di IGD dengan diagnosis stroke
b. Evaluasi dan pemeriksaan pasien oleh triage (termasuk anamnesis, permintaan
laboratorium dan menilai NIHSS) waktu < 10 menit
c. Didiskusikan oleh tim stroke (termasuk keputusan dilakukan pemberian rTPA) waktu
< 15 menit
d. Dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala, waktu <25 menit
e. Hasil pemeriksaan CT-Scan kepala dan laboratorium, waktu < 45 menit
f. Pemberian rTPA (bila pasien memenuhi kriteria inklusi), waktu < 60 menit
4. Protokol penggunaan rTPA intravena
a. Infus Rtpa 0,9 mg/kg (maksimum 90 mg) dalam 60 menit dengan 10% dosis
diberikan sebagai bolus dalam 1 menit
b. Masukkkan pasien ke ICU atau unit stroke untuk pemantauan
c. Lakukan penilaian neurologi setiap 15 menit selama pemberian infus dalam setiap 30
menit setelahnya selama 6 jam berikutnya, kemudian tiap jam hingga 24 jam setelah
terapi
d. Bila terdapat nyeri kepala berat, hipertensi akut, mual, atau muntah, hentikan infus
(bila rTPA sedang dimasukkan) dan lakukan CT Scan segera
e. Ukur tekanan darah setiap 15 menit selama 2 jam pertama dan setaip 30 menit selama
6 jam berikutnya, dan kemudian setiap jam hingga 24 jam setelah terapi
f. Naikkan frekuensi pengukuran tekanan darah bila tekanan darah sistolik > 180 mmHg
atau bila diastolik > 105 mmHg; berikan medikasi antihipertensi untuk
mempertahankan tekanan darah pada level ini atau level dibawahnya
g. Tunda pemasangan pipa nasogastrik, kateter urin atau kateter tekanan intraarterial

22

h. Lakukan CT Scan untuk follow up dalam 24 jam sebelum pemberian antikoagulan


atau antiplatelet
2.2.6 Pencegahan
Pencegahan stroke non hemoragik trombotik (Batticaca, 2008), yaitu:
a. Hindari merokok, kopi dan alkohol
b. Usahakan untuk dapat mempertahankan berat badan ideal (cegah
kegemukan)
c. Batasi makanan yang mengadung garam bagi penderita hipertensi
d. Batasi makanan berkolesterol dan lemak (daging, durian, alpukat, keju, dan lainnya)
e. Pertahankan diet dengan gizi seimbang (banyak makan buah dan sayuran)
f. Olahraga teratur

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Setyopranoto, I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-Juni.
2011.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke tahun 2011. Bagian Ilmu
Penyakit Saraf RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2011.
3. Machfoed, Hasan et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga University
Press. 2011.
4. B.M. Gund, et all. Stroke: A Brain Attack. IOSR Journal of Pharmacy. Volume 3, Issue 8
Pp 01-23. 2013.
5. Adam HP, et all. Classification of Subtype of Acute Ischemic Stroke. Available from
http://stroke.ahajournals.org. 2012.
6. Jan, S. Trombosis of Cerebral Vein and Sinuses. N Engl J Med. 352:1791-8. 2005.
7. Alireza Atri. Ischemic Stroke: Pathophysiology and Principles of Localization, vol. 13.
2009.
8. Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta; p29-31. 2008

24

Anda mungkin juga menyukai