Anda di halaman 1dari 15

STUDI KASUS - PELUNCURAN GLOBAL MASTER

REPURCHASE AGREEMENT (GMRA) INDONESIA


MATA KULIAH LEMBAGA KEUANGAN BANK & NON-BANK

M. ICHSAN. F - 134010470

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PASUNDAN

BAB I
PENDAHULUAN

Transaksi Repo merupakan salah satu instrumen transaksi pasar uang yang banyak
digunakan oleh berbagai perusahaan, industri keuangan, dan pelaku pasar lainnya untuk
mengelola likuiditas, sekaligus sebagai salah satu alternatif pembiayaan jangka pendek
perusahaan. Selain itu, transaksi Repo saat ini juga sudah menjadi salah satu instrumen
penting dalam pelaksanaan kebijakan moneter oleh otoritas keuangan dan bank sentral
di berbagai negara.
Dalam perkembangannya secara global, seiring dengan membaiknya perekonomian
dunia paska terjadinya krisis keuangan pada tahun 2008, transaksi Repo dari tahun-ke
tahun terus meningkat baik dari sisi volume, maupun nilai. Dalam prakteknya di
Indonesia, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2011-2015) total volume tahunan
transaksi REPO tertinggi, telah mencapai 150,2 triliun dengan nilai transaksi Rp136,8T.
Ini menunjukkan perkembangan transaksi yang cukup signifikan dibandingkan periode
2006-2011, dimana volume transaksi tahunan tertinggi yang pernah dilaporkan Baru
mencapai 42,6 triliun dengan nilai transaksi Rp35,78T.
Namun demikian, perkembangan transaksi Repo di Indonesia yang cukup
menggembirakan tersebut ternyata diikuti dengan munculnya beragam permasalahan
dalam implementasinya, terutama munculnya berbagai variasi transaksi Repo yang tidak
terstandarisasi dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Dua hal utama yang
mendasari permasalahan tersebut adalah tidak adanya aturan mengenai standarisasi
praktik transaksi Repo di Indonesia dan keengganan pelaku untuk menggunakan
perjanjian yang terstandarisasi meskipun dalam format yang telah disepakati bersama
oleh para pelaku transaksi.

BAB II
KAJIAN TEORITIS

Repurchase Agreement (REPO) adalah transaksi penjualan instrumen efek antara dua
belah pihak yang diikuti dengan perjanjian dimana pada tanggal yang telah ditentukan
di kemudian hari akan dilaksanakan pembelian kembali atas efek yang sama dengan
harga tertentu yang telah disepakati.
REPO juga berfungsi seperti secured loan, dimana pihak pembeli akan memperoleh
instrumen efek sebagai jaminan atas jumlah dana yang diserahkan kepada pihak
penjual. Pada saat yang disepakati, bila sejumlah dana dibayarkan kembali dari pihak
penjual kepada pihak pembeli, maka instrumen efek tersebut juga dikembalikan dari
pihak pembeli kepada penjual. Walaupun dari mekanismenya mirip seperti pinjaman,
namun dari sudut pandang hukum, dalam transaksi REPO terjadi perpindahan
kepemilikan atas efek yang ditransaksikan.
Instrumen yang biasanya digunakan dalam transaksi REPO diantaranya adalah Obligasi
korporasi, Obligasi Negara (Surat Utang Negara), SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan
Saham.
Transaksi Repo merupakan salah satu alternatif atau memiliki peluang investasi
keuangan. Hal ini dapat dilihat dari sisi pembeli (buyer), dimana mereka akan
memperoleh return untuk jangka waktu pendek (short term) dengan tingkat bunga
menarik dan relative aman karena pihak pembeli akan memegang jaminan berupa asset
atau efek milik penjual. Efek tersebut juga bisa digunakan untuk menghindari terjadinya
short positions. Sedangkan dari sisi penjual, tranasksi Repo merupakan alternatif
sumber pendanaan yang relatif murah (cheap funding cost) dan aman, dengan cara
menyerahkan atau menjaminkan asetnya yang berupa efek tersebut.

Dilihat dari jatuh temponya, REPO dapat dibedakan menjadi 3 jenis :

Overnight : jatuh tempo dalam satu hari.


Term : jatuh tempo dalam kurun waktu tertentu.
Open Repo : tidak ditentukan jatuh temponya.

Yang paling umum adalah Overnight (hanya satu hari) dan Term Repo, dengan tanggal
jatuh tempo yang telah ditentukan dan disepakati kedua belah pihak dalam Repurchase
Agreement, bisa sampai 1 (satu) bulan atau lebih.
Sedangkan dilihat dari transaksinya, terdapat 2 metode yang biasa digunakan, yaitu :

Classic Repo, atau semacam Collateralized Borrowing, dimana dalam Repo


tersebut kepemilikan Efek akan tetap berada pada pihak Seller/penjual. Efek
tersebut tidak dapat ditransfer atau dijual kembali sebelum tanggal transaksi

Repo tersebut jatuh tempo.


Sell/Buy Back Repo, transaksi yang melibatkan suatu transfer efek dan dana
dimana kepemilikan efek tersebut juga berpindah ke pihak Buyer/pembeli.
Dalam transaksi Sell/Buy Back Repo, terdapat dua kali proses pemindah
bukuan.

Sebagai contoh; misalkan Broker A bertransaksi Repo jual dengan Bank B, maka pada
tanggal penyelesaian pertama (biasa disebut 1st leg) terjadi perpindahan efek dari
Broker A ke Bank B yang diikuti pula dengan perpindahan dana dari Bank B ke Broker
A. Sedangkan pada tanggal penyelesaian kedua (biasa disebut 2nd leg yang juga
merupakan jatuh tempo Repo), jumlah dan instrument efek yang sama akan berpindah
dari Bank B ke Broker A yang diikuti dengan perpindahan dana sesuai dengan
kesepakatan dari Broker A ke Bank B. Umumnya, harga pada saat penebusan lebih
tinggi dibandingkan harga penjualan.
Istilah Reverse Repo digunakan untuk menggambarkan kejadian sebaliknya dari
transasksi Repo. Jika penjualan efek dengan perjanjian membeli kembali disebut
transaksi Repo, maka Reverse Repo merupakan pembelian efek yang ditawarkan dalam
transaksi Repo untuk dijual kembali, atau juga disebut Buy/Sell Back, karena Reverse
Repo merupaka transaksi Repo Jual bila dilihat dari sudut pandang pembeli (buyer).

Dalam pelaksanaan transaksi Repo, terdapat beberapa issue atau kendala yang dihadapi
oleh para pihak, diantaranya adalah :

Dari aspek akuntansi, pedoman standar akuntansi hanya mengakomodir


pencatatan transaksi Repo dengan model Classic Repo, dimana aset tetap
dicatatkan sebagai milik pihak penjual (seller). Sedangkan berdasarkan metode
Sell/Buy Back Repo, sebenarnya terjadi peralihan kepemilikan aset kepada

pihak pembeli (buyer).


Dari aspek hukum, apabila terdapat sengketa antara pihak yang bertransaksi, ada
resiko bahwa pengadilan akan mengkatagorikan transaksi Sel/Buy Back Repo

sebagai transaksi pinjam meminjam dengan jaminan (collateralized borrowing).


Dari aspek perpajakan, terdapat potensi pengenaan pajak berganda (dua kali),
yaitu pada 1st leg dan pada 2nd leg transaction, karena seolah-olah transksi
tersebut dilakukan dua kali, padahal transaksi ini merupakan satu rangkaian
transaksi Repo.

BAB III
PEMBAHASAN

Mengantisipasi kondisi yang sebagaimana telah dijelaskan pada bab pertama, OJK
bersama dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan para pelaku pasar telah
menyusun suatu pedoman pelaksanaan transaksi Repurchase Agreement (repo) yang
berlaku bagi seluruh Lembaga Jasa Keuangan yang berada di bawah pengawasan OJK,
yaitu Global Master Repurchase Agreement Indonesia (GMRA) Indonesia.
(Hadad, 2016)Peluncuran GMRA Indonesia merupakan salah satu implementasi dari
program strategis tersebut, selain pengaturan transaksi repo, pengembangan produk
Repo, serta layanan penyelesaian transaksi repo yang dilengkapi monitoring dan konsep
3rd party repo, yang sebagian besar menjadi program strategis kami di tahun 2016 ini.
Berikut adalah ruang lingkup cakupan kebijakan peraturan Global Master Repurchase
Agreement Indonesia, yang dimuat dalam peraturan otoritas jasa keuangan nomor
9/pojk.04/2015 tentang pedoman transaksi repurchase agreement bagi lembaga jasa
keuangan tersebut:
3.1 Ketentuan Umum
Pasal 1 menjelaskan tiap entitas yang terkait dengan GMRA dan transaksi Repo pada
umumnya. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Transaksi Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut Transaksi Repo
adalah kontrak jual atau beli Efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu
dan harga yang telah ditetapkan.
2. Global Master Repurchase Agreement yang selanjutnya disingkat GMRA adalah
standar perjanjian Transaksi Repo yang diterbitkan oleh International Capital
Market Association.
3. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor
Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,
dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa


Keuangan.
4. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak yang menyelenggarakan
kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak
lain, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
5. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga
komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi
kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek,
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Pasal 2 mengatur peruntukan daripada kebijakan peraturan GMRA Indonesia:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan Transaksi Repo wajib mengikuti
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku untuk Transaksi Repo
atas Efek tanpa warkat yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
serta yang terdaftar pada dan penyelesaiannya dilakukan melalui Bank Indonesia
dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 3 mengatur kewajiban-kewajiban umum dalam transaksi Repo:
1. Setiap Transaksi Repo wajib mengakibatkan perubahan kepemilikan atas Efek.
2. Efek yang dipindahkan sebagai substitusi atau untuk pemeliharaan marjin dalam
Transaksi Repo wajib mengakibatkan perubahan kepemilikan atas Efek tersebut.
3. Dalam hal terjadi peristiwa kegagalan (event of default) dalam Transaksi Repo,
para pihak wajib menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan tata cara
penyelesaian peristiwa kegagalan serta hak dan kewajiban yang mengikutinya
sebagaimana dimuat dalam perjanjian Transaksi Repo.

3.2 Perjanjian

Pasal 4 mengatur elemen-elemen yang wajib terdapat pada sebuah surat perjanjian
transaksi Repo:
1. Setiap Transaksi Repo wajib berdasarkan pada perjanjian tertulis.
2. Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit wajib memuat
ketentuan sebagai berikut:
a. peralihan atas hak kepemilikan Efek;
b. kewajiban penyesuaian nilai Efek dengan nilai pasar wajar (mark-tomarket);
c. marjin awal dan/atau haircut Efek dalam Transaksi Repo;
d. pemeliharaan marjin termasuk substitusi Efek marjin;
e. hak dan kewajiban para pihak terkait kepemilikan Efek dalam Transaksi
Repo termasuk waktu pelaksanaannya dan kewajiban perpajakan;
f. peristiwa kegagalan;
g. tata cara penyelesaian peristiwa kegagalan serta hak dan kewajiban yang
mengikutinya;
h. perjanjian tunduk pada hukum Indonesia;
i. kedudukan Lembaga Jasa Keuangan dalam Transaksi Repo sebagai agen
atau bertindak untuk dirinya sendiri; dan
j. tata cara konfirmasi atas Transaksi Repo dan/atau perubahan material
terkait Transaksi Repo tersebut.
Pasal 5 mengatur kewajiban penerapan GMRA Indonesia dalam perjanjian transaksi
Repo, serta beberapa pengecualian penerapan yang dapat terjadi:
1. Setiap perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 wajib
menerapkan GMRA Indonesia yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
atau pihak lain yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan.
2. GMRA Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri dari:
a. Perjanjian Induk Global Pembelian Kembali (GMRA);
b. Lampiran Transaksi Domestik di Indonesia (Indonesia Annex);
c. Lampiran I Syarat dan Ketentuan Tambahan (Annex I Supplemental
Terms & Condition)
d. Lampiran II Format Konfirmasi (Annex II Confirmation);
e. Lampiran Pembelian/Penjualan Kembali (Buy/Sell Back Annex);
f. Lampiran Ekuitas (Equity Annex); dan
g. Lampiran Keagenan (Agency Annex).
3. Para pihak dapat menyepakati perubahan klausul dalam perjanjian Transaksi
Repo yang dibuat berdasarkan GMRA Indonesia sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

4. Dalam hal Lembaga Jasa Keuangan melakukan Transaksi Repo dengan lembaga
negara yang melaksanakan kebijakan fiskal atau moneter, Lembaga Jasa
Keuangan tersebut tidak wajib menerapkan GMRA Indonesia.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai GMRA Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
3.3 Kewajiban
Pasal 6 mengatur kewajiban-kewajiban Lembaga Jasa Keuangan sebagai pelaku
transaksi Repo:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan Transaksi Repo wajib terlebih dahulu
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. mempunyai direktur dan/atau pegawai yang berwenang untuk melakukan
Transaksi Repo;
b. mempunyai pegawai yang memiliki pengetahuan dan pengalaman kerja
yang memadai dalam Transaksi Repo serta memahami peraturan terkait
Transaksi Repo;
c. memastikan adanya Efek dan/atau dana untuk penyelesaian Transaksi
Repo; memastikan setiap Transaksi Repo dilakukan oleh direktur atau
pegawai yang berwenang sebagaimana dimaksud pada huruf a;
d. memiliki kebijakan, prosedur, dan pengendalian internal yang memadai;
dan
e. memiliki manajemen risiko dalam menangani risiko yang timbul dari
Transaksi Repo.
2. Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan Transaksi Repo wajib:
a. melakukan pembukuan dan pencatatan serta memiliki dokumentasi yang
memadai atas Transaksi Repo yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan;
b. menerapkan perlakuan akuntansi pada laporan keuangan Lembaga Jasa
Keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku; dan
c. melakukan pencatatan identitas pihak-pihak dalam Transaksi Repo
secara benar.
Pasal 7 mengatur kewajiban bagi Lembaga Jasa Keuangan pelaku transaksi Repo
perihal manajemen risiko secara spesifik:
1. Dalam rangka menangani risiko yang timbul dari Transaksi Repo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf f, Lembaga Jasa Keuangan wajib:

a. menetapkan marjin awal dan/atau besarnya haircut atas Efek dalam


Transaksi Repo sesuai dengan risiko kredit lawan Transaksi Repo dan
risiko Efek;
b. melakukan pemeliharaan marjin sesuai dengan perjanjian Transaksi Repo
setiap saat apabila nilai Efek berdasarkan harga pasar wajarnya
menunjukkan perubahan nilai penurunan yang material sebagaimana
diperjanjikan;
c. memastikan konfirmasi tertulis, secara fisik atau elektronik terkait
perjanjian Transaksi Repo, diterbitkan;
d. memantau eksposur bersih seluruh Transaksi Repo yang dimilikinya dan
melakukan tindakan tertentu untuk menyelesaikan kewajiban terhadap
lawan Transaksi Repo secara harian;
e. meminimalkan segala risiko penyelesaian yang timbul dari Transaksi
Repo dengan menggunakan sistem penyelesaian yang disediakan oleh
Bank Indonesia dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
f. memiliki mekanisme yang memungkinkan identifikasi secara cepat
kondisi yang mengakibatkan peristiwa kegagalan dan/atau mekanisme
yang memberikan pemberitahuan kegagalan pemenuhan kewajiban
Transaksi Repo kepada lawan Transaksi Repo.
3.4 Lembaga Jasa Keuangan Bertindak Sebagai Agen
Pasal 8 mengatur Lembaga Jasa Keuangan yang diperbolehkan bertindak sebagai
perantara dalam transaksi Repo:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang dapat bertindak sebagai agen Transaksi Repo
hanya Lembaga Jasa Keuangan yang menjadi partisipan pada sistem
penyelesaian Bank Indonesia dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 9 mengatur kewajiban-kewajiban bagi Lembaga Jasa Keuangan yang bertindak
sebagai agen perantara transaksi Repo:
1. Dalam hal Lembaga Jasa Keuangan bertindak sebagai agen Transaksi Repo bagi
nasabahnya, Lembaga Jasa Keuangan wajib:
a. memperoleh kuasa dari nasabah untuk melakukan Transaksi Repo untuk
kepentingan nasabah;

b. mencatat identitas nasabah yang melakukan Transaksi Repo dan


menyampaikan kepada lawan Transaksi Repo;
c. mencatat identitas lawan Transaksi Repo dan menyampaikannya kepada
nasabahnya; dan
d. membuat laporan secara berkala sebagaimana disepakati dalam
perjanjian kepada nasabah yang memuat informasi atas Transaksi Repo
yang dilakukan atas nama nasabah.
3.5 Pelaporan
Pasal 10 mengatur kewajiban dalam perihal pembukuan dan pelaporan keuangan bagi
Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan transaksi Repo meliputi batas waktu dalam
melakukan pelaporan:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan Transaksi Repo atas Efek bersifat
utang wajib melaporkan Transaksi Repo dimaksud kepada Otoritas Jasa
Keuangan melalui Penerima Laporan Transaksi Efek.
2. Batas waktu dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 tunduk pada peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
mengenai Pelaporan Transaksi Efek.
3. Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan Transaksi Repo atas Efek bersifat
ekuitas wajib melaporkan kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
4. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 wajib disampaikan paling lambat
pada hari kerja berikutnya sesudah Transaksi Repo terjadi.
3.6 Sanksi
Pasal 11 mengatur sanksi umum atas pelanggaran ketentuan peraturan GMRA Indonesia
tersebut:
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;

d.
e.
f.
g.
2. Sanksi

pembekuan kegiatan usaha;


pencabutan izin usaha;
pembatalan persetujuan; dan
pembatalan pendaftaran.
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,

huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
1 huruf a.
3. Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.

Pasal 12 mengatur kebijakan sanksi-sanksi diluar yang telah ditentukan pada pasal
sebelumnya:
1. Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1,
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 13 mengatur perihal hak OJK untuk melakukan publikasi atas pengenaan sanksi
yang diberikan:
1. Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1 dan tindakan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 kepada masyarakat.
3.7 Ketentuan Peralihan
Pasal 14 mengatur perlakuan terhadap mekanisme transaksi Repo sebelum
diterbitkannya peraturan GMRA Indonesia ini:
1. Semua perjanjian Transaksi Repo yang sedang berjalan dan sudah ada sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, tidak perlu disesuaikan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
3.8 Ketentuan Penutup

Pasal 15 menjelaskan pengecualian terhadap Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan


transaksi Repo berdasarkan prinsip syariah:
1. Dalam hal Lembaga Jasa Keuangan melakukan Transaksi Repo dengan
menggunakan prinsip-prinsip syariah, Lembaga Jasa Keuangan tersebut tidak
tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

Pasal 16 menjelaskan bahwa peraturan sebelumnya mengenai Perlakuan Akuntansi


Repurchase Agreement (Repo) Dengan Menggunakan Master Repurchase Agreement
(MRA) beserta lampiran di dalamnya tidak lagi berlaku setelah diterbitkannya peraturan
OJK mengenai GMRA Indonesia ini:
1. Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP132/BL/2006 tanggal 28 November 2006 tentang Perlakuan Akuntansi
Repurchase Agreement (Repo) Dengan Menggunakan Master Repurchase
Agreement (MRA), beserta Peraturan Nomor VIII.G.13 yang merupakan
lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17 menjelaskan telah resmi berlakunya peraturan GMRA Indonesia ini, sejak
tanggal 1 Januari 2016:
1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, peraturan Global Master Repurchase Agreement


Indonesia (GMRA Indonesia) yang dikeluarkan oleh OJK sebagai standar acuan untuk
mengatasi dinamika pasar transaksi Repo yang semakin tumbuh dan penuh
ketidakpastian tersebut telah komprehensif.
Peraturan tersebut telah jelas memuat berbagai aspek umum dan khusus mengenai
transaksi Repo, mulai dari penjelasan akan pihak-pihak yang terkait dalam transaksi
Repo pada umumnya; kewajiban-kewajiban dalam sebuah perjanjian transaksi Repo;
kewajiban-kewajiban pelaku sebelum, ketika, dan setelah dilakukannya transaksi Repo;
penekanan akan pentingnya aspek manajemen risiko dalam transaksi Repo; sanksi yang
diberikan atas pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan GMRA Indonesia tersebut;
serta beberapa pengecualian-pengecualian seperti tidak berlakunya GMRA Indonesia ini
terhadap transaksi Repo yang berjalan di bawah prinsip syariah.
Salah satu risiko yang umum terjadi pada sebuah transaksi Repo adalah
ketidakmampuan pihak penjual efek untuk melakukan buyback atas sekuritas yang
dijadikan kolateral, maka peraturan mengenai kewajiban-kewajiban bagi pelaku Repo
dan penekanan terhadap aspek manajemen risiko yang terdapat pada GMRA Indonesia
dinilai akan mampu memitigasi risiko utama dari transaksi Repo tersebut.

Diharapkan dalam pelaksanaan transaksi Repo di lapangan untuk kedepannya dapat


berjalan sesuai sebagaimana telah diregulasi oleh peraturan Global Master Repurchase
Agreement Indonesia tersebut.

References
(2016, January 29). Retrieved from Situs Resmi Otoritas Jasa Keuangan:
http://www.ojk.go.id/id/kanal/pasar-modal/berita-dankegiatan/publikasi/Pages/sambutan-ketua-ojk-dalam-peluncuranglobal-master-repurchase-agreement-indonesia.aspx
chafifah. (2013, June 23). Retrieved from 2016 Cara Jadi Kaya. All Rights
Reserved.: https://www.carajadikaya.com/transaksi-repo-repurchaseagreement/
Hadad, M. D. (2016, January 29). Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan. (2015, June 26). PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN NOMOR 9/POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN TRANSAKSI
REPURCHASE AGREEMENT BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN.
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai