Anda di halaman 1dari 16

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN ...........................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................5
2.1

DEFINISI.......................................................................................................5

2.2

ETIOLOGI....................................................................................................5

2.3

EPIDEMIOLOGI.........................................................................................6

2.4

PENULARAN...............................................................................................7

2.5

PATOGENESIS.............................................................................................7

2.6

PATOLOGI....................................................................................................8

2.7

GAMBARAN KLINIS................................................................................10

2.8

DIAGNOSIS................................................................................................11

2.9

PENGOBATAN...........................................................................................12

2.10

PROGNOSIS...............................................................................................14

2.11

PENCEGAHAN..........................................................................................14

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................15


3.1

KESIMPULAN...........................................................................................15

3.2

SARAN.........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................16

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Leptospirosis
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.Gopas Simanjuntak, Sp.PD
selaku pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis selama penyelesaian referat ini.
Referat ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Departemen Penyakit Dalam di RS HKBP Balige. Penulis menyadari
bahwa referat yang dibuat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan refarat ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini, semoga bermanfaat bagi kita
semua.

Balige, 19 Agustus 2015

Selvia Gandasari Silalahi

BAB 1
PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan penyakit infeksi pada manusia dan binatang yang


disebabkan oleh bakteri leptospira yang berbentuk spiral dan bergerak aktif.
Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia. Penyakit ini
pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi
disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan
gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weils Disease. Pada
tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa Weils Disease disebabkan oleh
bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang sesuai
untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah, dan pH
alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di negara tropik sepanjang tahun. Di
negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan
dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. Angka insiden
leptospirosis di negara tropik basah 5 - 20/100.000 penduduk per tahun. Leptospirosis
tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Angka insidensi leptospirosis di New
Zealand antara tahun 1990 sampai 1998 sebesar 44 per 100.000 penduduk. Angka
insiden tertinggi terjadi pada pekerja yang berhubungan dengan daging (163/100.000
penduduk), peternak (91,7/100.000 penduduk) dan pekerja yang berhubungan dengan
hutan sebesar 24,1 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia dilaporkan oleh Partoatmodjo (1964) bahwa sejak 1936 telah
diisolasi berbagai serovar leptospira. Baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan.
Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera

Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan
Kaliamntan Barat. Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi,
mencapai 2,5 -16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%.
Penderita leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (keruskan jaringan
hati), resiko kematian akan lebih tinggi. Di beberapa publikasi angka kematian di
laporkan antara 3% - 54% tergantung sistem organ yang terinfeksi.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

DEFINISI1,5,6
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikro organisme Leptospira interogans. Bentuk yang berat dari penyakit ini
dikenal sebagai Wells disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama
seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious
jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain.

2.2

ETIOLOGI1,4,5
Leptospirosis

disebabkan

oleh

genus

leptospira,

family

treponemataceae, suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini


yakni berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat
halus, lebarnya 0,1 - 0,2 um. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada
mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk
mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan
gelap (darkfield microscope). Leptospira membutuhkan media dan kondisi
yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu berminggu minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium Fletchers dapat
tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob. Menurut beberapa peneliti, yang
tersering menginfeksi manusia ialah L. icterohaemorrhagica dengan reservoir
tikus, L. canicola dengan reservoir anjing dan L. pomona dengan reservoir
sapid an babi.

2.3

EPIDEMIOLOGI1,5
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua
Antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis. Leptospira bisa terdapat
pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau
binatang - binatang pengerat lainnya seperti tupai , musang, kelelawar, dan
lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam
ginjal/air

kemihnya.

Tikus

merupakan

vektor

yang

utama

dari

L.icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh


tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak
di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus dan ikut mengalir
dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang
masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena
temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira,
sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai
negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia
untuk mortalitas. Di Indonesia, leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir besar di
Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan
20 kematian.
Dengan pemeriksaan sederhana memakai mikroskop biasa dapat
dideteksi adanya gerakan leptospira dalam urine. Diagnostik pasti ditegakkan
dengan ditemukannya leptospira pada darah atau urin atau ditemukannya hasil
serologi positif. Untuk dapat berkembang biak, leptospora memerlukan
lingkungan optimal serta tergantung pada suhu yang lembab, hangat, PH

air/tanah yang netral, dimana kondisi ini ditemukan sepanjang tahun di daerah
tropis.

2.4

PENULARAN1,5,6
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah,
lumpur yang telah terkontaminasi oleh urin binatang yang telah terinfeksi
leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terjadi luka / erosi pada kulit ataupun
selaput lendir. Kadang - kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang
yang sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di
laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi
terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Orang - orang
yang mempunyai resiko tinggi mendapat penyakit ini adalah pekerja - pekerja
di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di
rumah potong hewan atau orang - orang yang mengadakan perkemahan di
hutan, dokter hewan.

2.5

PATOGENESIS1,3,4,5
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir,
memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar luas ke jaringan
tubuh. Kemudian terjadi respon imunologik baik secara selular maupun
humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik.
Walaupun demikian, beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang
terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian
mikroorganisme akan mencapa convulted tubules, bertahan disana dan
dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8
hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan - bulan
bahkan bertahun - tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan

fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari
darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.
Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu.

2.6

PATOLOGI1,3,4,5
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan
toksin. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel
kapiler. Organ - organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot
dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ:

Ginjal
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk
lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal.
Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan
nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi
langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.

Hati
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit
fokal dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestasis.

Jantung
Epikardium, endocardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan
infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan
infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan
endokarditis.

Otot rangka
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira
disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen
leptospira pada otot.

Mata
Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase
leptospiremia dan betahan beberapa bulan walaupun antibodi yang
terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis.

Pembuluh darah
Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang
akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan / pteki pada
mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah
kulit.

Susunan saraf pusat


Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) dan
dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu
terbentuknya respon antibodi, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga
bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis.
Terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuklear
arachnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya
paling sering disebabkan oleh Leptospirosis canicola.

Weil Disease

Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan icterus,


biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan
demam tipe kontinua. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus
dengan leptospirosis. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatic atau disfungsi vaskular.

2.7

GAMBARAN KLINIS1,4,5,6
Masa inkubasi 2 - 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan rata - rata 10 hari.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia
dan fase imun.
Fase Leptospiremia
Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, myalgia,
conjuctival

suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, icterus,

hepatomegali, ruam kulit, fotopobia.


Jarang :

pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema,

splenomegaly, arthralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pankreatitis,


parotitis, epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis.
Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang
mencapai suhu 40oC disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa
sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki terutama otot
betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, perdarahan gusi, gejala
kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Conjunctiva injection dan
conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk
leptospirosis. Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun

10

hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai
pada 50-90% pasien.

2.8

DIAGNOSIS1,2
Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis, karena pasien biasanya
datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma
syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik,
bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitis. Pada anamnesis, penting
diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok resiko
tinggi. Gejala / keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala
terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah atau fotopobia, mual atau
muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardi, nyeri tekan otot,
hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa
dijumpai leukositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran
neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai
proteinuria, leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin
direct meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum, dan kreatinin
juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia
terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan
tubuh dan serologi.

Kultur
Dengan mengambil specimen dari darah atau CCS segera pada awal
gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil
spesimen pada fase leptosperemia serta belum diberi antibiotik. Kultur
urin diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada spesimen yang
terkontaminasi inokulasi hewan dapat digunakan.

Serologi
11

Jenis uji serologi dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Pemeriksaan untuk
mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengan pemeriksaan
Polymerase Chain Reaction (PCR), Silverstein atau Fluroscent Antibody
Stain dan mikroskop lapangan gelap.
Jenis Uji Serologi pada Leptospirosis
Microscopic Agglutination Test (MAT)
Uji Carik Celup :

(MSAT
Enzyme linked immunosorbant assay
(ELISA)

- Lepto Dipsttick

Microcapsule agglutination test

- LeptoTek Lateral Flow


Aglutinasi lateks kering (LeptoTek
Dry-Dot)
Indirect

Macroscopic Slide Agglutination Test

Patoc - slide agglutination test (PSAT)


Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)

fluorescent

antibody

test Counter immune electrophoresis (CIE)

(IFAT)
Indirect haemagglutination test (IHA)
Uji aglutinasi lateks
Complement fixation test (CFT)

2.9

PENGOBATAN1,2,6
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan
mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat
penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan

12

akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa


pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya
pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis
berat, pemberian intravena penisislin G, amoksisilin, ampisislin atau
eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat
diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin
maupun sefalosporin.
Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis
Indikasi

Leptospirosis Ringan

Leptospirosis sedang /
berat

Kemoprofilaksis

Regimen

Dosis

Doksisiklin

2 x 100 mg

Ampisilin

4 x 500-750 mg

Amoksisilin

4 x 500 mg

Penisilin G

1,5 juta unit / 6 jam (i.v)

Ampisilin

1 gram / 6 jam (i.v)

Amoksisilin

1 gram / 6 jam (i.v)

Doksisiklin

200 mg / minggu

Pada pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer 4


sampai 6 jam setelah pemberian intravena, yang menunjukkan adanya
aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan
penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan
asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara
umum. Kalau terjadi azotemia/ uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.

13

2.10

PROGNOSIS1,6
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan icterus,
angka kematian 5% pada umur dibawah 30 tahun, dan pada usia lanjut
mencapai 30-40%.

2.11

PENCEGAHAN1,5,6
Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk
mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang mempunyai resiko
tinggi dan terpapar dalam waktu singkat. Bagi mereka yang mempunyai
resiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa
pakaina khusus yang dapat melindunginya dari kontak bahan-bahan yang
terkontaminasi dengan kemih binatang reservoir.

14

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1

KESIMPULAN
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira.
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Gejala
klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat
mendapat pengobatan. Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat
akan mencegah perjalanan penyakit menjadi lebih berat. Pencegahan dini terhadap
mereka yang terpapar diharapkan dapat melindungi mereka dari serangan
leptospirosis.

3.2

SARAN

Sebaiknya dilakukan upaya pencegahan sedini mungkin kepada mereka yang


mempunyai resiko tinggi untuk tertular leptospirosis.

Menjaga higienitas pribadi dan lingkungan agar terhindar dari infeksi leptospira.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit
DalamJilid III Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing.
2. Soetanto T, Soeroso S, NingsihS :Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan
Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di RumahSakit, Rumah
Sakit

Penyakit

Infeksi

Prof.Dr.Sulianti

Saroso,

Direktorat

Jendral

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, DEPKES RI,


2003.
3. Ellinghausen-McCullough-Johnson-Harris.
Terrestrial Manual 2014.

2014.

Leptospirosis.

OIE

4. Setiadi Bobby, SetiawanAndi, dkk. 2001. Leptospirosis. Volume 3. Hal 163 167.
5. Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and control.
Geneva, World Health Organization/ International Leptospirosis Society, 2003
6. BC Centre for Disease Control. 2008. Communicable Disease Control
Guidelines for the Prevention of Leptospirosis.

16

Anda mungkin juga menyukai