Anda di halaman 1dari 59

PANDEGLANG

Mendekati akhir tahun 2008 kemarin, ada seorang klien meminta saya untuk mendesainkan rumahnya. Mendesain dalam
artikel kali ini dalam arti merenovasi total rumah yang sudah ada sekarang. Klien saya tersebut adalah seorang kontraktor
bangunan, lagi-lagi spesialisasi di beton pre-cast. Ketika mengiyakan tawarannya, saya terasa santai saja, hal tersebut
dikarenakan beberapa hal seperti : klien tersebut tidak terburu-buru merenovasi rumahnya dan tidak perlu gambar kerja
serta struktur rumah barunya, cukup gambar denah dan image 3D aja. Setelah lama berlalu ternyata ribet juga,
permasalahan yang utama adalah lokasi rumah yang akan direnovasi. Berlokasi di Pandeglang, Banten, dan saya hanya
diberi satu kertas berisi ukuran-ukuran site yang akan dibangun tanpa ada denah rumah yang lama. Kata klien, abaikan
saja denah lama, tetapi saya tetap merasa kesulitan tanpa tahu eksisting lokasinya, apa-apa yang bisa dimanfaatkan
disana, keadaan sekitar, bahkan garis sempadan dan koefisien dasar bangunan-pun saya belum tahu. Karena waktu itu
saya masih bekerja di Tanjungpinang dan klien tersebut juga masih ada pekerjaan rusunawa di Batam, maka survey lokasi
ditangguhkan sampai ada waktu lebih lanjut.
Waktu berlalu sangat cepat ketika pada awal tahun 2009 saya mengajukan pre-desain pertama berdasar selembar ukuran
yang klien saya beri. Lewat email desain tersebut saya kirim, besoknya tenyata ada tanggapan tentang kekurangcocokan
klien terhadap desain yang saya ajukan, bukan kurang sih, tetapi tidak cocok, dari segi desain, peruangan, ukuran
bangunan, dan peruntukan zoning kegiatan, tidak bisa diterapkan di lokasi. Berikut image pre-desain yang saya buat:

Setelah mendapat penjelasan tentang kekurangan-kekurangannya, saya mengusulkan untuk melakukan survey ke lokasi
sambil proses perencanaan tetap berlangsung. Karena kesibukannya keluar pulau jawa, klien saya tersebut belum sempat
untuk menemani dalam mensurvei rumah, alhasil proses perancangan masih berlangsung sampai sekarang. Saya ingin
menginformasikan bahwa data-data eksisting lokasi site sangatlah penting dan dominan dalam perancangan; sense
lokasi, iklim, keadaan alam, topografi, dan faktor-faktor yang berpengaruh (baik fisik maupun non fisik) sangat menentukan
keberhasilan dalam proses menuju desain akhir. Hal penting lainnya adalah konsultasi yang teratur dan kontinyu antara
arsitek dan klien/owner. Untuk propose desain berikutnya harap dengan sabar ditunggu pada posting berikutnya.
Terimakasih...

Diposkan oleh arief harry kusuma di 8:58 PM 0 komentar

7/14/2009
GAPURA PEKALONGAN
Pada awal bulan juli tahun 2008 kemarin, saat saya iseng browsing di internet kantor di Tanjungpinang, saya mendapati
informasi tentang lomba Desain Gapura Batas Kota Pekalongan. Tanpa pikir panjang dan mungkin karena saya liat lomba
tersebut di kota Pekalongan, saya langsung mengunduh info tersebut secara lengkap dan meng-sms panitia untuk
konfirmasi pendaftaran. Sekali lagi, saya berfikiran untuk kembali mengasah kemampuan dalam mendesain, dan tentunya
juga ikut membangun kota Pekalongan kota tempat saya dibesarkan (sungguh pemikiran yang sangat mulia waktu itu).
Hahahaa...
Ada syarat khusus yang diminta panitia ,yaitu harus dimasukkannya unsur batik Pekalongan dalam desain dan melibatkan
masyarakat dalam pembuatannya. Waktu demi waktu berlalu, deadline lomba pun sudah di depan mata, belum sempat juga
saya memulai mengerjakan lomba gapura tersebut. Akhirnya, sekali lagi, dan entah kenapa selalu seperti itu, H-4 batas
waktu kumpul saya mulai memikirkan konsep idenya. Mungkin kapan-kapan saya harus belajar tentang manajemen waktu,
dan saya harus mulai dari diri saya sendiri. Singkat kata, saya mulai proses mendesain, saya analisa lokasi (tentunya lewat
googleearth), saya tentukan konsep utamanya, lalu saya aplikasikan konsep tersebut ke dalam desain. Konsep utama yang
saya tonjolkan adalah adanya unsur landmark, lokalitas, dan unsur lansekap yang menjadi dasar perancangan.

Bangunan gerbang masuk kota, menurut saya harus monumental, disamping sebagai pertanda dari kejauhan, juga
memberikan kesan batas kota yang valid. Unsur lokalitas terwujud dalam tiga sub-unsur yang saya masukkan, yaitu
ornamen batik sebagai ciri khas yang melekat pada kota Pekalongan, atap gapura (joglo) yang merupakan ciri arsitektur
tradisional khas jawa tengah, serta unsur islami yang terdapat pada bentuk pintu trotoar gapura. Perlu diingat slogan
Pekalongan disamping Pekalongan kota Batik, kabupaten Pekalongan berslogan Pekalongan Kota Santri. Adanya
sculpture dengan bentuk replika canting memperkuat unsur batik nya. Sculpture tersebut juga berfungsi sebagai struktur
penyangga V dan saluran utilitas air.

Pada unsur lansekap, vegetasi menuju dan setelah gerbang terkonsep dari vegetasi rimbun dan pendek ke vegetasi yang
jangkung untuk memberikan efek visual secara psikis. Unsur air dalam kolam di antara dua tiang gerbang juga memberikan

suasana sejuk dan juga penyaring udara. Median jalan dan atap gapura juga ditanami rumput gajah mini sebagai bagian
dari konsekuensi terhadap global warming. Pada dua tiang gerbang juga terdapat simbol identitas Pemkot Pekalongan dan
Peta wisata Kota Pekalongan sebagai wujud promosi Kota dan Pariwisata Pekalongan. Motif batik jlamprang, pengantin,
dan truntum yang diukir di gapura merupakan sebuah karya artwork yang dikerjakan para pembatik lokal untuk melengkapi
desain dan unsur pelengkap dalam gapura kota Pekalongan. Walaupun desain saya tidak lolos dalam seleksi 10 besar
(kemungkinan besar saya terlambat dalam pengiriman: tanjungpinang jawa = suwe ora jamu), tetapi saya urutkan desain
tersebut dalam karya besar saya. Seperti kata Achmad Noerzaman-Presdir Arkonin, walaupun belum menang, kita harus
tetap PD untuk mempresentasikan karya-karya kita. Hikhikhikhik... Wassalam.

Diposkan oleh arief harry kusuma di 10:52 PM 1 komentar

DESPRO JADUL
Minggu kemarin, ketika saya lembur mengerjakan beberapa interior apartment, dan saya mencari-cari referensi file semasa
kuliah, secara tidak sengaja saya menemukan CD berisi tugas kelompok desain produk waktu kuliah dulu. CD jadul
tersebut ternyata menyimpan dengan baik satu pelajaran tentang awal mula saya mengenal lebih detail tentang furniture.
Judul tugasnya adalah FURNITURE PINTAR PADA BACHELOR APARTMENT yang dikerjakan secara berkelompok pada
tahun 2005. Satu kelompok tersebut beranggotakan Eguh Murthi Pramono, Joko Haryanto, Agus Triwahyono, Anwarudin
Abdul Majid, dan saya sendiri. Ternyata butuh waktu sekitar empat tahun bagi saya untuk dapat mengerti tentang detail
furniture seperti saat sekarang.
Apartemen berasal dari Bahasa Inggris apartment yang berarti rangkaian kamar-kamar yang berhubungan; Apartment, is
a structure containing three or more dweeling units. The apartment, is form of communal living, is a outgrouth of the need to
house more people on limited ground area ( Grower. THE AMERICAN PEOPLE ENCYCLOPEDIA. Gradier Incorporated.
New York. 1962 ). Apartemen adalah suatu struktur bentuk bangunan yang terdiri dari bangunan bertumpuk-tumpuk atau
beberapa inti tempat tinggal. Rumah tinggal apartemen adalah suatu bentuk tempat tinggal bersama yang cocok untuk
keperluan tempat tinggal bagi banyak orang pada suatu daerah yang terbatas tanahnya.
Bachelor berasal dari Bahasa Inggris yang berarti lajang, bujangan, orang yang belum menikah.
Bachelor apartement dapat diartikan tempat tinggal yang berada pada bangunan bertingkat berupa rangkaian kamar-kamar
yang berhubungan (terdiri atas ruang duduk, ruang tidur, kamar mandi, dapur dll), yang dihuni atau digunakan oleh seorang
lajang.
Alternatif memfungsikan sebuah perabot atau furniture dalam apartemen untuk mewadahi beberapa aktivitas bagi para
eksekutif muda menjadi satu, dirasa tepat untuk menghindari perabot yang penuh pada ruang atau tidak dilakukannya
sebuah aktivitas dalam apartemen karena terbatasnya ruang untuk menyimpan perabot. Furniture yang demikian akan lebih
fungsional, praktis, fleksibel dan efisien, dan bisa disebut furniture pintar. Furniture pintar dapat mengelompokkan
beberapa kegiatan. Sebuah ruang dapat menjadi ruang semi private ketika furniture pintar digunakan sebagai meja makan
atau ruang itu dapat menjadi ruang private ketika furniture itu digunakan untuk meja kerja. Jadi akan ada beberapa aktivitas
yang berbeda sifat terakomodasi dalam sebuah satu furniture. Berikut adalah beberapa contoh furniture pintar yang kami
desain waktu itu:

Sebuah furniture pintar pada sebuah bachelor apartement akan memenuhi tuntutan fungsional, fleksibel, praktis dan efisien
serta modern sesuai gaya hidup pemakai. Tuntutan-tuntutan di atas terselesaikan dengan sebuah solusi yang menghasilkan
langgam modern minimalis. Saat ini, ketika saya mendesain sebuah interior apartment, konsep modern minimalis masih
menjadi pilihan utama dalam apartment. Furniture yang simple dan fungsional juga mendominasi isi apartemen untuk
memberikan kesan yang lapang pada ruangannya. Pengguna apartemen kebanyakan lebih memilih kenyamanan yang
fungsional dalam memilih furnitur daripada furnitur yang banyak detail dan corak ornamennya.

Diposkan oleh arief harry kusuma di 1:06 PM 0 komentar

7/13/2009
PRJ KEMAYORAN
Hari minggu kemarin, tanggal 12 Juli 2009, hari terakhir event terbesar dalam rangka Ulang Tahun Kota Jakarta ke-482,
Jakarta Fair Kemayoran atau yang biasa disebut dengan Pekan Raya Jakarta. Entah kenapa namanya pekan raya, padahal
acara tersebut diadakan sebulan penuh dari tanggal 11 Juni 12 Juli 2009. Terlepas dari soal nama, tempat saya bekerja
sekarang juga ikut berpartisipasi dalam event tersebut. Selama sebulan, stock furniture yang perusahaan saya buat
dipamerkan dan dijajakan kepada para pengunjung. Produk yang saya jual meliputi bed set, kitchen set, wardrobe, rak
buku, sofa-sofa, kursi kantor, dining set, rak sepatu, jam antik, dan tidak ketinggalan produk andalan kita waterfall. Saya
sendiri ditugaskan sebagai penjaga stand oleh atasan saya. Menjaga, menerangkan produk, merayu customers agar
membeli produk dari perusahaan saya. Otomatis saya juga disebut sebagai sales atau marketing atau perayu!!!.
Sayang sekali pengetahuan marketing saya sangat minim, kemampuan merayu saya juga O besar, jadi sales juga belum
pernah ada pengalaman. Benar benar harus belajar lagi dari awal, sebuah pelajaran baru lagi buat saya. Bukannya saya
gak mau bercerita apa yang terjadi selama pameran tersebut, tapi disini saya ingin melanjutkan pembelajaran saya menjadi
sales; menjual produk!!! Hahahaha.
Seperti yang saya sebutkan di atas tentang produk yang saya jual. Berikut foto-fotonya :

Produk yang dipamerkan memang kelihatan agak kusam karena hanya dijadikan sample saja. Target sebenarnya adalah
pengolahan interior beserta isinya, sehingga custom furniture adalah salah satu produk yang dipasarkan. Perhatian
terhadap kualitas bahan luar maupun dalam serta service yang sangat memuaskan menjadi dasar dalam pelayanan
terhadap konsumen. Kayu lapis (multipleks) menjadi dominan dalam pembuatan furniturenya, walaupun ada beberapa yang
terbuat dari kayu solid (ex: dining set dari kayu jati). Finishing luar seperti duco, veneer lapis melamic, pelapis sejenis HPL
ataupun cat motif yang rapi dan halus juga menjadi kriteria dalam bersaing di pasaran ditambah harga jual yang juga tidak
kalah bersaing. Memang untuk bersaing harga dengan furniture berbahan MDF akan sangat susah, tapi komitmen dalam
menjaga kualitas desain dan hasil akhir menjadikan nilai plus tersendiri dalam melayani konsumen. Anda tertarik?? Silahkan
hubungi saya di ahadesign@ymail.com .
Untuk mengetahui informasi tentang Pekan Raya Jakarta Jakarta Fair Kemayoran 2009 silahkan klik www.jakartafair.biz/.
Terimakasih.

Diposkan oleh arief harry kusuma di 8:24 PM 0 komentar

MULTIBOW
Ketika saya bekerja sebagai arsitek pemula di sebuah konsultan struktur di tanjungpinang, ada beberapa kompetisi
arsitektur yang saya ikuti. Tujuan saya berpartisipasi dalam ajang kompetisi arsitektur waktu itu adalah karena penatnya
pikiran dalam bekerja dan adanya keinginan untuk menyegarkan pikiran kembali dengan karya arsitektur. Pekerjaan
konstruksi seperti jembatan, jalan, gedung, dermaga beserta isi-isinya (tulangan dsb) berlompatan kesana kemari dalam
otak saya yang sebelumnya juga sudah penuh dengan teori-teori dari bangku perkuliahan. Salah satu kompetisi tersebut
adalah Indocement Architectural Artwork Competition yang disponsori oleh semen tiga roda dan mewajibkan para
pesertanya menggunakan semen merk tersebut untuk bahan utamanya. Tentunya teman-teman juga tahu lebih detail
tentang kompetisi tersebut.
Seperti posting saya sebelumnya, walaupun deadline kompetisi mempunyai waktu yang relatif panjang, saya baru
mengerjakannya seminggu sebelum batas waktu terakhir kumpul, sungguh kurang profesional. Saya sempat-sempatkan
sedikit waktu luang setiap hari untuk mengejar waktu tersebut. Capek memang, kebetulan waktu itu deadline pekerjaan
kantor juga menumpuk, alhasil secara bergantian saya mengerjakan kompetisi dan pekerjaan kantor. Proses yang seperti
itu, secara tidak langsung ternyata mempengaruhi proses saya dalam mendesain kompetisi artwork yang pada saat itu saya
ada pekerjaan shipyard di bagian bawah pulau bintan. Pekerjaan ini diproses menggunakan beton precast sehingga di
lapangan kita hanya menyatukan seperti puzzle yang direkatkan (grouting) dengan cairan sikamen.
Akhirnya, mulailah saya menggali ide, dan diantara ratusan ide itu saya ambil satu ide. Gazebow!!. Yap, saya akan
membuat gazebow multifungsi yang proses pekerjaanya tidak sulit, cepat, fungsional, dan tidak meninggalkan sampah
konstruksi pada saat pengerjaannya. Muncullah nama Multibow (multifunction gazebow) yang seluruh pengerjaannya
menggunakan sistem precast. Saya mengambil contoh lokasi di Tepi laut, Tanjungpinang (tempat saya waktu itu bekerja)
dan di Pantai Slamaran, Pekalongan (tempat tinggal saya ).

Setelah saya menganalisa site berdasar


teori-teori yang saya dapat, saya mulai membuat sketsa tentang proses pembuatan Multibow. Proses desain tersebut
berawal dari konsep arsitektur sampai pada perakitan (assembling) pada rencana site.

Walaupun dalam kompetisi ini saya hanya mendapatkan dua buah mug cantik dan majalah tigaroda, tetapi pengalaman
dan pelajaran yang saya dapatkan lebih besar daripada nominal hadiah yang ditawarkan dalam kompetisi tersebut. Saya
juga secara terkonsep dan sistematis menerapkan unsur green dan tropical arsitektur dalam desain disamping juga
menerapkan pengetahuan precast concrete yang baru saya tahu detailnya saat itu. Sungguh pembelajaran yang sangat
besar bagi saya.

Diposkan oleh arief harry kusuma di 12:30 AM 0 komentar

7/10/2009

SHARE
Para pengembang di negeri tercinta ini tidak perlu mengepigon Makao, atau Hongkong, atau Jepang, atau Amerika Serikat.
Hal penting yang harus dilakukan ialah pengusaha properti berusaha mengetengahkan gagasan-gagasan orisinal untuk
merebut hati pembeli. Gagasan-gagasan tersebut bisa lahir dari para pemain yang berpengalaman, dan yang beritikad
baik menghasilkan karya besar.
Beberapa pemain properti mungkin lupa bahwa dengan berkarya dan bekerja tuntas, akan lahir karya yang membuat publik
dunia tercengang. Ketercengangan itu pada gilirannya akan membuat reputasi mereka melambung, produknya laris manis
di pasar, dan dunia bisnis menyambutnya dengan tangan terbuka.
-dikutip dari kolom kiat bisnis oleh Abun Sanda, Kompas 30 Juni 2009-

Dua alinea paragraf di atas sempat membuat saya merenung sejenak, yang kemudian dari renungan sejenak itu
terangkum bertahun-tahun ke masa lalu sampai saat saya menulis sekarang ini. Sejenak yang menggambarkan peristiwa
yang merujuk keadaan saya seperti saat sekarang ini, belajar memahari apa itu desain interior, setelah melewati waktuwaktu di pulau-pulau seberang yang berbatasan dengan negeri tetangga untuk belajar sedikit mengenai struktur dan pre
cast.
Para pemain yang berpengalaman pada paragraf pertama saya anggap sebagai arsitek. Dalam kolom di kompas tersebut
diterangkan bahwa Tom Wright dari Inggris (salah seorang arsitek terbaik dunia) menunjukkan bagaimana menggambar
gedung opera Sydney yang merebut kekaguman dunia, dan gambar selesai dalam waktu enam setengah detik, dan
dahsyatnya gambar itu amat indah. Tom juga menunjukkan bagaimana menggambar karya besarnya, Burj Al Arab di Dubai
dalam goresan tangan yang tidak lebih dari 10 detik. Goresan dengan rentang waktu yang sama ia hasilkan ketika
menggambar Regatta di Pantai Jakarta. Tom berkata bahwa arsitek perlu lebih rileks dalam menghasilkan karya besar dan
karya besar itu tidak pernah lahir dari pikiran rumit. Ia lahir dari goresan tangan dan pikiran yang rileks.
Kata-kata itulah yang membuat saya menerawang jauh ke masa lalu dimana beberapa karya saya yang menurut saya
adalah karya besar saya- terwujud melalui goresan tangan dan pikiran yang tertekan, stress, frustasi, dan bisa dipastikan
tingkat ke-rileks-an nya berkisar antara 0 sampai 1,76 %. Siapa yang menekan dan membuat saya stress??? Jawabannya
adalah waktu. Ya..waktu yang semakin sempit yang diberikan oleh dosen/klien/owner memapah deadline sedikit demi
sedikit menuju ke hadapan saya. Ketika si deadline waktu tersebut tiba-tiba sudah ada di depan mata, tiba-tiba, dengan
terpaksa, dan anehnya waktu yang dibutuhkan juga sesingkat sketsa Tom Wright, saya terbayangkan beratus-ratus ide
tentang konsep desain yang akan saya buat. Yang selama ini saya cari-cari dan berpikir keras untuk menemukannya.
Tidak jauh berbeda memang waktu yang dibutuhkan untuk membuat karya-karya itu, tapi dasar atau dukungan yang
mendorong untuk melahirkan karya tersebut ternyata berbanding terbalik. Tom Wright dengan rileks dan saya dengan stress
yang amat sangat. Teringat lagi waktu masa-masa kuliah dulu berbagai tugas baik perancangan arsitektur ataupun tugastugas yang lain juga terwujud dalam waktu yang sangat singkat. Kadang tugas dengan deadline waktu sampai enam bulan,
saya kerjakan hanya dalam satu hari. Satu hari itu tenyata juga hari terakhir dalam rentan waktu deadline tersebut. Dipikirpikir ternyata luar biasa juga, walaupun banyak kesalahan disana-sini, revisi dimana-mana, amburadul pokoknya. Tapi
intinya ide desain yang lahir tersebut tertangkap dalam waktu yang relatif singkat.
Teringat beberapa waktu yang lalu ketika saya mengikuti penataran strata IV dan VI IAI Banten, Mr. Syarief R. S. SIA,
associate director DP Architect Singapore, menjelaskan bahwa karya-karya arsitek bangsa ini tidak kalah dengan karya
arsitek dari luar negeri ini. Bahkan jika disejajarkan, beberapa karya arsitek indonesia lebih unggul daripada negeri-negeri
seberang. Kita sebenarnya mampu, kita punya potensi, tinggal bagaimana kita menggalinya, mengambilnya, dan
menunjukkan potensi kita ke ajang pergulatan arsitektur.

Di lain waktu penataran, Achmad Noerzaman, Presiden Direktur PT. Arkonin juga menegaskan bahwa saya, kita, para
arsitek anak bangsa harus lebih percaya diri, harus selalu meningkatkan diri, selalu belajar untuk menjadi yang terbaik.
Butuh proses yang panjang memang untuk sampai ke dalam tahap tersebut, tapi pastinya, dan saya percaya kalau saat
tersebut tiba kepuasan hati dan pikiran menjadikan perjuangan kita selama proses itu akan benar-benar terbayarkan. Adi
Moersid, IAI, owner&principal architect PT Atelier 6, menambahkan bahwa kita sebagai arsitek harus selalu berpikir, proses
mendesain tidak terbatas dari waktu jam 8 pagi sampai jam 5 sore, tetapi berlanjut terus menerus secara kontinyu untuk
menghasilkan sebuah karya yang paling sempurna. Saya sendiri menambahkan jangan lupakan keluarga dan orang
orang terdekat ketika kita sedang dalam proses tersebut.
Saat Adi Moersid, yang juga Ketua Dewan Kehormatan Nasional IAI, memberikan pelajaran kepada saya dan teman-teman
mengenai penyelesaian studi kasus tentang kode etik & tata laku profesi arsitek, saya jadi jauh lebih mengerti tentang jati
diri seorang arsitek. Baru kulit luarnya memang saya memahami apa itu arsitek dan karya arsitektur, tapi permulaan itu
adalah start awal saya untuk memulai proses pembelajaran yang panjang itu. Akhir kalimat, kita sebagai arsitek indonesia,
teruslah berkarya!!!, belajar!!!, dan tetap percaya diri!!!.

http://spideysign.blogspot.com/2009_07_01_archive.html
Arsip untuk Materi Pelajaran
Entri Lama Entri Lebih Baru
2 Juli, 2010
Komponen/Unsur Kelengkapan Peta

Peta merupakan alat bantu dalam menyampaikan suatu informasi keruangan. Berdasarkan
fungsi tersebut maka sebuah peta hendaknya dilengkapi dengan berbagai macam
komponen/unsur kelengkapan yan bertujuan untuk mempermudah pengguna dalam
membaca/menggunakan peta. Beberapa komponen kelengkapan peta yang secara umum
banyak ditemukan pada peta misalnya adalah :

1. Judul Peta

Judul peta merupakan nama suatu daerah yang digambar. Judul mencerminkan isi dan tipe
peta . Penulisan judul peta hendaknya menggunakan huruf cetak tegak, semua menggunakan
huruf besar dan simetris
read more

Posted in Materi Pelajaran | 2 Komentar - komentar


Tag:Peta
30 Juni, 2010
Jenis-jenis Peta

Secara umum peta dibagi atas beberapa klasifikasi, sebagai berikut :


1. Berdasarkan Sumber Datanya
a. Peta Induk (Basic Map)

Peta induk yaitu peta yang dihasilkan dari survei langsung di lapangan. Peta induk ini dapat
digunakan sebagai dasar untuk pembuatan peta topografi, sehingga dapat dikatakan pula
sebagai peta dasar (basic map). Peta dasar inilah yang dijadikan sebagai acuan dalam
pembuatan peta-peta lainnya.

b. Peta Turunan (Derived Map)

Peta turunan yaitu peta yang dibuat berdasarkan pada acuan peta yang sudah ada, sehingga
tidak memerlukan survei langsung ke lapangan. Peta turunan ini tidak bisa digunakan sebagai
peta dasar.
read more

Posted in Info dan Berita, Materi Pelajaran | 5 Komentar - komentar


Tag:Peta
29 Juni, 2010
PERGERAKAN GUNUNG

Dalam sebuah ayat, kita diberitahu bahwa gunung-gunung tidaklah diam sebagaimana yang
tampak, akan tetapi mereka terus-menerus bergerak.
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal dia
berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh

tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al

Quran, 27:88)
Gerakan gunung-gunung ini disebabkan oleh gerakan kerak bumi tempat mereka berada.
Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan magma yang lebih rapat. Pada awal abad
ke-20, untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang ilmuwan Jerman bernama Alfred
Wegener mengemukakan bahwa benua-benua pada permukaan bumi menyatu pada masamasa awal bumi, namun kemudian bergeser ke arah yang berbeda-beda sehingga terpisah
ketika mereka bergerak saling menjauhi.
read more

Posted in Info dan Berita, Materi Pelajaran | 1 Komentar


Tag:Lithosfer, Vulkanisme
22 Juni, 2010
Fungsi dan Tujuan Pembuatan Peta
Fungsi Pembuatan Peta

Peta mempunyai beberapa fungsi di berbagai bidang, antara lain untuk:

menunjukkan posisi atau lokasi relatif (letak suatu tempat dalam


hubungannya dengan tempat lain) di permukaan bumi,

Dengan membaca peta kita dapat mengetahui lokasi relatif suatu wilayah yang kita lihat,
misal :

1. Propinsi Jawa Barat terletak di antara propinsi Jawa Tengah dan propinsi
Banten
2. Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di antara propinsi Nusat
Tenggara Barat (NTB) dan negara Timor Leste
read more

Posted in Materi Pelajaran | 7 Komentar - komentar


Tag:Peta
22 Juni, 2010
Peta

Peta adalah gambaran umum (konvensional) permukaan bumi pada bidang datar yang
diperkecil dengan skala tertentu dan dilengkapi dengan tulisan serta simbol sebagai
keterangan. Oleh karena merupakan gambaran konvensional, maka peta menggambarkan
semua kenampakan yang ada di permukaan bumi, antara lain gunung, danau, sungai, laut, dan
jalan. Namun kenampakan-kenampakan tersebut hanya dilukiskan atau digambarkan dengan
simbol-simbol tertentu yang sesuai.

Media penggambaran permukaan bumi selain pada peta juga sering kita temukan pada bidang
lengkung/bola yang sering disebut dengan globe. Perbedaan yan mendasar antara peta dengan
globe adalah :
http://andimanwno.wordpress.com/category/materi-pelajaran/page/3/

jenis-jenis perangkap minyak bumi

Dalam Sistem Perminyakan, memiliki konsep dasar berupa distribusi hidrokarbon didalam
kerak bumi dari batuan sumber (source rock) ke batuan reservoar. Salah satu elemen dari
Sistem Perminyakan ini adalah adanya batuan reservoar, dalam batuan reservoar ini, terdapat
beberapa faktor penting diantaranya adalah adanya perangkap minyak bumi.
Perangkap minyak bumi sendiri merupakan tempat terkumpulnya minyak bumi yang berupa
perangkap dan mempunyai bentuk konkav ke bawah sehingga minyak dan gas bumi dapat
terjebak di dalamnya.
Perangkap minyak bumi ini sendiri terbagi menjadi Perangkap Stratigrafi, Perangkap
Struktural, Perangkap Kombinasi Stratigrafi-Struktur dan perangkap hidrodinamik.
* Perangkap Stratigrafi
Jenis perangkap stratigrafi dipengaruhi oleh variasi perlapisan secara vertikal dan lateral,
perubahan facies batuan dan ketidakselarasan dan variasi lateral dalam litologi pada suatu
lapisan reservoar dalam perpindahan minyak bumi. Prinsip dalam perangkap stratigrafi
adalah minyak dan gas bumi terperangkap dalam perjalanan ke atas kemudian terhalang dari
segala arah terutama dari bagian atas dan pinggir, hal ini dikarenakan batuan reservoar telah
menghilang atau berubah fasies menjadi batu lain sehingga merupakan penghalang
permeabilitas (Koesoemadinata, 1980, dengan modifikasinya). Dan jebakan stratigrafi tidak
berasosiasi dengan ketidakselarasan seperti Channels, Barrier Bar, dan Reef, namun
berasosiasi dengan ketidakselarasan seperti Onlap Pinchouts, dan Truncations.
Pada perangkap stratigrafi ini, berasal dari lapisan reservoar tersebut, atau ketika terjadi
perubahan permeabilitas pada lapisan reservoar itu sendiri. Pada salah satu tipe jebakan
stratigrafi, pada horizontal, lapisan impermeabel memotong lapisan yang bengkok pada
batuan yang memiliki kandungan minyak. Terkadang terpotong pada lapisan yang tidak dapat
ditembus, atau Pinches, pada formasi yang memiliki kandungan minyak. Pada perangkap
stratigrafi yang lain berupa Lens-shaped. Pada perangkap ini, lapisan yang tidak dapat
ditembus ini mengelilingi batuan yang memiliki kandungan hidrokarbon. Pada tipe yang lain,

terjadi perubahan permeabilitas dan porositas pada reservoar itu sendiri. Pada reservoar yang
telah mencapai puncaknya yang tidak sarang dan impermeabel, yang dimana pada bagian
bawahnya sarang dan permeabel serta terdapat hidrokarbon.
Pada bagian yang lain menerangkan bahwa minyak bumi terperangkap pada reservoar itu
sendiri yang Cut Off up-dip, dan mencegah migrasi lanjutan, sehingga tidak adanya pengatur
struktur yang dibutuhkan. Variasi ukuran dan bentuk perangkap yang demikian mahabesar,
untuk memperpanjang pantulan lingkungan pembatas pada batuan reservoar terendapkan.

* Perangkap Struktural
Jenis perangkap selanjutnya adalah perangkap struktural, perangkap ini Jebakan tipe
struktural ini banyak dipengaruhi oleh kejadian deformasi perlapisan dengan terbentuknya
struktur lipatan dan patahan yang merupakan respon dari kejadian tektonik dan merupakan
perangkap yang paling asli dan perangkap yang paling penting, pada bagian ini berbagai
unsur perangkap yang membentuk lapisan penyekat dan lapisan reservoar sehingga dapat
menangkap minyak, disebabkan oleh gejala tektonik atau struktur seperti pelipatan dan
patahan (Koesoemadinata, 1980, dengan modifikasinya).
* Jebakan Patahan
Jebakan patahan merupakan patahan yang terhenti pada lapisan batuan. Jebakan ini terjadi
bersama dalam sebuah formasi dalam bagian patahan yang bergerak, kemudian gerakan pada
formasi ini berhenti dan pada saat yang bersamaan minyak bumi mengalami migrasi dan
terjebak pada daerah patahan tersebut, lalu sering kali pada formasi yang impermeabel yang
pada satu sisinya berhadapan dengan pergerakan patahan yang bersifat sarang dan formasi
yang permeabel pada sisi yang lain. Kemudian, minyak bumi bermigrasi pada formasi yang
sarang dan permeabel. Minyak dan gas disini sudah terperangkap karena lapisan tidak dapat
ditembus pada daerah jebakan patahan ini.
* Jebakan Antiklin
Kemudian, pada jebakan struktural selanjutnya, yaitu jebakan antiklin, jebakan yang
antiklinnya melipat ke atas pada lapisan batuan, yang memiliki bentuk menyerupai kubah
pada bangunan. Minyak dan gas bumi bermigrasi pada lipatan yang sarang dan pada lapisan
yang permeabel, serta naik pada puncak lipatan. Disini, minyak dan gas sudah terjebak
karena lapisan yang diatasnya merupakan batuan impermeabel.
* Jebakan Struktural lainnya
Contoh dari perangkap struktur yang lain adalah Tilted fault blocks in an extensional regime,
marupakan jebakan yang bearasal dari Seal yang berada diatas Mudstone dan memotong
patahan yang sejajar Mudstone. Kemudian, Rollover anticline on thrust, adalah jebakan yang
minyak bumi berada pada Hanging Wall dan Footwall. Lalu, Seal yang posisinya lateral pada
diapir dan menutup rapat jebakan yang berada diatasnya.
* Perangkap Kombinasi

Kemudian perangkap yang selanjutnya adalah perangkap kombinasi antara struktural dan
stratigrafi. Dimana pada perangkap jenis ini merupakan faktor bersama dalam membatasi
bergeraknya atau menjebak minyak bumi. Dan, pada jenis perangkap ini, terdapat leboh dari
satu jenis perangkap yang membenuk reservoar. Sebagai contohnya antiklin patahan,
terbentuk ketika patahan memotong tegak lurus pada antiklin. Dan, pada perangkap ini kedua
perangkapnya tidak saling mengendalikan perangkap itu sendiri.
* Perangkap Hidrodinamik
Kemudian perangkap yang terakhir adalah perangkap hidrodinamik. Perangkap ini sangta
jarang karena dipengaruhi oleh pergerakan air. Pergerakan air ini yang mampu merubah
ukuran pada akumulasi minyak bumi atau dimana jebakan minyak bumi yang pada lokasi
tersebut dapat menyebabkan perpindahan. Kemudian perangkap ini digambarkan pergerakan
air yang biasanya dari iar hujan, masuk kedalam reservoar formasi, dan minyak bumi
bermigrasi ke reservoar dan bertemu untuk migrasi ke atas menuju permukaan melalui
permukaan air. Kemudian tergantung pada keseimbangan berat jenis minyak, dan dapat
menemukan sendiri, dan tidak dapat bergerak ke reservoar permukaan karena tidak ada
jebakan minyak yang konvensional
Diposkan oleh migasnet04_indria8038 di 07.57
Label: akademis, migas
http://migasnet04-indria8038.blogspot.com/2010/01/jenis-jenis-perangkapminyak-bumi.html

KONSEPSI DAN STRUKTUR PEMUKIMAN


DI SITUS BATU PUTIH, GUNUNG TERANG,
TULANG BAWANG, LAMPUNG
Nanang Saptono

PENDAHULUAN
Situs Batu Putih merupakan salah satu situs di kawasan Tulangbawang yang berada di
aliran Way Kanan. Penelitian di situs Batu Putih pertama kali dilakukan Balai Arkeologi
Bandung pada tahun 2000. Pada penelitian itu diperoleh keterangan bahwa situs Batu Putih
merupakan lokasi Kampung Gunung Terang lama. Kondisi situs pada waktu itu banyak
ditumbuhi rumput-rumputan hingga tingginya sekitar 2 m. Pada tepi sebelah selatan Way
Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah
barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin tinggi.

Pada bagian barat daya, di puncak tanggul alam, terdapat makam Minak Pangeran Buay
Sugih. Keadaan makam tanpa jirat dan sebelumnya juga tanpa nisan. Nisan yang ada
sekarang merupakan nisan baru. Makam dilengkapi cungkup dari bahan bilik bambu. Di
sekitar makam Minak Pangeran Buay Sugih, terutama di sebelah selatannya terdapat
beberapa makam yang merupakan makam masyarakat. Indikator bekas pemukiman yang
terdapat di situs Batu Putih berupa sebaran fragmen artefak (Saptono, 2000: 20). Dilihat dari
temuan arkeologis dan data historis yang ada, masyarakat pendukung situs Batu Putih
berasal dari kurun waktu setelah abad ke-16.

Pada tahun 2004 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di Kampung Gunung
Terang. Salah satu keterangan tradisi lisan yang didapatkan dalam penelitian itu yaitu
mengenai proses perpindahan masyarakat Kampung Gunung Terang. Sumber ini memang
kurang valid, namun hingga sekarang sumber sejarah Gunung Terang yang validitasnya
tinggi belum ditemukan. Dalam tradisi lisan tersebut diceritakan bahwa masyarakat Gunung
Terang sebelum bermukim di Way Kanan, Tulangbawang, mula-mula bermukim di Way
Besai, Sekala Berak, kemudian pindah ke Batu Putih, Way Kanan. Ketika itu di seberang
sungai sebelah hilir terdapat perkampungan orang Melayu, karena lokasi Batu Putih dinilai
tidak tepat lalu mengekspansi kampung Melayu dan pemukiman pindah ke Kampung
Melayu. Sejak itu Batu Putih ditinggalkan (Saptono, 2004: 44).

Tradisi lisan ini menggambarkan bahwa permukiman di Batu Putih bersifat sementara dan
tidak berlangsung lama. Alasan perpindahan ke Gunung Terang karena Batu Putih dinilai
tidak tepat. Sementara itu bila dilihat dari fakta arkeologis yang terdapat di situs Batu Putih,
misalnya berupa ragam fragmen keramik asing dan fetur makam Minak Pangeran Buay
Sugih, tergambar bahwa permukiman berlangsung dalam kurun waktu lama dalam arti
sudah berada pada fase menetap.

Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2005 Balai Arkeologi Bandung mengadakan
penelitian di situs Batu Putih. Penelitian itu untuk mengungkap permasalahan menyangkut
pola pemukiman di Batu Putih. Permasalahan ini dikaitkan dengan penilaian pada tradisi
lisan masyarakat bahwa Batu Putih tidak tepat untuk pemukiman. Pada beberapa kasus,
penilaian tidak tepat ini dapat dilihat dari aspek konsepsi dapat juga dari aspek sumber daya
alam yang kurang memadai. Permasalahan lainnya berkaitan dengan kurun waktu
permukiman. Gambaran permukiman di Batu Putih secara sementara menurut tradisi lisan
kurang didukung fakta arkeologis. Gambaran sementara inilah yang perlu mendapat
penjelasan baik dari sisi historis maupun arkeologis.

Pengungkapan permasalahan di atas, bertujuan pada paradigma rekonstruksi kehidupan


manusia masa lampau dan penyusunan sejarah budaya (Binford, 1972: 80 - 81). Pada
kasus situs Batu Putih, rekonstruksi kehidupan dan penyusunan sejarah budaya dibatasi
pada masalah permukiman yaitu dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai struktur
dan pola pemukiman. Berdasarkan struktur dan pola pemukiman tersebut, diharapkan dapat
diketahui konsepsi tentang pemukiman yang berlaku pada masyarakat Gunung Terang
khususnya, serta strategi adaptasi lingkungan. Tujuan berikutnya adalah mendapatkan
gambaran kurun waktu permukiman di Batu Putih. Berdasarkan dua hal tersebut akan
dijawab permasalahan sekitar permukiman di Batu Putih dan perpindahannya ke Gunung
Terang.

Dalam kaitannya dengan tingkat permukiman, permasalahan situs Batu Putih menyangkut
pemukiman pada jenjang semimikro. Pemukiman pada tingkat ini dipengaruhi beberapa
faktor antara lain: lingkungan dan teknologi mata pencaharian, organisasi keluarga dan
kekerabatan, kelompok kelas, agama dan etnik, spesialisasi, nilai dan orientasi, serta
kosmologi (Mundardjito, 1990: 21 26).

DATA ARKEOLOGI SITUS BATU PUTIH


Proses Pengumpulan
Pengumpulan data di situs Batu Putih dilakukan dengan teknik survei permukaan dan
ekskavasi disertai wawancara dengan masyarakat. Di areal situs dilakukan ekskavasi.
Survey lokasi objek penelitian, khususnya terhadap lingkungan, dilakukan dengan

menggunakan bantuan peta topografi. Peta topografi yang dipergunakan yaitu peta topografi
lembar 30 daerah Gedongratu, skala 1 : 100.000, edisi 1942 yang diterbitkan oleh Djawatan
Geologi Bandung. Di setiap objek dilakukan plotting lokasi dengan menggunakan GPS dan
peta topografi. Ekskavasi dilakukan sebanyak lima kotak gali masing-masing berukuran 1 x
1 m. Kotak gali tersebut diberi kode Kotak LU I hingga LU V. Ekskavasi dilakukan dengan
teknik spit berinterval 10 cm.

Data non artefaktual yang bersifat etnohistori didapatkan melalui wawancara dengan
beberapa informan yang mengetahui seluk-beluk situs. Selain itu juga didapatkan dari
berbagai sumber pustaka. Pengumpulan data etnohistori dilakukan bersamaan dengan
pengumpulan data arkeologis. Hal ini dimaksudkan agar hubungan antara data arkeologis
dengan data etnohistoris jelas terlihat.

Survei
Kawasan Batu Putih secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang,
Kecamatan Gunung Terang. Menurut cerita sejarah yang disampaikan Bapak Thoyib,
keramat Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio Terbumi yang
dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di Gunung Terang, Minak Serio
Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, dan Minak
Kemala yang makamnya ada di Negeri Batin.

Moyang-moyang yang tinggal di perkampungan Batu Putih pada suatu saat merasa perlu
untuk memperluas wilayah. Perluasan ditujukan ke Kampung Melayu yang terdapat di
seberang sungai. Moyang-moyang Batu Putih kemudian membangun perkampungan di
dekat Kampung Melayu yang sekarang menjadi Kampung Gunung Terang. Keramat Batu
Putih kemudian ditinggalkan.

Menurut keterangan Bapak Alwi Syahbana Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat
Kampung Gunung Terang yang didasarkan pada cerita orang-orang tua dahulu,
perkampungan di Batu Putih tidak sebagaimana lazimnya kampung orang Lampung.
Kampung di Batu Putih berjajar memotong sungai tidak mengikuti aliran sungai. Sehingga
dinilai tidak baik untuk pemukiman. Oleh karena itulah maka pindah ke Gunung Terang
sekarang.

Kawasan Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan, pada posisi 042450,9 LS dan
1050357 BT. Geografis kawasan Batu Putih merupakan pedataran bergelombang dengan
bukit-bukit kecil berada di sebelah selatan. Salah satu bukit kecil tersebut bernama Gunung
Kerikil. Di kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan.
Sungai-sungai tersebut adalah Way Kermeting yang mengalir di bagian paling hulu (barat).
Ke arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat aliran sungai kecil

yang dinamakan Kali Gendi. Situs Batu Putih berada di antara Way Mejelapai dan Kali
Gendi.

Pengamatan pada situs Batu Putih mendapatkan gambaran bahwa luas situs sekitar 250 X
300 m. Situs diapit dua cekungan yang disebut dengan istilah kandungan. Di sebelah hulu
bernama Kandungan Potat dan di sebelah hilir bernama Kandungan Semidi. Pada tepi
sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi
Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut
semakin meninggi.

Pada kawasan situs terdapat beberapa fakta arkeologis yaitu fetur makam, tumulus, dan
sebaran artefak. Pada bagian barat laut situs, pada tanggul alam, terdapat beberapa makam
dengan tokoh utama Minak Buay Sugih. Di sekitar makam ini dijumpai pula beberapa
makam.

Fetur tumulus ada dua, pertama terletak di sebelah timur makam berjarak sekitar 50 m.
Tumulus ini berdiameter sekitar 3 m dengan tinggi sekitar 1,5 m. Tumulus kedua terdapat di
sebelah timur tumulus pertama berjarak sekitar 150 m. Tumulus ini lebih kecil bila
dibandingkan dengan tumulus pertama. Pada bagian tengah lahan terdapat kawasan
genangan banjir (flood plain/back swamp). Sebaran artefak ditemukan di tepian back
swamp sebelah timur, memanjang dari utara ke selatan.

Situasi Situs Batu Putih

Bapak Thoyib yang menghuni Batu Putih, sejak sekitar tahun 1977 telah menemukan
beberapa benda yang dianggap aneh. Benda-benda tersebut adalah pecahan keramik
menggambarkan kepala manusia berwarna kehijauan berukuran panjang 3,5 cm lebar 3 cm
dan tebal 2 cm, beberapa batuan seperti kalsedon, nodule, dan andesit, fosil moluska,
manik bahan perunggu, dua beliung persegi dari batuan kalsedon. Beliung pertama
berwarna merah kecoklatan berukuran panjang 8 cm, lebar bagian pangkal 3 cm, lebar
bagian ujung 4 cm, tebal 3 cm. Beliung kedua berwarna putih dan coklat kekuningan
berukuran panjang 6,5 cm, lebar bagian pangkal 2,7 cm, lebar bagian ujung 3,8 cm, dan
tebal 1,3 cm

Ekskavasi
Kotak LU I
Kotak LU I berada di bagian timur laut situs. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung
rata, bagian sisi barat lebih rendah daripada sisi utara. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi
semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan
kotak tidak ditemukan artefak. Ekskavasi di kotak ini dilakukan hingga kedalaman 45 cm.

Kondisi tanah terdiri dua lapisan. Lapisan pertama berupa humus bercampur pasir berwarna
hitam. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 15 hingga 20 cm. Lapisan tanah selanjutnya
berupa tanah liat berwarna kekuningan yang dijumpai hingga akhir ekskavasi. Artefak
sangat jarang ditemukan. Sedikit fragmen keramik asing ditemukan pada lapisan tanah
humus.

Kotak LU II
Kotak gali kedua berada di sebelah selatan kotak LU I berjarak sekitar 83 m. Sebagaimana
kotak LU I, Kotak LU II juga merupakan lahan yang banyak ditumbuhi semak dan ilalang.
Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi
selatan. Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah terdiri tiga lapis.
Lapisan pertama berupa tanah humus berpasir berwarna kehitaman gembur, tekstur halus
sampai kasar. Kondisi tanah seperti ini setebal sekitar 20 cm. Di bawah lapisan tanah ini
merupakan tanah berpasir berwarna kecoklatan, tekstur halus sampai kasar agak padat
dengan ketebalan sekitar 10 cm. Lapisan tanah selanjutnya berupa lempung pasiran
berwarna putih. Tekstur halus sampai sedang dalam kondisi padat. Pada beberapa bagian
terselingi tanah liat berwarna kemerahan. Ekskavasi di kotak ini tidak ditemukan data berupa
artefak maupun non artefak.

Kotak LU III
Di sebelah barat kotak LU II berjarak sekitar 15 m, dibuka kotak LU III. Permukaan tanah
pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi selatan kotak lebih rendah dari sisi utara.
Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah
berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terdapat artefak berupa pecahan keramik,
tembikar, dan bata.
Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Lapisan tanah pertama berupa humus
berpasir berwarna kehitaman dengan tekstur halus sampai kasar. Lapisan tanah seperti ini
ketebalannya sekitar 10 cm. Pada lapisan ini terdapat artefak berupa fragmen keramik dan
bata.

Di bawah lapisan humus terdapat lapisan tanah berwarna coklat kekuningan bertekstur
halus sampai kasar. Kondisi tanah seperti ini hingga kedalaman 40 cm. Benda arkeologis
yang ditemukan berupa pecahan keramik berada pada kedalaman 20 cm hingga 30 cm.

Kotak LU IV
Di sebelah barat agak ke utara kotak LU III berjarak sekitar 20 m digali kotak LU IV.
Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi barat kotak gali lebih rendah

dari sisi timur. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan
terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terlihat banyak artefak berupa
pecahan keramik. Artefak tersebut terkonsentrasi di sisi utara kotak gali.
Ekskavasi pada kotak ini juga dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Sebagaimana pada kotak
gali yang lain, pada kotak gali ini lapisan tanah juga terdiri dari dua lapis. Lapisan tanah
bagaian atas merupakan humus berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai kasar.
Lapisan tanah humus pada kotak ini dijumpai hingga kedalaman 20 cm. Pada lapisan tanah
ini banyak ditemukan fragmen keramik dan tembikar.

Konsentrasi temuan artefak pada Kotak LU IV Spit 1

Ekskavasi pada kedalaman antara 20 cm hingga 30 cm, tanah humus berwarna hitam
berseling dengan tanah berwarna putih kecoklatan mengandung kerikil. Tekstur tanah
sedang sampai kasar. Benda arkeologis berupa pecahan keramik masih mendominasi di
samping fragmen logam, tembikar, dan limbah produksi manik. Pada akhir kedalaman 30
cm keadaan tanah mulai berubah berwarna kemerahan.

Ekskavasi hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berupa lempung berwarna coklat
kemerahan sedikit padat. Tekstur halus sampai kasar. Pada kedalaman spit ini tidak ada
temuan berupa artefak maupun non artefak.

Kotak LU V
Kotak gali LU V berada di sebelah barat daya kotak LU IV berjarak sekitar 15 m. Lahan ini
banyak ditumbuhi tanaman keras. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian
sisi barat kotak gali lebih rendah dari sisi timur. Keadaan permukaan kotak tertutup sampah
daun kering. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak
terlihat adanya jejak aktivitas masyarakat memasang jerat.

Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Ekskavasi hingga mencapai kedalaman 20


cm, kondisi tanah berupa humus berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai kasar.
Pada lapisan ini ditemukan sampah moderen seperti paku, arang, dan pecahan bata.
Artefak yang ditemukan berupa pecahan keramik dan tembikar.

Ekskavasi pada kedalaman antara 20 cm hingga 30 cm, keadaan tanah humus sedikit
mengalami perubahan warna yaitu hitam kecoklatan mengandung kerikil. Tekstur tanah
sedang sampai kasar. Pada lapisan ini dijumpai pecahan keramik dan tembikar dalam
jumlah sedikit.

Selanjutnya, pada kedalaman hingga 40 cm, keadaan tanah berupa lempung berwarna
coklat kekuningan sedikit padat. Tekstur halus sampai kasar. Pada kedalaman lapisan ini
tidak ada temuan berupa artefak maupun non artefak.

PERMUKIMAN DI SITUS BATU PUTIH


Pemukiman berkembang dari yang sangat sederhana hingga ke bentuk yang sangat
kompleks. Mula-mula, pada masyarakat yang sudah menetap bentuk tempat tinggalnya
berupa desa-desa kecil dengan beberapa tempat tinggal yang dibangun secara tidak
beraturan. Perkembangan selanjutnya, ketika jumlah populasi bertambah, tempat tinggal
dibangun di atas tiang dengan ukuran lebih besar. Perubahan ini sejalan dengan
perkembangan masyarakat yang mulai mengenal pengelompokkan dan sistem komunal
(Soejono, 1990: 197). Perubahan pola pemukiman yang sejalan dengan sistem sosial ini
menurut V. Gordon Childe berlangsung pada masa paleolitik hingga neolitik. Transformasi
yang terjadi tersebut bersifat evolutif dan progresif. Masyarakat pemburu-peramu yang
nomadik dalam masa paleolitik berkembang pesat menjadi masyarakat hortikultularis yang
menetap pada masa neolitik (Kaplan dan Manners, 2002: 59). Masyarakat Lampung pada
umumnya pada awalnya menempati pemukiman yang berada di tepi sungai atau dekat
sungai. Tempat tinggal pada pemukiman tersebut dibangun secara mengelompok rapat dan
hampir-hampir tidak ada halaman. Pola semacam ini disebabkan semua kegiatan orang
Lampung berada di ladang. Kampung merupakan tempat istirahat dan berkumpul para
anggota kerabat untuk upacara adat, dan sebagainya (Hadikusuma, 1977/1978: 17).
Dengan demikian secara umum pola pemukiman masyarakat lampung adalah over

bounded city, yaitu suatu pemukiman yang wilayah teritorialnya lebih luas dari wilayah
perkampungan (Yunus, 2000: 113). Dengan pola semacam ini kampung sebagai
pemukiman masyarakat Lampung akan relatif kecil.

Pola pemukiman di situs Batu Putih dapat dilacak berdasarkan sebaran tinggalan yang ada.
Hasil survei dan ekskavasi menunjukkan bahwa tinggalan arkeologi di situs Batu Putih
sangat beragam baik berupa artefak maupun non artefak. Secara fisik, pemukiman di Batu
Putih berada di antara Kandungan Potat dan Kandungan Semedi. Sisi utara merupakan
aliran sungai utama yaitu Way Kanan. Berdasarkan tinggalan yang ada, kawasan
pemukiman Batu Putih terbagi dalam dua zona yaitu zona sakral dan zona profan. Zona
sakral ditandai dengan makam keramat dan tumulus. Zona ini berada di bagian utara
pemukiman.

Makam keramat yang terdapat di Batu Putih dengan tokoh yang dikeramatkan Minak Buay
Sugih menggambarkan mengandung makna tertentu. Minak Buay Sugih merupakan salah
satu dari lima moyang masyarakat Gunung Terang. Pengkeramatan makam merupakan
salah satu permanensi etnografis dalam penghormatan leluhur. Dalam beberapa tradisi,
kematian tidak diakui. Mati sebagai salah satu rangkaian proses biologis yang menimpa
makhluk hidup, disamarkan dengan istilah kembali ke alam dewa, hilang, sirna dan
sebagainya. Makam tidak diartikan sebagai kubur tetapi merupakan tempat bersemayam
astana atau tempat ketenangan (Ambary, 1998: 42). Tokoh yang bersemayam di makam
dirasakan masih berada di lingkungan kerabat dan generasi penerusnya. Penempatan
makam Minak Buay Sugih pada puncak tanggul alam juga menyiratkan suatu tradisi
pemujaan kepada arwah leluhur sebagaimana nekropolis raja-raja Mataram di Imogiri dan
raja-raja Cirebon di komplek makam Gunung Jati di Gunung Sembung (Ambary, 1998: 43).

Dua tumulus yang terdapat di ujung barat dan timur situs menggambarkan adanya konsepsi
tentang gunung suci. Pada beberapa kampung di sekitar Batu Putih terdapat juga tradisi
yang berkaitan dengan konsepsi gunung suci. Di kampung Gunung Katon terdapat Gunung
Nuri. Kampung Gunung Terang meniliki Gunung Srigandaw sebagai gunung suci. Tumulus
dapat merupakan replika dari gunung suci. Quaritch Wales dalam kajiannya menarik suatu
simpulan tentang kaitan konsep gunung suci (Mahameru) dengan kekuatan dan kesuburan
(Quaritch Wales, 1953: 88). Keberadaan dua tumulus di Batu Putih memberikan suatu
gambaran bahwa lokasi tersebut dijaga dua kekuatan yang juga memberikan kesuburan.

Berdasarkan temuan hasil survei dan ekskavasi, zona profan terlihat berada di sisi timur
pedataran limpah banjir (back swam). Pemukiman di Batu Putih berpola memanjang
mengikuti tepian sebelah timur pedataran limpah banjir. Pola demikian terlihat ada usaha
dalam konservasi lahan sumber daya (Yunus, 2000: 113). Lahan sumber daya berupa
pedataran limpah banjir dapat difungsikan sebagai rawa atau kolam untuk menjebak ikan
yang disebut lebung. Pada musim hujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan
terisi air dan ikan akan memasuki lebung. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai

besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung
dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung
masih berlanjut dikelola secara tradisional (Djausal, 1996: 3). Pada beberapa kasus
misalnya pada suku Indian Kwakiutl dan Nootka, mereka merupakan masyarakat pemburu
dan peramu yang handal. Hal ini karena mereka tinggal di lingkungan alami yang kaya
sehingga mereka mampu mencapai suatu taraf kecanggihan yang tidak ada bandingnya di
kalangan masyarakat pemburu dan peramu lain. Beberapa antropolog berpendapat bahwa
suku-suku Indian yang tinggal di kawasan Pasifik ini tidak tepat disebut pemburu dan
peramu tetapi lebih mengena disebut petani ikan (Kaplan dan Manners, 2002: 105).
Dengan mendasarkan pada kasus ini, masyarakat Batu Putih mungkin juga bisa dikatakan
sebagai masyarakat petani ikan yang berkembang karena dukungan sumberdaya alam.

Dengan memperhatikan keberadaan masyarakat Melayu yang menghuni di wilayah


seberang sungai dan tradisi lisan tentang moyang masyarakat Batu Putih, tergambar bahwa
masyarakat Batu Putih merupakan suatu struktur sosial yang merupakan organisasi
keturunan segmentaris (segmentary lineage organization). Masyarakat ini bertempat tinggal
pada pemukiman setingkat semacam pedukuhan yang dihuni oleh rumpun keturunan
minimal. Masyarakat semacam ini sering melakukan perpindahan wilayah, dan secara
konsisten memperluas wilayahnya. Perpindahan dan perluasan ini di antaranya didasari
oleh sumberdaya alam (Kaplan dan Manners, 2002: 109). Dengan demikian alasan
perpindahan masyarakat dari Batu Putih ke Gunung Terang yang dapat dikatakan
menginvasi masyarakat Melayu cenderung berkaitan dengan masalah sumberdaya alam
penunjang kehidupan.

Ekskavasi yang dilakukan pada lima kotak gali, kotak LU IV menunjukkan tingkat hunian
yang sangat tinggi. Temuan berupa fragmen keramik, tembikar, dan limbah industri manik
kaca. Selanjutnya ekskavasi pada kotak LU V menunjukkan adanya aktifitas spesifik.
Temuan berupa fragmen tembikar dari tipe tempayan, menunjukkan aktivitas yang
berhubungan dengan kegiatan di dapur. Dengan demikian lokasi ini merupakan bagian
belakang pemukiman. Artefak berupa fragmen keramik kebanyakan berasal dari Cina masa
dinasti Song (abad ke-10 13), Yuan (abad ke-13 14), Ming (abad ke-14 17), dan Qing
(abad ke-17 20). Selain itu juga terdapat keramik Thailand periode Shukothai (abad ke-13
14), Annam (abad ke-15), Jepang (abad ke-20), dan Eropa (abad ke-19 20).

SIMPULAN
Situs Batu Putih di Kampung Gunung Terang merupakan satu situs bekas kampung yang
memiliki konsep dan pola spesifik yaitu menyangkut pembagian ruang secara tegas antara
zona sakral dan zona profan. Zona sakral menempati kawasan punggung tanggul alam
sejajar sungai utama. Sedangkan zona profan menempati tepian kawasan genangan banjir
(flood plain/back swamp).

Pola pemukiman tidak sebagaimana umumnya pemukiman di Lampung yaitu sejajar dengan
sungai utama, tetapi secara tegak lurus dengan sungai utama. Orientasi pemukiman terlihat
tidak pada sungai utama tetapi pada tepian pedataran limpah banjir. Berdasarkan data hasil
survei dan ekskavasi terlihat bahwa pemukiman di Batu Putih berlangsung dalam waktu
lama. Faktor utama penyebab pindahnya ke Kampung Gunung Terang karena mulai
berkurangnya sumberdaya alam yang bisa dieksploitasi.

Catatan:
In memoriam Drs. W. Anwar Falah, Kamis 19 Oktober 2006. Beliau pernah bertugas sebagai peneliti
di Balai Arkeologi Bandung yang merintis penelitian arkeologi daerah Lampung.

DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif
1998 Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Binford, Lewis R
1972 An Archaeological Perspectives. New York: Seminar Press.

Djausal Anshori
1996 Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat
II Tulangbawang. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat
Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 30 Maret 1996. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang
(belum diterbitkan).
Hadikusuma, Hilman et al.
1977/1978 Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kaplan, David dan Robert A. Manners
2002 Teori Budaya. Penerjemah Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mundardjito
1990 Metode Penelitian Permukiman Arkeologi. Dalam Monumen Karya Persembahan
Untuk Prof. Dr. R. Soekmono, Lembaran Sastra, Seri Penerbitan Ilmiah No. 11. Edisi
Khusus. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Depok. Hlm. 19 30.
Quaritch Wales, H.G.
1953 The Mountain of God: A Study In Early Religion and Kingship. London: Bernard
Quaritch, Ltd.
Saptono, Nanang

2000 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Pemukiman Masa Islam Daerah Tulangbawang,
Propinsi Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
2004 Struktur Kota Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris
Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi. Bandung: Ikatan
Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 42 54.
Soejono, RP (ed.)
1990 Jaman Prasejarah di Indonesia. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Yunus, Hadi Sabari
2000 Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://arkeologilampung.blogspot.com/2009/02/menelusuri-perkampungan-kunadi-way.html

KAJIAN EROSI DAN SEDIMENTASI DI DAS GARANG


Dipublikasikan : Prosiding Kolokium Pusair, 22-23 April 2009
Segel Ginting
Balai Hidrologi dan Tata Air, Pusat Litbang Sumber Daya Air
hendrycus2000@yahoo.com

Abstrak
DAS Garang memiliki peranan yang cukup penting dan strategis karena melewati Kota Semarang sebagai kota besar
yang memiliki aktivitas bisnis yang cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kesinambungan fungsi tersebut,
salah satunya diperlukan sistem pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan sinergi. Sementara itu, apabila
dalam praktek pengelolaan DAS dan penerapan tata guna lahan yang tidak dilakukan secara terpadu dan tidak
terencana dengan baik, maka dapat mempengaruhi proses terjadinya erosi dan sedimentasi. Erosi dapat
mempengaruhi produktivitas lahan yang biasanya mendominasi DAS bagian hulu dan dapat memberikan dampak
negatif pada DAS bagian hilir (sekitar muara sungai) yang berupa hasil sedimen. Hasil kajian erosi di DAS Garang
dengan menggunakan USLE dan SIG diperoleh hasil bahwa secara umum erosi lahan di lokasi masih dalam kodisi
yang sangat rendah, hal ini dilihat dari sekitar 104,46 km2 (55 %) dari luas lokasi kajian sebesar 191,530 km2 masih
dalam kondisi erosi yang sangat rendah. Sekitar 41,41 km2 (22 %) masih dalam kondisi rendah, 28,33 km2 (15 %)
masih dalam kondisi sedang, 10,96 km2 (6 %) dalam kondisi tinggi, dan hanya 6,37 km2 (3 %) dalam kondisi yang
sangat tinggi. Total erosi yang terjadi di seluruh lokasi studi sekitar 1,25 juta ton/tahun atau 65,42 ton/ha/thn dengal
tebal erosi sekitar 5,45 mm/thn. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan di DAS Garang, diperoleh hasil laju
sedimentasi Sungai Garang - Patemon sekitar 12.896 ton/tahun atau 1,80 ton/ha/tahun dengan tebal sedimen sekitar
0,180 mm/tahun. Sedangkan laju sedimentasi yang terjadi di Sungai Kreo - Kalipancur diperoleh sekitar 27.335

ton/tahun atau 4,08 ton/ha/tahun dengan tebal sedimentasi sekitar 0,340 mm/tahun. Sungai Garang - Pajangan
diperoleh hasil laju sedimentasi 327.627 ton/tahun atau sekitar 17,08 ton/ha/tahun dengan tebal lahan yang
mengalami pengikisan sekitar 1,425 mm/tahun.

Kata kunci : Erosi, Sedimentasi, DAS Garang, SIG, DEM

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang secara administratif terletak di Kabupaten Semarang
dan Kodya Semarang serta sebagian kecil masuk dalam wilayah Kabupaten Kendal. DAS
Garang memiliki peranan yang cukup penting dan strategis karena melewati Kota Semarang
sebagai kota besar yang memiliki aktivitas bisnis yang cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan kesinambungan fungsi tersebut, salah satunya diperlukan sistem pengelolaan
sumber daya air yang terpadu dan sinergi. Sementara itu, apabila dalam prakteknya
pengelolaan DAS dan penerapan tata guna lahan yang tidak dilakukan secara terpadu dan
tidak terencana dengan baik, maka dapat mempengaruhi proses terjadinya erosi dan
sedimentasi sebagai salah satu permasalahan yang sering terjadi selain dari masalah banjir
yang melanda kota-kota besar di Indonesia akhir-akhir ini. Dilain pihak bahwa permasalahan
banjir umumnya disebabkan karena tingginya intensitas hujan yang terjadi, sistem DAS yang
telah rusak sehingga menyebabkan respon DAS menjadi berkurang dan juga terjadinya
pendangkalan sungai akibat sedimentasi. Sedimentasi selain menyebabkan pendangkalan
sungai, juga dapat menyebakan pendangkalan di muara pantai dan perubahan garis pantai.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Bapeda Kota Semarang tahun 2006, menyatakan
bahwa terjadi perubahan garis pantai yang disebabkaan oleh tingginya suplesi sedimen yang
berasal dari sungai yang dominan yaitu Banjir Kanal Barat yang merupakan terusan dari
Sungai Garang. Dengan demikian, maka sedimentasi merupakan permasalahan yang harus
diperhatikan secara seksama.
Sedimentasi merupakan akibat erosi di daerah aliran sungai oleh aktivitas manusia dan juga
karakteristik dearah alirannya sendiri. Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah
atau bagian-bagian tanah oleh media alami yang berupa air (air hujan). Tanah dan bagianbagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi disebut sedimen. Sedangkan
sedimentasi (pengendapan) adalah proses terangkutnya/terbawanya sedimen oleh suatu
limpasan/aliran air yang mengendap pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau
terhenti seperti pada saluran sungai, waduk, danau maupun kawasan tepi teluk/laut (Arsyad,
1989). Erosi dapat mempengaruhi produktivitas lahan yang biasanya mendominasi DAS
bagian hulu dan dapat memberikan dampak negatif pada DAS bagian hilir (sekitar muara
sungai) berupa hasil sedimen.
Untuk melihat kondisi yang terjadi, maka studi erosi dan sedimentasi dilakukan guna untuk
mengetahui daerah-daerah yang telah mengalami lahan kritis akibat erosi dan juga
pemantauan sedimentasi yang terjadi di sungai sebagai yil sedimen akibat erosi.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat erosi yang terjadi di DAS Garang
dan juga besarnya laju sedimen di sungai sebagai akibat dari erosi, sedangkan tujuannya
adalah untuk melihat kekritisan lahan yang diakibatkan oleh erosi.
1.3 Lokasi Studi
Lokasi studi ini adalah DAS Garang yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Adapun lokasi
daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Daerah lokasi


penelitian (DAS Garang)
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
Erosi merupakan suatu proses kehilangan tanah yang diakibatkan oleh hujan, angin, aliran,
gaya gravitasi, kehidupan organisme dan kegiatan manusia. Sedimentasi adalah merupakan
hasil akhir dari proses erosi yang terjadi di lahan. Erosi tanah terjadi melalui tiga tahapan
yaitu tahapan pelepasan partikel tunggal dari masa tanah dan tahap pengangkutan oleh media
yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak cukup
lagi untuk mengangkut partikel maka selanjutnya terjadi tahapan ketiga yaitu pengendapan.
2.1 Erosivitas Hujan
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya erosi lahan adalah akibat hujan. Hujan dapat
menyebabkan erosi karena adanya energi kinetik yang dihasilkan pada saat terjadinya hujan.
Kemampuan energi hujan tersebut untuk menyebabkan terjadinya erosi dinyatakan dengan
erosivitas hujan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menduga besarnya energi kinetik
terhadap besarnya erosivitas yang terjadi. Persamaan yang telah dihasilkan dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Beberapa persamaan untuk menduga energi kinetik berdasarkan hujan

Sumber : Xiaoqing, 2003. Manual on Sediment Management and Measurement. WMO No.948

Masalah sering terjadi apabila kita menerapkan persamaan yang dihasilkan dari negara lain
karena kondisi iklim yang berbeda dengan Indonesia yang beriklim tropis. Oleh sebab itu,
maka Bols (1978) melakukan berbagai uji coba untuk menentukan besarnya nilai erosivitas
yang ada di Indonesia khususnya di pulau Jawa dan Madura. Persamaan yang dihasilkan
untuk perkiraan erosivitas rata-rata bulanan dan tahunan dipergunakan rumus :

Persamaan lain yang sering digunakan di Indonesia adalah persamaan Lenvain (1975) dalam
Bols (1978) dan juga persamaan yang dihasilkan oleh Abdurachman (1989) yang merupakan
modifikasi dari persamaan Bols (1978). Adapun modifikasi dari persamaan Bols (1978) yang
dihasilkan oleh Abdurachman (1989) adalah berikut ini :

Keterangan :
R = besarnya hujan dalam satu bulan (mm).
D = banyaknya hari hujan dalam satu bulan.
M = besarnya hujan harian maksimum dalam satu bulan (mm).
2.2 Faktor Erodibilitas Tanah
Erodibilitas tanah merupakan faktor kepekaan tanah terhadap erosi. Nilai erodibilitas tanah
yang tinggi pada suatu lahan menyebabkan erosi yang terjadi menjadi lebih besar dan
sebaliknya. Faktor erodibilitas tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah dan juga
kandungan organik tanah. Beberapa analisa laboratorium yang dihasilkan untuk menduga
besarnya nilai erodibilitas tanah pada beberapa jenis tanah di Indonesia sudah banyak
dilakukan. Nilai erodibilitas tanah untuk beberapa jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.2
(Arsyad,1989 & Asdak, 1995)
Tabel 2.2. Nilai erodibilitas tanah untuk beberapa jenis tanah (Arsyad,1989 & Asdak, 1995)

2.3 Faktor Topografi


Faktor topografi merupakan gabungan antara panjang lereng (L) dengan kemiringan lahannya
(S). Untuk mengitung panjang lereng dan kemiringan, sulit untuk dilakukan karena parameter
penduganya sulit didefenisikan, maka untuk itu perhitungan dilakukan dengan cara
pengabungan kedua variabel tersebut. Beberapa persamaan yang sering digunakan untuk
menghitung besarnya faktor topografi seperti terlihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Persamaan yang digunakan untuk menghitung faktor topografi

2.4 Faktor Tanaman dan Pengolahan Lahan

Salah satu faktor yang berhubungan dengan aktivitas manusia adalah faktor tanaman dan juga
pengelolaan tanaman. Tutupan lahan sangat berpengaruh pada besarnya erosi yang terjadi
pada lahannya. Jenis tanaman berbeda-beda responya terhadap erosi yang terjadi. Sama

halnya juga pengaruh dari pengelolaan lahannya. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
menentukan besaran nilai dari faktor tanaman dan pengelolaan lahan. Ada beberapa literatur
menyajikan faktor tutupan lahan dan konservasi lahan secara terpisah dan ada juga
menyajikannya secara bersama atau nilai gabungan seperti terlihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Perkiraan nilai C x P dari berbagai jenis tanaman (Asdak,1995)

BAB III. METODOLOGI


Metode yang digunakan untuk menghitung besarnya laju erosi pada suatu lahan berdasarkan
persamaan ULSE. Persamaan ini dipergunakan bagi perencana konservasi untuk menghitung
kehilangan tanah (soil loss) yang dikorelasikan dengan berbagai parameter yang berhubungan
dengan kondisi alam maupun kegiatan manusia. Kondisi alam yang menyebabkan erosi pada
umumnya dinyatakan sebagai erosi potensial yaitu yang berkaitan dengan erodibilitas tanah,
erosivitas hujan dan karakteristik topografi dari lahannya. Erosi potensial yang terjadi sangat
di luar kendali manusia. Kegiatan manusia dapat merupakan mempercepat maupun
memperlambat laju erosi, sehingga hasil akhirnya dinyatakan sebagai erosi aktual. Persamaan
umum USLE adalah sebagai berikut:

A = R.K.(LS).CP

Keterangan :
A = Jumlah tanah yang hilang (rata-rata tahunan) dalam ton/ha.
R = Erosivitas hujan / erosivity

K = Faktor erodibilitas (kepekaan tanah terhadap erosi)


L = Faktor panjang lereng
S = Faktor kemiringan lereng
C = Faktor jenis vegetasi / tanaman
P = Faktor pengendalian erosi/pengolahan tanah
Untuk memudahkan menyelesaikan persamaan di atas, maka pendekatan yang digunakan
adalah menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan berbasiskan grid atau piksel
(picture cell). Tiap grid dari setiap parameter mempunyai nilai karakteristik tersendiri. Dari
setiap parameter tergambar dalam bentuk peta tematik yang merupakan masukan (input)
terhadap perhitungan laju erosi. Alur kerja perhitungan yang digunakan untuk penentuan
erosi dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Flowchart perhitungan erosi lahan (Ginting & Putuhena, 2005)
3.2 Perhitungan Parameter Berbasis Grid/Piksel
Perhitungan erosi menggunakan metode USLE dan untuk memudahkan dalam perhitungan
dan juga penentuan parameternya digunakan berbasis grid atau piksel. Semua parameter
mulai dari erosivitas hujan, erodibilitas tanah, faktor tanaman dan pengelolaan lahan berupa
peta tematik dalam format vektor, dirubah menjadi format raster dalam bentuk grid dengan
ukuran yang dikehendaki. Sedangkan parameter topografi yang berhubungan dengan panjang
lereng dan juga kemiringan dihasilkan dari data digital elevation model (DEM). Penggunaan
data DEM bertujuan untuk memudahkan mendapatkan parameter. Selain untuk hal tersebut,
data DEM diperlukan untuk mendapatakan pembatasan daerah aliran sungai (delineated
basin) secara otomatis, penentuan arah aliran (direction flow) sehingga dengan mudah untuk
menentukan akumulasi aliran (accumulation flow) yang terjadi. Arah aliran dan juga
akumulasi aliran merupakan data yang selanjutnya diperlukan untuk proses akumulasi erosi
di DAS Garang.
3.3 Perhitungan Faktor Topografi
Untuk menentukan nilai faktor topografi berdasarkan grid, Moore dan Burch (1986) dalam
Kinnell (2008) sudah membuat suatu pendekatan dengan persamaan seperti terlihat pada
Tabel 2.3. Namun pada kenyataannya bahwa dengan menggunakan persamaan tersebut, maka
diperoleh hasil faktor topografi pada suatu grid dengan nilai nol. Hal ini terjadi karena proses
penentuan accumulation flow terdapat nilai nol yang artinya bahwa grid tersebut merupakan
lokasi dengan elevasi yang tertinggi dari grid disekitarnya. Dengan demikian, maka
penentuan faktor topografi ditentukan berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh
Wischmeier dan Smith (1978). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Keterangan :
L = panjang lereng (m);
= sudut kemiringan (derajat);
m = 0,5 jika kemiringan 3 derajat atau lebih; 0,4 untuk kemiringan 1,7 sampai 3 derajat; 0,3
untuk kemiringan 0,6 sampai 1,7 derajat; dan 0,2 pada kemiringan kurang dari 0,6 derajat.
Untuk menentukan nilai panjang lereng (L), maka arah aliran dari suatu grid terlebih dahulu
harus ditentukan berdasarkan data DEM. Arah aliran pada suatu lahan dengan basis grid
dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.2 yang merupakan kodefikasi arah aliran yang
digunakan oleh program SIG Arc View.

Gambar 3.2 Kode arah aliran pada setiap grid

Setelah diketahui arah alirannya, maka selanjutnya dapat ditentukan panjang lereng seperti
diilustrasikan pada Gambar 3.3. Dengan bantuan query pada program Arc View, maka dapat
dengan mudah untuk menentukan grid mana saja yang arah alirannya tegak lurus ataupun
diagonal.

Gambar 3.3 Ilustrasi nilai panjang lereng pada setiap grid

34 Pengukuran Debit dan Sedimen


Akibat terjadinya erosi di lahan, maka di hilir sungai terjadi sedimentasi. Untuk menentukan
besarnya sedimentasi, maka dilakukan pengukuran sedimen di sungai. Pengukuran sedimen
dilakukan secara bersamaan dengan pengukuran debit untuk mendapatkan hubungan antara
debit dengan besarnya sedimen yang sering dinyatakan sebagai lengkung sedimen.
Persamaan umum yang digunakan untuk lengkung sedimen adalah sebagai berikut :

Berdasarkan data hasil sedimen tersebut, selanjutnya dibandingkan dengan data erosi yang
terjadi sehingga dapat ditentukan besarnya sediment delivery ratio yang terjadi.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data yang diperlukan untuk menghitung
besarnya laju erosi pada suatu lahan. Data yang diperlukan yaitu data topografi di lokasi studi
diperoleh dari Bakosurtanal, peta jenis tanah diperoleh dari Puslitanak, peta penutupan lahan
tahun 1998 diperoleh dari Bapeda Semarang beserta data hidrologi yaitu data hujan, debit,

dan sedimen. Semua data yang diperoleh, selanjutnya dijelaskan pada masing-masing sub bab
sebagai bagian dari penentuan parameter untuk menentukan besarnya erosi.
Data sedimen yang diperoleh di lapangan terdapat pada dua lokasi yaitu di hilir DAS Garang
tepatnya di Pajangan dan di Sungai Kreo Kalipancur. Data yang diperoleh tidak disertai
dengan data debit pengukuran langsung, namun hanya diperoleh informasi kosenterasi
sedimen dengan muka air. Agar dapat digunakan, maka debit diperkirakan berdasarkan
persamaan lengkung - debit pada waktu dan lokasi dari masing-masing sungai.
Adapun hasil pengumpulan data sedimen tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1 untuk lokasi
Pajangan, dan Tabel 4.2 untuk lokasi di Sungai Kreo.
Tabel 4.1. Data sedimen suspensi di S. Garang - Pajangan

Tabel 4.2 Data sedimen suspensi di S. Kreo-Kalipancur

4.2 Pengukuran Debit dan Sedimen


Selain data sedimen yang telah dikumpulkan, juga dilakukan pengukuran debit dan sedimen
dengan tujuan untuk menambah jumlah data dan juga lokasi pengukuran. Pengkuran ini
dilakukan pada 4 (empat) lokasi di DAS Garang yaitu di hulu Sungai Garang di Patemon, di
Sungai Kreo - Kalipancur, di Sungai Gribik - Gribiksari dan juga di hilir DAS Garang
tepatnya di Pajangan. Gambar 4.1 merupakan foto kegiatan pengukuran debit dan sedimen
yang dilakukan di Sungai Garang-Pajangan. Lokasi pengukuran debit dan sedimen dapat

dilihat pada Gambar 4.2. Dari lokasi pengukuran diharapkan dapat memberikan gambaran
kondisi sedimen dari setiap sungai.

Gambar 4.1 Foto pengukuran debit & sedimen di Sungai Garang Pajangan

Gambar 4.2 Lokasi pengukuran


debit & sedimen di DAS Garang

Adapun data pengukuran debit dan sedimen di DAS Garang dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Hasil pengukuran debit dan sedimen

4.3 Digital Elevation Model (DEM)


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perhitungan erosi dilakukan dengan
menggunakan SIG berdasarkan grid atau piksel. Untuk mendapatkan parameter-parameter
terutama yang berhubungan dengan topografi, maka dengan mudah diproses melalui data
digital elevation model (DEM). Parameter yang diproses adalah kemiringan lereng dan juga
panjang lereng, selain pembatasan daerah aliran sungai (delineated basin) secara otomatis
melalui DEM.
Untuk memperoleh data DEM di lokasi studi digunakan peta topografi skala 25.000 dari
Bakosurtanal. Pembentukan DEM tersebut berdasarkan pada kontur dan titik tinggi. Dengan
diperolehnya data DEM tersebut selanjutnya dirubah menjadi DEM dengan tipe grid dengan
ukuran grid sebesar 25 m. Adapun data DEM di lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Digital elevation model

4.4 Faktor Topografi (LS)


Faktor topografi adalah pengabungan antara panjang lereng dengan kemiringan lereng dan
hasilnya dapat diproses melalui data DEM. Berdasarkan metodologi yang digunakan untuk
perhitungan topografi bahwa setiap piksel atau grid yang ada memiliki nilai panjang lereng

yang berbeda untuk arah aliran secara diagonal dengan arah aliran yang tegak lurus. Besarnya
panjang kemiringan lereng untuk setiap grid sama dengan ukuran grid untuk arah aliran yang
tegak lurus dan ukuran grid dikalikan dengan untuk arah aliran diagonal. Berdasarkan konsep
tersebut, maka diperoleh faktor topografi untuk lokasi studi berkisar antara 0,1 sampai
dengan 178 m. Adapun penyebaran nilainya dapat dilihat pada Gambar 4.4. Nilai faktor
topografi yang dihasilkan dapat dilihat bahwa nilai yang besar berada pada alur-alur sungai.
Hal ini disebabkan karena pada lereng alur sungai memiliki kemiringan yang cukup besar.

Gambar 4.4. Peta faktor topografi DAS Garang

4.5 Erosivitas Hujan


Faktor erosivitas curah hujan merupakan salah satu variabel yang dihitung dalam penentuan
besarnya erosi di lokasi studi. Besarnya erosivitas hujan ditentukan berdasarkan persamaan
Bols (1978) dan juga Abdurachman (1989) yang dihitung berdasarkan hujan bulanan. Dari
kedua persamaan tersebut, dapat dinyatakan bahwa nilai erosivitas yang dihasilkan oleh
persamaan Abdurachman lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil persamaan Bols. Nilai
erosivitas yang dihasilkan oleh persamaan Bols adalah sekitar 1900 sampai dengan 2700
sementara nilai erosivitas yang diperoleh berdasarkan persamaan Abdurachman adalah
sekitar 400 sampai dengan 1000. Pada akhir proses penentuan erosi, maka diperoleh hasil
bahwa erosivitas dari persamaan Abdurachman menghasilkan nilai erosi yang lebih
mendekati dengan hasil pengukuran sedimen di sungai.
4.6 Jenis Tanah (Erodibilitas Tanah)
Erodibilitas tanah atau kepekaan tanah adalah kemampuan tanah untuk mengalami erosi.
Nilai erodibilitas tanah dihitung berdasarkan data struktur tanah dan permeabilitas tanah serta
tekstur dan bahan organik hasil analisis laboratorium. Di lokasi studi nilai erodibilitas tanah
ditentukan berdasarkan kesamaan jenis tanah dengan jenis tanah yang telah diidentifikasi
nilai erodibilitasnya. Jenis tanah di lokasi studi terdiri dari beberapa jenis yang dapat dilihat
pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Jenis tanah dan erodibilitas tanah di lokasi studi

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa jenis tanah latosol coklat tua kemerahan dan
litosol coklat merupakan jenis tanah yang hampir tersebar di seluruh lokasi studi. Jenis tanah
ini diidentifikasi nilai erodibilitas tanahnya dan nilainya dapat dilihat pada Tabel 4.4.
4.7 Faktor Tutupan dan Pengolahan Lahan
Salah satu yang mempengaruhi besarnya erosi adalah tutupan lahan dan pengolahan lahan
pada lokasi. Semakin bagus tutupan lahannya, maka daya erosi tanah akan semakin kecil,
tetapi jika tutupan lahannya semakin terbuka, maka daya erosinya semakin besar. Selain
tutupan lahan juga diperhitungkan pengolahan lahannya, dimana pengolahan lahan yang baik
dapat menurunkan erosi tanah. Untuk lokasi DAS Garang diperoleh tutupan lahan pada tahun
1998 seperti terlihat pada Tabel 4.5. Jika diperhatikan Tabel 4.5 menunjukan bahwa, sawah
merupakan tutupan lahan yang terluas, dimana hampir sekitar 29,6 % dari luas lokasi studi.
Tutupan lahan yang terluas kedua adalah Tegalan yaitu sekitar 25 % dari lokasi studi,
sementara untuk tutupan lahan hutan hanya mencakup 10,4 % dari lokasi. Dengan tutupan
lahan yang ada selanjutnya diidentifikasi nilai dari setiap faktor penutupan lahan dan nilai
konservasinya. Nilai faktor tutupan lahan dan konservasinya untuk lokasi studi dapat dilihat
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Luas tutupan lahan di lokasi studi

4.8 Erosi Lahan


Semua data di atas yang berupa peta tematik digital selanjutnya dirubah dalam bentuk grid
dengan ukuran setiap grid 25 x 25 m. Dengan bantuan Arc View dan persamaan USLE, maka
dapat dihitung nilai erosi pada setiap grid atau piksel. Hasil perhitungan erosi terdistribusi
berdasarkan ruang, dimana setiap grid dengan luas 625 m2 memiliki nilai erosi tertentu. Nilai
erosi yang dihasilkan diklasifikasikan berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Teknik
Lapangan - Rehabilitasi Lahan dan Konserervasi Tanah (RTL-RLKT) daerah aliran sungai
yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan seperti pada Tabel 4.6. Berdasarkan kriteria
yang ada pada Tabel 4.6, maka hasil klasifikasinya dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Tabel 4.6 Tingkat laju kehilangan tanah (RTL-RLKT Dephut, 1998)

Gambar 4.5 Klasifikasi nilai erosi lahan di lokasi studi

Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dinyatakan bahwa secara umum erosi lahan di lokasi studi
masih dalam kodisi yang sangat rendah, hal ini dilihat dari sekitar 104,46 km2 (55 %) dari
luas lokasi kajian sebesar 191,530 km2 masih dalam kondisi erosi yang sangat rendah.
Sekitar 41,41 km2 (22 %) masih dalam kondisi rendah, 28,33 km2 (15 %) masih dalam
kondisi sedang, 10,96 km2 (6 %) dalam kondisi tinggi, dan hanya 6,37 km2 (3 %) dalam
kondisi yang sangat tinggi. Total erosi yang terjadi di seluruh lokasi studi sekitar 1.253.016
ton/tahun atau sekitar 65,42 ton/ha/thn.
Erosi lahan yang dihasilkan di DAS Garang dapat juga dinyatakan dalam bentuk tebal erosi.
Tebal erosi mengambarkan kedalaman tanah lapisan atas yang terkikis atau tererosi. Namun
pada studi ini tidak memperhitungkan besarnya erosi yang mengalami pengendapan dari
daerah grid lain. Akan tetapi bahwa tebal erosi yang dihitung hanya semata-mata merupakan
besarnya kedalaman tanah yang tererosi pada grid yang bersangkutan. Untuk menentukan
besarnya tebal erosi dan dengan kerapatan jenis tanah sekitar 1,2 ton/m3, maka diperoleh
tebal erosi di DAS Garang berkisar antara 0 mm sampai dengan 169 mm/tahun. Rata-rata
tebal erosi di seluruh DAS Garang diperoleh hasil sekitar 5,45 mm/tahun. Tebal erosi yang
dihasilkan selanjutnya dilakukan peng-kelas-an menjadi 5 kelas seperti terlihat pada Gambar
4.6.
Berdasarkan peng-kelas-an yang dilakukan, maka diperoleh hasil bahwa untuk tebal erosi
yang terjadi antara 0 mm sampai dengan 1,5 mm/tahun berkisar 57 % dari lokasi studi
(109,67 km2), untuk ketebalan erosi antara 1,5 mm sampai dengan 3 mm diperoleh hasil
sekitar 11 % (20,96 km2), untuk ketebalan erosi antara 3 mm sampai dengan 4,5 mm/tahun

terjadi pada luasan daerah sekitar 6 % (11,92 km2), untuk ketebalan erosi yang terjadi antara
4,5 mm/tahun sampai 10 mm/tahun diperoleh hasil sekitar 13 % (24,48 km2) dan untuk
ketebalan erosi di atas 10 mm/tahun terjadi sekitar 13 % (24,49 km2). Selain dari total erosi
yang dihasilkan di seluruh DAS Garang, juga dihitung erosi yang terjadi di setiap anak
Sungai Garang yaitu pada titik lokasi pengukuran debit dan sedimen. Hasil yang diperoleh di
Sungai Garang Patemon dengan luas 71,73 km2 adalah sekitar 670.135 ton/tahun atau
93,43 ton/ha/thn dengan tebal erosi sekitar 7,79 mm/thn, di Sungai Kreo Kalipancur dengan
luas 66,95 km2 diperoleh hasil erosi sekitar 245.591 ton/thn atau 36,68 ton/ha/thn dengan
tebal erosi sekitar 3,06 mm/thn, sedangkan di Sungai Gribik - Gribiksari dengan luas 36,44
km2, nilai erosi yang dihasilkan sekitar 212.741 ton/thn atau 58,38 ton/ha/thn dengan tebal
erosi sekitar 4,86 mm/thn.

Gambar 4.6. Tebal erosi lahan di lokasi studi

4.9 Analisa Yil Sedimen


Analisa sedimen untuk menentukan tingkat laju sedimen yang terjadi pada sungai-sungai di
DAS Garang. Analisa sedimen dapat dilakukan jika data penunjang tersedia yaitu data debit
dan sedimen. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan juga pengukuran yang dilakukan,
maka dapat dibuat lengkung sedimen dari setiap anak sungai yang ada di DAS Garang. Hasil
grafik lengkung sedimen dapat dilihat pada Gambar 4.7 sampai dengan Gambar 4.10.
Persamaan lengkung sedimen yang dihasilkan pada empat lokasi pengukuran di DAS Garang
adalah sebagai berikut :
- Sungai Garang Pajangan memiliki lengkung sedimen
- Sungai Kreo Kalipancur memiliki lengkung sedimen
- Sungai Gribik memiliki lengkung sedimen
- Sungai Garang Patemon memiliki lengkung sedimen
Berdasarkan persamaan lengkung sedimen dan dengan data debit yang telah dikumpulkan,
maka dapat diperkirakan besarnya laju sedimen yang terjadi di setiap anak sungai di DAS
Garang seperti dapat dilihat pada Tabel 4.8. Hanya saja data debit di Sungai Gribik Gribiksari tidak tersedia sehingga untuk menghitung besarnya sedimentasi yang terjadi tidak

dapat dilakukan. Laju sedimentasi yang terjadi di Sungai Garang hulu pada titik pemantauan
di pos AWLR Patemon diperoleh rata-rata sedimentasi sekitar 11.724 ton/tahun. Apabila
diperkirakan besarnya bed load sekitar 10 % (Mutreja, K.N., 1986), maka total laju
sedimentasi di Sungai Garang Patemon menjadi 12.896 ton/tahun. Dengan luas Sungai
Garang-Patemon sekitar 71,73 km2 dan dengan berat jenis tanah sekitar 1,2 ton/m3, maka
laju sedimentasi rata-rata di seluruh lahannya menjadi 1,805 ton/ha/tahun dengan tebal
sedimen sekitar 0,180 mm/tahun. Sedangkan laju sedimentasi yang terjadi di Sungai Kreo
untuk titik pemantauan di pos AWLR Kalipancur diperoleh sekitar 24.850 ton/tahun dan total
sedimentasi dengan memperhitungkan bed load sekitar 10 %, maka laju sedimentasi menjadi
27.335 ton/tahun. Dengan luas Sungai Kreo Kalipancur sekitar 66,95 km2 dan dengan berat
jenis tanah 1,2 ton/m3, maka rata-rata sedimentasi yang terjadi di lahan menjadi 4,08
ton/ha/tahun dengan tebal sedimentasi sekitar 0,340 mm/tahun. Secara keseluruhan untuk
DAS Garang yang dipantau pada lokasi pos AWLR Pajangan diperoleh hasil laju sedimentasi
melayang dan total sedimentasi dengan memperhitungkan bed load secara berturut-turut
adalah sebagai berikut 297.843 ton/tahun dan 327.627 ton/tahun. Dengan kerapatan jenis
tanah sekitar 1,2 ton/m3, maka diperkirakan volume sedimentasi selama satu tahun sekitar
273.023 m3/tahun. Dengan data yang dihasilkan, maka dapat diperkirakan laju pengikisan
tanah secara menyeluruh di DAS Garang-Panjangan. Luas DAS Garang-Panjangan sekitar
191,53 km2 sehingga diperoleh sedimentasi rata-rata di DAS Garang Pajangan adalah
17,08 ton/ha/tahun dengan tebal lahan yang mengalami pengikisan sekitar 1,425 mm/tahun.

Gambar 4.7. Lengkung sedimen di S Garang-Pajangan

Gambar 4.8. Lengkung sedimen di S Kreo - Kalipancur

Gambar 4.9. Lengkung sedimen di S Garang Patemon

Gambar 4.10. Lengkung


sedimen di S Gribik - Gribiksari

Tabel 4.8. Hasil sedimen di Sungai Garang

Sungai Hasil pengukuran debit sedimen pada kenyataannya selalu lebih kecil bila
dibandingkan dengan hasil erosi pada suatu lahan. Sudah menjadi hal umum bahwa hanya
sebagian kecil material tanah yang tererosi pada suatu lahan mencapai di outlet atau di
sungai. Hasil erosi yang mencapai di sungai yang telah dilakukan pengukuran dinyatakan
dalam yil sedimen. Dengan hasil erosi dan pengukuran sedimen, maka selanjutnya dapat
ditentukan besarnya sediment delivery ratio (SDR) di DAS Garang. Nilai SDR merupakan
perbandingan antara yil sedimen dengan nilai erosinya. Untuk itu, maka pada lokasi di
Sungai Garang Patemon diperoleh nilai SDR sekitar 2 %, sedangkan untuk Sungai Kreo
Kalipancur diperoleh nilai SDR sekitar 11 %. Untuk seluruh DAS Garang Pajangan
diperoleh nilai SDR sekitar 26 %.
BAB V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan :

1. Erosi yang terjadi di DAS Garang dapat dikategorikan menjadi erosi dengan kriteria sangat
rendah sekitar 104,46 km2 (55 %) dari luas lokasi kajian sebesar 191,530 km2. Sekitar 41,41
km2 (22 %) masih dalam kondisi rendah, 28,33 km2 (15 %) masih dalam kondisi sedang,
10,96 km2 (6 %) dalam kondisi tinggi, dan hanya 6,37 km2 (3 %) dalam kondisi yang sangat
tinggi.

2. Total erosi yang terjadi di seluruh lokasi studi sekitar 1,25 juta ton/tahun atau sekitar 65,42
ton/ha/thn dengan tebal erosi sekitar 5,45 mm/thn.

3. Erosi yang terjadi pada tiga anak sungai di DAS Garang adalah sekitar 670.135 ton/tahun
atau 93,43 ton/ha/thn dengan tebal erosi sekitar 7,79 mm/thn untuk Sungai Garang-Patemon,
untuk Sungai Kreo Kalipancur diperoleh hasil erosi sekitar 245.591 ton/thn atau 36,68
ton/ha/thn dengan tebal erosi sekitar 3,06 mm/thn, sedangkan untuk Sungai Gribik
Gribiksari sekitar 212.741 ton/thn atau 58,38 ton/ha/thn dengan tebal erosi sekitar 4,86
mm/thn.

4. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, maka diperoleh persamaan lengkung sedimen


untuk empat lokasi di DAS Garang sebagai berikut :
- Sungai Garang Pajangan memiliki lengkung sedimen
- Sungai Kreo Kalipancur memiliki lengkung sedimen
- Sungai Gribik - Gribiksari memiliki lengkung sedimen
- Sungai Garang Patemon memiliki lengkung sedimen

5. Laju sedimentasi di Sungai Garang - Pajangan sekitar 327.627 ton/tahun atau setara
dengan 17,08 ton/ha/tahun dengan tebal sedimen sekitar 1,425 mm/tahun, laju sedimentasi
yang terjadi di Sungai Kreo - Kalipancur sekitar 27.335 ton/tahun atau sekitar 4,08
ton/ha/tahun dengan tebal sedimen sekitar 0,340 mm/tahun dan laju sedimentasi yang terjadi
di Sungai Garang - Patemon sekitar 12.896 ton/tahun atau sekitar 1,805 ton/ha/tahun dengan
tebal sedimen sekitar 0,180 mm/tahun.

6. Sediment delivery ratio (SDR) yang dihasilkan di lokasi Sungai Garang Patemon sekitar
2 %, sedangkan di Sungai Kreo Kalipancur diperoleh nilai SDR sekitar 11 %. Untuk lokasi
di Sungai Garang Pajangan diperoleh nilai SDR sekitar 26 %.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A.,1989. Rainfal Erosivity and Soil Erodibility in Indonesia: Estimation and
Variation with Time. Thesis Doctor. Faculty of Agriculturral Sciences. Ghent. Belgium.

Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB (IPB Press), Bogor.

Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah mada University
Press, Yogyakarta.

Bapeda Kota Semarang, 2006. Studi Penentuan Keseimbangan Garis Pantai. Final Report.

Bols, P., 1978. The Iso-erodent Map of Java and Madura. Report Belgian Technical
Assistance Project ATA 105. SRI Bogor. 39p.

Departemen Kehutanan, 1998. Pedoman penyusunan rencana teknik rehabilitasi teknik


lapangan dan konserervasi tanah daerah aliran sungai, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Ginting, S. dan Putuhena, W., 2005. Estimasi Erosi Lahan di Daerah Aliran Danau Tondano
Menggunakan Geographic Information System (GIS), Jurnal Sumber Daya Air, Volume 1,
No. 1, November 2005, Pusat Litbang Sumber Daya Air, 67-77.

Hammer, W.I., 1981. Second Soil Conservation Consultant Report. AGOF/INS/78/006. Tech.
Note No. 10. Centre for Soil Research, Bogor, Indonesia.

Kinnell., P.I.A., 2008. The Miscalculation of The USLE Topographic Factors in GIS. Faculty
of Science University of Canberra. Canberra Australia.

Kurnia,U. dan Suwardjo, 1984. Kepekaan erosi beberapa jenis tanah di Jawa menurut metode
USLE. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk.

PT. Geo Sarana Guna, 2006. Studi Konservasi Kawasan Berlahan Kritis Hulu Sungai WS
Jratunseluna dan Pemali Comal. Lap. Interim.

Ma, J., .2001. Combining the USLE and GIS/Arc View for Soil Erosion Estimation in Fall
Creek Watershed in Ithaca, New York. Slide Presentation.
Morgan, R.P.C., 1979. Soil Erosion. Longman. London and New York.

Mutreja, K.N., 1986. Applied Hydrology. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limitied.
New Delhi.

Wischmeier, W. H., and Smith, D.D.,1978. Predicting Rainfall Erosion Losses - A Guide To
Conservation Planning. U.S Department of Agriculture, Agriculture Handbook No.537.

Xiaoqing, Y., 2003. Manual on Sediment Management and Measurement. WMO, Operational
Hydrology Report No. 47.
Diposkan oleh Segel Hendrycus Ginting di 12.02 2 komentar
Label: DAS Garang, DEM, Erosi, GIS, Sedimentasi
Beranda
Langgan: Entri (Atom)

Calorie Calcula
http://segelg.blogspot.com/

Jenis, Bentuk, dan Pemanfaatan Peta


July 31st, 2010 Buku Sekolah Gratis IPS 1 SMP No comments - Tags: Jenis dan
Bentuk Peta, Kegunaan dan Manfaat Peta, Perangkat Peta dan Fungsinya

Sejak dahulu kala, manusia selalu mencoba membuat penemuan-penemuan baru yang
bermanfaat untuk mempermudah dan membantu kehidupan umat manusia di muka Bumi.
Salah satu penemuan yang dibuat untuk mempermudah kehidupan manusia adalah peta. Peta
sangat bermanfaat dan berguna untuk membantu manusia menemukan lokasi-lokasi barang
atau tempat tertentu yang belum diketahui atau belum pernah didatangi, serta untuk
menggambarkan keadaan lingkungan dan alam di suatu wilayah.
Kamu tentu sudah sering melihat peta. Ya, bahkan di dinding kelas sering terdapat peta yang
ditempel atau digantung. Peta memang sangat berguna bagi kehidupan kita. Dengan hanya

membaca peta, kamu dapat memperkirakan jarak dua tempat, walaupun kamu mungkin
belum pernah ke tempat tersebut. Misalnya kamu berada di Kota Serang, Banten. Pada suatu
saat sekolahmu mengikuti lomba Olimpiade Geografi Nasional tingkat SMP di Kota Malang
Jawa Timur. Dengan melihat peta, dengan mudah kamu dapat mengetahui bahwa Kota
Malang adalah ke arah timur dari Kota Serang. Demikian pula jaraknya dapat kamu hitung
dengan bantuan penggaris dan skala yang terdapat pada peta.
Ahli kartografi mendefinisikan peta sebagai gambaran sebagian atau seluruh permukaan bumi
yang dilihat dari atas pada bidang datar yang diperkecil dengan perbandingan tertentu dan
dilengkapi tulisan serta simbol-simbol tertentu pula. Ilmu yang mempelajari segala sesuatu
tentang peta, termasuk di dalamnya pembuatan peta, jenis-jenis, penggunaan, penyimpanan,
dan pemeliharaan peta adalah kartografi. Peta merupakan pencitraan suatu wilayah geografis,
biasanya menggambarkan salah tampak seperti diagram daripada gambar suatu wilayah
secara jelas. Peta biasanya memuat sejumlah simbol yang lazim digunakan. Simbol-simbol
tersebut menggambarkan beragam tampilan kenampakan alam dan buatan pada area yang
digambarkan.
1. Jenis dan Bentuk Peta
Dalam kehidupan sehari-hari, ada beragam jenis dan bentuk peta yang dapat kita temukan.
Keragaman peta tersebut menyebabkan adanya perbedaan antara satu peta dengan peta
lainnya. Perbedaan itu dapat dijumpai dalam hal wilayah yang digambarkan, isi, warna,
tampilan, skala, dan kenampakan wilayah yang digambarkan.
a. Jenis Peta
Secara umum, ada beberapa macam peta, yaitu sebagai berikut.
1) Peta dasar
Peta dasar adalah peta yang dibuat setelah melihat keadaan daerah yang akan digambarkan.
Karenanya, ketepatan peta sangat bergantung pada penglihatan pembuat peta, teknik yang
digunakan dalam membuat peta, atau peralatan yang digunakan. Data yang termuat dalam
peta dasar biasanya terbatas. Misalnya hanya menggambarkan garis-garis pantai dan batasbatas wilayah, atau hanya menggambarkan jalan-jalan, dan sungai-sungai saja.
2) Peta umum
Peta umum adalah peta yang menggambarkan permukaan Bumi secara umum, yaitu segala
sesuatu yang terdapat di suatu daerah baik kenampakan fisik maupun kenampakan sosial
budaya dan memperlihatkan asosiasi keruangan dari fenomena-fenomena geografisnya.

Secara umum, peta ini menggambarkan wilayah tertentu dengan sejumlah kenampakan nyata
di wilayah yang digambarkan. Wilayah yang digambarkan dalam peta umum biasanya luas,
menggambarkan bentuk kenampakan muka bumi dan kondisi lingkungannya. Beberapa
kenampakan yang ditampilkan dalam peta umum antara lain adalah nama-nama geografis,
wilayah administratif, grid (garis lintang dan garis bujur), relief, pola aliran sungai, jalanjalan dan rel kereta api, permukiman penduduk, dan beberapa kenampakan lain misalnya
hutan, gunung, dan sawah.
Peta umum dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
a) Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk atau relief permukaan bumi. Peta
ini dilengkapi garis kontur dalam penggambarannya. Garis kontur adalah garis yang
menunjukkan tempat-tempat dengan ketinggian yang sama. Peta ini umumnya menggunakan
skala besar sampai skala menengah.
b) Peta korografi yaitu peta yang menggambarkan seluruh atau sebagian permukaan bumi
dan bersifat umum dengan menggunakan skala yang lebih kecil.
3) Peta khusus
Peta khusus atau peta tematik tidak menggambarkan semua kenampakan alam maupun
kenampakan buatan, namun hanya menggambarkan objek-objek tertentu yang diperlukan
untuk tujuan tertentu. Dengan kata lain, peta tematik adalah peta yang menggambarkan
kenampakan-kenampakan tertentu di permukaan bumi atau berdasarkan keperluan yang ingin
ditonjolkan. Peta tematik adalah peta yang dibuat berdasarkan keperluan.

Peta tematik meliputi peta statistik dan peta dinamik. Peta statistik menggambarkan
persebaran dan jumlah data atau objek yang digambarkan. Berdasarkan data yang diperoleh,
peta statistik dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
a) Peta statistik distribusi kualitatif, yaitu peta yang datanya digambar dalam bentuk variasi
jenisnya. Contohnya peta tanah, peta agama, atau peta budaya.
b) Peta statistik distribusi kuantitatif, yaitu peta yang menggambarkan persebaran data yang
bersifat kuantitatif, jumlah, atau frekuensi. Contohnya peta penduduk, peta curah hujan, atau
peta hasil tambang. Adapun peta dinamik menggambarkan aliran atau gerakan data, yang
umumnya berupa simbol garis dan panah. Beberapa contoh peta tematik antara lain peta
cuaca, peta iklim, peta curah hujan, peta pelayaran, peta kepadatan penduduk, peta migrasi
penduduk, dan peta aliran barang.
Contoh peta tematik yang lain adalah peta hidrografi dan peta jalur penerbangan. Peta
hidrografi digunakan dalam navigasi kapal dan memuat pencitraan lautan beserta bagianbagiannya. Pada bagian pencitraan lautan, digambarkan interval kedalaman laut, tingkat
kedangkalan, lokasi pulau-pulau, pantai-pantai, serta jenis batuan dan pasirnya juga
dicantumkan. Dalam peta hidrografi juga digambarkan mercusuar, tanda pelampung,
dermaga, dan kepentingan navigasi laut lainnya.
Beberapa jenis peta tematik lainnya, yaitu peta politik yang memuat lokasi-lokasi kota, dan
wilayah-wilayah dalam batas suatu negara tanpa tampilan topografi; peta geologi yang
menunjukkan struktur geologis suatu wilayah; peta-peta yang menunjukkan distribusi
pertanian, penggunaan lahan, curah hujan, populasi, dan beragam jenis data sosial dan alam.
Perhatikan contoh peta tematik jalur perhubungan udara berikut ini.

b. Bentuk-Bentuk Peta
Menurut bentuknya, peta dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu peta datar, peta timbul, dan peta
digital.
1) Peta datar, disebut peta biasa atau peta planimetri, dibuat pada bidang datar seperti kertas
atau papan. Bentuk permukaan bumi pada peta datar dapat dilihat dari perbedaan warnanya.
2) Peta timbul atau peta relief atau peta stereometri, merupakan peta yang dibuat berdasarkan
bentuk permukaan bumi yang sebenarnya. Peta relief merupakan model pencitraan tiga
dimensi suatu wilayah. Peta jenis ini biasanya dibuat dengan mengukirkan lempung atau
lapisan campuran semen. Untuk menekankan relief, skala vertikal pada peta relief biasanya
digambarkan lebih jelas dari skala horizontal. Peta jenis ini dapat dibuat dengan cara dicetak.
Peta relief banyak digunakan dalam dunia militer dan perencanaan pembangunan wilayah.
3) Peta digital, yaitu peta yang dibuat dengan perangkat digital seperti komputer. Peta ini
dibuat berdasarkan datadata yang telah dimiliki, kemudian diolah dengan komputer
menggunakan program khusus untuk mendapatkan tampilan sebenarnya. Peta digital dapat
disimpan dalam bentuk file maupun dicetak pada kertas.
Peta yang baik harus dapat memberikan informasi secara jelas pada penggunanya. Maka
dalam pembuatan peta harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
1) Ekuivalen, yaitu perbandingan luas daerah pada peta harus sama atau sesuai dengan luas
daerah yang sebenarnya.
2) Ekuidistan, yaitu perbandingan jarak pada peta harus sama atau sesuai dengan jarak yang
sebenarnya.
3) Konform, yaitu bentuk dari semua sudut yang digambarkan harus sama atau sesuai dengan
bentuk yang sebenarnya.
4) Tidak membingungkan dan mudah dipahami.
5) Penyajian data harus lengkap dan teliti.
6) Harus rapi, bersih, dan indah.
Perhatikan salah satu peta di atlasmu, perhatikan apakah peta tersebut sudah memenuhi
syarat-syarat peta di atas.
2. Perangkat Peta dan Fungsinya
Bukalah atlasmu, amati peta Provinsi Jawa Barat. Perhatikan kelengkapan-kelengkapan apa
saja yang dimiliki peta tersebut. Mengapa peta memiliki kelengkapan-kelengkapan tersebut?

Peta tidak asal digambar dengan penambahan simbol-simbol tertentu saja. Peta juga dibuat
dengan sejumlah aturan dan perangkat yang telah menjadi kesepakatan para ahli. Peta diberi
perangkat-perangkat untuk mempermudah penggunaannya.
Berikut ini di antara perangkat-perangkat atau unsur-unsur yang harus dimiliki sebuah peta
ideal.
a. Judul Peta
Judul peta adalah nama yang menunjukkan wilayah yang hendak dicitrakan dalam peta. Judul
peta harus ditulis dengan huruf kapital seluruhnya, misalnya;
BANDUNG
JAWA BARAT
AFRIKA
MAROKO
Dari judul peta, biasanya akan diketahui jenis peta. Misalnya, peta persebaran hewan
mamalia, peta kepadatan penduduk, peta persebaran tambang, atau peta administrasi.

b. Orientasi Arah

Orientasi arah ditambahkan pada peta untuk lebih mempermudah pembacaan peta. Orientasi
arah menunjukkan arah mata angin pada peta yang digambarkan. Orientasi arah
menggunakan sebuah panah yang menunjuk ke arah utara peta. Karena itu, pada panah
orientasi arah, dituliskan huruf U (singkatan kata Utara), atau dalam peta internasional akan
ditulis N (North). Sebagai acuan, bila kita menghadap ke arah utara, maka punggung
mengarah ke selatan, tangan kanan kita ke timur, dan tangan kiri kita ke barat.
c. Legenda
Legenda adalah bagian yang memuat keterangan tentang simbol-simbol yang dipergunakan
di dalam peta. Biasanya, legenda ditempatkan di bagian bawah peta.
d. Inset
Inset merupakan tambahan kecil pada peta yang disajikan. Inset dibuat untuk mempermudah
pengguna peta mengetahui gambar wilayah tertentu dari peta yang disajikan. Inset diletakkan
di bagian sudut peta atau ruang peta yang kosong. Inset berfungsi untuk memperjelas lokasi
peta utama dalam kaitannya dengan daerah sekitarnya yang lebih luas.
e. Garis Lintang dan Garis Bujur
Garis lintang dikenal pula dengan istilah garis paralel. Garis lintang merupakan garis-garis
khayal yang dibuat seolah melintang dan memisahkan bumi menjadi dua bagian, utara dan
selatan. Garis lintang dipakai untuk menunjukkan pembagian daerah dan iklimnya. Garis
lintang ditarik dari bagian kiri ke kanan. Dalam kartografi, bumi digambarkan memiliki 180
garis lintang yang terbagi menjadi 90 garis lintang utara (0O90OLU) dan 90 garis lintang
selatan (0O 90OLS). Garis 0O lintang dikenal dengan sebutan garis khatulistiwa yang tepat
berada di tengah-tengah bumi.
Garis bujur dikenal juga dengan istilah garis meridian. Garis bujur merupakan garis-garis
imajiner yang dibuat seolah membujur dari Kutub Utara ke Kutub Selatan. Garis bujur
digunakan untuk membagi daerah waktu. Dalam ilmu kartografi, bumi digambarkan memiliki
360 garis bujur yang terbagi menjadi 180 garis bujur barat (0O180OBB) dan 180 garis bujur
timur (0O180OBT). Garis 0O Bujur disepakati dihitung dari garis bujur yang melintasi Kota
Greenwich diInggris, dan garis tersebut dikenal dengan sebutan Garis Greenwich.
f. Skala Peta
Peta harus disertai dengan skala untuk mengetahui ukuran sebenarnya. Skala peta dapat
dibuat berupa skala pecahan, skala verbal, atau skala grafis.
g. Sumber Peta

Badan dan institusi yang membuat dan mengedarkan peta akan sangat menentukan kualitas
peta. Pihak penerbit tersebut juga harus bertanggung jawab atas peta yang dibuat dan
dikeluarkannya. Karena itu, sumber peta harus dicantumkan.
h. Tahun Pembuatan
Keadaan alam dan fisik bumi senantiasa berubah. Karena itu, tahun pembuatan peta harus
dicantumkan karena bisa saja kondisi permukaan bumi pada tahun pembuatan peta tidak
sama dengan kondisi permukaan bumi pada saat peta itu dibaca. Peta yang telah berumur
cukup tua akan perlu diperbarui untuk menyesuaikan dengan keadaan permukaan bumi
terbaru.
i. Simbol Kenampakan Alam dan Buatan
Simbol kenampakan alam akan menjelaskan kenampakankenampakan semacam sungai,
lembah, gunung, rawa, dan lokasi alami lainnya.
Simbol kenampakan buatan akan menjelaskan kenampakankenampakan yang ada karena
dibuat oleh manusia seperti gedung, jalan, jembatan, batas, dan lokasi buatan manusia
lainnya.
Simbol-simbol pada peta digambarkan dalam bentuk titik, garis, daerah (area), dan warna.
1) Simbol titik dalam berbagai ukuran dan bentuk antara lain digunakan untuk menyatakan
letak kota, ibu kota, bandar udara, atau pelabuhan.
2) Simbol garis, dapat berbentuk garis tebal, garis tipis, garis putus-putus, atau garis sejajar.
Simbol ini biasanya untuk menggambar kenampakan geografis seperti batas administrasi,
batas hutan, garis pantai, jalan raya, jalan kereta api, dan sungai.
3) Simbol daerah atau area, digunakan untuk menggambarkan unsur-unsur yang memiliki
luas atau bidang, seperti rawa, daerah pertanian, daerah perkebunan, atau hutan.
4) Simbol warna, digunakan untuk menggambarkan kenampakan geografi dengan perbedaan
warna. Misalnya biru untuk perairan laut, hijau untuk dataran rendah, kuning untuk dataran
tinggi, warna coklat digunakan untuk mewakili daerah pegunungan, merah untuk jalan raya
dan gunung api, dan hitam untuk penamaan objek pada peta.

3. Kegunaan dan Manfaat Peta


Peta memiliki beberapa kegunaan dan manfaat. Para penerbang menggunakan peta jalur
penerbangan untuk memandu perjalanan pesawat. Para pelaut menggunakan peta hidrografi
untuk menentukan posisi dan arah perjalanan kapal. Dalam peperangan, peta digunakan
untuk menentukan posisi musuh, merencanakan pertahanan, penyerangan, dan gerakan
pasukan.
Sementara di lingkungan pendidikan, peta bermanfaat sebagai alat peraga, media
pembelajaran, catatan visual permanen, alat komunikasi, dan alat analisis. Dengan
menggunakan peta dan data-data statistik, kita dapat dengan mudah dan cepat memperoleh
data tentang informasi geografis yang berkaitan dengan suatu negara atau membandingkan
luas suatu negara dengan negara lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan peta untuk menunjukkan suatu tempat yang
belum pernah kita datangi dengan bantuan petunjuk dari orang lain yang pernah
mendatanginya. Dengan bekal peta dan sedikit petunjuk, kita dapat dengan mudah dan cepat
menemukan tempat-tempat yang kita cari. Selain itu, masih banyak kegunaan dan manfaat
peta lainnya. Sejak awal penemuannya, peta terus berkembang baik jenis dan kegunaannya.
Jenis-jenis dan kegunaan peta yang ada saat ini masih dapat berubah di masa depan.
Sumber :
Suprihartoyo dkk, 2009, Ilmu Pengetahuan Sosial 1 : untuk SMP dan MTs Kelas VII,
Jakarta : Pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 120 128.
http://gurumuda.com/bse/jenis-bentuk-dan-pemanfaatan-peta

Anda mungkin juga menyukai