Cerita Kelam
Karya dan Pemain Oleh Eep Suharto
bapak marah-marah terus. Baru kali ini saya tau marahnya bapak, nyeremin. Bukan niat saya
nguping, wong kuping saya ini masih nempel kok. Jadi kedengeran. Kata bapak Kamu ini
bodoh! Tidak bisa mengerti! Macam istri apa kamu ini!. Iya, sangat ngerti keadaan mas.
Tapi jangan seperti ini mas, saya tidak bisa. Ibu tertunduk di bawah memegang kaki bapak,
sambil menangis, suaranya pelan. Saya kasihan sekali, walaupun saya tidak tahu apa yang
terjadi.
Baru kali ini saya masuk ke dalam rumah, biasanya bolak-balik WC, dapur, gudang, terus
halaman. Saya melihat kamar, tidak tahu kamar buat apa. Kamarnya bau bunga
kantil/kenanga dan harum kemenyannya semerbak, pintunya terbuka setengah, catnya warna
hijau tua, ada meja kecil dengan berbagai sesajen. Alangkah kagetnya saya pas melihat dari
luar kamar di dalamnya ada lukisan Ratu Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul. Saya tahu persis,
itu lukisannya. Saya merinding bercampur takut, bapak berdiri tegak dengan berkacak
pinggang melihat ibu yang di bawah. Saya langsung ke dapur lagi, saya sembunyi sambil
ngintip keadaan. Ibu dipaksa masuk kamar itu, bapak menjambak rambut ibu sambil diseret.
Saya beneran tidak tega, tapi apa daya saya tidak berani. Saya baru kali ini melihat bapak
marah, marahnya seperti bukan dia. Seram sekali seperti bukan bapak. Ibu kesakitan dan
menangis sambil sesekali tidak mau diseret, wong bapak kan laki-laki ya tenaganya lebih
kuat. Bapak dan Ibu masuk ke kamar itu, saya melangkah perlahan dengan dan hati-hati
menuju pintu kamar dari luar, ngintip. Mulut ibu ditutup pakai kain, kaki dan badannya
diikat. Bapak menghadap lukisan itu, duduk menyembah. Kemudian diambilnya seonggok
keris lumayan panjang, tatapan mata bapak sangat tajam, merah melotot ke arah ibu,
dijambaknya rambut ibu kemudian diseret menghadap arah lukisan terduduk membelakangi
bapak. Lalu bapak bilang Demi kejayaanku, aku korbankan istriku untuk ibunda di pantai
selatan. Ya Alloh ya gusti, saya ini manusia apa bukan, niat saya menolong tapi kaki ini
seperti batu, seperti ada yang menahan. Mulut saya terbungkam. Saya melihat ibu yang
menangis meronta-ronta itu, kepalanya! Kepalanya ditusuk dengan keris! Jlep! Sangat keras!
Padahal yang saya lihat itu kerisnya hitam dan tak mungkin bisa menembus kepala ibu.
Dengan kejamnya bapak menusuk ubun-ubun ibu dengan kuat tulang tengkorak yang keras
itu ditusuknya, kepala ibu bercucuran darah. Bapak menjilati sedikit kepala ibu yang
berlumuran darah tanpa merasa bersalah sedikitpun. Ya gusti pangeran maha agung!
Allahuakbar!! Kuasa setan merasuki tubuh bapak, ya Allah. Saya lemas melihatnya. Saya
tersungkur. Ya Allah apa ini benar-benar nyata!? Ibu yang tak berdosa itu mati seketika, saya
tidak tahu itu bapak ataukah setan. Saya ingin menjerit tapi saya menahannnya.
Kemudian bapak melihat ke arah saya melihat saya yang ikut tersungkur, tatapannya
seperti iblis. Dengan mulut yang penuh darah, matanya merah melotot kearahku, ditangan
kirinya masih memegang keris. Entah kenapa badan saya terasa enteng, saya lari secepat
kilat. Saya tidak tahu bapak mengejar saya apa tidak. Saya langsung bergegas naik motor dan
pulang. Saya buru-buru pulang karena keadaan saya dalam bahaya. Mungkin kalo tidak
cepat-cepat saya akan dibunuhnya. Sampai rumah saya mengajak istri saya cepat untuk pergi.
Saya takut nyawa saya seperti yang ada di tv-tv. Saya mengajak istri saya pergi ke pondok
pesantren jauh dari rumah majikan, supaya jiwa saya tenang. Itu adalah pengalaman yang
sangat mengerikan dalam kehidupan saya. Jiwa saya tergoncang saat itu.
Tiap malam tertentu juga saya sering mimpi ibu, dia minta tolong sama saya. Saya
bukannya tidak mau menolong, Cuma keberanian saya tidak dapat diandalkan. Saya waktu
itu menetap sambil bekerja di pondok pesantren Al-Muhtadin, istri saya jualan makanan dan
minuman, saya jadi tukang kebun. Saya bekerja sampai sekarang, dan cukup menenangkan
jiwa saya. Saya hanya menyimpan rahasia itu ke istri saya. Saya tidak mau urusan tambah
panjang. Saya selalu mendoakan Ibu setiap kali saya sholat. Kasihan beliau. Kadang saya
sengaja lewat rumah itu, sering sambil naik angkot. Kadang saya singgah berapa meter dari
rumah itu. Tidak ada kabar orang meninggal kata orang-orang sekitar. Saya heran mayat ibu
2 Monolog Cerita Kelam karya Eep Suharto
taroh dimana. Bapak sekarang di rumah sakit jiwa. Kata orang dia sudah gila. Dan rumah ini
sekarang tidak berpenghuni. Jadi pembicaraan orang banyak. Setiap malam Jumat Kliwon,
konon katanya ada perempuan berpakaian mukenah dan kepalanya penuh darah. Rumah ini
sudah terkenal akan keseramannya.
Saya begitu sangat bersalah pada ibu, saya tidak baik, saya jahat, saya lalai, saya
bodoh, saya pengecut! Duh Gusti... apa yang sekarang harus lakukan!? Saya di sini untuk
mengetahui keadaan. Ternyata rumah ini sudah tidak keurusan. Tempat orang judi, orang
pacaran, orang berkelahi, tempat mesum juga, ini rumah bukan tempat hina seperti itu! ya
Allah... Semua isinya saya tidak tahu pada kemana. Entah itu dijual kah, dicuri kah, saya
tidak tahu, yang penting saya merasa bersalah sama ibu. Bahkan saya tidak tahu mayat ibu,
bapak digeletakkan dimana.
Loh yo kamu manusia, ingin kaya gunakan tanganmu untuk meraih, gunakan kakimu
untuk berlari, gunakan akalmu untuk berpikir. Berusaha! Walaupun kadang kita jatuh, ya
tangio! Bangun, jatuh meneh yo tangi meneh. Bangkit dari jatuh itu susah tapi kamu kelak
akan meraih hasilnya. Jangan memilih jalan yang tidak benar seperti ini. Sayangilah anakmu,
istrimu, suamimu, orang tuamu, kakak dan adikmu, sayangilah semuanya. Mereka punya
harapan untuk hidup. Untuk apa kita saling menyakiti, karena kalo kita menyakiti, itu kelak
akan mendapatkan sakit yang kita perbuat kemarin. Begitupun ketika kita memberikan
kebaikan sama orang, besok juga kita akan mendapatkan hasil yang baik dari perbuatan kita
yang kemarin. Jangan jadilah pengecut kemudian bunuh diri karena harga diri, itu salah.
Mending kita relakan dan sadari kita pengecut, tapi ingat! Perbaiki. Karena jika kamu ingin
berubah, rubahlah diri kita sendiri. Rubahlah dari yang salah menjadi benar, yang jahat
menjadi baik, yang kotor menjadi bersih. Itu!
Ibu, saya tidak tahu ibu dikubur atau gimana. Saya hanya ingin mendoakan ibu, supaya
raga ibu sempurna di sana.
PELAKU BERDOA DENGAN TENANG. KEMUDIAN MENINGGALKAN
PANGGUNG DENGAN MASIH MELIHAT SUASAN SEKITAR. DITANGAN
MASIH MEMEGANG LAMPU BADAI SAMBIL MENERANGI JALAN.