Peneliti The Political Literacy Institute Hasil rekaputalasi akhir pemilu legislatif 2014 menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat mencapai 75,3 persen. Sementara yang tidak memilih (golput) mencapai 24,7 persen. Itu artinya, angka golput kali ini tertinggi kedua sejak pemilu yang diadakan sejak zaman Orde Baru. Angka golput tertinggi terjadi pada pileg 2009 mencapai 35 persen. Pada pemilu 1999 golput hanya 10.21 persen sedangkan pemilu 2004 golput mencapai 23.24 persen. Hingga kini, golput masih menjadi problem krusial dalam setiap penyelenggaraan pemilu demokratis di Indonesia. Ironis, angka golput justeru terus meningkat di tengah upaya kita mengkonsolidasikan demokrasi. Para ilmuan politik sepakat mengatakan bahwa partisipasi dalam pemilu dikategorikan sebagai aktivitas pribadi (civic privatism) tanpa paksaan dari pihak manapun apalagi oleh negara. Akan tetapi, rendahnya masyarakat yang menggunakan hak pilih dalam pemilu dikhawatirkan dapat mengurangi kualitas demokrasi yang sedang tumbuh mekar. Jika tidak diantisipasi dengan baik, kecenderungan apatisme publik ini bisa berkembang menjadi sikap cuek dan acuh terhadap persoalan politik. Karena sejatinya partisipasi merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin masa depan. Dalam konteks demokrasi partisipatoris, ikut serta dalam pemilu dengan memberikan suara kepada calon yang didukung merupakan salah satu bentuk partisipasi politik minimal warga negara. Melalui pemilu, warga bisa memilih wakilnya secara rasional yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan. Walaupun demokrasi kita sudah berkembang pesat, namun banyak warga yang tidak menggunakan hak politiknya untuk terlibat dalam proses demokrasi tersebut. Ironisnya lagi, golput yang terjadi belakangan ini dilakukan bukan untuk melawan pemerintah otoriter, melainkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap kinerja pemerintah dan prilaku elit politik. Fenomena golput ini sungguh paradoks di tengah iklim demokrasi yang berkembang cukup kondusif. Mungkin demokrasi kita terlalu dini disebut sebagai bagian dari ironi demokrasi. Akan tetapi, melihat kecenderugan meningkatnya angka golput bisa menjadi batu sandungan terhadap proses konsolidasi demokrasi yang sedang dibangun. Mestinya, pesatnya perkembangan demokrasi memberikan insentif terhadap tingkat partisipasi warga untuk terlibat aktif dalam pemilu. Menurut Anthony Giddens dalam Runaway World (2000), salah satu fenomena cukup menonjol dalam sebuah negara yang baru terbebas dari rezim otoriter adalah kecenderungan menerapkan euforia demokrasi secara luas. Namun pada saat besamaan, di negara-negara tersebut muncul kekecewaan cukup besar terhadap praktik demokrasi yang dijalankan oleh rezim baru. Kekecewaan tersebut cukup beragam mulai dari kekecewaan
terhadap kinerja pemerintah, prilaku elit, kerja parpol, hingga pertumbuhan
ekonomi yang tak stabil. Kekecewaan tersebut bisa dilihat dari rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam persoalan politik kenegaraan. Argumentasi Anthony Gidden tersebut menegaskan bahwa kekecewaan terhadap pemerintah, elit politik, dan partai politik menjadi sebab utama masyarakat tidak terlibat dalam pemilu. Masyarakat berkeyakinan, siapapun partai pemenang pemilu, problem utama bangsa seperti kemiskinan dan pengangguran masih jauh panggang dari api. Bahkan para elit hanya mempertontonkan parade kehidupan glamor di tengah himpitan hidup yang terus menggurita. Herbert McClosky dalam Political Participation (1972) berpendapat, apatisme warga negara untuk ikut pemilu dikarenakan sikap tidak peduli (ignorance), tidak tertarik, dan minimnya pemahaman terhadap persoalan politik. Ada juga karena alasan tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui pemilu akan berhasil. Serta adanya kesengajaan warga yang tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana sikap golput merupakan hal yang terpuji. Dalam konteks golput di Indonesia, pendapat Anthony Gidden dan Herbert tersebut menemukan relevansinya. Menurut penulis ada tiga faktor penyebab golput. Pertama, maraknya korupsi dan terpuruknya kondisi eknomi. Dua alasan ini menjadi faktor dominan apatisme publik untuk ikut pemilu. Golput semacam ini biasanya dikategorikan sebagai golput rasional karena disasarkan pada kekecewaan terhadap sistem politik dan prilaku elit. Kedua, golput ideologis. Masih banyak publik yang menggap pemilu yang menjadi bagian sistem demokratis - merupakan proses politik yang diyakini tidak akan mampu memecahkan persoalan bangsa. Karena pemilu hanya kepanjangan tangan kaum kapitalis untuk mengeksploitasi kaum proletar. Pemilu dianggap hanya melegalkan kepentingan mayoritas meski menindas kaum minoritas. Golput semacam ini biasanya disebut dengan golput ideologis karena tidak percaya terhadap pemilu sebagai proses suksesi politik yang bisa melahirkan pemimpin adil. Sedangkan golput ketiga karena alasan teknis administratif, yaitu golput mengacu pada mereka yang tidak menggunakan hak miliknya karena persoalan teknis seperti tidak terdaftar di TPS, minim informasi, jarak ke lokasi pemungutan suara cukup jauh, bangun kesiangan, liburan dengan keluarga, dan lain sebagainya. Golput semacam ini sering terjadi di tengah negara yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi. Oleh karena itu, sikap acuh publik terhadap pemilu harus segera diantisipasi. Tidak ada pilihan lain selain membenahi semua stake holder yang terkait dengan peyelenggaraan pemilu mulai dari KPU hingga partai politik. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU mestinya melakukan sosialisasi massif dan peningkatan kesadaran memilih yang mencapai semua lapisan msyarakat. KPU tidak cukup hanya melakukan sosilasasi memalui media massa. Minimnya anggaran bukan alasan bagi KPU untuk tidak melakukan sosialisasi secara maksimal.
Begitupun dengan partai politik. Sebagai kontestan pemilu, partai
politik mestinya melakukan perubahan radikal dalam jangka waktu dekat untuk menampilkan citra positif dan kampanye kreatif sehingga masyarakat bergairah untuk memeriahkan pemilu. Di samping itu, peran aktif media massa, aktivis LSM, dan figur publik untuk mengkampanyekan pentingnya terlibat dalam proses pemilu. Sehingga, demokrasi menjadi instrumen untuk memilih pemimpin yang jujur, adil, amanah dan bermartabat. Menghadapi pemilihan presiden (pilpres) yang bakal digelar 9 Juli mendatang tentu saja membutuhkan partisipasi rakyat yang cerdas secara massif. Memilih dengan suka rela tanpa paksaan (civic engagement) merupakan kunci utama melahirkan pemimpin berkualitas. Bukan hanya memilih presiden yang besar karena pencitraan. Karena pilpres 2014 menjadi momentum bagi bangsa Indonesia guna melakukan konsolidasi demokrasi.