Mohalli Ahmad*
Selain kerja sama tanpa syarat, belakangan istilah profesional (dalam kabinet) sering
disebut presiden terpilih Joko Widodo. Istilah ini untuk menghindari kesan (praktik)
transaksional yang terlanjur dianggap tak bermoral.
Jokowi hati-hati betul dengan stigma politik transaksional. Sejak awal pencalonannya,
ia tunjukkan polical standing yang tegas melalui itikad membangun kerja sama tanpa syarat.
Bahkan ia menyebut langkahnya itu sebagai upaya memulai tradisi politik baru. Sebuah
tradisi yangoleh F.Budi Hardimandilihat sebagai peluang perubahan substansi politis.
Hingga akhir proses pemilihan presiden dan wakil presiden, itikad itu masih bertahan.
Setidaknya, publik masih mendengar tekad Jokowi mengisi kabinetnya dengan kalangan
profesional. Namun, ketika postur kabinet diumumkan, saat itulah kekecewaan mulai muncul.
Ternyata, substansi politis kita tak banyak berubah. Tetap pragmatis, sarat kepentingan
personal dan partai.
Kerja sama tanpa syarat dan kabinet profesional ala Jokowi jatuh ke dalam
kubangan retorika moral. Ia gagal membendung arus politis partai. Ia juga gagal
menyelamatkan diri dari stigma politik transaksional. Lalu, masih adakah harapan bagi
kepemimpinan Jokowi ke depan, di tengah lingkaran politis yang kalut itu?
Transformasional
Dalam teori organisasi, faktor lingkungan dan gaya kepemimpinan sama-sama
berperan membentuk performa organisasi. Keduanya perlu sebangun dan sejalan guna
mencapai tujuan yang diinginkan. Tetapi, jika misalnya terjadi tarik menarik, maka faktor
yang harus dominan adalah gaya kepemimpinan. Sebab, salah satu fungsi pemimpin ialah
mengatasi keadaan.
Dalam artian, betul bahwa lingkaran politis telah memaksa Jokowi membentuk
kabinetnya transaksional. Ini tak perlu dirisaukan karena setiap jabatanapalagi kursi
kabinet yang politispada dasarnya memang transaksional. Lagi pula, mana ada jabatan di
bumi ini yang non-transaksional. Minimal, setiap jabatan memberlakukan hak dan kewajiban,
reward dan punishment. Tetapi di atas itu, yang perlu ditunggu dan diperhatikan adalah
bagaimana Jokowi melangkah dari yang transaksional itu.
Andai saja nanti Jokowi tetap lunak pada fatwa elit partai, maka dipastikan sulit
terjadi perubahan. Kepemimpinan Jokowi pun, menurut skema Stephen P.Robbins dan
Timothy A.Judge dalam Organizational Behaviour, cuma layak dikategorikan kepemimpinan
transaksional. Yakni, pemimpin yang dalam ukuran maksimal hanya mampu mengarahkan
anggota kabinet bekerja sesuai tugas atau perannya.
Sebaliknya, jika Jokowi berhasil memberi pengaruh ideal pada lingkaran politis itu,
maka di sinilah perubahan mungkin diharapkan. Model kepemimpinan ini masuk kategori
kepemimpinan transformasional (transformational leadership). Yaitu, pemimpin yang
mampu menginspirasi dan membangkitkan kesadaran kabinet akan pentingnya nilai dan
tujuan organisasi, melampaui tujuan personal.
: 08179118359