Anda di halaman 1dari 2

Ujian Akhir Blok 25 FK UKDW

Ilmu Sosial dan Budaya Dasar


Petunjuk Pengerjaan:
Naskah diketik dalam HVS Quarto, Times New Roman 12 pt; 1,5 spasi
Uraian disertai referensi minimal terdiri atas 2 buku dan 1 artikel
Naskah dikumpulkan pada tanggal 21 September 2016 ke Admin MKH (bpk.
Tujiyana) dalam bentuk hard print.

Bacalah ringkasan artikel di bawah ini (KOMPAS, Senin, 30 MEI 2016)


Dari Sagu ke Sega dan Konsekuensinya: Kasus Masyarakat Mentawai
Masyarakat Mentawai yang secara tradisional mengonsumsi sagu dan taro
(Keladi), perlahan tapi pasti kini beralih ke nasi atau dalam Bahasa Jawa, sega.
Perubahan itu mulai berdampak buruk pada kesehatan masyarakat Mentawai,
kerusakan ekologi, dan ketahanan pangan.
Penelitian oleh Lembaga Biologi Molekular Eijkman, Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi di 6 (enam) wilayah di Kepulauan Mentawai pada pertengahan Mei
2016 menyimpulkan bahwa perubahan pola konsumsi memunculkan banyak penyakit
baru. Misalnya, hipertensi yang termasuk 10 besar penyakit terbanyak diderita
masyarakat Mentawai sejak tahun 2015, bahkan sejak tahun 2015, mulai terdeteksi
adanya penyakit kanker yang diderita oleh warga asli Mentawai, kata Kepala Dinas
Kesehatan mentawai, Lahmuddin. Safarina Malik, peneliti dari Lembaga Eijkman
mengatakan penyakit-penyakit noninfeksi itu dipengaruhi perubahan gaya
hidup, terutama perubahan pola makan. Penyakit yang terkait gaya hidup itu
meliputi Diabetes Melitus, hipertensi, penyakit jantung, dan kanker.
Menurut riset antropolog dari Universites Leiden, Gerard Persoon (1992), upaya
mengubah pola makan masyarakat tradisional Mentawai ke beras sudah berlangsung
sejak lama. Pada tahun 1920-an, misionaris Jerman Borger, telah mengajak masyarakat
Siberut menanam padi dengan alasan sagu menjadi simbol kemalasan dan
kemandegan. Ia mengampanyekan bercocok tanam padi sebagai simbol kemajuan dan
pembangunan. Setelah Indonesia merdeka, kampanye penanaman lebih masif.
Pemerintah setempat mewajibkan setiap pemuda yang akan menikah agar
menanam padi terlebih dahulu. Pada tahun 1970-an, pemerintah mencanangkan
program pengentasan warga pedalaman dari kemiskinan dengan memaksa warga
Metawai pindah ke pesisir. Konsumsi beras menjadi indikator sukses tidaknya program
ini. Banyak orang mengonsumsi beras agar tidak dicap terbelakang atau miskin.
Perlahan, beras menjadi makanan pokok masyarakat Mentawai yang selama ribuan
tahun mengonsumsi sagu, taro, dan pisang.
Riset yang dilakukan oleh Platt (1977) ditemukan bahwa dalam 100 gram sagu di
Siberut mengandung protein 0,5 gram dan karbohidrat 88 gram dan tanpa
lemak. Beras memiliki protein dan lemak lebih tingi dari pada sagu dan ini yang kerap
diunggulkan dari beras. Akan tetapi, defisit protein dan lemak dari sagu, secara
tradisional ditutupi oleh keberlimpahan protein di Mentawai dari ikan dan hewan
buruan. Selain itu, di masa lalu masyarakat Mentawai mengonsumsi tamra, larva
kumbang dari batang sagu yang dibiarkan membusuk. Tamra amat kaya
protein. Selain perbedaan kandungan lemak dan protein, sagu dan beras amat berbeda
indeks glikemiknya. Indeks itu mengukur seberapa cepat glukosa dilepaskan di aliran
darah setelah makan. Makanan dengan indeks glikemik rendah membuat orang serasa
kenyang lebih lama dan menjaga kadar gula darah lebih stabil. Indeks glikemik nasi di
atas 70 %, sedangkan sagu 20%, dan talas 50%, menurut Safarina. Jadi, mengonsumsi
sagu atau keladi secara tradisional oleh warga Mentawai membantu mencegah potensi
terkena diabetes. Sebaliknya, perubahan ke nasi meningkatkan risiko diabetes, padahal
secara genetis masyarakat Indonesia membawa gen yang rentan penyakit itu, sehingga

perubahan pola makan ke beras menambah kerentanannya. Deputi Direktur Eijkman


yang juga ahli genetika, Herawati Sudoyo Supolo mengatakan, warga Indonesia rata-rata
memiliki kadar basa T16189C di struktur DNA mitokondrianna di atas 30-40 persen,
dengan wilayah Nias yang kadar basa T16189C -nya 60% atau yang tertinggi.
Perubahan pola makan ini juga memicu perubahan ekologi di Mentawai.
Tanaman sagu (Metroxylon Sagu) ialah tanaman asli Mentawai, bahkan Indonesia
terutama kawasan Timur seperti Papua dan Maluku. Berbeda dengan sagu yang dapat
tumbuh di rawa-rawa atau hutan tanpa dirawat, padi memerlukan lahan terbuka dan
dirawat secara intensif. Selain harus membuka lahan, padi membutuhkan irigasi, pupuk,
obat-obatan, dan jam kerja empat kali lebih banyak untuk produksinya. Lebih jauh lagi,
satu jam kerja orang Mentawai menghasilkan 2,6 Kg sagu. Dalam kurun waktu yang
sama, dihasilkan 0,6 kg beras (Persoon, 1992). Meski terjadi pembukaan sawah baru di
Mentawai, namun kepulauan itu bergantung pada pasokan dari luar. Sebagai contoh,
tahun 2013, kebutuhan konsumsi beras di Mentawai adalah 5100 ton namun beras yang
dihasilkan 3513 ton, Jadi, terjadi defsit 1587 ton. Perubahan pola konsumsi itu terkait
kebijakan pangan nasional yang bias beras, padahal dari aspek kesehatan, ekologi,
kebudayaan, dan ketahanan pangan, penyeragaman pangan dengan mengonsumsi
beras, sarat masalah.

Soal-soal :
1

Kebudayaan merupakan sebuah sistem. Melalui kasus di


Mentawai, uraikan argumentasi anda dengan mengaitkannya
dengan dunia kedokteran (300 kata)
Perspektif emik membantu tenaga kesehatan memahami latar
belakang budaya pasien dalam rangka menegakkan diagnosis.
Dengan menggunakan kasus di mentawai, maka contohkan
manfaat perspektif emik dalam melakukan pendidikan kesehatan
kepada masyarakat Mentawai (250 Kata)
Terapkan salah satu alat analisis konflik (pohon, pilar, atau
segitiga konflik) untuk memberikan gambaran kebijakan pangan
nasional dan situasi kesehatan di Mentawai.

Indikator Penilaian :
1 Defnisi dan konsep umum yang menjadi topi perkuliahan (kebudayaan,
kebudayaan sebagai suatu system, Emik-Etik, HAM, dan pemanfaatn alat
analisis konflik)
2 Menggunakan referensi minimal 2 buku, artikel , atau pendapat pakar
yang dikutip secara benar
3 Menyertakan Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai