Anda di halaman 1dari 4

1.

Kebudayaan yang ada di mentawai dikaitkan dengan dunia kedokteran


Berdasarkan artikel tentang kebijakan pemerintah terhadap masyarakat mentawai disini
terjadi benturan antara kebudayaan warga dengan pemerintah. Menurut saya, pilihan
pemerintah melakukan kebijakan ini kurang baik walaupun maksudnya baik. Jika dilihat dari
sisi kebudayaan, yang mana merupakan cara hidup dari masyarakat tertentu dan suatu yang
khas antar 1 masyarakat yang satu dengan yang lain. Kebudayaan memiliki 7 unsur yang
sifatnya universal Koentjaraningrat (1990 : 2-3). Ketujuh unsur ini saling berkaitan
membentuk suatu system kebudayaan. Salah satu unsur adalah system mata pencaharian
yang mana termasuk bagaimana cara mereka mencari makan baik bercocok tanam dan
berburu. Saya mengatakan kebijakan tersebut kurang baik karena di Indonesia terdapat begitu
banyak kebudayaan, yang secara otomatis unsur kebudayaannya juga beragam. Jika
pemerintah ingin menyeragamkan makanan pokok yang mana merupakan suatu unsur
kebudayaan agaknya sulit, karena makanan pokok masing masing daerah itu juga bergantung
dari keenam unsur kebudayaan yang lain. Jadi secara semerta-merta mengganti makanan
pokok itu seperti mengubah sebuah system yang sudah ada. Apalagi dengan cara memainkan
gengsi atau menyuruh menanam padi sebagai syarat untuk menikah ini merupakan
pelanggaran HAM karena berdasarkan duham menikah adalah hak prerogatif sebuah
pasangan. Kalau memang mau mengubah sesuatu dalam sebuah system tentunya tidak bisa
merubah satu hal, tapi harus dilihat bagaimana efeknya pada system tersebut apakah masih
bisa berjalan atau tidak. Bisa dilihat dari kasus ini, timbul masalah kesehatan. Warga banyak
menderita penyakit yang disebabkan oleh perubahan gaya hidup. Secara gizi memang nasi
lebih banyak mengandung lemak dan karbohidrat dibanding dengan sagu atau bisa dibilang
lebih lengkap. Mungkin ini alasan pemerintah melakukan penyeragaman makanan pokok,
agar Indonesia lebih cukup gizi. Namun yang salah adalah melakukan pemerataan ke semua
masyarakat Indonesia yang sangat beragam ini, contohnya saja masyarakat mentawai ini.
Mereka memiliki cara mereka sendiri untuk mendapatkan makanan, yang lebih baik jika sagu
tidak diganti dengan nasi. Karena kekurangan ini dapat ditutupi dengan bahan makanan yang
mereka cari. Kekurangan protein dan lemak dan sagu dapat ditutupi dengan ikan dan hewan
hasil buruan. Jika diganti dengan nasi maka akan jadi berlebih dan menimbulkan masalah
kesehatan yang baru. Belum lagi indeks glikemik nasi yang lebih tinggi dari sagu. Ini
kemudian menimbulkan gaya hidup yang kurang sehat. Ketika kadar gula naik bisa terjadi

berbagai macam penyakit seperti yang ada di artikel tersebut. Jadi bisa dibilang masyarakat
mentawai sudah cocok dengan gaya makan mereka yang tradisional.

2. Manfaat perspektif emik dalam pendidikan kesehatan pada masyarakat mentawai.


Berdasarkan konflik yang terjadi di mentawai akibat kebijakan pemerintah untuk
mengganti sagu dengan nasi telah menimbulkan masalah keseahatan, maka dari itu disini
diperlukan tenaga kesehatan untuk turun tangan dalam memberikan edukasi agar dapat
mengajarkan gaya hidup yang baik dan benar dan menurunkan angka kejadian penyakit
akibat dari perubahan ini. Namun untuk melaukan edukasi dokter yang kesana perlu untuk
memahami bagaimana cara pandang masyarakat terhadap apa yang ingin disampaikan atau
bisa dibilang perspektif emik. Menurut Wiyata (2011) Emik adalah perspektif dari sudut
orang yang diteliti. Ini sangat penting, jangan sampai terjadi seperti pemerintah yang sering
tidak mencari tau terlebih dulu apa yang sudah menjadi kepercayaan dari warga local.
Padahal ini sangat bermanfaat bagi keberlangsungan suatu kebijakan. Begitu juga bagi
tenaga kesehatan terlebih lagi dokter yang ingin melakukan penyuluhan atau edukasi soal
kesehatan. Ketika seseorang memahami emik maka mereka akan paham konstruksi budaya
yang ada disana sehingga apa yang akan dilakukan selanjutnya bisa lebih mudah masuk ke
masyarakat karena tidak bertabrakan dengan apa yang sudah ada disana. Kalaupun memang
ada suatu hal yang bertabrakan atau memang perlu dirubah itu bisa diubah dengan lebih halus
tanpa menyinggung secara langsung apa yang sudah di percayai oleh warga local. Dengan
begitu juga warga akan lebih percaya dan merasa dimengerti oleh petugas kesehatan
sehingga mereka akan lebih mudah menurut. Selain itu juga ini merupakan cara dokter untuk
memahami calon pasiennya secara utuh atau holistic sehingga kedepannya ketika melakukan
pengobatan maka akan lebih mudah. Selain warga jadi lebih mudah diarahkan, dokter bisa
melihat dari konstruksi budaya apa saja yang bisa digunakan demi menjaga kesehatan pasien
kedepannnya dan dimanfaatkan untuk dijadikan media untuk sosialisasi kepada pasien.
Dengan begini walau pemerintah tidak memahami emik dari warga local dokter bisa menjadi
jembatan agar tercapai kebijakan yang menguntungkan bagi warga.

3. Analisisi konflik

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta :
Gramedia.
Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai