Anda di halaman 1dari 25

PERSANGKAAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI

DALAM PERADILAN ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Peradilan
Islam II Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah

Disusun oleh :
SITI SADIAH
12214110217

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2015

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya berupa
iman, Islam dan ilmu serta bimbingann-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Persangkaan
sebagai salah alat bukti dalam Peradilan Islam. Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Peradilan Islam II.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu
dosen yang telah memberikan ilmunya, bimbingan dan
kesabarannya hingga akhirnya makalah ini dapat selesai tepat
pada waktunya.
Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, penulis tidak menutup diri untuk menerima kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan
makalah ini. Penulis berharap, makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan rekan-rekan Mahasiswa lainnya. Aamiin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor, April 2015

Siti Sadiah

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................iii
PENDAHULUAN..............................................................................1
A.

Latar Belakang Masalah....................................................1

B.

Perumusan Masalah..........................................................2

C.

Tujuan Penulisan................................................................2

PEMBAHASAN................................................................................3
A.

Pengertian Bukti Persangkaan...........................................3

B.

Dasar Hukum Persangkaan................................................5


1.

Al-Quran........................................................................5

2.

Putusan Rasulullah SAW.................................................6

3.

Kisah Nabi Sulaiman.......................................................6

4.

Hukum Positif..................................................................7

C.

Pembagian Bukti Persangkaan..........................................8

5.

Qarinah Qanuniyyah / Praesumptiones Juris...................8

6.

Qarinah Qadlaiyyah/ Praesumptiones Facti.................10

D.

Penggunaan dan Posisi Persangkaan sebagai Alat Bukti 13

KESIMPULAN DAN SARAN............................................................15


A.

Kesimpulan......................................................................15

B.

Saran...............................................................................15

DAFTAR PUSTAKA........................................................................16

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah


Untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/ fakta

yang diajukan benar terjadi, yang dibuktikan kebenarannya,


sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak,
maka diharuskan adanya bukti. Membuktikan artinya
mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa
berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut hukum
pembuktian yang berlaku.
Untuk membuktikan itu, para pihaklah yang aktif berusaha
mencarinya, menghadirkan atau mengetengahkannya ke muka
sidang. Persangkaan merupakan salah satu yang dapat dijadikan
sebagai alat bukti guna membuktikan suatu peristiwa/kejadian
adalah benar atau tidaknya .
Apabila dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sukar
untuk mendapatkan saksi yang melihat, mendengar, atau
merasakan sendiri, maka peristiwa hukum yang harus dibuktikan
diusahakan agar dapat dibuktikannya dengan persangkaanpersangkaan1.
1Dipakai kata persangkaan-persangkaan, oleh karena satu persangkaan saja tidak
cukup untuk membuktikan sesuatu. Harus banyak persangkaan-persangkaan yang
satu sama lain saling menutupi, berhubungan, sehingga peristiwa/dalil yang disangkal

Maka dari itulah penulis mencoba untuk menyajikan makalah ini


yang membahas tentang bukti persangkaan.

B. Perumusan Masalah

1)
2)
3)
4)

Apa yang dimaksud dengan bukti persangkaan?


Apa saja dasar hukum persangkaan?
Ada berapa macam bukti persangkaan?
Bagaimanakah penggunaan dan posisi persangkaan
sebagai alat bukti?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :


1)
2)
3)
4)

Untuk
Untuk
Untuk
Untuk

mengetahui
mengetahui
mengetahui
mengetahui

arti alat bukti persangkaan


dasar hukum persangkaan
pembagian alat bukti persangkaan
penggunaan dan posisi persangkaan

sebagai alat bukti dalam persidangan

itu misalnya, dapat dibuktikan.

PEMBAHASAN

A Pengertian Bukti Persangkaan


Alat bukti persangkaan (Belanda, Ver Moeden) yang di
dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut al Qarinah menurut
bahasa artinya istri atau hubungan atau pertalian,
sedangkan menurut istilah hukum ialah hal-hal yang mempunyai
hubungan atau pertalian yang erat demikian rupa terhadap
sesuatu sehingga memberikan petunjuk.2
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau
Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang nyata/terang kearah
peristiwa (kejadian) lain yang belum terang kenyataannya.3 Pada
hakekatnya, persangkaan merupakan alat bukti yang bersifat
tidak langsung.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa
yang telah dianggap terbukti, lalu peristiwa yang dikenal, kearah
suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang menarik kesimpulan
tersebut adalah Hakim atau Undang-undang. Misalnya apabila
seorang anak yang telah dipelihara, dikhitan, dan dikawinkan
2

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama , (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1998), hlm. 166.

Umar mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan

Praktek, (Bandung : Sumber Bahagia, 1991), hlm. 151.

oleh keluarga A, dan meskipun ia sesungguhnya adalah orang


lain, ia memanggil ma dan bapa kepada A dan B, hal itu
memberi persangkaan Hakim bahwa anak tersebut adalah anak
angkat dari A dan B.4
Pasal 1915 B.W. menyatakan bahwa : Persangkaan ialah
kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditarik
dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu
peristiwa yang tidak diketahui umum. Ada dua persangkaan,
yaitu persangkaan yang berdasarkan undang-undang dan
persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
Dalam hukum acara perdata Islam, persangkaan disebut
Qarinah yang dijadikan sebagai salah satu alat pembuktian.
Qarinah yaitu isyarat, indikasi, atau tanda-tanda yang dapat
memberikan kesimpulan kepada hakim. Qarinah secara bahasa
diambil dari kata muqaranah yang berarti musahabah dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pengertian atau
petunjuk.5Secara istilah, qarinah diartikan dengan :

4 Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum


Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Mandar
Maju, 2009), hlm. 77
5 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm.88.


6
Menurut Raihan Rasyid, yang dimaksud dengan qarinah di
dalam istilah hukum adalah hal-hal yang mempunyai hubungan
atau pertalian yang erat sedemikian rupa terhadap sesuatu
sehingga dapat memberikan petunjuk.7
Jadi, Persangkan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu
peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti dari suatu
peristiwa yang dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu
peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang
berdasarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh
Hakim.

6Nashr Farid Washil, Nazhariyyah ad Dawa wa al Istbat fii al-Fiqhi, (Kairo :

Daaru

asy Syuruq. 2002), hlm.147.

7 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Edisi Baru), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm. 174.

D.

Dasar Hukum Persangkaan

1. Al-Quran
Dalam Al-Quran

terdapat beberapa ayat yang dijadikan

sebagai landasan hukum ataupun dasar pijakan dari Qarinah


sebagai alat bukti di dalam hukum acara peradilan Islam. Yaitu :
1. surah 12 ayat 26, Qarinah diabadikan dalam kisah Nabi
Yusuf dan Zulaikha :


Artinya : Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku

(kepadanya)", dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan


kesaksiannya: Jika baju gamisnya koyak di muka, Maka wanita itu benar dan
Yusuf Termasuk orang-orang yang dusta.

2. Surah Al-Hijr ayat 75



Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. (QS.
Al-Hijr/15:75)

3. Surah Muhammad ayat 30





dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu
sehingga kamu benar-benar dapat Mengenal mereka dengan tanda-tandanya.
dan kamu benar-benar akan Mengenal mereka dari kiasan-kiasan Perkataan
mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu
(QS. Muhammad/47:30)

Surah Al-Baqarah ayat 273





6



(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah;
mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal
mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (QS. AlBaqarah/2:273)

2. Putusan Rasulullah SAW


Menurut Muhammad Salam Madzkur, bahwa dalam
yurisprudensi yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau
menggunakan Qarinah dalam putusannya. Disebutkan bahwa
Rasulullah SAW pernah menahan orang dan menghukum
tertuduh setelah timbul persangkaan karena nampak tandatanda mencurigakan pada diri tertuduh. Nabi SAW juga pernah
memerintahkan orang yang menemukan sesuatu agar
menyerahkan barang temuannya kepada orang yang ternyata
tepat dalam menyebutkan sifat-sifat barangnya yang hilang, dan
beliau memerintahkan agar orang tersebut (pihak yang
kehilangan) menyebutkan sifat-sifat barangnya yang hilang,
wadahnya, dan tutupnya.
3. Kisah Nabi Sulaiman
Contoh lainnya yaitu ketika Nabi Sulaiman as yang
didatangi dua orang perempuan yang bersengketa
memperebutkan seorang anak, yang masing-masing mengakui
7

bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Kemudian


perkara tersebut diadili oleh Nabi Daud as dan diputus dengan
kemenangan di pihak perempuan yang muda. Lalu Nabi
Sulaiman as yang ikut hadir dalam Majlis Pengadilan tersebut
berkata : berilah aku sebilah pisau yang akan kupergunakan
untuk membelah anak ini menjadi dua bagian untuk masingmasing pihak yang bersengketa, kemudian perempuan yang
tua memperkenankan tindakan Nabi Sulaiman tersebut
sedangkan perempuan yang muda berkata : jangan engkau
lakukan itu, semoga Allah memberikan rahmatNya atasmu,
berikanlah anak itu kepadanya (kepada perempuan tua itu).
Kemudian atas dasar kejadian (qarinah) itu maka diputuslah
dengan diberikannya anak tersebut kepada perempuan yang
muda berdasarkan adanya qarinah, bahwa dialah yang
menampakkan rasa belas kasihan kepadanya dan mencegah
dipotongnya anak tersebut menjadi dua bagian, dimana
perempuan yang tua justru mengijinkannya, dan perempuan
muda itupun merelakan anak itu untuk diserahkan kepada yang
tua. Disini nampak sekali bahwa alat bukti qarinah lebih
diutamakan daripada iqrar (pengakuan).

4. Hukum Positif
Dalam Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama menentukan bahwa hukum acara yang berlaku pada
Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam UU ini.
Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 164 HIR, Pasal
284 Rbg, dan Pasal 1866 BW. Berikut alat-alat bukti tersebut:
1.

Alat Bukti Surat

(Pasal 164 HIR)

2.

Alat Bukti Saksi

(Pasal 164 HIR)

3.

Alat Bukti Persangkaan

(Pasal 164 HIR)

4.

Alat Bukti Pengakuan

(Pasal 164 HIR)

5.

Alat Bukti Sumpah

(Pasal 164 HIR)

6.

Pemeriksaan Ditempat

(Pasal 153 HIR)

7.

Saksi Ahli

(Pasal 154 HIR)

8.

Pembukuan

(Pasal 167 HIR)

9.

Pengetahuan Hakim

(Pasal 178 (1) HIR dan UU-MA No.

14/1985)
Pasal 164 HIR (ps. 284 Rbg, 1866 BW) menyebut
persangkaan sebagai alat bukti sesudah saksi : persangkaanpersangkaan (vermoedens, presumptions). Sedangkan di Mesir,
Undang-undang Nomor 147 Tahun 1949 tentang Acara Perdata,
9

qarinah diterima sebagai alat bukti. Begitu pula dalam Undangundang Nomor 78 Tahun 1931 tentang Mahkamah Syariah,
qarinah dipakai sebagai alat bukti.

E. Pembagian Bukti Persangkaan


Ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan
berdasarkan undang-undang/hukum (Qarinah Qanuniyyah,
Praesumptiones Juris), dan persangkaan berdasarkan atas
kesimpulan yang ditarik oleh Hakim (Qarinah Qadlaiyyah,
Praesumptiones Facti).
5. Qarinah Qanuniyyah / Praesumptiones Juris
Praesumptiones Juris atau wettelijke atau
rechtsvermoedens, Praesumptiones Juris adalah persangkaan
yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undangundang/hukum yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan
tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Maka undangundanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang
tidak diajukan. Persangkaan menurut undang-undang ini
membebaskan orang, yang untung karenanya, dari segala
pembuktian lebih lanjut (ps. 1921 ayat 1 BW). Kekuatan
pembuktiannya bersifat memaksa.

10

Menurut pasal 1916 B.W., Persangkaan yang berdasarkan


undang-undang ialah persangkaan yang dihubungkan dengan
perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan
ketentuan undang-undang. Persangkaan semacam itu antara lain
adalah;
a. perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang,
karena perbuatan itu semata-mata berdasarkan dari sifat
dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk
menghindari suatu ketentuan undang-undang;
b. pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya
hak milik atau pembebasan utang dari keadaan tertentu;
c. kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada
suatu putusan Hakim yang memperoleh kekuatan hukum
yang pasti;
d. kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada
pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.
Menurut M. Nur Rasaid, tentang menarik persangkaan menurut
undang-undang ini haruslah dianggap sebagai perbandingan
saja, yang oleh Hakim harus dipertimbangkan apakah dalam
suatu kasus tertentu berlaku ketentuan tersebut.8
Persangkaan berdasarkan Undang-undang ini terbagi dua, yaitu :

8 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika: 2003) cet.ke-3 hlm.42.
11

a. Praesumptiones Juri Tantum


adalah persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan
adanya pembuktian lawan. Contohnya adalah pasal 159, 633,
658, 662, 1394, 1439 B.W, 42, 44 Peraturan Kepailitan.
b. Praesumptiones Juris et De Jure
adalah persangkaan berdasarkan hukum yang tidak
memungkinkan pembuktian lawan. Persangkaan menurut
undang-undang diatur dalam pasal 1921 ayat 2 B.W. yang dapat
menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan
tertentu.(lihat pasal 184, 911, 1681 B.W). pasal 1921 ayat 2
B.W :
(2) Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang, tidak boleh
diadakan pembuktian, bila berdasarkan persangkaan itu undangundang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau
menolak diajukannya suatu gugatan ke muka Pengadilan, kecuali bila
undang-undang memperbolehkan pembuktian sebaliknya, tanpa
mengurangi ketentuan-ketentuan mengenai sumpah di hadapan
Hakim.

6. Qarinah Qadlaiyyah/ Praesumptiones Facti


Adalah persangkaan berdasarkan kenyataan (Feitelijke
atau Rechterlijke vermoedens, Praesumptiones Facti) atau bisa
diartikan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh Hakim.
Persangkaan yang didasarkan atas suatu kesimpulan yang ditarik
oleh Hakim adalah persangkaan-persangkaan yang berdasarkan
12

kenyataan-kenyataan yang ada, yang dilihat oleh Hakim dalam


proses persidangan sehingga tersusunlah suatu kesimpulan
persangkaan-persangkaan.
Dalam hal ini, Hakimlah yang memutuskan berdasarkan
kenyataannya, apakah mungkin dan sampai berapa jauhkah
kemungkinannya untuk membuktikan peristiwa tertentu dengan
membuktikan peristiwa lain. Misalnya peristiwa a yang diajukan,
maka Hakim memutuskan apakah peristiwa b ada hubungannya
yang cukup erat dengan peristiwa a. Untuk menganggap
peristiwa a terbukti dengan terbuktinya peristiwa b. Contoh
lainnya adalah persoalan adat-waris sering dipergunakan
persangkaan Hakim. Bahwa oleh karena penggugat sudah dua
puluh tahun lebih tinggal diam tanpa ada sesuatu alasan yang
sah, hal itu memberi persangkaan (Hakim) yang beralasan,
bahwa penggugat sesungguhnya tidak berhak atas sawah/tanah
yang dipersengketakan lagi.
Hakim tidak boleh sembarangan dalam menarik
kesimpulan dari adanya berbagai peristiwa. Persangkaan hanya
dapat dibenarkan apabila persangkaan itu timbul dari adanya
kesaksian, surat-surat, pengakuan dari salah satu pihak.

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariyah,

(Bandung : Sinar Grafika, 2009) cet.1 hlm. 112

13

Persangkaan Hakim juga adalah sehubungan dengan adanya


gugatan perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Tidak
mudah untuk menemukan saksi-saksi yang melihat sendiri ketika
perzinahan itu terjadi. Oleh karena itu, sudah menjadi
yurisprudensi tetap bahwa apabila dua orang, pria dan wanita
dewasa yang bukan suami-istri itu tidur bersama dalam satu
kamar yang hanya mempunyai satu tempat tidur maka untuk
perbuatan perzinahan telah terdapat satu persangkaan Hakim.
Persangkaan-persangkaan diatur dalam pasal 1915 BW.
Pengertian persangkaan Hakim sangat luas. Segala
peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari
pemeriksaan perkara tersebut, semuanya itu dapat dijadikan
bahan untuk menyusun persangkaan Hakim.
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa jika hanya Qarinah (sangkaan) yang ada,
sedangkan saksi atau iqrar (pengakuan) tidak ada, maka Hakim
tidak dapat memutuskan perkara itu. Menurut ulama Hanafiah,
Qarinah sebagi alat bukti dan penilainnya tergantung kepada
pertimbangan Hakim. Sedangkan menurut Ibnu Al-Qayyim,
Qarinah sebagai alat bukti sama dengan kedudukan saksi.10
Dalam Pasal 311 HIR adalah adanya isyarat atau petunjuk hanya
dapat dibuktikan oleh saksi-saksi, surat-surat, pemeriksaan
10

Ibid., hlm. 113

14

sendiri, walaupun diluar Pengadilan. Pasal 173 HIR berbunyi :


dugaan-dugaan yang tidak berdasarkan suatu peraturan
undang-undang, hanya boleh diperhatikan oleh Hakim dalam
menjatuhkan keputusannya, jika dugaan-dugaan itu penting,
saksama, tertentu dan sesuai satu sama lain. (KUHPerd. 1916,
1921, dst).
Persangkaan Hakim sebagai alat bukti mempunyai
kekuatan bukti bebas, yaitu terserah kepada penilaian Hakim
yang bersangkutan, kekuatan bukti apa yang akan diberikan
kepada persangkaan Hakim tertentu itu, apakah akan dianggap
sebagai alat bukti yang berkekuatan sempurna, atau sebagai
bukti permulaan atau akan tidak diberi kekuatan apapun juga.
Apabila hanya ada satu persangkaan Hakim saja, maka
persangkaan tersebut tidaklah dianggap cukup untuk
menganggap dalil yang bersangkutan itu terbukti. Artinya,
persangkaan Hakim itu baru merupakan bukti lengkap apabila
saling berhubungan dengan persangkaan-persangkaan Hakim
yang lain yang terdapat dalam perkara itu.

F. Penggunaan dan Posisi Persangkaan sebagai Alat


Bukti
Persangkaan atau qarinah di dalam hukum acara peradilan
Islam adalah merupakan salah satu alat bukti yang sah di antara
15

sekian banyak alat bukti yang ada dalam hukum acara Islam.
Menurut Roihan Rasyid, tidak semua qarinah dapat dijadikan
sebagai alat bukti, melainkan hanya qarinah yang jelas saja,
yang dalam hukum acara peradilan Islam disebut qarinah
wadihah yang dapat dijadikan sebagai dasar pemutus, walaupun
hanya atas satu qarinah wadihah tanpa didukung oleh alat bukti
yang lain. Dengan kata lain bahwa qarinah wadihah ini dapat
berdiri sendiri, tidak memerlukan perantara alat bukti lain dalam
penerapannya sebagai alat bukti di dalam persidangan.
Suatu putusan yang dijatuhkan berdasarkan bukti
persangkaan dari indikatornya yang nyata tidak dapat dikatakan
sebagai putusan yang menyimpang. Karena, sekiranya gugatan
Penggugat tidak benar, tentulah gugatan itu ditolak oleh
Tergugat dengan sumpahnya. Dan jika tergugat menolak
mengangkat sumpah, maka penolakannya itu merupakan
indikator nyata yang menunjukkan kebenaran gugatan
Penggugat. Dengan demikian asas praduga tak bersalah harus
dikalahkan. Banyak implikasi dan indikasi yang lebih kuat, selain
sikap menolak mengangkat sumpah, yang dapat ditangkap oleh
indra.11

11Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron A.M, cet.ke-4,
(Surabaya: PT Bina ilmu, 1993), hlm. 120.

16

Para Hakim yang cerdas serta arif bijaksana dapat


membebaskan hak-hak rakyat yang terampas dengan
memperhatikan qarinah-qarinah yang jelas adanya, maka para
hakim tidak lagi meminta bukti kesaksian dan juga tidak
meminta suatu pengakuan.12Hakim wajib untuk selalu mencari
kebenaran, sehingga hakim harus menjauhkan segala sesuatu
yang dapat mengganggu fikirannya. Dia tidak boleh memutus
dikala amat marah ataupun lapar, dikala sedih yang
mencemaskan, amat takut, mengantuk, panas dingin atau sibuk
hatinya sehingga hal hal itu akan memalingkannya dari
pengetahuan yang benar dan pemahaman yang cermat.13
Telah disebutkan diatas bahwa menurut Ibnul Qayyim, bahwa
qarinah sebagai alat bukti adalah sama dengan kedudukan saksi.
Ulama Madinah berpendapat bahwa tidaklah dapat diterima
pernyataan seorang perempuan yang mengatakan bahwa
suaminya tidak membelanjainya dan tidak memberikan pakaian
kepadanya, berdasarkan qarinah secara lahiriah (sebab ia
ternyata masih hidup dan juga berpakaian), kecuali jika ia dapat
membuktikan atas keterangannya tersebut. Fuqaha

12

Ibid, hlm.121.

13

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Mudzakir AS, jilid ke-14, (Bandung: Al-

Maarif, 1988), hlm.28.

17

beranggapan bahwa qarinah adalah alat bukti, yaitu tentang


anggapan sahnya jual beli dengan semata-mata saling
menyerahkan (antara penjual dan pembeli) tanpa ada
keterangan kata-kata apapun, adalah karena berpegangan
dengan qarinah-qarinah dan tanda-tanda yang menunjukkan
atas kerelaan masing-masing pihak yang merupakan syarat
sahnya jual beli. Imam Malik dan sebagian Fuqaha tidak
membenarkan gugatan yang tidak nampak adanya kebenaran
dan penggugatnya tidak usah diminta sumpahnya kerena
semata-mata melihat qarinah-qarinah dan tanda-tanda secara
lahiriahnya.

18

KESIMPULAN DAN SARAN

A Kesimpulan
Persangkan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu
peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti dari suatu
peristiwa yang dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu
peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang
berdasarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh
Hakim.
Ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan
berdasarkan undang-undang/hukum (Qarinah Qanuniyyah,
Praesumptiones Juris), dan persangkaan berdasarkan atas
kesimpulan yang ditarik oleh Hakim (Qarinah Qadlaiyyah,
Praesumptiones Facti).
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
persangkaan/qarinah merupakan salah satu alat bukti yang
dapat membuktikan suatu kejadian benar atau tidak. Namun,
persangkaan itu sendiri tidak dapat langsung menjadi bukti
tanpa bukti lain atau persangkaan-persangkaan Hakim yang lain.
Kecuali persangkaan yang jelas saja (qarinah wadihah).

19

B Saran
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki oleh penyusun, maka untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mendasar dan luas lagi disarankan
kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi lain yang
lebih baik.

20

DAFTAR PUSTAKA

Madkur, M. S. (1993). Peradilan dalam Islam. Surabaya: PT. Bina


Ilmu.
Mardani. (2009). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama &
Mahkamah Syar'iyah. Jakarta: Sinar Grafika.
Mertokusumo, S. (1993). Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Liberty.
Rasyid, R. A. (1998). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Sutantio, R., & Oeripkartawinata, I. (2009). Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
Syah, U. M. (1991). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Menurut Teori dan Praktek. Bandung: Sumber Bahagia.

Anda mungkin juga menyukai