Anda di halaman 1dari 12

MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN

BANK PERKREDITAN RAKYAT

Oleh:

M. RIDWAN HANIF
NURWAHYUNI
KIKI FADILA AKBAR
CHRISTADIYAS MULYONO
FIRDA SARI MEILANI

2013101703111
201310170311173
201310170311292
201310170311193
201310170311204

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2016

BAB I

PENDAHULUAN
Ladasan hukum pendirian dan beroperasinya Bank Perkreditan Rakyat(BPR) adalah Undangundang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan undangundang No 10 Tahun 1998. Keberadaan BPR dalam masyarakat indonesia sudah ada jauh
sebelum di undang-undankan nya undang-undang No 14 Tahun 1967 yang kemudian diganti
dengan UU no 7 Tahun 1992.
Apabila ditelususri jauh kebelakang pendirian BPR ini dimulai pada abad ke 19 dimana pada
saat itu sumber untuk memperoleh pinjaman , terutama di wilayah pedesaan hanya berasal
dari pelepas uang (rentenir) dengan bunga mencapai 100%-200% pertahun. Melihat kondisi
tersebut muncul beberapa gagasan baik dari masyarakat di negeri belanda maupun di
indonesia yang menghendaki diadakannya lembaga perkreditan bagi masyarakat indonesia
dengan bunga ringan guna meningkatkan atau mencegah kemorosotan lebih lanjut dari
kesejahteraan para petani. Disamping itu juga untuk meningkatkan daya tahn mereka
terhadap bencana-bencana yang mungkin terjadi. Gagasan untuk membangun lembaga
perkreditan rakyat(LPR) di Indonesia muncul pada akhir abad 19 atas prakarsa perorangan
yang kemudian di ambil alih oleh pemerintah Belanda. Beberapa orang Belanda yang
mendorong pendirian LPR di Indonesia antara lain F.Fokkens(1894), De Wolf van
Westerrode(1897), Cremer(1990), dan Mr. Th van Deventer.
Pendiri BPR pertama adalah Raden Ben Aria Wiriatmadja, seorang pribumi yang menjabat
sebagai Patih di Purwokerto. Pada tahun 1895 ia mendirikan Hulp en Spaarbank
derInlanndsche Bestuurs Ambtenaren(Bank bantuan dan tabungan pegawai pemerintahan
bangsa Indonesia) yang memberikan pinjaman kepada para pegawai negeri bangsa Indonesia
dan kepada para tukang dan petani dengana tujuan untuk membebaskan mereka dari jeratan
rentenir.
Selanjutnya, ketika diangkat menjadi asisten residen di Purwokerto pada tahun 1897, De wof
van westerrode, kemudian melakukan perbaikan dan perorganisasian pada bank bantuan dan
tabungan tersebut, dan mengubahnya menjadi bank tabungan, bantuan dan perkreditan rakyat
yang selanjutnya dikenal dengan bank kredit rakyat atau bank rakyat. Bank rakyat tersebut
pada dasarnya merupakan lembaga kedermawanan. Pendirian bank perkreditan di Purwokerto
tersebut, kemudian diikuti oleh pendirian bank-bank sejenis diberbagai daerah lainnya
terutama didaerah jawa.

Gagsan de wolf van westerrode sebenarnya adalah pemberian kredit kepada petani di
Indonesia yang dilakukan sesuai asas-asas koperasi sebagaimanahalnya dengan kredit
pertaanian. Namun, pembentukan koperasi kredit secara besar-besaran tentu sulit untuk
dilaksanakan dalam jangka waktu singkat. Sementara pemerintah belanda menginginkan agar
bantuan kredit kepada masyarakat Indonesia, khusunya kepada petani dapat diperluas
secepatnya. Pendirian bank perkreditan rakyat tersebut kemudian ditingkatkan oleh pegawai
pemerintahan.
Pada waktu waktu yang hampir bersamaan yaitu pada tahun 1898, didirikan lembaga
perkreditan didaerah pedesaan yang memberikan pinjaman dalam bentuk natura berupa padi.
Lembaga ini selanjutnya disebut lumbung desa. Pendirian lembaga ini dimaksudkan untuk
membantu para petani yang memiliki bibit atau mengalami kekurangan padi untuk konsumsi
pada masa paceklik. Seiring dengan berkembangnya diwilayah pedesaaan dimana peredaran
uang sudah semakin meresap ke dalam masyarakat, maka pada tahun 1904 didirikan bank
desa. Lembaga-lembaga perkreditan desa tersebut selnajutnya dikenal sebagai bank kredit
desa.
Selanjutnya, pada tahun 1934 , bank-bank rakyat digabung kedalam algemene volkscredit
bank (AVB). Dengan

berdirinya AVB tersebut berakhir pula peranan bank-bank rakyat

sebagai lembaga kedermawanan. Namun demikian tujuan AVB tetap diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemudian setelah merdeka, AVB berubah nama seperti
yang kita kenal sekarang Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan beroperasi sebagai bank
komersial dengan menyalurkan kredit kecil serta membuka unit-unit kantor di pedesaan.

BAB II

PEMBAHASAN
LEMBAGA DANA DAN KREDIT PEDESAAN
Perubahan bank-bank rakyat tidak menyurutkan kegiatan lembaga-lembaga perkreditan
pedesaan lainnya seperti Badan Kredit Desa, yang terdiri dari bank desa dan lumbung desa
yang tetap menjadi unsur terpenting dalam sistem perkreditan rakyat meskipun kondisinya
mulai mengalami penurunan. Namun, kemudian muncul bank pasar dan bank-bank desa.
Disamping itu, muncul lembaga-lembaga perkreditan rakyat lainnya yang diselenggarakan
dan dikembangkan oleh pemerintah daerah, seperti Bank Pasar yang banyak ditemukan
diberbagai daerah. Lembaga perkreditan kecamatan dan bank karya produksi desa di Jawa
Barat. Badan perkreditan kecamatan di Jawa Tengah. Kredit usaha rakyat kecil di Jawa
Timur. Lembaga perkreditan desa di Bali. Serta lumbung pitih nagari di sumatera barat.
Lembaga-lembaga perkreditan diatas selanjutnya dimasukkan kedalam kelompok lembaga
dana dan kredit pedesaaan (LDKP).
Pengelolaan lembaga-lembaga ini diserahkan sepenuhnya kepada organisasi struktural dan
fungsional yang ada di masing-masing desa. Tujuan dari pengembangan lembaga perkreditan
rakyat tersebut adalah untuk menyediakan berbagai kemudahan dalam mendapatkan sumber
permodalan bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah, terutama di pedesaan guna
mengembangkan usaha dan kemampuannya. Jasa-jasa perbankan yang dapat diberikan antara
lain kredit bagi pedagang/pengusaha kecil di pasar-pasar dan di desa-desa, serta mobilisasi
danan masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka.
Pengawasan dan pembinaan kegiatan usaha lembaga-lembaga ini dilakukan oleh bank
Indonesia. Namun tugas pengawasan tersebut didelegasi kepada Bnak Rakyat Indonesia yang
kantornya tersebar di berbagai daerah. Fungsi pengwasan tersebut selanjutnya diambil alih
oleh Bank Indonesia setelah dikeluarkannya UU No 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
Selanjutnya, dengan di undangkannya Undang-undang ini, Bank Indonesia melakukan
pembenahan dan penataan terhadap kelembagaan dan kegiatan usaha bank perkreditan rakyat
seperti sebelum dikeluarkannnya undang-undang tersebut yang hanya diatur oleh keputusan
menteri keuangan, Bank indonesia serta menteri dalam negeri.

FUNGSI BANK PERKREDITAN RAKYAT

Keberadaan bank perkreditan rakyat dari sisi kepentingan pemerintah adalah untuk:
a. Memberi pelayanan perbankan kepada masyarakat yang sulit maupun yang tidak
memiliki akses ke bank umum.
b. Membantu pemerintah mendidik masyarakat dalam memahami pola nasional agar
akselarasi pembangunan disektor pedesaan dapat lebih dipercepat.
c. Menciptakan pemerataan kesempatan berusaha terutama bagi masyarakat pedesaan
d. Mendidik dan memprcepat pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan lembaga
keuangan formal sehingga terhindar dari jeratan rentenir.
BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA UU NO 7 TAHUN 1992
Lahirnya undang-undang no.7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana yang telah diganti
dengan undang-undang no.10 tahun 1998 , antara lain didasarkan pada pertimabangan bahwa
telah terjadi perkembangan dalam perekonomian nasional dan semakin gencarnya tantangan
dalam persaingan internasional sehinggan perbankan nasioanal harus benar-benar disiapkan
untuk menghadapi situasi lingkungan persaingan global. Dengan adanya undang-undang
perbankan ini, pemerintah dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menata kembali struktur kelembagaan sektor perbankan dengan memberikan
keleluasaan dalam menjalankan fungsinya sebgai lembaga intermediasi.
2. Memberi kesempatan kepada sektor perbankan untuk memperluas jangkauan
pelayanannya, baik pelayanan perbankan umum yang menjangkauan semua lapiasan
masyarakat maupun pelayanan perbankan yang berkonsentrasi pada sektor ekonomi
berskala kecil atau usaha lemah terutama diwilayah perbankan.
3. Memperkuat landasan hukum terhadap pengaturan pengawasan, dan pembinaan
perbankan.

Atas pertimbangan tersebut, maka dalam uu no.7 tahun 11992 dilakukan penyederhanaan
sistem perbankan dengan melakukan penggolongan bank kedalam 2 jenis saya yaitu, bank
umum dan bank perkreditan rakyat. Pengaturan operasional BPR lebih lanjut ditetapkan
dalam peraturan bank indonesia no 6/22/PBI/2004 tanggal 9 agustus 2004 tentang bank
perkreditan rakyat.
PENGERTIAN BPR

Berdasarkan Undang-undang No.7 tahun 1992 , Bank Pengkreditan Rakyat (BPR)


adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sementara bank menurut undang undang ini adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
BENTUK HUKUM DAN KLASIFIKASI BPR
Pendirian BPR dapat dilakukan dengan memilih bentuk hukum sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Perusahaan Daerah
Koperasi
Perseroan Terbatas
Bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah

Bentuk Lain sebagaimana disebutkan pada butir di atas berdasarkan penjelasan pasal 21
ayat (2) UU No.7 tahun 1992, dimaksudkan untuk memberikan wadah bagi penyelenggaraan
lembaga perbankan yang lebih kecil dari BPR, seperti bank desa, lumbung desa, badan kredit
desa dan lembaga-lembaga lainnya yag dimaksud dalam pasal 58 UU No.7tahun 1992.
Dengan demikian pengertian bentuk hukum BPR dengan bentuk lain diperuntukkan bagi
lembaga lembaga yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan, seperti Bank
Desa, Badan Kredit Desa, Lumbung Desa dan lembaga lembaga lainnya (Bank Karya
Produksi Desa (BKPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Lumbung Pitih Nagari , LPN),
yang telah dikukuhkan sebagai BPR yang bentuk hukumnya bukan berupa salah satu dari
Perusahaan Daerah, Koperasi atau Perseroan Terbatas. Sedangkan bagi lembaga lembaga
lainnya seperti, Badan Kredit Kecamatan(BKK),Lumbung Pitih Nagari (LPN), Kredit Usaha
Rakyat Kecil(KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) yang belum memperoleh izin
usaha dari Menteri Keuangan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 19 PP No.71/1992 wajib
mengajukan permohonan izin usaha sebagai BPR sampai dengan tanggal 30 Oktober 1997
dengan memilih salah satu bentuk hukum berupa Perusahaan Daerah, Koperasi, atau
Perseroan Terbatas.
Seiring dengan berkembangnya perekonomian, Lembaga Dana dan Kredit
Pedesaan(LDKP) ikut pula mengalami pertumbuhan terutama dilingkungan masyarakat
pedesaan. Keberadaan lembaga keuangan mikro ini dirasakan sangat bermanfaat bagi
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka, khususnya dalam bentuk jasa tabungan dan

sumber kredit. Oleh karena itu, lembaga ini perlu dipertahankan eksistensinya di dalam
masyarakat desa. Sehubungan dengan itu untuk memperjelas status LDKP tersebut.
Berdasarkan Pasal 58 UU No.7 tahun 1992, keberadaan LDKP yang terdiri dari :
1. Bank Desa Lumbung Desa
2. Bank Pasar
3. Bank Pegawai
4. Lumbung Pitih Nagari (LPN)
5. Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
6. Badan Kredit Desa (BKD)
7. Badan Kredit Kecamatan (BKK)
8. Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK)
9. Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK)
10. Bank Karya Produksi Desa (BKPD)
Dan atau lembaga lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai
Bank Perkreditan Rakyat dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Peraturan
Pemerintah.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.71 tahun 1992
tentang BPR ditetapkan bahwa LDKP yang belum mendapat izin usaha sebagai BPR dari
Menteri Keuangan wajib mengajukan permohon izin usaha sebagai BPR selambat lambatnya
tanggal 30 Oktober 1997 dengan persyaratan sebagai berikut :
1. Memilih salah satu bentuk hukum berupa Perusahaan Daerah, Koperasi, atau Persoran
Terbatas.
2. Memenuhi Keputusan Bersama Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Bank
Indonesia tanggal 26 September 1994 mengenai ketentuan modal minimum sebesar
50 juta kualifikasi direksi yang berpengalaman di bidang Perbankan, memiliki
tempat/gedung dan kewajiban membuka kantor setiap hari.
Kemudian setelah dikeluarkannya UU No 7 tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998, BPR dapat diklasifikasikan menjadi
BPR badan kredit desa dan BPR bukan badan kredit desa sebagaimana pada tabel berikut :
Klasifikasi Bank Perkreditan Rakyat
Bank Perkreditan Rakyat
a. BPR bukan badan kredit desa
BPR Baru
Bank Pasar

Jumlah
1312
132

b.

c.

BKPD
Bank Pegawai
BPR Eks LDKP
BPR Badan Kredit Desa
Bank Desa
Lumbung Desa
LDKP

133
1
564
3289
2056
1620

PENDIRIAN DAN MODAL DISETOR BPR


Sebagai konsekuensi dikeluarkannya UU No.10 Tahun 1998, semua proses perizinan
di bidang perbankan, termasuk BPR yang sebelumnya dilakukan oleh Menteri Keuangan
dialihkan kepada bank Indonesia. Dengan demikian setelah UU ini dikeluarkan, maka semua
pengaturan di bidang perbankan termasuk perizinan, dilaksanakan oleh BI. Berdasarkan
Peraturan BI No 6/PBI/2004 tentang BPR. Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan
dan dimiliki oleh:
1.
2.
3.
4.

WNI
Badan Hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya berstatus WNI
Pemerintah Daerah
Dua pihak atau lebih

Ketentuan modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit sebesar :
1. Rp 5 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah DKI Jakarta
2. Rp 2 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah ibu kota provinsi di pulau Jawa dan
Bali serta di wilayah kabupaten atau Kodya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
3. Rp 1 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah Ibu kota provinsi diluar pulau Jawa
dan Bali dan wilayah pulau Jawa dan Bali di luar wilayah sebagaimana disebut dalam
butir a dan b
4. Rp 500 juta bagi BPR yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah sebagaimana
disebut dalam butir a,b,c.
Sementara itu, modal disetor bagi BPR yang berbentuk koperasi adalah simpanan
pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam undang undang tentang
perkoperasian. Paling sedikit 50% dari modal disetot BPR wajib digunakan untuk modal
kerja.

Salah satu pertimbangan dalam pemberian izin BPR oleh BI adalah hasil analisis atas
potensi dan kelayakan pendirian BPR yang harus disampaikan sebagai salah satu
persyaratan yang meliputi penilaian terhadap :
1. Aspek demografi dan ekonomi wilayah
2. Jumlah dan pertumbuhan lembaga perbankan termasuk lembaga keuangan mikro
3. Rencana kegiatan yang mencakup sumber dana dan penyaluran dana serta langkah
langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana yang dimaksud
4. Proyeksi keuangan secara bulanan untuk tahun pertama, dan secara tahunan untuk dua
tahun berikutnya, sejak BPR melakukan kegiatan operasional dan
5. Perencanaan sumber daya manusia
ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS BPR
Anggota Direksi dan Dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan :
1. Kompetensi
2. Integritas
3. Reputasi keuangan
Pemenuhan persyaratan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris di atas dilaksankan
sesuai dengan ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)
BPR. Jumlah anggota Direksi minimal berjumlah 2 orang dengan pendidikan minimum D3.
Anggota Direksi dilarang mempunyai hubungan keluarga dengan :
1. Anggota Direksi lainnya dalam hubungannya sebagai orang tua, anak, mertua,
menantu, suami, istri, saudara kandung, atau ipar.
2. Anggota Dewan Komisaris dalam hubungannya sebagai orang tua, anak, mertua,
menantu, suami, istri, saudara kandung, atau ipar.
Anggota Direksi dilarang merangkap minimal 2 orang dan minimal 50% anggota Dewan
Komisaris memiliki pengalaman dibidang perbankan. Anggota Dewan Komisaris hanya dapat
merangkap jabatan sebagai komisaris paling banyak pada 2 BPR atau pada satu Bank Umum.
PEMBUKAAN KANTOR BPR
BPR pada dasarnya dapat membuka kantor cabang dan kantor kas. BPR hanya dapat
membuka kantor cabang di wilayah provinsi yang sama dengan kantor pusatnya atas izin
Bank Indonesia.

Berdasarkan ketentuan, wilayah DKI dan Kabupaten atau Kotamadya Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, dan Karawang ditetapkan sebagai satu wilayah provinsi untuk keperluan
pembukaan kantor cabang. Sebagai konsekuensi dari penetapan wilayah tersebut, maka:
a. BPR di Provinsi Jabar dan di luar Kabupaten atau Kodya Bogor, Depok, Bekasi, dan
Karawang tidak dapat membuka kantor cabang di Kabupaten atau Kodya Bogor,
Depok, Bekasi, dan Karawang
b. BPR di Provinsi Banten di luar Kabupaten atau Kodya Tangerang tidak dapat
membuka kantor cabang di Kabupaten atau Kodya Tangerang.
KEGIATAN USAHA BPR
Bank Pengkreditan Rakyat sebagaimana halnya dengan bank umum dapat melakukan
usaha sebagai bank konvensional maupun bank berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan usaha
yang diperkenankan bagi BPR secara umum adalah sebagai berikut:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
b. Memberikan kredit
c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah
d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka,
sertifikat deposito, dana atau tabungan pada bank lain.
Usaha-usaha yang dilarang bagi BPR berdasarkan undang-undang adalah:
a.
b.
c.
d.
e.

Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
Melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing
Melakukan pernyertaan modal
Melakukan usaha perasuransian
Melakukan usaha lain di luar kegiatan yang telah ditetapkan di atas

PENGATURAN DAN PENGAWASAN


Dengan dikeluarkan UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, fungsi perizinan, pengaturan dan pengawasan
perbankan dilakukan sepenuhnya oleh Bank Indonesia. Sementara itu, fungsi pengawasan
dan pembinaan kegiatan operasional BPR yang sebelum dikeluarkannya UU No. 7 Tahun
1992, yang seharusnya dilakukan Bank Indonesia, diserahkan ke Bank Rakyat Indonesia.
Namun setelah dikeluarkannya Undang-Undang Perbankan tersebut, fungsi pengawasan dan

pembinaan yang sebelumnya dilakukan oleh BRI menimbulkan ketidakpuasan yang


berkepanjangan di kalangan BPR, mengingat BRI pada dasarnya merupakan kompetitor BPR
terutama di wilayah pedesaan dimana kantor-kantor BRI juga beroperasi. Fungsi ganda yang
diemban BRI tersebut yaitu disamping beroperasi sebagai bank umum yang jaringan
kantornya menjangkau hampir semua wilayah pedesaan di Indonesia juga menjalankan fungsi
supervisor terhadap BPR yang sudah barang tentu menimbulkan kekhawatiran kalangan BPR
akan kemungkinan timbulnya benturan kepentingan (conflict of interest) dalam menjalankan
fungsinya tersebut.
Pada prinsipnya, ketentuan operasional perbankan yang ditetapkan Bank Indonesia
untuk bank-bank umum juga berlaku bagi BPR, kecuali ketentuan operasional yang
berdasarkan peraturan tidak diperkenaankan dilakukan oleh BPR, misalnya ketentuan Giro
Wajib Minimum Valuta Asing dan posisi devisa neto.

BADAN KREDIT DESA (BKD)


Badan Kredit Desa (BKD) terdiri dari Bank Desa dan Lumbung Desa yang didirikan
berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 No. 357, Risjksblad Tahun 1937 Nomor 9 danTahun
1938 N. 3/H yang berkedudukan di Pulau Jawa dan Madura serta telah mendapat izin dari
Menteri Keuangan. Untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan usaha Badan Kredit
Desa, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.6/27/PBI/2004 tanggal 13 Desember 2004.
Bank Indonesia menyerahkan pembinaan dan pengawasan Badan Kredit Desa kepada PT.
Bank Rakyat Indonesia (persero), yang kemudian berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan menjadi kewenangan, tugas, dan tanggung jawab Bank Indonesia. Penyerahan
kewenangan pembinaan dan pengawasan kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) tersebut
didasarkan pada alasan keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki. Atas dasar tersebut,
Bank Indonesia meminta BRI agar melakukan pengawasan terhadap Badan Kredit Desa
dengan pertimbangan bahwa selama ini BRI memiliki SDM serta jaringan kantor yang
memadai untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap Badan Kredit Desa. Pelimpahan

wewenang tersebut dengan sendirinya akan berakhir pada saat lembaga pengawas jasa
keuangan didirikan. Pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut dilakukan sesuai peraturan dan
pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya, BRI diwajibkan menyampaikan
laporan kepada Bank Indonesia secara triwulan berupa:
a. Rekapitulasi neraca dan laporan laba rugi BKD.
b. Analisis perkembangan BKD, permasalahan atau kendala yang dihadapi, tindakan
perbaikan yang telah dilakukan, serta usul/dan/atau pertimbangan mengenai
tindaklanjut yang diperlukan.
c. Analisis mengenai kemungkinan beroperasinya BKD sebagai Bank Pengkreditan
Rakyat, baik dilihat dari jumlah permodalan maupun total asset.

DAFTAR PUSTAKA
Siamat, Dahlan. 2004. Manajemen Lembaga Keuangan. Ed 3. Jakarta: FE UI

Anda mungkin juga menyukai