Einstein, Matematika, Dan Pendidikan
Einstein, Matematika, Dan Pendidikan
L Wilardjo ; Fisikawan
KOMPAS, 09 Januari 2015
DALAM dunia pewayangan, baik epos Ramayana maupun Mahabarata, Sang Hyang Batara
Wisnu adalah dewa keadilan. Tugasnya menegakkan keadilan bagi seluruh ciptaan di jagat
raya. Ini meliputi para dewa dan bidadari di kahyangan, segenap titah di marcapada, serta
semua makhluk di kerajaan flora dan fauna. Tujuannya menghadirkan kesejahteraan.
Untuk mencapai tujuan, nyaris apa saja akan dilakukan Dewa Wisnu, termasuk mengobarkan
perang Baratayuda yang menelan korban jiwa dan harta benda tak terbilang jumlahnya. Yang
tidak dianut Batara Wisnu hanyalah adagium Fiat justitia, ruat caelum, atau Tegakkan
keadilan,
walaupun
langit
runtuh,
sebab
membiarkan
langit
runtuh
berarti
Setelah menjadi peneliti dan guru besar di Universitas Princeton, Amerika Serikat, ia masih
memandang rendah asisten-asistennya yang mengerjakan perhitungan matematis untuk dia.
Mereka disebutnya kuda-kuda penghitung (Rechnenpferde).
Namun, Einstein membutuhkan matematika untuk menggarap penelitiannya di bidang fisika.
Karena ia melakukan analogi retrosipatif dari segi ragam (modal aspect) fisika ke segi ragam
keruangan (spatial), terpaksalah ia mempelajari geometri Riemann dan ruang Hilbert. Ketika
ia kesulitan, ia minta bantuan Marcel Grossmann, sahabat di ETH yang jagoan matematika.
Einstein sampai mengiba-iba ke Grossmann: Tolonglah. Saya (hampir) gila. Ich bin
verrueckt.
Pada peringatan seabad Teori Relativitas (2005), Einstein dinobatkan sebagaiScientist of
the Century (versi majalah Time). Dapatkah Einstein ke capaian setinggi itu tanpa
matematika? Jelas tidak! Matematika barangkali memang bukan ratunya ilmu. Barangkali
benar kata matematikawan Morris Kline bahwa matematika tak ubahnya sawang yang
mengambang, terombang-ambing diterpa angin. Namun, sains dan teknologi tidak akan
semaju sekarang ini tanpa jasa matematika.
Radhar P Dahana (RPD) sepertinya tidak pas membaca Karl Raymundo Popper. Terkesan di
mata RPD, Karl Popper tampak sebagai filsuf yang anti deduksi dan anti konjektur. Padahal,
justru fisikawan-cum-filsuf ilmu ini pro deduksi dan pro konjektur. Ia memang anti induksi
lebih tepatnyaanti induktivisme. Ini sama dengan Einstein, yang menyatakan bahwa tidak
ada lintasan logis (baca: logika induktif) yang membawa kita ke asas-asas semesta. Menurut
Einstein, asas-asas semesta hanya dapat dicapai dengan Einfuehlung. Dan biladan jika
asas semesta itu sudah ditemukan melalui pembangunan teori berdasarkan postulat (yang
sederhana), simpulan deduktifnya akan benar. Artinya, pasti sesuai dengan realitas.
Seperti menggaungi Immanuel Kant, Popper membedakan quid fakh dari quidjuris.
Logika
tidak
untuk
menemukan
kebenaran
faktual,
tetapi
untuk
membenarkan
(menjustifikasi) kebenaran itu setelah ditemukan. Jelaslah bahwa Popper tidak anti logika
deduktif.
Popper dan konjektur
Popper tidak meng-emoh-i konjektur, tetapi justru menganjurkannya. Teori tidak dibangun
(atau dirajut, menurut paradigma Fritjof Capra David Steindl-Rast) dengan induksi, tetapi
dengan sejumlah konjektur. Konjektur (conjecture) ialah pernyataan yang tidak didukung
dengan argumentasi. Jadi semacam dugaan atau hipotesis di dalam pikiran ilmuwan-peneliti.
Kebenaran konklusi deduktif dari teori itu akan kukuh apabila upaya memfalsifikasi teori itu
gagal.
Di harian ini, beberapa waktu lalu Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB (sekarang
Atase Kebudayaan dan Pendidikan di KBRI New Delhi), menganjurkan agar pendidikan di
Indonesia mengedepankan TRIMS. M dalam akronim ini ialah matematika. Ini sama
dengan (dan: memang diambil dari) penekanan pendidikan di Amerika Serikat pada STEAM.
Dalam akronim ini, M-nya juga matematika.
Tak ada salahnya meniru kalau yang ditiru itu baik. Amerika adalah negara adidaya dan
STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematics) baik bagi Amerika.
TRIMS juga baik bagi pendidikan di Indonesia. Menurut saya, TRIM (Teknologi, Rekayasa,
Ilmu, dan Matematika) adalah empat sehat, yang dengan tambahan S (Seni) menjadi
lima sempurna.
Orang boleh saja tidak menyukai matematika, seperti Einstein. Cita rasa memang tak dapat
diperdebatkan. De gustibus non est disputandum. Namun, mengaitkan keketatan (rigor)
disiplin ini dengan defisiensi pendidikan di Indonesia seperti mencari-cari kambing hitam