I.
PENDAHULUAN
patogen, sanitasi, rotasi tanaman serta penggunaan pestisida (Mulya et al., 2000;
Supriadi et al., 2000), namun semua upaya tersebut belum memberikan hasil yang
optimum. Dewasa ini, penggunaan pestisida sintetik di sentra produksi tanaman
jahe tergolong tinggi, bahkan sudah mencapai ambang yang mengkhawatirkan.
Oleh karena itu perlu dicari alternatif lain untuk mengendalikan penyakit ini.
Salah satu alternatif pengendalian yang prospektif adalah dengan menggunakan
mikroba antagonis (Hanudin et al, 2003).
Salah satu kelompok mikroba antagonis tersebut adalah bakteri. Bakteri
antagonis dilaporkan dapat menekan pertumbuhan patogen dalam tanah, beberapa
genus yang banyak digunakan adalah Agrobacterium, Bacillus, dan Pseudomonas
(Brock & Madigan 1988). Selain dikenal sebagai agen hayati pada berbagai
penyakit tanaman, menurut Kloepper et al. (2004), kelompok Bacillus juga
dikenal sebagai bakteri kelompok plant growth promoting rhizobacteria (PGPR)
yang mampu memacu pertumbuhan dan menginduksi ketahanan tanaman
terhadap penyakit.
Bacillus sp. juga sangat dikenal sebagai bakteri pembentuk endospora
yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang kurang
baik. Dengan demikian endospora yang terbentuk dapat digunakan sebagai
material bakteri inaktif yang bisa diformulasikan pada berbagai bahan pembawa
(Kloepper et al, 2004). Shekhawat et al. (1993) melaporkan bahwa Bacillus sp.
dapat mengurangi kelayuan pada kentang sebesar 72% di rumah kaca dan efeknya
konsisten selama tiga tahun. Dan di lapangan bakteri tersebut dapat mengurangi
terjadinya layu sebanyak 79% dan meningkatkan hasil 85 90%.
Agensia hayati yang diperbanyak dan langsung diterapkan ke pertanaman
untuk mengendalikan patogen tanaman sering kurang efektif dan tidak stabil.
Stabilitas agensia hayati dapat ditingkatkan melalui formulasi (Soesanto, 2008).
Formula agensia hayati yang paling sederhana adalah dalam bentuk cair atau
tepung yang dapat digunakan untuk perlakuan benih sehingga mudah tersebar
merata di permukaan benih dan diharapkan mampu melindungi benih selama
penyimpanan, perkecambahan sampai pertumbuhannya (Soesanto, 2008).
Formulasi dengan zat pembawa (carrier) dapat diperkaya dengan bahan
tambahan (nutrisi) seperti bahan organik, yang dapat menyediakan nutrisi yang
cukup bagi agensia hayati ketika diterapkan di lapang. Keberadaan nutrisi didalam
formula agensia hayati dapat menjadi sumber nutrisi bagi agensia tersebut untuk
berkecambah, tumbuh, dan berkembangbiak (Soesanto, 2008).
Salah satu sumber nutrisi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan hidup agensia hayati, adalah kulit ubi kayu dan campuran serbuk
gergaji dan dedak. Selain dapat meningkatkan kesuburan tanah, limbah organik
dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan bakteri dan biota tanah.
Selain pupuk kandang, jerami padi dapat juga digunakan sebagai sumber
hara makro yang baik, dan mengandung senyawa N dan C yang berfungsi sebagai
substrat metabolisme
hemiselulose, pektin, lignin, lemak, dan protein. Isolat PGPR yang diformulasikan
kedalam jerami padi dilaporkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan
mengurangi intensitas penyakit busuk akar pada beberapa sayuran (Wafaa, et al.,
2000).
Sampai saat ini informasi mengenai pengaruh pemberian bahan organik
pada Bacillus sp. yang diformula dalam bentuk tepung, untuk mengendalikan
penyakit layu bakteri pada tanaman jahe masih terbatas. Untuk itu, perlu
dilakukan penelitian yang berjudul Pemanfaatan Bahan Organik Dalam
Formulasi Bacillus sp. Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri
(Ralstonia solanacearum RAS 4) Pada Tanaman Jahe (Zingiber officinale).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan organik yang dicampur
dengan formula isolat bakteri Bacillus sp. dalam menekan serangan penyakit layu
bakteri jahe, dan meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jahe.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jahe (Zingiber officinale)
Tanaman jahe (Zingiber officinale) termasuk dalam divisi Spermatophyta,
subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Scitaminee, famili
Zingiberaceae, dan genus Zingiber. Nama botani Zingiber berasal dari bahasa
Sansekerta : Singaberi, dari bahasa Arab : Zanzabil, dan dari bahasa Yunani :
Zingiberi. Tanaman ini merupakan tanaman terna tahunan dengan batang semu
yang tumbuh tegak. Tingginya berkisar 0,3 0,75 m dengan akar rimpang yang
bisa bertahan lama didalam tanah. Akar rimpang itu mampu mengeluarkan tunas
baru untuk mengganti daun dan batang yang sudah mati (Paimin dan Murhananto,
2006).
Selama ini di Indonesia dikenal tiga tipe utama jahe, yaitu jahe putih besar
(jahe gajah), jahe merah dan jahe putih kecil (jahe emprit). Ketiga tipe ini
didasarkan pada bentuk, warna dan aroma rimpang (Rostiana et al., 1991).
Berdasarkan pengujian tingkat kerentanan ketiga jenis jahe tersebut terhadap
penyakit layu menunjukkan bahwa jahe putih besar (gajah) merupakan jahe yang
paling rentan terhadap penyakit layu, sedangkan jahe putih kecil agak tahan dan
jahe merah paling tahan, walaupun ketiga jenis jahe tersebut dapat terserang
bakteri R.solanacearum ras 4 (Hadad, 1989). Varietas yang banyak ditanam
masyarakat adalah jahe putih besar (jahe gajah) (Zingiber officinale var.
Officinale) (Syukur, 2002), mempunyai rimpang lebih besar dibandingkan kedua
klon lainnya. Berwarna kuning atau kuning muda, seratnya sedikit lembut.
Aromanya kurang tajam dan rasanya kurang pedas (Santoso, 1988). Dari rimpang
jahe besar ini terkandung minyak atsiri antara 0,82-1,66%, kadar pati 55,10%,
kadar serat 6,89%, dan kadar abu 6,6-7,5% (syukur 2002).
Jahe adalah tanaman rimpang yang banyak digunakan sebagai rempahrempah dan obat. Rasa pedas pada rimpang jahe disebabkan oleh senyawa keton,
yaitu zingeron (Anonim 2010a). Jahe memiliki khasiat antara lain menurunkan
tekanan darah dan membantu pencernaan. Gingerol pada jahe bersifat
antikoagulan, mencegah mual, dan membuat lambung menjadi nyaman. Jahe juga
mengandung antioksidan yang bermanfaat menetralkan efek merusak dari radikal
bebas yang ada di dalam tubuh (Koswara 2010).
Jahe dapat tumbuh mulai dari pantai sampai pegunungan dengan
ketinggian 1500 m diatas permukaan laut, tetapi daerah yang paling baik adalah
pada ketinggian 0 900 meter diatas permukaan laut. Tanah yang sesuai untuk
pertumbuhan jahe adalah tanah yang subur, gembur, banyak mengandung humus
dan memiliki drainase yang baik. Iklim yang dikehendaki tanaman jahe adalah
iklim sedang sampai panas dengan curah hujan berkisar antara 2.500 4.000 mm
1
perkebunan skala luas masih jarang dilakukan, karena umumnya petani menanam
dalam skala kecil di tanah tegalan. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko
kegagalan panen, karena adanya serangan patogen penyebab penyakit. Padahal
tanaman ini sangat potensial untuk dikembangkan karena tingginya permintaan
baik pasar didalam maupun luar negeri. Rata-rata kebutuhan jahe dunia meningkat
7,6% per tahun dan permintaan akan jahe setiap tahun mencapai 10 ton per hari,
sehingga pedagang pengumpul atau eksportir selalu kewalahan dalam memenuhi
permintaan pasar. Hal ini menunjukkan bahwa peluang ekspor jahe sangat cerah
(Trubus, 1990; BPS 2003).
2.2 Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum ras 4)
Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum di Indonesia,
pertama kali ditemukan di Kuningan, Jawa Barat, pada tahun 1971 (Sitepu, 1991).
Upaya penanggulangan penyakit ini telah dilakukan dengan berbagai cara
budidaya anjuran, antara lain teknologi pencegahan dini melalui penyediaan bibit
sehat (Januwati et al., 1991; Januwati dan Rosita, 1997), penggunaan lahan bebas
patogen, sanitasi, rotasi tanaman serta penggunaan pestisida dan musuh alami
(Mulya et al., 2000; Supriadi et al., 2000), meskipun semua upaya tersebut belum
memberikan hasil yang optimum.
10
11
bahan organik dengan rasio C/N tingi akan memacu pembiakan mikroba,
memfiksasi beberapa unsur hara atau immobilisasi N yang bersifat sementara.
Seiring dengan menurunnya rasio C/N tanah, sebagian mikroba akan mati,
selanjutnya melalui proses perombakan (dekomposisi) unsur hara menjadi tersedia
kembali (Sudiarto et al., 2004).
Jumlah populasi mikroba tanah merupakan salah satu faktor dominan dan
berhubungan erat dengan sifat tanah yang supresif dan konduktif bagi patogen
tanah (Scher dan Baker 1990 dalam Tombe et a.l, 1997). Tanah yang supresif
untuk patogen penyakit layu bakteri jahe (Ralstonia solanacearum) yang
merupakan penyakit utama tanaman jahe, dapat dikatakan bebas patogen.
Rimpang jahe yang besar dan bernas, sesuai dengan persyaratan ekspor jahe
segar dapat diperoleh dari tanaman yang dibudidayakan pada tanah berhumus
tebal, kandungan C- organik sangat tinggi (11,84%) (Gusmaini dan Trisilawati
1998). Kebutuhan bahan organik pada tanaman jahe cukup tinggi, karena jahe
dikenal sebagai tanaman yang banyak menguras hara, terutama N dan K (Bautista
dan Aycardo 1979; Sudiarto et al., 1991).
Pengaruh bahan organik ke penekanan penyakit atau patogen dalam
kaitannya dengan pengendalian hayati, dapat dikelompokkan ke dalam pengaruh
a) residu tanaman, b) nutrisi mikroba khusus, dan c) kompos. Pengaruh penekanan
residu tanaman terhadap patogen tular-tanah dan penyakit diperlihatkan didalam
mekanisme autolisis atau endolisis, heterolisis, fungistasis, produksi antimikroba,
dan peniadaan fungistasis diikuti dengan lisis.
Agen antagonis yang diintroduksikan ke dalam tanah memerlukan bahan
organik sebagai makanan dasar agar dapat beradaptasi pada ekosistem yang baru
dan mengatasi resistensi dari mikroflora tanah (Weaver, 2005). Bahan organik
juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat
meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi
penambahan bahan organik disamping sebagai sumber hara bagi tanaman,
sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba (Simanungkalit et al.,
1993).
Sisa tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah juga berpengaruh dalam
mengurangi masalah penyakit dan hama tanaman, menurunkan aktivitas
12
13
C = Formulasi Bacillus sp. dalam tepung tapioka + campuran serbuk gergaji dan
dedak
D = Formulasi Bacillus sp. dalam tepung tapioka + kulit ubi kayu + campuran
serbuk gergaji dan dedak
E = kulit ubi kayu + campuran serbuk gergaji dan dedak
F = Kontrol + (tanpa Rs ras 4 dan tanpa Bacillus sp.)
G = Kontrol (diinokulasi dengan Rs ras 4)
Data hasil pengamatan dianalisis secara sidik ragam dan apabila berbeda
nyata maka dilanjutkan dengan Duncans New Multiple Range Test (DNMRT)
pada taraf nyata 5%.
2.4 Pelaksanaan
2.4.1 Laboratorium
2.4.1.1. Isolasi dan Perbanyakan Ralstonia solanacearum ras 4 (Rs ras 4)
Rimpang tanaman jahe yang terserang layu oleh R. solanacearum diambil
dari kanagarian Selayo, Kabupaten Solok. Bakteri diisolasi dari rimpang jahe
yang bergejala layu bakteri dengan teknik pengenceran seri. Isolasi dilakukan
dengan menggunakan metode Klement, Rudolph, dan Sands (1990). Rimpang jahe
dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm sebanyak 5 potongan dengan mengikut
sertakan bagian sakit dan yang sehat. Potongan rimpang di sterilisasi
permukaannya, dengan cara dicelupkan kedalam aquadest, setelah itu masukkan
kedalam alkohol 70%, kemudian dibilas dengan aquadest dan dikering anginkan.
Selanjutnya potongan rimpang ditumbuk dalam lumpang porselen menggunakan
mortar, ditambahkan dengan 6 ml aquadest steril, hasil maserasi 6 ml dimasukkan
kedalam tabung reaksi yang berisi 4 ml aquadest steril (pengenceran 10-1).
Kemudian dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam tabung
reaksi yang berisi 9 ml aquadest steril (pengenceran 10-2) demikian seterusnya
sampai pengenceran 10-6. Dari pengenceran 10-4, 10-5, 10-6 diambil masing-masing
0,1 ml suspensi bakteri, diteteskan kedalam tabung reaksi yang berisi 7 ml
medium cair TZC, di homogenkan menggunakan rotary vortex dan dituangkan
kedalam cawan petri. Biakan ini diinkubasikan selama 2 x 24 jam. Ciri khas
koloni bakteri Ralstonia solanacearum strain avirulen (merah) dan strain virulen
14
(putih dengan pusat berwarna merah muda dan berlendir). Koloni dimurnikan
dalam medium TZC yang telah padat dengan metode gores sampai diperoleh
isolat murni. Isolat yang telah murni dipindahkan kedalam microtube dan
disimpan dalam refrigerator.
2.4.1.2 Uji Morfologi
Karakter morfologi koloni Rs umur 2x24 jam diamati pada medium TZC.
Koloni yang tumbuh diamati warna koloni, bentuk koloni dan permukaan koloni.
Karakter yang didapat dibandingkan dengan referensi (Schaad, 1988).
2.4.1.3 Uji Fisiologi
a. Reaksi Gram
Reaksi gram bertujuan untuk mengetahui apakah bakteri bersifat gram positif
atau gram negatif. Pengujian ini menggunakan metode klement et al, (1990),
dengan cara mengambil satu koloni bakteri yang berumur 2 hari dengan jarum ose
lalu dicampurkan satu tetes larutan KOH 3% diatas kaca objek. Apabila terjadi
penggumpalan maka bakteri bersifat gram negatif sebaliknya gram positif tidak
menunjukkan penggumpalan.
b. Uji Pektinase
Uji produksi pektinase ini untuk mengamati kemampuan bakteri
menghasilkan enzim pektinase. Pengujian ini menggunakan metode Schaad,
(1988) dengan cara kentang dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm, potongan
kentang disterilisasi permukaannya, dengan cara dicelupkan kedalam aquadest,
setelah itu dimasukkan kedalam alkohol 70%, kemudian dicuci dengan aquadest.
Dua lembar kertas saring disusun dalam cawan petri dan lembabkan kertas saring
tersebut dengan aquadest. Potongan umbi kentang kemudian disusun di atas kertas
saring. Ambil satu ose bakteri dan oleskan pada permukaan potongan umbi
kentang. Kemudian inkubasi selama 3x24 jam. Apabila pada bagian yang
diinokulasi terjadi perubahan warna cokelat dan akhirnya berwarna hitam berati
isolat tersebut menghasilkan enzim pektinase.
c. Uji Reaksi Hipersensitif
15
patogenesitas
bertujuan
untuk
melihat
kemampuan
bakteri
menimbulkan gejala penyakit pada tanaman inang dan untuk menentukan tingkat
virulensi patogen, dengan menggunakan metode Hamzah (1993) yaitu dengan
cara rimpang jahe yang sehat di inokulasi dengan suspensi bakteri ( 10
sel/ml)
16
Di Rumah Kaca
17
Jahe yang digunakan adalah jahe putih besar (klon Gajah) yang rentan
terhadap R. solanacearum ras 4, didapat dari pusat pasar di Medan, Sumatera
Utara
dan bibit diketahui berasal dari daerah Kabanjahe. Bibit jahe yang
18
2.4.2.6 Pemeliharaan
Pemeliharaan
meliputi
pemupukan,
penyiraman,
penyiangan,
dan
JB = Jumlah bakteri
A = Jumlah koloni yang terbentuk
C = Faktor pengenceran (Klement et al ., 1990).
19
PKn
x 100
Kn
............................................................... (Rumus 1)
Keterangan : E = Efektivitas
P = Perlakuan
Kn = Kontrol negatif
2.5.2.2 Persentase Anakan Layu
Pengamatan dilakukan dengan interval 5 hari dimulai 1 hari setelah
inokulasi (hsi) sampai tanaman berumur 90 hari. Persentase anakan layu dihitung
menggunakan rumus Rivai (2001) yang dimodifikasi sebagai berikut :
P=
al
x 100
AL
......................................................................... (Rumus 2)
E=
KnP
x 100
Kn
............................................................... (Rumus 3)
Keterangan : E = Efektivitas
P = Perlakuan
Kn = Kontrol negatif
2.5.2.3 Persentase Daun Layu
Pengamatan dilakukan dengan interval 5 hari dimulai 1 hari setelah
inokulasi (hsi) sampai tanaman berumur 90 hari. Efektivitas formulasi Bacillus sp.
terhadap Rs ras 4 dihitung menggunakan rumus 3. Dan persentase daun layu
dihitung menggunakan rumus Rivai (2001) yang dimodifikasi sebagai berikut :
20
dl
x 100
DL
P=
........................................................................ (Rumus 4)
Ni Vi 100%
N V max
I=
Keterangan: I
Ni
...................................................... (Rumus 5)
= Intensitas daun terserang
= Jumlah daun dari tiap kategori serangan
Tingkat serangan
>0 20%
Serangan sedikit
>20 40%
Serangan sedang
>40 60%
Serangan berat
>60 80%
21
>80%
Sumber : Balfas (1980) cit Aisyah (2006) dan Trimurti Habazar 2010
(Komunikasi pribadi)
tm
x 100
TM
......................................................................... (Rumus
4)
Keterangan : P = Persentase tanaman mati
tm = Jumlah tanaman mati per perlakuan
TM = Jumlah seluruh tanaman mati yang diamati per perlakuan
PKp
x 100
Kp
Keterangan : E = Efektivitas
....................................................... (Rumus 6)
22
P = Perlakuan
Kp = Kontrol positif
2.5.3.2 Jumlah anakan
Jumlah anakan dihitung setelah membentuk daun pertama. Pengamatan
dilakukan 1 kali dalam 5 hari sampai tanaman berumur 165 hst. Efektivitas
formulasi Bacillus sp. terhadap Rs ras 4 dihitung menggunakan rumus 6.
2.5.3.3 Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman mulai diukur setelah tunas muncul ke permukaan tanah.
Pengamatan dilakukan dengan interval 1 kali dalam 5 hari sampai tanaman
berumur 165 hst. Pengukuran dilakukan sampai ujung daun tertinggi dengan
menggunakan meteran. Efektivitas formulasi Bacillus sp. dihitung dengan
menggunakan rumus 6.
2.5.3.4 Jumlah Daun
Penghitungan jumlah daun dimulai pada saat daun pertama muncul.
Pengamatan ini dilakukan dengan interval 5 hari sampai tanaman berumur 165
hst. Efektivitas formulasi Bacillus sp. terhadap jumlah daun dihitung
menggunakan rumus 6.
2.5.3.5 Berat Basah Rimpang dan Berat Kering Panen Rimpang
Rimpang tanaman jahe di panen pada saat berumur 240 hari, dengan cara
membongkar tanaman, lalu rimpang dipotong dan dibersihkan dari tanah. Berat
basah rimpang tiap 6 rumpun tanaman sampel ditimbang setelah panen,
sedangkan berat kering rimpang ditimbang setelah rimpang dikeringkan dalam
oven pada suhu 60C selama 2 hari. Efektivitas formulasi Bacillus sp. terhadap
berat basah dan berat kering rimpang dihitung menggunakan rumus 6.
23
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Nur. 2011. Pengujian Beberapa Konsentrasi Ekstrak Spon Laut Stylissa
carteri Untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia
solanacearum RAS 4) Tanaman Jahe (Zingiber officinale). Universitas
Andalas. Padang. 38 hal.
Amelia, Fitri. 2009. Analisis Daya Saing Jahe Indonesia di Pasar Internasional.
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 116
hal.
Anonim. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Edisi
kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Anonim.
2010a.
Cara
sterilisasi
tanaman
eksplan
kultur.
http://eshaflora.blogspot.com/2010/02/cara sterilisasi tanaman eksplankultur.html. [29 April 2010].
Asman, A. dan Hadad E. A. 1989. Pemberian Agrimycin, abu sekam, ekstrak
bawang merah dan bawang putih pada tanah terkontaminasi Pseudomonas
solanacearum untuk pertumbuhan jahe. Buletin Balittro. 4(2) : 64 -69.
Badan Pusat Statistik. 2003. Luas Tanam dan Produksi Perkebunan Rakyat
Menurut Jenis Tanaman. Jakarta. Indonesia.
Badan Pusat Statistik.. 2010. Produksi Tanaman Obat-obatan di Indonesia.
Jakarta. Indonesia.
Baharuddin, B. 1994. Pathological, Biochemical and serological characterization
of the blood disease bacterium affecting banana and plantain (Musa spp) in
Indonesia. Cuvilier Verlag, Goettingen, Germany.
24
Bautista and aycardo. 1979. Ginger. Its Production, handling, processing, and
marketing with emphasis on export. Departement of Horticulture, college
of Agriculture, University of the Philippines at Los Banos. P. 1-59.
Brock. T.D. & Madigan, M.T. 1988. Biology of microorganism. Prentice-Hall
International Edition.
Departemen Pertanian Indonesia. 1989. Budidaya Jahe dan Pemasarannya.
Emmert EAB, Handelsman J. 1999. Biocontrol of plant disease: a Gram- positive
perspective. FEMS Microbiology Letters 171:1-9
Fritze, D. 2004. Taxonomy of the genus Bacillus and related genera: the aerpbic
endospore-forming bacteria. Phytopath. 94:1245-1248.
Goto, M. 1992. Fundamental of Bacterial Plan Pathology. Academic Press, Inc.
San Diego-New York-Boston-London-Sydney-Tokyo-Toronto.
Gusmaini dan O. Trisilawati. 1998. Pertumbuhan dan Produksi Jahe Muda Pada
Media Humus dan Pupuk Kandang. Jurnal Penelitian Tanaman Industri IV
(2) : 42 48.
Habazar, T., dan Rivai, F. 2004. Bakteri Patogenik Tumbuhan. Padang. Andalas
Univrsity Press. 441 hal.
Habazar, T. dan Yaherwandi. 2006. Pengendalian Hayati Hama dan Penyakit
Tumbuhan. Padang. Unand Press.
Habazar, T., Nasrun, Jamsari, dan Rusli, I. 2008. Pola Penyebaran Penyakit Hawar
Daun Bakteri (Xanthomonas axonopodis pv. allii) pada Bawang Merah
dan Upaya Pengendaliannya Melalui Imunisasi Menggunakan
Rizobakteria. Laporan Hasil Penelitian: Padang.
Hadad, M.D.A., 1989. Ketahanan Beberapa Klon Jahe Terhadap Penyakit Busuk
Rimpang Pseudomonas solanacearum. Buletin Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. Vol. IV. No.1. Bogor.
Hamzah, A. 1993. Manual Identifikasi Bakteri. Pusat Karantina Pertanian.
Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Hanudin dan B. Marwoto. 2003. Pengendalian Penyakit Layu Bakteri dan Akar
Gada pada Tanaman Tomat dan Caisim Menggunakan Pseudomonas
fluorescens. Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur. 58-66 Hal.
Hanudin., W. Nuryani., E. Silvia Yusuf., B. Marwoto. 2011. Biopestisida Organik
Berbahan Aktif Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens Untuk
Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium Pada Anyelir. Balai Penelitian
Tanaman Hias, Cianjur.
Hayward, A.C. 1991. Biology and Epidemiology of Bacterial wilt Caused by P.
solanacearum Annu Rv. Phytopathol. 29:65 87.
25
26
27
28
Lampiran 1. Jadwal Kegiatan Penelitian dimulai dari bulan Oktober Mei 2014
Bulan/Minggu Ke
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Alat dan Bahan
Peremajaan & Perbanyakan isolat
Bacillus sp.
Introduksi I
Pendederan Rimpang
Introduksi II
Inokulasi Rs Ras 4
Pemeliharaan + Pengamatan
Analisa Data
Februari
maret
april
Mei
Juni
Juli
Agustus September
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
19
Keterangan :
A, B, C, D, E, F, G
= Perlakuan
1, 2, 3, 4
= Ulangan
B3
E2
C4
F2
G1
D3
A1
C2
A4
B4
G2
D4
C1
G3
B1
E3
E1
A3
C3
B2
Gejala awal penyakit layu bakteri adalah daun bagian bawah menjadi layu.
Selanjutnya helaian daun melipat, menggulung, berwarna kusam, terpulai, kuning,
2 lalu tanaman
E 4 itu, tunas menjadi
B2
F 4mati.
dan mengering. Setelah
busuk dan A
basah
Rimpang jahe yang terkena penyakit ini berwarna gelap dan busuk. Bila dipotong
secara pelan-pelan akan keluar lendir berwarna putih susu sampai kecoklatan.
1
4 yang diserangDberumur
F 1(Paimin, 2006).F 3
Biasanya tanamanGjahe
3 4 bulan
21