Anda di halaman 1dari 31

1

I.

PENDAHULUAN

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu komoditas ekspor


yang banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional serta fitofarmaka
dalam industri obat herbal di Indonesia. Komoditas ini juga berperan cukup besar
dalam penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa negara (Soediarto dan
Kemala, 1995).
Negara produsen jahe terbesar dunia adalah Cina dengan nilai ekspor US$
153.298.869, sedangkan Indonesia menempati posisi ke-14 dengan nilai ekspor
US$ 1.635.026 (Amelia, 2009). Sentra produksi utama jahe di Indonesia adalah
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara (Anonim, 2007).
Walaupun Sumatera Barat bukan merupakan daerah sentra produksi, tetapi
tanaman jahe banyak di usahakan oleh petani didaerah ini. Sentra produksi jahe di
Sumatera Barat adalah Kabupaten Solok (Departemen Pertanian, 1989). Rata-rata
produktivitas jahe nasional pada tahun 2010 berkisar 17,9 ton/ha (BPS, 2010).
Produktivitas ini lebih rendah dibandingkan dengan potensi produktivitas jahe
secara umum yaitu 15-30 ton/ha (Paimin dan Murhananto, 2006).
Salah satu faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas jahe di
Indonesia adalah adanya serangan penyakit, diantaranya adalah penyakit busuk
rimpang yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum sp zingiberi, bercak
cokelat oleh jamur Phyllosticta zingiberi dan layu bakteri oleh bakteri Ralstonia
solanacearum ras 4. Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia
solanacearum ras 4, merupakan penyakit utama yang menyerang jahe dan dapat
menyebabkan kehilangan hasil sampai 90% sehingga menurunkan kualitas
rimpang dan menyebabkan kontaminasi lahan akhirnya tidak dapat ditanami
dalam waktu yang lama (Syukur, 2002).
Patogen ini hidup dalam tanah dan dapat mempertahankan diri dalam
waktu bertahun-tahun tanpa tanaman inang. Sehingga tanah yang terkontaminasi
Ralstonia solanacearum mempunyai resiko yang tinggi untuk ditanami jahe
kembali (Asman dan Hadad, 1989). Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengendalikan penyakit layu bakteri. Diantaranya adalah penggunaan bibit sehat
(Januwati et al., 1991; Januwati dan Rosita, 1997), penggunaan lahan bebas

patogen, sanitasi, rotasi tanaman serta penggunaan pestisida (Mulya et al., 2000;
Supriadi et al., 2000), namun semua upaya tersebut belum memberikan hasil yang
optimum. Dewasa ini, penggunaan pestisida sintetik di sentra produksi tanaman
jahe tergolong tinggi, bahkan sudah mencapai ambang yang mengkhawatirkan.
Oleh karena itu perlu dicari alternatif lain untuk mengendalikan penyakit ini.
Salah satu alternatif pengendalian yang prospektif adalah dengan menggunakan
mikroba antagonis (Hanudin et al, 2003).
Salah satu kelompok mikroba antagonis tersebut adalah bakteri. Bakteri
antagonis dilaporkan dapat menekan pertumbuhan patogen dalam tanah, beberapa
genus yang banyak digunakan adalah Agrobacterium, Bacillus, dan Pseudomonas
(Brock & Madigan 1988). Selain dikenal sebagai agen hayati pada berbagai
penyakit tanaman, menurut Kloepper et al. (2004), kelompok Bacillus juga
dikenal sebagai bakteri kelompok plant growth promoting rhizobacteria (PGPR)
yang mampu memacu pertumbuhan dan menginduksi ketahanan tanaman
terhadap penyakit.
Bacillus sp. juga sangat dikenal sebagai bakteri pembentuk endospora
yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang kurang
baik. Dengan demikian endospora yang terbentuk dapat digunakan sebagai
material bakteri inaktif yang bisa diformulasikan pada berbagai bahan pembawa
(Kloepper et al, 2004). Shekhawat et al. (1993) melaporkan bahwa Bacillus sp.
dapat mengurangi kelayuan pada kentang sebesar 72% di rumah kaca dan efeknya
konsisten selama tiga tahun. Dan di lapangan bakteri tersebut dapat mengurangi
terjadinya layu sebanyak 79% dan meningkatkan hasil 85 90%.
Agensia hayati yang diperbanyak dan langsung diterapkan ke pertanaman
untuk mengendalikan patogen tanaman sering kurang efektif dan tidak stabil.
Stabilitas agensia hayati dapat ditingkatkan melalui formulasi (Soesanto, 2008).
Formula agensia hayati yang paling sederhana adalah dalam bentuk cair atau
tepung yang dapat digunakan untuk perlakuan benih sehingga mudah tersebar
merata di permukaan benih dan diharapkan mampu melindungi benih selama
penyimpanan, perkecambahan sampai pertumbuhannya (Soesanto, 2008).
Formulasi dengan zat pembawa (carrier) dapat diperkaya dengan bahan
tambahan (nutrisi) seperti bahan organik, yang dapat menyediakan nutrisi yang

cukup bagi agensia hayati ketika diterapkan di lapang. Keberadaan nutrisi didalam
formula agensia hayati dapat menjadi sumber nutrisi bagi agensia tersebut untuk
berkecambah, tumbuh, dan berkembangbiak (Soesanto, 2008).
Salah satu sumber nutrisi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan hidup agensia hayati, adalah kulit ubi kayu dan campuran serbuk
gergaji dan dedak. Selain dapat meningkatkan kesuburan tanah, limbah organik
dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan bakteri dan biota tanah.
Selain pupuk kandang, jerami padi dapat juga digunakan sebagai sumber
hara makro yang baik, dan mengandung senyawa N dan C yang berfungsi sebagai
substrat metabolisme

mikrobia tanah, diantaranya

gula, pati, selulose,

hemiselulose, pektin, lignin, lemak, dan protein. Isolat PGPR yang diformulasikan
kedalam jerami padi dilaporkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan
mengurangi intensitas penyakit busuk akar pada beberapa sayuran (Wafaa, et al.,
2000).
Sampai saat ini informasi mengenai pengaruh pemberian bahan organik
pada Bacillus sp. yang diformula dalam bentuk tepung, untuk mengendalikan
penyakit layu bakteri pada tanaman jahe masih terbatas. Untuk itu, perlu
dilakukan penelitian yang berjudul Pemanfaatan Bahan Organik Dalam
Formulasi Bacillus sp. Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri
(Ralstonia solanacearum RAS 4) Pada Tanaman Jahe (Zingiber officinale).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan organik yang dicampur
dengan formula isolat bakteri Bacillus sp. dalam menekan serangan penyakit layu
bakteri jahe, dan meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jahe.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jahe (Zingiber officinale)
Tanaman jahe (Zingiber officinale) termasuk dalam divisi Spermatophyta,
subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Scitaminee, famili
Zingiberaceae, dan genus Zingiber. Nama botani Zingiber berasal dari bahasa
Sansekerta : Singaberi, dari bahasa Arab : Zanzabil, dan dari bahasa Yunani :
Zingiberi. Tanaman ini merupakan tanaman terna tahunan dengan batang semu
yang tumbuh tegak. Tingginya berkisar 0,3 0,75 m dengan akar rimpang yang
bisa bertahan lama didalam tanah. Akar rimpang itu mampu mengeluarkan tunas
baru untuk mengganti daun dan batang yang sudah mati (Paimin dan Murhananto,
2006).
Selama ini di Indonesia dikenal tiga tipe utama jahe, yaitu jahe putih besar
(jahe gajah), jahe merah dan jahe putih kecil (jahe emprit). Ketiga tipe ini
didasarkan pada bentuk, warna dan aroma rimpang (Rostiana et al., 1991).
Berdasarkan pengujian tingkat kerentanan ketiga jenis jahe tersebut terhadap
penyakit layu menunjukkan bahwa jahe putih besar (gajah) merupakan jahe yang
paling rentan terhadap penyakit layu, sedangkan jahe putih kecil agak tahan dan
jahe merah paling tahan, walaupun ketiga jenis jahe tersebut dapat terserang
bakteri R.solanacearum ras 4 (Hadad, 1989). Varietas yang banyak ditanam
masyarakat adalah jahe putih besar (jahe gajah) (Zingiber officinale var.
Officinale) (Syukur, 2002), mempunyai rimpang lebih besar dibandingkan kedua
klon lainnya. Berwarna kuning atau kuning muda, seratnya sedikit lembut.
Aromanya kurang tajam dan rasanya kurang pedas (Santoso, 1988). Dari rimpang
jahe besar ini terkandung minyak atsiri antara 0,82-1,66%, kadar pati 55,10%,
kadar serat 6,89%, dan kadar abu 6,6-7,5% (syukur 2002).
Jahe adalah tanaman rimpang yang banyak digunakan sebagai rempahrempah dan obat. Rasa pedas pada rimpang jahe disebabkan oleh senyawa keton,
yaitu zingeron (Anonim 2010a). Jahe memiliki khasiat antara lain menurunkan
tekanan darah dan membantu pencernaan. Gingerol pada jahe bersifat

antikoagulan, mencegah mual, dan membuat lambung menjadi nyaman. Jahe juga
mengandung antioksidan yang bermanfaat menetralkan efek merusak dari radikal
bebas yang ada di dalam tubuh (Koswara 2010).
Jahe dapat tumbuh mulai dari pantai sampai pegunungan dengan
ketinggian 1500 m diatas permukaan laut, tetapi daerah yang paling baik adalah
pada ketinggian 0 900 meter diatas permukaan laut. Tanah yang sesuai untuk
pertumbuhan jahe adalah tanah yang subur, gembur, banyak mengandung humus
dan memiliki drainase yang baik. Iklim yang dikehendaki tanaman jahe adalah
iklim sedang sampai panas dengan curah hujan berkisar antara 2.500 4.000 mm
1

tahun dan suhu rata-rata 20 30C (Suratman et al, 1987).


Sampai saat ini penanaman jahe secara komersial dalam bentuk

perkebunan skala luas masih jarang dilakukan, karena umumnya petani menanam
dalam skala kecil di tanah tegalan. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko
kegagalan panen, karena adanya serangan patogen penyebab penyakit. Padahal
tanaman ini sangat potensial untuk dikembangkan karena tingginya permintaan
baik pasar didalam maupun luar negeri. Rata-rata kebutuhan jahe dunia meningkat
7,6% per tahun dan permintaan akan jahe setiap tahun mencapai 10 ton per hari,
sehingga pedagang pengumpul atau eksportir selalu kewalahan dalam memenuhi
permintaan pasar. Hal ini menunjukkan bahwa peluang ekspor jahe sangat cerah
(Trubus, 1990; BPS 2003).
2.2 Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum ras 4)
Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum di Indonesia,
pertama kali ditemukan di Kuningan, Jawa Barat, pada tahun 1971 (Sitepu, 1991).
Upaya penanggulangan penyakit ini telah dilakukan dengan berbagai cara
budidaya anjuran, antara lain teknologi pencegahan dini melalui penyediaan bibit
sehat (Januwati et al., 1991; Januwati dan Rosita, 1997), penggunaan lahan bebas
patogen, sanitasi, rotasi tanaman serta penggunaan pestisida dan musuh alami
(Mulya et al., 2000; Supriadi et al., 2000), meskipun semua upaya tersebut belum
memberikan hasil yang optimum.

Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum ras 4) merupakan salah satu


kendala utama dalam budidaya jahe (Syukur, 2002). Patogen ini merupakan
bakteri tular tanah yang mempunyai kisaran inang dan daerah sebaran yang luas,
disamping kemampuannya untuk bertahan hidup dalam tanah serta tanaman inang
pengganti (Hayward, 1991). Serangan penyakit layu bakteri pada suatu areal
pertanaman jahe dapat menyebabkan semua tanaman di areal tersebut terinfeksi
karena penyebarannya yang sangat cepat. Serangan yang cukup berat dapat
mengakibatkan kerusakan pada pertanaman dan mengakibatkan gagal panen
(Syukur, 2002).
Gejala penyakit layu bakteri pada jahe adalah mula-mula helaian daun
bagian bawah melipat dan menggulung kemudian terjadi perubahan warna dari
hijau menjadi kuning dan mengering. Seterusnya tunas batang menjadi busuk dan
akhirnya tanaman mati rebah. Bila diperhatikan, rimpang yang sakit itu berwarna
gelap dan membusuk, kalau rimpang dipotong akan keluar lendir berwarna putih
susu sampai kecoklatan (Hayward, 1991). Aspek-aspek penyebab layu pada
tanaman yang disebabkan oleh bakteri adalah : 1). Pada tanaman yang layu
pengaliran air terbatas dan transportasi air ke daun menjadi terhambat, 2).
Viskositas dalam cairan pembuluh meningkat, 3). Terjadinya penyumbatan
tetrhadap transportasi air, 4). Bagian yang paling kritis dipengaruhi oleh patogen
adalah tangkai dan tulang daun, 5). Terjadinya kerusakan pada membran luar dan
membran dalam sel, 6). Keluarnya elektrolit dari dalam sel (Habazar dan Rivai,
2004).
Ralstonia solanacearum mempunyai inang yang luas sehingga bakteri
tersebut sukar dibedakan menurut spesies inangnya (patovar dan ras) (Habazar
dan Rivai, 2004). Bakteri ini dapat diisolasi dari oose bakteri yang berwarna
putih, kuning, sampai cokelat kemerahan dari tangkai bunga dan buah. Sifat-sifat
biologi dari Ralstonia solanacearum adalah bersifat gram negatif, berbentuk
batang, aerob katalase positif, menghasilkan hidrogen sulfat dari resisten, oksidase
kovacks positif, uji oksidatif/fermentative positif/negative, poly-b-hidroxybutirate
positif, uji HR positif, tumbuh pada suhu 4-41 C, toleran terhadap NaCl 2%
produksi levan, ariginin dihydrolase, denitrifikasi, hidrolisa pati, pigmen

fluorescent, pigmen melanin (Baharuddin, 1994), dan telah dilaporkan


mempunyai pili bila dibiakkan secara in-vitro (Habazar dan Rivai, 2004).
Ras-ras R. solanacearum dapat dibedakan berdasarkan jenis tanaman inang
yang dapat diinfeksinya, yaitu ras 1 menyerang tanaman dari famili Solanaceae,
Leguminoceae, Cucurbitaceae, ras 2 menyerang Heliconia spp. Dan pisang
triploid (penyebab penyakit moko), ras 3 menyerang kentang dan tomat, ras 4
menyerang jahe, dan ras 5 menyerang tanaman murbai (Habazar dan Rivai, 2004).
2.3 Pengendalian Hayati Dengan Menggunakan Bacillus spp.

Bacillus spp. termasuk divisi Firmicutes, kelas Firmibacteria, atribut


simple-gram-positive-bacteria (Goto, 1992), ordo Bacillales, famili Bacillaceae
(Fritze, 2004). Bakteri ini dicirikan sebagai gram positif, berbentuk batang, bersel
satu, berukuran (0,5-2,5) x (1,2-10) m, bersifat aerob atau anaerob fakultatif
serta heterotrof, katalase positif, sel gerak yang membentuk endospora elips lebih
tahan daripada sel vegetatif terhadap panas, kering, dan faktor lingkungan lain
yang merusak. Permukaan sel bakteri ditumbuhi merata flagelum pristikus
(Soesanto, 2008).
Bakteri antagonis ini dapat bertahan pada kondisi lingkungan tertentu,
yaitu dapat bertahan hidup pada suhu -5 sampai 75C, dengan tingkat keasaman
(pH) antara 2-8. Pada kondisi yang sesuai dan mendukung, populasinya akan
menjadi dua kali banyaknya selama waktu tertentu. Waktu ini dikenal dengan
waktu generasi atau waktu penggandaan, yang untuk Bacillus spp. adalah 28,5
menit pada suhu 40C (Soesanto, 2008).
Selain dikenal sebagai agen hayati pada berbagai penyakit tanaman,
menurut Kloepper et al. (2004), kelompok Bacillus juga dikenal sebagai bakteri
kelompok plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) yang mampu
menginduksi pertumbuhan dan ketahanan tanaman terhadap penyakit melalui
berbagai mekanisme, seperti antibiosis, lisis, kompetisi, parasitisme, dan induksi
ketahanan. Penggunaan PGPR dalam pengendalian hayati telah banyak
digunakan. PGPR telah mendapat perhatian khusus karena berperan pertama kali
di dalam pengendalian hayati, yang kemudian diikuti dengan peran lain, yaitu
antibiosis (Soesanto 2008).

Bacillus spp. telah banyak dilaporkan mampu menginduksi ISR (Induced


Systemic Resistance) pada berbagai jenis tanaman terhadap berbagai jenis patogen
ataupun hama serangga. Salah satu aspek mekanisme untuk menentukan senyawa
yang berasosiasi dengan pertahanan tanaman terhadap patogen yang dihasilkan
selama PGPR mengelisist ISR (Habazar dan Yaherwandi, 2006). Heru (2006)
melaporkan bahwa Bacillus spp. dapat mengendalikan penyakit lincat yang
disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tanaman tembakau. Begitu pula
dengan Bacillus spp. (seperti Bacillus subtillis) dapat mengendalikan penyakit
layu bakteri pada kentang dan meningkatkan hasil umbi kentang sampai 160%
(Sunaina et al., 2003).
Pada umumnya antimikrob yang dihasilkan Bacillus berupa polipeptida
seperti bakteriosin dan antibiotik. Beberapa antibiotik Bacillus sp. yang telah
diidentifikasi ialah polymiksin, colistin, tyrotristin, basitrasin dan gramisidin S
(Katz & Demain 1977). Beberapa jenis bakteriosin yang dihasilkan oleh Bacillus
ialah Subtilin (B. Subtilis), megacin (B. Megaterium), ericin (B. Subtilis),
lichernin (B. Licherniformis), coagulin (B. Coagulans), cerein (B. Cereus),
thuricin (B. Thuringiensis) (Lisboa et al, 2006; Torkar & Matijasic, 2003).
Didalam tanah, bakteri antagonis Bacillus spp. memanfaatkan eksudat akar
dan bahan tanaman mati untuk sumber nutrisinya. Apabila kondisi tidak sesuai
bagi pertumbuhannya misalnya karena suhu tinggi, tekanan fisik dan kimia, atau
kahat nutrisi, bakteri akan membentuk endospora. Pembentukan endospora terjadi
selama lebih kurang 8 jam dan dapat bertahan sampai selama 6 tahun (Soesanto,
2008).
Keuntungan penggunaan agens biokontrol dari bakteri Gram positif, dalam
hal ini Bacillus spp., antara lain adalah kemudahan dalam membuat formulasi.
Mikroorganisme Gram positif yang bersporulasi membentuk spora yang tahan
panas dan tahan kekeringan sehingga dapat diformulasikan dalam bentuk serbuk
kering (Emmert & Handelsman 1999).
2.4 Formulasi

Tahap akhir dari penjaringan agensia pengendali hayati, setelah ditemukan


agensia hayati yang berpotensi dan lolos masa ujinya, adalah pemformulaan.
Formulasi adalah campuran antara biomassa agen hayati dan bahan-bahan yang
dapat meningkatkan efektivitas dan kemampuan hidup agens hayati. Adanya
pemformulaan yang dilakukan terhadap agensia hayati ditujukan untuk mengatasi
permasalahan atau kendala di lapang, sehingga agensia hayati tersebut mampu
bekerja dengan kinerja yang tetap dapat dipertahankan baik. Pemformulaan dalam
hal ini memberikan perlindungan kepada agensia hayati untuk dapat lebih
bertahan hidup didalam kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan
(Soesanto, 2008).
Formulasi penting dilakukan supaya agens hayati yang berpotensi untuk
pengendalian patogen dapat disebarluaskan kepada pengguna atau petani.
Pembuatan formula juga memegang peranan penting bagi pemasaran dan tujuan
jangka panjang seperti memperbaiki kemampuan agensia di lingkungan,
kemudahan penyiapan dan penerapan, kestabilan produk di penyimpanan,
ketepatan sasaran, perlindungan agensia dari faktor lingkungan yang berbahaya
serta peningkatan keaktifan agensia (Soesanto, 2008).
Karakter formulasi yang ideal untuk agens hayati adalah: 1) dapat
meningkatkan umur simpan, 2) tidak bersifat fitotoksik bagi tanaman, 3) dapat
larut dalam air, 4) toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, 5) hemat
biaya dan efektif untuk pengendalian penyakit tanaman, dan 6) harus kompatibel
dengan senyawa agrokomia lainnya (Nakkeeran et al., 2005).
Bahan formulasi secara umum mengandung bahan pengisi, pelembab,
pengikat, dan pengemulsi. Bahan pengisi adalah bahan tambahan untuk mengikat
protein aktif dipilih dari bahan yang mudah larut dalam air seperti talcum, tepung
kedelai, tepung jagung. Bahan pelembab adalah bahan yang bermanfaat untuk
melindungi produk agar tetap dalam kondisi kelembaban tertentu seperti deterjen.
Bahan pengikat yaitu yang digunakan untuk membentuk lapisan kedap air dan
protein aktif menempel pada tanaman dapat berupa molasses, sirup, dan getah.
Bahan pengemulsi digunakan jika produk berbentuk konsentrasi dalam air atau
minyak. Bentuk emulsi minyak biasanya digunakan minyak sayur karena

10

dianggap cukup aman jika disemprotkan ke tanaman buah atau sayuran


(Suwahyono, 2010).
Pemformulaan agensia pengendali hayati dengan bahan tambahan akan
menambah kemampuan agensia bertahan hidup. Hal ini terjadi karena adanya
pasokan nutrisi yang berasal dari bahan tambahan, misalnya lipopolisakarida,
yang membungkus agensia pengendali hayati tersebut. Selain itu, adanya
pemformulaan akan melindungi agensia pengendali hayati dari pengaruh faktor
lingkungan yang kurang atau tidak menguntungkan bagi pertumbuhan dan
perkembangan agensia pengendali hayati tersebut. Hal ini berakibat agensia
pengendali hayati mampu tumbuh dan mencapai sasaran patogen yang akan
dikendalikan di dalam tanah (Soesanto, 2008).
Pemformulaan juga memungkinkan agensia pengendali hayati untuk dapat
digabung dengan tindakan pengendalian lainnya dalam sistem pengelolaan
penyakit terpadu. Adanya penggabungan ini menyebabkan epidemi penyakit
merusak menjadi rendah dalam banyak patosistem. Oleh karena itu,
pemformulaan akan banyak mendukung suatu pengendali hayati dipadukan
dengan pengendali lainnya dalam sistem pengelolaan penyakit terpadu (Soesanto,
2008).
2.5 Bahan Organik
Peran bahan organik tanah dalam budidaya tanaman sudah lama diketahui.
Kandungan bahan organik dalam tanah dapat ditingkatkan dengan pemberian
pupuk organik, baik berupa limbah hasil pertanian, limbah kota maupun guano.
Limbah hasil pertanian dapat berupa sisa tanaman, sisa hasil panen, pupuk
kandang, dan pupuk hijau (Jacobs 1990; Koshino 1990; Li 1990).
Bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara dan
efisiensi penyerapannya. Perombakan bahan organik akan melepaskan unsur hara
seperti N, P, K dan S. Bahan-bahan organik juga mampu mengikat ion-ion racun
dalam tanah seperti Al, Cd, dan Pb, sehingga tidak diserap oleh tanaman (Mulyani
et al., 2001).
Fungsi biologis bahan organik tanah bagi mikroba tanah adalah sebagai
sumber utama energi untuk aktivitas kehidupan dan berkembang biak. Pemberian

11

bahan organik dengan rasio C/N tingi akan memacu pembiakan mikroba,
memfiksasi beberapa unsur hara atau immobilisasi N yang bersifat sementara.
Seiring dengan menurunnya rasio C/N tanah, sebagian mikroba akan mati,
selanjutnya melalui proses perombakan (dekomposisi) unsur hara menjadi tersedia
kembali (Sudiarto et al., 2004).
Jumlah populasi mikroba tanah merupakan salah satu faktor dominan dan
berhubungan erat dengan sifat tanah yang supresif dan konduktif bagi patogen
tanah (Scher dan Baker 1990 dalam Tombe et a.l, 1997). Tanah yang supresif
untuk patogen penyakit layu bakteri jahe (Ralstonia solanacearum) yang
merupakan penyakit utama tanaman jahe, dapat dikatakan bebas patogen.
Rimpang jahe yang besar dan bernas, sesuai dengan persyaratan ekspor jahe
segar dapat diperoleh dari tanaman yang dibudidayakan pada tanah berhumus
tebal, kandungan C- organik sangat tinggi (11,84%) (Gusmaini dan Trisilawati
1998). Kebutuhan bahan organik pada tanaman jahe cukup tinggi, karena jahe
dikenal sebagai tanaman yang banyak menguras hara, terutama N dan K (Bautista
dan Aycardo 1979; Sudiarto et al., 1991).
Pengaruh bahan organik ke penekanan penyakit atau patogen dalam
kaitannya dengan pengendalian hayati, dapat dikelompokkan ke dalam pengaruh
a) residu tanaman, b) nutrisi mikroba khusus, dan c) kompos. Pengaruh penekanan
residu tanaman terhadap patogen tular-tanah dan penyakit diperlihatkan didalam
mekanisme autolisis atau endolisis, heterolisis, fungistasis, produksi antimikroba,
dan peniadaan fungistasis diikuti dengan lisis.
Agen antagonis yang diintroduksikan ke dalam tanah memerlukan bahan
organik sebagai makanan dasar agar dapat beradaptasi pada ekosistem yang baru
dan mengatasi resistensi dari mikroflora tanah (Weaver, 2005). Bahan organik
juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat
meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi
penambahan bahan organik disamping sebagai sumber hara bagi tanaman,
sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba (Simanungkalit et al.,
1993).
Sisa tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah juga berpengaruh dalam
mengurangi masalah penyakit dan hama tanaman, menurunkan aktivitas

12

mikroorganisme yang berpengaruh negatif. Residu tanaman seperti jerami, batang


dan tongkol jagung, ampas tebu, sekam padi apabila dikembalikan ke dalam tanah
juga berfungsi sebagai pupuk (Sutanto, 2002).
II. BAHAN DAN METODE
2.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan (HPT) dan di rumah kaca Fakultas pertanian,
Universitas Andalas, Padang pada bulan Januari 2013 September 2014. Jadwal
penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jahe varietas gajah
(rentan), isolat Ralstonia solanacearum Ras 4, isolat bakteri Bacillus sp. (koleksi
Prof. Dr. Ir. Trimurti Habazar), medium Triphenyl Tetrazolium Chloride (TZC),
medium Triptic Soybean Agar (TSA), medium Luria Bertani (LB), kulit ubi
kayu , campuran serbuk gergaji dan dedak, tepung tapioka (TT), umbi kentang,
daun tembakau, larutan Mc Farland (BaCl2 + H2SO4), alkohol 70%, sukrosa,
Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 1%, KOH 3%, aquadest, kantong plasik tahan
panas, Aluminium foil, tanah, polybag, plastik wrapping, tissu, dan kertas label.
Alat yang digunakan adalah cawan petri kaca, micropipet, microtube, tabung
reaksi, gelas piala, gelas ukur, labu erlenmeyer, rotary shaker, laminar air flow
cabinet, colony counter, vortex, autoclave, kertas saring, plastik kaca, timbangan
digital, kompor listrik, jarum ose, kaca objek, rak tabung reaksi, mortar, lumpang
porselen, pinset, batang pengaduk, lampu spiritus, ruang inkubasi, dan alat tulis.
2.3 Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan 7 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan tersebut adalah campuran
formulasi Bacillus sp. dalam bentuk tepung tapioka yang ditambah dengan bahan
organik berupa kulit ubi kayu

dan serbuk gergaji campur dedak yang di

introduksi pada tanaman jahe, jenis formulasi yang digunakan adalah :


A = Formulasi Bacillus sp. dalam tepung tapioka ,
B = Formulasi Bacillus sp. dalam tepung tapioka + kulit ubi kayu,

13

C = Formulasi Bacillus sp. dalam tepung tapioka + campuran serbuk gergaji dan
dedak
D = Formulasi Bacillus sp. dalam tepung tapioka + kulit ubi kayu + campuran
serbuk gergaji dan dedak
E = kulit ubi kayu + campuran serbuk gergaji dan dedak
F = Kontrol + (tanpa Rs ras 4 dan tanpa Bacillus sp.)
G = Kontrol (diinokulasi dengan Rs ras 4)
Data hasil pengamatan dianalisis secara sidik ragam dan apabila berbeda
nyata maka dilanjutkan dengan Duncans New Multiple Range Test (DNMRT)
pada taraf nyata 5%.
2.4 Pelaksanaan
2.4.1 Laboratorium
2.4.1.1. Isolasi dan Perbanyakan Ralstonia solanacearum ras 4 (Rs ras 4)
Rimpang tanaman jahe yang terserang layu oleh R. solanacearum diambil
dari kanagarian Selayo, Kabupaten Solok. Bakteri diisolasi dari rimpang jahe
yang bergejala layu bakteri dengan teknik pengenceran seri. Isolasi dilakukan
dengan menggunakan metode Klement, Rudolph, dan Sands (1990). Rimpang jahe
dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm sebanyak 5 potongan dengan mengikut
sertakan bagian sakit dan yang sehat. Potongan rimpang di sterilisasi
permukaannya, dengan cara dicelupkan kedalam aquadest, setelah itu masukkan
kedalam alkohol 70%, kemudian dibilas dengan aquadest dan dikering anginkan.
Selanjutnya potongan rimpang ditumbuk dalam lumpang porselen menggunakan
mortar, ditambahkan dengan 6 ml aquadest steril, hasil maserasi 6 ml dimasukkan
kedalam tabung reaksi yang berisi 4 ml aquadest steril (pengenceran 10-1).
Kemudian dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam tabung
reaksi yang berisi 9 ml aquadest steril (pengenceran 10-2) demikian seterusnya
sampai pengenceran 10-6. Dari pengenceran 10-4, 10-5, 10-6 diambil masing-masing
0,1 ml suspensi bakteri, diteteskan kedalam tabung reaksi yang berisi 7 ml
medium cair TZC, di homogenkan menggunakan rotary vortex dan dituangkan
kedalam cawan petri. Biakan ini diinkubasikan selama 2 x 24 jam. Ciri khas
koloni bakteri Ralstonia solanacearum strain avirulen (merah) dan strain virulen

14

(putih dengan pusat berwarna merah muda dan berlendir). Koloni dimurnikan
dalam medium TZC yang telah padat dengan metode gores sampai diperoleh
isolat murni. Isolat yang telah murni dipindahkan kedalam microtube dan
disimpan dalam refrigerator.
2.4.1.2 Uji Morfologi
Karakter morfologi koloni Rs umur 2x24 jam diamati pada medium TZC.
Koloni yang tumbuh diamati warna koloni, bentuk koloni dan permukaan koloni.
Karakter yang didapat dibandingkan dengan referensi (Schaad, 1988).
2.4.1.3 Uji Fisiologi
a. Reaksi Gram
Reaksi gram bertujuan untuk mengetahui apakah bakteri bersifat gram positif
atau gram negatif. Pengujian ini menggunakan metode klement et al, (1990),
dengan cara mengambil satu koloni bakteri yang berumur 2 hari dengan jarum ose
lalu dicampurkan satu tetes larutan KOH 3% diatas kaca objek. Apabila terjadi
penggumpalan maka bakteri bersifat gram negatif sebaliknya gram positif tidak
menunjukkan penggumpalan.
b. Uji Pektinase
Uji produksi pektinase ini untuk mengamati kemampuan bakteri
menghasilkan enzim pektinase. Pengujian ini menggunakan metode Schaad,
(1988) dengan cara kentang dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm, potongan
kentang disterilisasi permukaannya, dengan cara dicelupkan kedalam aquadest,
setelah itu dimasukkan kedalam alkohol 70%, kemudian dicuci dengan aquadest.
Dua lembar kertas saring disusun dalam cawan petri dan lembabkan kertas saring
tersebut dengan aquadest. Potongan umbi kentang kemudian disusun di atas kertas
saring. Ambil satu ose bakteri dan oleskan pada permukaan potongan umbi
kentang. Kemudian inkubasi selama 3x24 jam. Apabila pada bagian yang
diinokulasi terjadi perubahan warna cokelat dan akhirnya berwarna hitam berati
isolat tersebut menghasilkan enzim pektinase.
c. Uji Reaksi Hipersensitif

15

Reaksi hipersensitif ini bertujuan untuk mengetahui sifat bakteri yang


tergolong patogen. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Schaad et
al (2001) yaitu menggunakan tanaman tembakau (Nicotiana tobaccum) (bukan
8
inang), suspensi bakteri Rs ras 4 ( 10

sel/ml) diinfiltrasi secara interseluler

pada jaringan permukaan bawah daun tembakau sampai jenuh kemudian


diselubungi dengan plastik bening untuk menjaga kelembapan. Reaksi spesifik
dari reaksi hipersensitif ditandai dengan adanya bagian yang memucat lalu
nekrosis dalam waktu 48 jam.
d. Uji Patogenesitas
Uji

patogenesitas

bertujuan

untuk

melihat

kemampuan

bakteri

menimbulkan gejala penyakit pada tanaman inang dan untuk menentukan tingkat
virulensi patogen, dengan menggunakan metode Hamzah (1993) yaitu dengan
cara rimpang jahe yang sehat di inokulasi dengan suspensi bakteri ( 10

sel/ml)

sebanyak 5 ml menggunakan jarum suntik setelah itu di inkubasi selama 7-10


hari, amati gejala yang muncul, bandingkan dengan rimpang jahe yang tidak
diinokulasi.
2.4.1.4 Perbanyakan Bacillus sp.
Sumber isolat Bacillus sp. berasal dari koleksi Prof. Dr. Ir. Trimurti Habazar,
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas,
Padang. Isolat tersebut diremajakan dengan metode gores pada medium TSA,
kemudian diinkubasi 224 jam. Isolat bakteri Bacillus sp. dibuat suspensi dengan
akuades, sebanyak 0,25 ml Bacillus sp. dipindahkan ke dalam 25 ml medium
Luria bertani (LB) dan diinkubasi dalam rotary shaker di 200 rpm selama 4 jam,
lalu dibandingkan kekeruhannya dengan larutan McFarland pada skala 8, jika
kekeruhannya sama maka kepadatan populasi bakteri tersebut diperkirakan 10 8
sel/ml (Habazar et al, 2007). kemudian diinkubasi pada suhu 80C selama 10
menit untuk menghasilkan spora (Movahedi dan Waites, 2000).

16

2.4.1.5 Penyiapan Bahan Organik


Bahan organik berupa kulit ubi kayu yang di peroleh dari pasar. di potong
kasar, lalu dihaluskan dengan menggunakan blender lalu dikering anginkan agar
tidak lembab, kemudian dibungkus dengan plastik dan disterilisasi dalam
autoclave pada tekanan 1 atm, dengan suhu 121C selama 45 menit. Sementara
serbuk gergaji dan dedak diperoleh di pasar dan di tempat penjualan kayus di
sterilkan terpisah dengan cara yang sama. Perbandingan bahan organik dengan
bahan pembawa (Tepung tapioka) yaitu 1:1.
2.4.1.6 Pembuatan Formulasi Isolat Bacillus sp.
Formulasi isolat Bacillus sp. didapatkan dengan cara, 50 gr tepung tapioka
(TT), Kulit Ubi Kayu (KU), dan Campuran Serbuk Gergaji dengan Dedak (SGD)
yang telah disaring dengan ayakan berdiameter lubang 0,09 mm, ditambahkan 5%
sukrosa, dan 1% CMC yang dilarutkan secara terpisah dengan air suling. Setara
dengan 100 g bahan pembawa ditambah 5 g sukrosa, dan dimasukkan kedalam
kantong plastik tahan panas dan disterilkan dalam otoklaf pada temperatur 121oC
dengan tekanan 1 atm selama 15 menit lalu didinginkan. Kemudian ditambahkan
5 ml suspensi isolat bakteri Bacillus sp. 108 sel/ml, dan dihomogenkan dengan
bahan pembawa + bahan organik. Setelah itu, formula yang diperlakukan
langsung di aplikasikan (Habazar et al, 2008).
2.4.2

Di Rumah Kaca

2.4.2.1 Persiapan Media Tanam


Penelitian ini menggunakan medium tanam steril berupa campuran tanah
dengan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1. Tanah yang digunakan untuk
penelitian ini berasal dari Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian Universitas
Andalas. Sterilisasi tanah dan pupuk kandang dengan cara, tanah dan pupuk
kandang dicampurkan, kemudian dimasukkan kedalam kotak steril, dan
disterilisasi selama 1 jam pada suhu 100C. Setelah itu dibiarkan selama 1 hari
dengan tujuan menghilangkan efek panas akibat sterilisasi. Hasil sterilisasi tanah
dan pupuk kandang sebanyak 5 kg dimasukkan ke dalam polybag ukuran 30x40
cm.
2.4.2.2 Penyiapan Bibit Jahe

17

Jahe yang digunakan adalah jahe putih besar (klon Gajah) yang rentan
terhadap R. solanacearum ras 4, didapat dari pusat pasar di Medan, Sumatera
Utara

dan bibit diketahui berasal dari daerah Kabanjahe. Bibit jahe yang

diperlakukan, terlebih dahulu dilakukan pendederan yang bertujuan untuk


mendapatkan tunas jahe yang tidak terserang oleh patogen khusunya R.
solanacearum ras 4, dan bibit jahe (rimpang) dicuci bersih, lalu dipotong tiap
potongan memiliki 2 3 mata tunas dengan berat 50 gr. Potongan rimpang ini
direndam dalam alkohol 70% selama 15 menit, lalu dicuci dengan aquadest steril
kemudian direndam lagi dengan larutan CMC 1% sebagai bahan perekat, lalu
dikering anginkan.
2.4.2.3 Introduksi Formula Bacillus sp., dan Penanaman Bibit Jahe Gajah.
Introduksi isolat Bacillus sp. pada tanaman jahe dilakukan dua kali yaitu
pada saat sebelum tanam dan pada saat tanaman berumur 4 minggu. Bibit yang
sudah dikering anginkan lalu dimasukkan kedalam kantong plastic berisi formula
tepung Bacillus sp. + bahan organik, lalu diaduk sampai rata dan dibiarkan selama
15 menit, sedangkan untuk kontrol bibit langsung ditanam pada tanah dalam
polybag yang telah disediakan.
2.4.2.4 Introduksi Formula Bacillus sp. tahap dua
Setelah bibit tanaman jahe berumur 4 minggu maka bibit siap
dipindahkan, lalu dimasukkan lagi kedalam formula tepung Bacillus sp. + bahan
organic dan diaduk sampai rata sesuai perlakuan selama 15 menit, kemudian
ditanam lagi pada polybag yang baru.
2.4.2.5 Inokulasi Bakteri Ralstonia solanacearum
Setelah tanaman jahe di introduksi dengan formula tepung Bacillus sp. +
bahan organik selesai di aplikasikan, lalu dilanjutkan di inokulasi dengan R.
solanacearum ras 4 pada minggu ke-7 hst umur tanaman jahe. Inokulasi dilakukan
dengan menggunakan metode Schaad et al (2001) dengan cara suspensi bakteri Rs
ras 4 dengan kerapatan 108sel/ml disiramkan sebanyak 15 ml disekitar akar yang
sebelumnya sudah ditusuk dengan jarum pentul steril sebanyak 5 tusukan.
Kemudian disungkup dengan kantong plastik sampai timbul gejala pertama.

18

2.4.2.6 Pemeliharaan
Pemeliharaan

meliputi

pemupukan,

penyiraman,

penyiangan,

dan

pengendalian terhadap hama. Pemupukan pertama sebelum penanaman. Jenis


pupuk yaitu campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1 (v/v)
yang telah disterilkan. Pemupukan kedua diberi 2 minggu setelah umur
pendederan 30 hst menggunakan KCL 2,8 g/rumpun dengan cara dicampurkan
dengan tanah tanpa mengenai akar. Penyiraman dilakukan satu kali sehari pada
pagi atau sore hari. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut gulma yang
tumbuh di sekitar tanaman, pengendalian hama dilakukan secara mekanis.
2.5 Pengamatan
2.5.1 Viabilitas Bakteri Bacillus sp. pada masing-masing Formulasi
Viabilitas bakteri Bacillus sp. pada formula diamati sebelum formula
diintroduksi pada benih, yaitu dengan pengenceran secara seri sampai 10 -6. Dari
pengenceran 10-6 diambil 0,1 ml, dituangkan ke medium TSA, diinkubasi 224
jam, kemudian dihitung jumlah koloni yang muncul. Penghitungan jumlah bakteri
Bacillus sp. menggunakan colony counter. Viabilitas diamati tiap minggu dari
pengambilan sampel tanah pada tanaman yang telah diberi perlakuan.
Kepadatan populasi bakteri dihitung menggunakan rumus:
JB = A C
Keterangan:

JB = Jumlah bakteri
A = Jumlah koloni yang terbentuk
C = Faktor pengenceran (Klement et al ., 1990).

2.5.2 Perkembangan Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Jahe


2.5.2.1 Masa Inkubasi
Masa inkubasi diamati setiap hari setelah inokulasi sampai tanaman
menunjukkan gejala pertama. Gejala penyakit layu bakteri pada jahe adalah
helaian daun bagian bawah melipat dan menggulung kemudian terjadi perubahan

19

warna dari hijau menjadi kuning kemudian mengering. Efektivitas formulasi


Bacillus sp. terhadap Rs ras 4 diukur mengunakan rumus Sivan dan Chet (1986
cit. Yeni 2009) yang dimodifikasi sebagai berikut :
E=

PKn
x 100
Kn

............................................................... (Rumus 1)

Keterangan : E = Efektivitas
P = Perlakuan
Kn = Kontrol negatif
2.5.2.2 Persentase Anakan Layu
Pengamatan dilakukan dengan interval 5 hari dimulai 1 hari setelah
inokulasi (hsi) sampai tanaman berumur 90 hari. Persentase anakan layu dihitung
menggunakan rumus Rivai (2001) yang dimodifikasi sebagai berikut :
P=

al
x 100
AL

......................................................................... (Rumus 2)

Keterangan : P = Persentase anakan layu


al = Jumlah anakan layu per perlakuan
AL = Jumlah seluruh anakan yang diamati per perlakuan

E=

KnP
x 100
Kn

............................................................... (Rumus 3)

Keterangan : E = Efektivitas
P = Perlakuan
Kn = Kontrol negatif
2.5.2.3 Persentase Daun Layu
Pengamatan dilakukan dengan interval 5 hari dimulai 1 hari setelah
inokulasi (hsi) sampai tanaman berumur 90 hari. Efektivitas formulasi Bacillus sp.
terhadap Rs ras 4 dihitung menggunakan rumus 3. Dan persentase daun layu
dihitung menggunakan rumus Rivai (2001) yang dimodifikasi sebagai berikut :

20

dl
x 100
DL

P=

........................................................................ (Rumus 4)

Keterangan : P = Persentase daun layu


dl = Jumlah daun layu per perlakuan
DL = Jumlah seluruh daun yang diamati per perlakuan

2.5.2.4 Intensitas Daun Terserang


Pengamatan dilakukan dengan interval 5 hari dimulai 1 hsi sampai tanaman
berumur 90 hari, bersamaan dengan pengamatan persentase tanaman terserang.
Efektivitas formulasi Bacillus sp. terhadap Rs ras 4 dihitung menggunakan rumus
3. Intensitas daun terserang penyakit layu bakteri dihitung dengan rumus:

Ni Vi 100%

N V max
I=
Keterangan: I
Ni

...................................................... (Rumus 5)
= Intensitas daun terserang
= Jumlah daun dari tiap kategori serangan

Vi = Nilai skala dari tiap kategori serangan


N

= Jumlah daun yang diamati

Vmax = Nilai kategori serangan tertinggi


Untuk melihat berat ringan serangan R.solancearum pada tanaman jahe
dapat dilihat pada kriteria penilaian serangan layu bakteri pada tabel 1.
Tabel 1. Skala tingkat kerusakan dan luas serangan layu bakteri pada tanaman jahe
Skala

Tingkat serangan

Tidak ada serangan

Luas serangan pada


daun
0%

Serangan sedikit sekali

>0 20%

Serangan sedikit

>20 40%

Serangan sedang

>40 60%

Serangan berat

>60 80%

21

Serangan berat sekali

>80%

Sumber : Balfas (1980) cit Aisyah (2006) dan Trimurti Habazar 2010
(Komunikasi pribadi)

2.5.2.5 Lamanya Anakan Mati


Pengamatan dilakukan dengan interval 5 hari dimulai 1 hsi sampai tanaman
berumur 90 hari. Efektivitas formulasi Bacillus sp. terhadap Rs ras 4 dihitung
menggunakan rumus 3. Persentase tanaman mati dihitung menggunakan rumus
Rivai (2001) yang telah dimodifikasi :
P=

tm
x 100
TM

......................................................................... (Rumus

4)
Keterangan : P = Persentase tanaman mati
tm = Jumlah tanaman mati per perlakuan
TM = Jumlah seluruh tanaman mati yang diamati per perlakuan

2.5.3 Pertumbuhan Tanaman


2.5.3.1 Munculnya tunas pertama
Penghitungan hari munculnya tunas pertama dimulai pada saat tunas
pertama muncul ke permukaan tanah. Pengamatan ini dilakukan setiap hari
sampai semua tunas pertama masing-masing perlakuan muncul ke permukaan
tanah. Efektivitas formula Bacillus sp. terhadap muncul tunas dihitung
menggunakan rumus Sivan dan Chet (1986 cit. Yeni 2009) yang dimodifikasi
sebagai berikut :
E=

PKp
x 100
Kp

Keterangan : E = Efektivitas

....................................................... (Rumus 6)

22

P = Perlakuan
Kp = Kontrol positif
2.5.3.2 Jumlah anakan
Jumlah anakan dihitung setelah membentuk daun pertama. Pengamatan
dilakukan 1 kali dalam 5 hari sampai tanaman berumur 165 hst. Efektivitas
formulasi Bacillus sp. terhadap Rs ras 4 dihitung menggunakan rumus 6.
2.5.3.3 Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman mulai diukur setelah tunas muncul ke permukaan tanah.
Pengamatan dilakukan dengan interval 1 kali dalam 5 hari sampai tanaman
berumur 165 hst. Pengukuran dilakukan sampai ujung daun tertinggi dengan
menggunakan meteran. Efektivitas formulasi Bacillus sp. dihitung dengan
menggunakan rumus 6.
2.5.3.4 Jumlah Daun
Penghitungan jumlah daun dimulai pada saat daun pertama muncul.
Pengamatan ini dilakukan dengan interval 5 hari sampai tanaman berumur 165
hst. Efektivitas formulasi Bacillus sp. terhadap jumlah daun dihitung
menggunakan rumus 6.
2.5.3.5 Berat Basah Rimpang dan Berat Kering Panen Rimpang
Rimpang tanaman jahe di panen pada saat berumur 240 hari, dengan cara
membongkar tanaman, lalu rimpang dipotong dan dibersihkan dari tanah. Berat
basah rimpang tiap 6 rumpun tanaman sampel ditimbang setelah panen,
sedangkan berat kering rimpang ditimbang setelah rimpang dikeringkan dalam
oven pada suhu 60C selama 2 hari. Efektivitas formulasi Bacillus sp. terhadap
berat basah dan berat kering rimpang dihitung menggunakan rumus 6.

23

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Nur. 2011. Pengujian Beberapa Konsentrasi Ekstrak Spon Laut Stylissa
carteri Untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia
solanacearum RAS 4) Tanaman Jahe (Zingiber officinale). Universitas
Andalas. Padang. 38 hal.
Amelia, Fitri. 2009. Analisis Daya Saing Jahe Indonesia di Pasar Internasional.
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 116
hal.
Anonim. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Edisi
kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Anonim.
2010a.
Cara
sterilisasi
tanaman
eksplan
kultur.
http://eshaflora.blogspot.com/2010/02/cara sterilisasi tanaman eksplankultur.html. [29 April 2010].
Asman, A. dan Hadad E. A. 1989. Pemberian Agrimycin, abu sekam, ekstrak
bawang merah dan bawang putih pada tanah terkontaminasi Pseudomonas
solanacearum untuk pertumbuhan jahe. Buletin Balittro. 4(2) : 64 -69.
Badan Pusat Statistik. 2003. Luas Tanam dan Produksi Perkebunan Rakyat
Menurut Jenis Tanaman. Jakarta. Indonesia.
Badan Pusat Statistik.. 2010. Produksi Tanaman Obat-obatan di Indonesia.
Jakarta. Indonesia.
Baharuddin, B. 1994. Pathological, Biochemical and serological characterization
of the blood disease bacterium affecting banana and plantain (Musa spp) in
Indonesia. Cuvilier Verlag, Goettingen, Germany.

24

Bautista and aycardo. 1979. Ginger. Its Production, handling, processing, and
marketing with emphasis on export. Departement of Horticulture, college
of Agriculture, University of the Philippines at Los Banos. P. 1-59.
Brock. T.D. & Madigan, M.T. 1988. Biology of microorganism. Prentice-Hall
International Edition.
Departemen Pertanian Indonesia. 1989. Budidaya Jahe dan Pemasarannya.
Emmert EAB, Handelsman J. 1999. Biocontrol of plant disease: a Gram- positive
perspective. FEMS Microbiology Letters 171:1-9
Fritze, D. 2004. Taxonomy of the genus Bacillus and related genera: the aerpbic
endospore-forming bacteria. Phytopath. 94:1245-1248.
Goto, M. 1992. Fundamental of Bacterial Plan Pathology. Academic Press, Inc.
San Diego-New York-Boston-London-Sydney-Tokyo-Toronto.
Gusmaini dan O. Trisilawati. 1998. Pertumbuhan dan Produksi Jahe Muda Pada
Media Humus dan Pupuk Kandang. Jurnal Penelitian Tanaman Industri IV
(2) : 42 48.
Habazar, T., dan Rivai, F. 2004. Bakteri Patogenik Tumbuhan. Padang. Andalas
Univrsity Press. 441 hal.
Habazar, T. dan Yaherwandi. 2006. Pengendalian Hayati Hama dan Penyakit
Tumbuhan. Padang. Unand Press.
Habazar, T., Nasrun, Jamsari, dan Rusli, I. 2008. Pola Penyebaran Penyakit Hawar
Daun Bakteri (Xanthomonas axonopodis pv. allii) pada Bawang Merah
dan Upaya Pengendaliannya Melalui Imunisasi Menggunakan
Rizobakteria. Laporan Hasil Penelitian: Padang.
Hadad, M.D.A., 1989. Ketahanan Beberapa Klon Jahe Terhadap Penyakit Busuk
Rimpang Pseudomonas solanacearum. Buletin Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. Vol. IV. No.1. Bogor.
Hamzah, A. 1993. Manual Identifikasi Bakteri. Pusat Karantina Pertanian.
Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Hanudin dan B. Marwoto. 2003. Pengendalian Penyakit Layu Bakteri dan Akar
Gada pada Tanaman Tomat dan Caisim Menggunakan Pseudomonas
fluorescens. Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur. 58-66 Hal.
Hanudin., W. Nuryani., E. Silvia Yusuf., B. Marwoto. 2011. Biopestisida Organik
Berbahan Aktif Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens Untuk
Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium Pada Anyelir. Balai Penelitian
Tanaman Hias, Cianjur.
Hayward, A.C. 1991. Biology and Epidemiology of Bacterial wilt Caused by P.
solanacearum Annu Rv. Phytopathol. 29:65 87.

25

Heru. 2006. Studi pengendalian hayati penyakit lincat tembakau dengan


menggunakan kombinasi pseudomonad fluoresen, Bacillus spp. dan
Streptomyces spp. Disertasi UGM, Yogyakarta. (Tidak publikasi).
Jacobs. 1990. Potential hazard when using organic material as fertilizer of crop
production. Paper presented at Seminar on the Use of Organic Fertilizers
in Crop Production. Suweon, South Korea, 18-24 June 1990.
Januwati, M. O. Rostiana, Rosita SM dan D. Sitepu, 1991. Pedoman Pengadaan
Rimpang Jahe Sehat Bebas Penyakit untuk Bibit. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 18 hlm.
Januwati, M., dan Rosita SMD., 1997. Perbanyakan benih. Dalam: Sitepu et al.,
(Eds.). Jahe. Monograf No. 3. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor. hal. 40-50.
Katz E, Demain AL. 1977. Peptide antibiotics of Bacillus: chemistry, biogenesis
and Possible Function. Bacteriol Rev 41 : 449-474.
Klement, Z., Rudolph, K., and Sands, D.C. 1990. Methods in Phytobacteriology.
Academiai Kiado: Budapest.
Kloepper JW, Ryu CM, and Zhang S. 2004. Induced Systemic Resistance
Promotion of Plant Growth by Bacillus spp. Phytopatology. 94: 12591266.
Koshino, M. 1990. Present status supply and demand of chemical fertilizer and
organic amandement in Japan. Paper Presented at Seminar on the use of
Organic Fertilizers in Crop Production Suweon, South Korea, 18-24 June
1990.
Koswara.
2010.
Jahe,
rimpang
dengan
sejuta
khasiat.
http://www.ebookpangan.com/artikel/jahe, rimpang, dengan berbagai,
khasiat. [29 April 2010].
Li, S.W. 1990. Treatment and utilization of organic waste at Taiwan Sugar
Corporation. Paper Presented at Seminar on the Use of Organic Fertilizers
in Crop Production. Suweon, South Korea, 18-24 June 1990.
Lisboa, MP, Bonatto D, Bizzani D, Henriques JAP, Brandelli A. 2006.
Characterization of a baktriosin-like substance produced by Bacillus
amyloliquefaciens isolated from the Brazilian atlantic forest. Intern
Micobiol 9: 111-118.
Mulya, K., Supriadi, Esther M. Adhi, Sri Rahayu, dan Nuri Karyani, 2000. Potensi
bakteri antagonis dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri
jahe. J. Penelitian Tanaman Industri 6 (2): 37-43.
Mulyani, A., Sukarman, A. Hidayat, dan A. Abdurrachman. 2001. Peluang
pemanfaatan lahan tidur untuk meningkatkan produksi tanaman pangan di
Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pnegembangan Pertanian 20(1): 9 - 16.

26

Nakkeeran, S., fernando, W.G.D., siddiqui, Z. A. 2005. Plant Growth Promoting


Rhizobacteria Formulations and its Scope in Commercialization for the
Management of Pests and Disease 2. A. Siddiqui (ed), PGPR : Biocontrol
and Biofertilization, 257-296. 2005 Springer, Dordrecht, The Netherlands.
Paimin, Farry B. Dan Murhananto. 2006. Budidaya, Pengolahan dan
Perdagangan Jahe. Penebar Swadaya. Jakarta. 116 hal.
Rivai, F. 2001. Epidemiologi Penyakit Tanaman. Padang. Fakultas Pertanian.
Universitas Andalas.
Rostiana, O., A. Abdullah, Taryono dana Hadad, E. A. 1991. Jenis-jenis tanaman
jahe. Edisi Khusus Littro VII (I) : 7-10.
Santoso. 1998. Jahe. Yogyakarta. Kanisius. 36 hal.
Schaad, N.W. 1988. Plant Pathogenic Bacteria. The American Phytopatology
Society. St. Paul. Minnesota. 158 p.
Schaad, N.W., Jones, J. B., dan Chun, W. 2001. Laboratory Guide for
Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Edisi ke-3. St. Paul : APS
press. 373.
Shekhawat GS, Chakrabarti SK, Kishore V, Sunaina V, Gadewar AV. 1993.
Possibilities of biological management of potato bacterial wilt with strains
of Bacillus sp., B. subtilis, Pseudomonas fluorescens and actinomycetes.
Di dalam: Hartman GL, Hayward AC, editors. Bacterial wilt. Proceedings
No.45 of an International Symposium on the ACIAR, Kaohsiung, Taiwan,
ROC, 28-30 October 1992. Canberra: ACIAR. Hlm 327-330.
Simanungkalit, R.D.M and R. Saraswati. 1993. Application of biotechnology on
biofertilizer production in Indonesia. pp. 45-57. In S. Manuwoto, S.
Sularso, and K. Syamsu (Eds.). Proc. Seminar on Biotechnology:
Sustainable Agriculture and Alternative Solution for Food Crisis. PAUBioteknologi IPB, Bogor.
Sitepu, D., 1991. Strategi penanggulangan penyakit layu Pseudomonas
solanacearnum pada tanaman industri kasus pada tanaman jahe. Orasi
Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor. 32 hal.
Soediarto dan S. Kemala. 1995. Tumbuhan dan tanaman obat yang potensial
untuk dikembangkan di Indonesia. Makalah Temu Wicara Tanaman Obat.
31 Januari 1995. Semarang, 22 hlm.
Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT. Raja
Grafindo Persada : Jakarta. Hal 359.
Sudiarto, B. Irwan, Syarif, dan W. Wargono. 1991. Beberapa Aspek Usaha Tani
Jahe Gajah. Makalah disajikan Pada Seminar Budidaya dan Peluang Pasar

27

Jahe, Kebun Pembibitan Trubus. Cimanggis, Bogor, 26 Januari 1991. 17


hlm.
Sudiarto, and Gusmaini. 2004. Pemanfaatan Bahan Organik In situ Untuk
Efisiensi Budidaya Jahe yang Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. Bogor. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
37-45.
SUNAINA, V., V. KISHORE, and G.S. SHEKHAWAT. 2003. Biocontrol of
bacterial wilt of potato of Ralstonia solanacearum and other bacteria.
(online).http://www.inra.Fr/internet/Departements/PATHOV/2ndIBWS/B5
html diakses 9 Mei 2003.
SUPRIADI, K. MULYA, and D. SITEPU. 2000. Strategy for controlling wilt
disease of ginger caused by Pseudomonas solanacearum. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. 19(3): 106-111.
Suratman, Djauhari, E., Rachmat, E.M., Sudiarto. 1987. Pedoman Bercocok
Tanam Jahe (Zingiber officinale Rosc). Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat. Bogor.
Sutanto. R. 2002. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan dan
Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta.
Suwahyono, U. 2010. Cara Membuat dan Petunjuk Penggunaan Biopestisida.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Syukur, C. 2002. Agar Jahe Berproduksi tinggi: Cegah Layu Bakteri dan
Pelihara Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta. 64 hal.
Tombe, M., E. Taufiq, dan Zulhisnain. 1997. Penelitian suppressive soil terhadap
perkembangan Fusarium oxysporum f. Sp vanillae penyebab BPP. Laporan
Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Hlm
1-8.
Torcar KG, Matijasic BB. 2003. Partial Characterisation of Bacteriocins Produced
by Bacillus cereus Isolat from Milk and Milk Products. Food Technol 41
(2): 121-129.
Trubus. 1990. Jahe Gajah Lebih Untung Kalau Dipanen Muda. Peluang Bisnis.
Majalah Pertanian Edisi Maret 1990. No. 244 Th XXI. 4 5.
Utami. 1994. Sekam Padi Bagus Sebagai Media Suplir. Trubus, XXV (292); 44
HAL.
Wafaa., M. Haggag., M.S.M., Saber. 2000. Use of Compost Formulations
Fortified with Plant Growth Promoting Rhizobacteria to Control Root-rot
Diseases in Some Vegetables Grown in Plastic-Houses. Plant Pathology
Departement. National Research Centre, Dokki, Egypt.

28

Weaver, M.A., E. Vedenyapina, C. Kenerly. 2005. Fitness, persistence, and


responsiveness of a genetically engineered strain of trichoderma virens in
soil mesocoms. Applied Soil Ecology 29:125-134.
Yeni, D.S. 2009. Induksi Ketahanan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)
Menggunakan Rhizobakteria Untuk Mengendalikan Penyakit Hawar Daun
Bakteri (Xanthomonas axanopodis pv. Allii). Skripsi. Padang. Fakultas
Pertanian. Hal 14.
Soepardi, G.1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah.
Fakultas Pertanian IPB Bogor. 591 hal.

Lampiran 1. Jadwal Kegiatan Penelitian dimulai dari bulan Oktober Mei 2014
Bulan/Minggu Ke
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Alat dan Bahan
Peremajaan & Perbanyakan isolat
Bacillus sp.
Introduksi I
Pendederan Rimpang
Introduksi II
Inokulasi Rs Ras 4
Pemeliharaan + Pengamatan
Analisa Data

Februari
maret
april
Mei
Juni
Juli
Agustus September
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

19

Lampiran 2. Denah Penelitian Berdasarkan RAL dengan 7 Perlakuan 4


Ulangan

Keterangan :
A, B, C, D, E, F, G

= Perlakuan

1, 2, 3, 4

= Ulangan

Lampiran 3. Deskripsi Gejala Penyakit Layu Bakteri Pada Jahe disebabkan

B3

E2

C4

F2

G1

D3

A1

C2

A4

B4

G2

D4

C1

G3

B1

E3

E1

A3

C3

B2

oleh Ralstonia solanacearum Ras 4.

Gejala awal penyakit layu bakteri adalah daun bagian bawah menjadi layu.
Selanjutnya helaian daun melipat, menggulung, berwarna kusam, terpulai, kuning,

2 lalu tanaman
E 4 itu, tunas menjadi
B2
F 4mati.
dan mengering. Setelah
busuk dan A
basah
Rimpang jahe yang terkena penyakit ini berwarna gelap dan busuk. Bila dipotong
secara pelan-pelan akan keluar lendir berwarna putih susu sampai kecoklatan.

1
4 yang diserangDberumur
F 1(Paimin, 2006).F 3
Biasanya tanamanGjahe
3 4 bulan

21

Anda mungkin juga menyukai