Anda di halaman 1dari 21

Al-Quran sebagai penangkal setan adalah hal yang dilarang (PRO)

Tidak dipungkiri bahwa Al-Quran mempunyai fadlilah yang cukup banyak. Termasuk dalam hal ini adalah dapat
melindungi diri serta mengusir gangguan syaithan. Melalui perantaraan (wasilah) apa fadlilah tersebut didapatkan ?
Dengan membacanya (dan mengetahui maknanya) atau sekedar memajangnya di dinding dan di atas pintu ? Tentu kita
semua memahami bahwa fadlilah tersebut akan kita dapatkan jika kita membacanya.



Tidaklah seorang muslim yang mengambil tempat pembaringannya lalu membaca satu surat dari Kitabullah kecuali
Allah mengutus seorang malaikat. Maka tidak ada sesuatu yang mendekatinya dapat menyakitinya hingga ia bangun
kapan saja ia terbangun [HR. Tirmidzi no. 3407. Sanadnya dlaif menurut Asy-Syaikh Al-Albani, namun dihasankan
oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam komentarnya terhadap kitab Al-Adzkar].


Surat Al-Ikhlash dan Al-Muawwidzatain (QS. Al-Falaq dan An-Naas) jika dibaca pada waktu sore dan pagi hari
sebanyak tiga kali, akan mencukupimu dari segala sesuatu[HR. Abu Dawud no. 5082, An-Nasai 8/250, At-Tirmidzi
no. 3575, dan Ahmad 5/312; hasan shahih].

Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syaithan itu akan lari dari rumah yang
dibacakan padanya surat Al-Baqarah [HR. Muslim no. 780].

Barangsiapa yang membaca ayat Kusi pada waktu sore hari, maka ia dijaga dari gangguan jin hingga pagi hari. Dan
barangsiapa yang membacanya di waktu pagi hari, maka ia akan dijaga hingga sore hari [lihat Shahih At-Targhib juz
1 no. 662].

Bacalah surat Al-Baqarah, karena membacanya akan mendatangkan berkah dan meninggalkannya berarti kerugian.
Tukang sihir tidak akan bisa berbuat jahat kepada pembacanya [HR. Muslim no. 804].

Dua ayat terakhir dari Surat Al-Baqarah, barangsiapa yang membacanya di malam hari maka ia telah
mencukupkannya [HR. Bukhari no. 3786 dan Muslim no. 807].[1]
Semua nash yang shahih menunjukkan bahwa fadlilah ayat-ayat Al-Quran hanya dapat diperoleh minimal jika
kita membacanya.
Al-Quran bukanlah jimat yang ayat-ayatnya ditulis dan dibungkus dalam kain untuk menolak bala dan bahaya. AlQuran pun bukanlah hiasan dan barang penglaris dagangan sehingga manusia bermegah-megahan dengannya. Tidak
kita dapatkan contoh dari Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, para shahabat, atau para ulama terpercaya setelah
mereka yang memajang ayat Al-Quran di dinding sebagai hiasan dan penolak setan.
Abu Ubaid meriwayatkan dalam kitab Fadlaailul-Quran (1/111) dengan sanad shahih dari Ibrahim An-Nakhai
bahwa ia berkata : Mereka (para shahabat radliyallaahu anhum) membenci segala macam tamimah (jimat)[2], baik
yang berasal dari ayat-ayat Al-Quran atau bukan dari ayat-ayat Al-Quran.
Berikut kami nukilkan fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daaimah terkait dengan pertanyaan :
:

:




.
. .

Soal : Seringkali dilakukan penjualan hiasan dinding yang tercantum di dalamnya ayat Kursi. Hal itu biasanya
ditempel di ruangan sebagai bentuk penghormatan dan rasa bangga terhadap Al-Quran Al-Kariim. Apakah hiasanhiasan tersebut diharamkan untuk menjualnya di pasar-pasar dan mendatangkannya ke kerajaan/negeri ini ?
Jawab : Al-Quran diturunkan supaya menjadi hujjah atas alam ini serta menjadi undang-undang dan manhaj bagi
seluruh kaum muslimin. Mereka menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram (di dalam Al-Quran),
mengamalkan hukumnya, iman terhadap ayat-ayat mutasyabihaat. Al-Quran dihafal di dada (kaum muslimin), dan
ditulis dalam lembaran-lembaran, dedaunan dan pelepah, serta yang lainnya; untuk dijadikan rujukan dan
membacanya (dari lembaran itu) ketika dibutuhkan. Inilah yang dipahami generasi pertama kaum muslimin dan
mereka beramal di atasnya. Adapun sesuatu yang baru muncul di jaman belakangan ini, berupa penukilan sebagian
(ayat-ayat) Al-Quran pada hiasan atau kertas tulisan yang dihiasi serta menempelkannya dalam ruangan; maka itu
semua bukan termasuk amalan generasi salaf. Dan bisa saja kerusakan yang timbul dengan sebab itu lebih besar
daripada pengagungan dan rasa bangga yang dimaksud oleh orang yang menulis atau menempelkannya. Yaitu efeknya
yang berupa membuat para pemerhati barang itu disibukkan dari memperhatikan tujuan pokok diturunkannya AlQuran. Maka sebaiknya seorang muslim meninggalkan hal-hal ini dan menjauhkan (diri) dari berinteraksi (attaaamul) di dalamnya, meskipun pada dasarnya hal tersebut halal. Hal tersebut dilakukan karena khawatir bahwa
perbuatan dan interaksi tersebut akan merajalela sehingga menyibukkan manusia dari maksud Al-Quran yang
sebenar-benarnya.
Wabillaahit-taufiq. Wa shallallaahu alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Iftaa Abdul-Aziz bin Baaz (Ketua), Abdurrazzaq Al-Afifi (Wakil Ketua),
Abdullah bin Ghudayan (Anggota); dan Abdullah bin Quud (anggota).[3]
Kesimpulan : Tidak dibenarkan memasang Al-Quran di dinding atau yang lainnya untuk tujuan mengusir setan
ataupun sebagai hiasan. Setan hanya akan lari ketika ayat Al-Quran dibaca dan diperdengarkan. Bukan dengan
dipajang. Al-Quran diturunkan juga bukan sebagai hiasan yang justru rentan menimbulkan riya bagi pelakunya[4].
Sudah selayaknya setiap muslim menghindari hal-hal yang demikian. Wallaahu alam.
Telah shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

Sesungguhnya jampi-jampi, jimat, tiwalah2 itu termasuk perbuatan syirik. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah,
dan Al-Hakim, dan beliau menshahihkannya)
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, demikian juga Abu Yala dan Al-Hakim serta ia menshahihkannya dari
Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka Allah tidak akan menyempurnakan baginya (urusan)nya dan
barangsiapa menggantungkan wadah3 maka Allah tidak akan menentramkannya.
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkannya melalui jalan lain dari Uqbah bin Amir dengan lafadz:

Barangsiapa menggantungkan tamimah/jimat maka ia telah berbuat syirik.
Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Sedang tamimah itu maknanya adalah sesuatu yang digantungkan
pada anak-anak atau orang lain dengan tujuan menolak bahaya mata hasad, gangguan jin, penyakit, atau semacamnya.
Sebagian orang menyebutkannya hirzan/penangkal, sebagian lagi menamainya jamiah4. Benda ini ada dua jenis:
Salah satunya: yang terbuat dari nama-nama setan, dari tulang, dari rangkain mutiara atau rumah kerang, paku-paku,
symbol-simbol yaitu huruf-huruf yang terputus-putus atau semacam itu. Jenis ini hukumnya haram tanpa ada keraguan
karena banyaknya dalil yang menunjukkan keharamannya. Dan itu merupakan salah satu bentuk syirik kecil

berdasarkan hadits-hadits tadi serta berdasarkan hadits yang semakna dengannya. Bahkan bisa menjadi syirik besar
bila orang yang menggantungkan/memakainya meyakini bahwa benda-benda itulah yang menjaganya atau
menghilangkan penyakitnya tanpa izin AllahSubhanahu wa Taala serta kehendak-Nya.
Kedua: sesuatu yang berasal dari ayat-ayat Al-Quran atau doa-doa dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan
semacam itu dari doa-doa yang baik. Untuk jenis ini para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka membolehkannya
dan mengatakan bahwa hal itu sejenis dengan ruqyah/jampi-jampi yang diperbolehkan.
Sedang sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa itu juga haram. Mereka berhujjah dengan dua hujjah:
Pertama: keumuman hadits-hadits yang melarang jimat-jimat dan yang memperingatkan darinya serta
menghukuminya bahwa itu adalah perbuatan syirik. Sehingga tidak boleh mengkhususkan sebagian jimat untuk
diperbolehkan, kecuali berdasarkan dalil syari yang menunjukkan kekhususan.
Adapun tentang ruqyah, maka hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa jika dari ayat-ayat Al-Quran dan doadoa yang diperbolehkan, maka itu tidak apa-apa, bila dengan bahasa yang diketahui maknanya serta yang melakukan
ruqyah tidak bersandar pada ruqyah itu, ia hanya meyakini itu sebagai salah satu sebab. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:

Tidak mengapa dengan ruqyah selama itu tidak termasuk dari syirik.
Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri pernah melakukannya serta sebagian sahabatnya juga pernah
melakukannya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallammengatakan:

Tidak ada ruqyah melainkan dari (gangguan) mata hasad atau sengatan serangga berbisa.
Dan hadits-hadits tentang hal ini banyak.
Adapun tentang tamimah/jimat, maka tidak ada sedikit pun dari hadits-hadits yang mengecualikan dari keharamannya.
Sehingga, wajib mengharamkan semua jenis jimat/tamimah, dalam rangka mengamalkan dalil-dalil yang bersifat
umum.
Kedua: menutup pintu-pintu menuju perbuatan syirik. Ini termasuk salah satu perkara penting dalam syariat. Dan
sebagaimana diketahui, bila kita perbolehkan jimat-jimat dari ayat-ayat Al-Quran dan doa-doa yang mubah, maka
akan terbuka pintu syirik serta akan menjadi rancu antara tamimah yang boleh dan yang dilarang. Serta akan
terhambat pemilahan antara keduanya, kecuali dengan rumit. Maka wajib menutup pintu ini dan menutup jalan
menuju kesyirikan.
Pendapat inilah yang benar karena kuatnya dalilnya. Allah Subhanahu wa Taala lah yang member taufiq.
(Diterbitkan di Majalah Jamiah Islamiyyah edisi 4 tahun 6 bulan Rabiul Akhir tahun 1394H hal. 175-182. Dinukil
dari Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah jilid II, Judul: Ijabah an Asilah Mutafarriqah, haula Kitabati AtTaawidz bil Ayat)
Bagaimana hukum memajang jimat yang berasal dari ayat Al Quran seperti ayat kursi yang dipajang di dinding dan
ada yang mengenakan pada lehernya potongan ayat Al Quran?
Contohnya, seseorang menggantung mushaf Al Quran di rumahnya untuk melindungi rumah dari gangguan makhluk
jahat, atau menggantungkan surat Al Ikhlas di dadanya. Semisal ini pula yaitu menggantungkan ayat kursi atau surat
Yasin di dinding rumah agar rumah tidak kemasukan setan dan makhluk jahat. Bisa jadi yang dipajang adalah tulisan

audzu bi kalimaatillahit taammati min syarri maa kholaq atau tulisan yang dipajang di toko masya Allah wa
tabarokallah.
Untuk masalah tamimah yang berasal dari Al Quran, dzikir atau doa, para ulama berselisih pendapat. Sebagian
ulama memberikan keringanan, sebagian lagi tetap melarang. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu
Masud. (Lihat Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi)
Dalil ulama yang membolehkan tamimah dari Al Quran yaitu di antaranya firman Allah Taala,

Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS. Al
Isro: 82). Memakai atau menggantungkan jimat dari ayat Al Quran termasuk menjadikannya sebagai syifa (penawar
atau obat). Itulah alasan pembolehannya.
Namun pendapat yang lebih tepat, jimat dari Al Quran tetap terlarang dengan beberapa alasan berikut.
Untuk menutup jalan agar tidak terjerumus dalam kesyirikan yang lebih parah.
Berdalil dengan dalil-dalil umum yang melarang jimat.

Jimat dari Al Quran bisa membuat Al Quran itu dilecehkan, bisa jadi pula dibawa masuk ke kamar mandi,
atau terkena kotoran (najis).

Agar tidak membuat sebagian dukun yang sengaja menuliskan ayat-ayat Al Quran lantas menaruh di
bawahnya mantera-mantera syirik.

Seseorang akan tidak perhatian lagi pada Al Quran dan doa karena hanya bergantung pada ayat Al Quran
yang dipajang atau dikenakan. (Lihat Rasail fil Aqidah, hal. 441 dan Syarh Kitab Tauhid, hal. 61).
Dalil yang mengharamkan tamimam, jimat atau azimat secara umum adalah:
Dari Uqbah bin Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,



Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya.
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah ain, yaitu pandangan hasad atau iri, -pen),
maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain-).
Dalam riwayat lain disebutkan,

Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh
Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).
Jimat atau tamimah pada masa jahiliyah adalah sesuatu yang dikalungkan pada anak kecil atau binatang dengan
maksud untuk menolak ain. Namun hakikat jimat tidak terbatas pada bentuk dan kasus tertentu akan tetapi mencakup
semua benda dari bahan apapun dan bagaimanapun cara pakainya. Ada yang terbuat dari bahan kain, benang, kerang
maupun tulang baik dipakai dengan cara dikalungkan, digantungkan, dan sebagainya. Tempatnya pun bervariasi, baik
di mobil, rumah, leher, kaki, dan sebagainya.
Contohnya seperti kalung, batu akik, cincin, sabuk (ikat pinggang), rajah (tulisan arab yang ditulis perhuruf dan
kadang ditulis terbalik), selendang, keris, atau benda-benda yang digantungkan pada tempat-tempat tertentu, seperti di
atas pintu kendaraan, di pintu depan rumah, diletakkan pada ikat pinggang atau sebagi ikat pinggang, sebagai susuk,
atau ditulis di kertas, dibakar lalu diminum, dan lain-lain dengan maksud untuk menolak bahaya.

Hukum Jimat

Secara wujudnya, jimat terbagi menjadi dua macam:


Pertama, jimat yang tidak bersumber dari Al-Quran. Jimat jenis inilah yang dilarang oleh syariat Islam. Jika
seseorang percaya bahwa jimat itu dapat berpengaruh tanpa kehendak Allah maka ia terjerumus dalam perbuatan

syirik besar karena hatinya telah bersandar kepada selain Allah. Adapun jika seseorang meyakini bahwa jimat itu
hanya sebagai sebab dan tidak memiliki kekuatan sendiri maka ia terjatuh dalam perbuatan syirik kecil.
Kedua, jimat yang bersumber dari Al-Quran. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, ada sebagian yang
membolehkan dan ada yang melarangnya. Adapun pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah terlarang, meskipun
hukumnya tidak syirik karena menggunakan Al-Quran disini berarti bersandar pada kalamullah bukan bersandar
kepada makhluk. Mengapa dilarang? Karena keumuman dalil tentang keharaman jimat, tidak peduli jimat tersebut
berupa Al-Quran ataupun bukan. Dengan membolehkan jimat yang berasal dari ayat Al-Quran, kita telah membuka
peluang menyebarnya jimat yang bukan berasal dari Al-Quran yang jelas-jelas haram.
Maka, sarana yang dapat mengantar kepada perbuatan haram mempunyai hukum yang sama dengan perbuatan haram
itu sendiri. Selain itu, pemakaian jimat dari Al-Quran juga mengandung unsur penghinaan terhadap Al-Quran, yaitu
ketika dibawa tidur, buang hajat, atau sedang berkeringat dan semacamnya. Hal seperti ini tentu bertentangan dengan
kesucian Al-Quran. Selain itu juga, jimat ini dapat pula dimanfaatkan oleh para pembuatnya untuk menyebarkan
kemusyrikan dengan alasan jimat yang dibuatnya dari Al-Quran.

Dalil-Dalil Terlarangnya Jimat

Terdapat banyak dalil dari Al-Quran dan hadits yang memberitakan tentang pengharaman jimat. Beberapa dalil
tersebut antara lain:
Allah berfirman, yang artinya, Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?, niscaya mereka menjawab: Allah. Katakanlah: Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu
seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat
menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmat-Nya?. Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah
diri. (Qs. Az-Zumar: 38)
Dari ayat di atas dapat kita renungkan bahwa berhala-berhala sesembahan orang musyrik tersebut tidak mampu
memberikan manfaat atau menolak madharat bagi penyembahnya karena memang berhala bukan merupakan sebab
untuk mencapai maksud penyembahnya. Begitu pula dengan para pengguna jimat yang telah mengambil sebab yang
bukan merupakan sebab.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan
syirik. (HR. Ahmad, Hakim, dari Sahabat Uqbah bin Amir al-Juhani)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika melihat seseorang yang memakai gelang kuningan di tangannya, maka
beliau bertanya, Apa ini?
Orang itu menjawab, Penangkal sakit.
Nabipun bersabda, Lepaskanlah, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu. Jika kamu mati sedang
gelang itu masih ada pada tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya. (HR. Ahmad)
Wahai ibu, sebagai seorang muslim kita seharusnya meyakini dengan sepenuh hati bahwa manfaat dan mudharat itu
ada di tangan Allah sehingga kita tidak boleh menggantungkan hati kepada selain Allah. Kita wajib bertawakkal hanya
kepada Allah saja. Allah berfirman yang artinya,
Dan hanya kepada Allah saja hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal. (Qs. Ibrahim: 11)
Ketahuilah, sesungguhnya jimat tidak dapat menolak dan menghilangkan apa yang telah Allah takdirkan. Hal inilah
yang harus kita tanamkan pada diri anak-anak kita. Dengan menghindar dari kesyirikan ketika mentarbiyah anak,

semoga menjadikan kita sebagai pendidik mulia yang dapat melahirkan generasi yang terlindungi dari kegelapan
syirik. Waallahu alam.

Hukum Berpoligami Adalah Halal (Kontra)


Islam sebagai dn (agama, jalan hidup) yang sempurna telah memberikan sedemikian lengkap hukum-hukum untuk
memecahkan problematika kehidupan umat manusia. Islam telah membolehkan kepada seorang lelaki untuk beristri
lebih dari satu orang. Hanya saja, Islam membatasi jumlahnya, yakni maksimal empat orang istri, dan mengharamkan


lebih dari itu. Hal ini didasarkan firman Allah Swt. berikut:

Artinya: Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua,


tiga, atau empatkemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang sajaatau kawinilah
budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya. (QS anNisa [4]: 3). Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. pada tahun ke-8 Hijrah untuk membatasi jumlah
istri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika seorang pria Arab mempunyai
istri banyak tanpa ada batasan . Dengan diturunkannya ayat ini, seorang Muslim dibatasi hanya boleh beristri
maksimal empat orang saja, tidak boleh lebih dari itu. Memang, dalam lanjutan kalimat pada ayat di atas terdapat
ungkapan: Kemudian jika kalian khawatir tidak akan berlaku adil, nikahilah seorang saja. Artinya, jika seorang pria
khawatir untuk tidak dapat berlaku adil (dengan beristri lebih dari satu), Islam menganjurkan untuk menikah hanya
dengan seorang wanita saja sekaligus meninggalkan upaya untuk menghimpun lebih dari seorang wanita. Jika ia lebih
suka memilih seorang wanita, itu adalah pilihan yang paling dekat untuk tidak berlaku aniaya atau curang. Inilah
makna dari kalimat: yang demikian adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya. Namun demikian, keadilan
yang dituntut atas seorang suami terhadap istri-istrinya bukanlah keadilan yang bersifat mutlak, tetapi keadilan yang
memang masih berada dalam batas-batas kemampuannyasebagai manusiauntuk mewujudkannya. Sebab, Allah

Swt. sendiri tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS al-Baqarah [2]:
286). Ayat terbut jelas bahwa allah swt, tidak membebankan suatu urusan kepada hamba kecuali urusan itu yang
sanggup dipikulnya. Masalah keadilan yang harus dijalani oleh seorang suami yang beristri lebih dari satu bukanlah
masalah keadilan kasih sayang disebabkan masalah kasih sayang tidak sanggup di penuhi oleh seorang suami.

Sebagaimana Allah swt berfirman dalam surat an-Nisa ayat 129 .

Artinya: Sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian
sangat menginginkannya. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada salah seorang istri yang kalian
cintai) hingga kalian membiarkan istri-istri kalian yang lain terkatung-katung. (QS an-Nisa [4]: 129). Berkenaan
ketidakmampuan manusia berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat di atas, banyak para muffasirin
dalam menafsirkan ayat diatas sama halnya dengan Ibn Abbas menjelaskan bahwa ketidakmampuan yang dimaksud
adalah dalam perkara kasih sayang dan syahwat suami terhadap istri-istrinya . Sebaliknya, selain dalam dua perkara
ini, seorang suami akan mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Keadilan selain dalam kasih sayang dan syahwatnya
inilah yang sebetulnya dituntut dan diwajibkan atas para suami yang berpoligami. Sebaliknya, keadilan dalam hal
kasih sayang dan kecenderungan syahwatnya bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas mereka. Hal ini dikuatkan oleh

Hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan Aisyah r.a.:
, Artinya: Rasullullah saw. pernah bersumpah dan berlaku adil seraya berdoa, Ya Allah, sesungguhnya

aku bersumpah atas apa yang aku sanggupi. Oleh karena itu, janganlah Engkau memasukkanku ke dalam perkara yang
Engkau sanggupi tetapi tidak aku sanggupi. (yaitu hatinya). (HR Muslem ). Dan dalam hadist yang Imam Muslem
meriwayatkan , ! : Artinya: Umar bin
khatab Berkata : Ya allah , bahwa sungguh hatiku tidak sanggup aku kuasai untuk berbuat adil! Dan sesuatu yang
selain hati, aku berharap saya dapat berbuat adil . Hadis saidina Umar ini mengisyarahkan sebagai penjelas bagi hadist
aisyah diatas dengan, demikian dapat dipahami dari dua uraian tersebut bahwa yang dimaksud dengan adil yang tidak
disanggupi oleh nabi adalah soal hati. Berlaku adil dalam hal kasih sayang dari pernyataan saidina umar sendiri bahwa
hal tersebut tidak mungkin untuk kita lakukan, maka dalam hal adil seorang suami yang beristrikan lebih dari satu

adalah bukan adil kasih sayang, dikarenakan adil kasih sayang seorang suami tidak pernah bisa. karena apabila adil
kasih sayang yang dimaksudkan sama dengan halnya tidak diperbolehkan berpoligami disebabkan telah mengsyarat
kepada sesuatu yang hampir mustahil untuk dipenuhi. tetapi pada kenyataannya poligami dalam islam ada,
sebagaimana firman allah dalam ayat an nisa ayat 3(tiga). dan telah dilalukan oleh rasulullah dan para sahabat beliau
sekalian. Maka berkesimpulanlah bahwa adil yang dimaksudkan bukanlah adil kasih sayang tetapi adil dalam
meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan hal-hal lain yang bersifat lahiriyah. Menanggapi tentang nabi tidak
memperbolehkan saidina ali untuk menikah lagi dengan wanita selain fatimah. Sebagaimana hadist dalam shahih
muslem : :

Artinya : Dari miswar bin makhramah beliau pernah mendengar saat nabi berada diatas mimbar beliau
bersabda : sesungguh bani hisyam bin mughirah meminta izin mereka untuk menikahi ali dengan putri meraka, lalu
rasulullah bersabda: aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali sesungguh aku lebih mencintai ali
bin abi thalib menceraikan putriku, daripada menikahi dengan putri mereka. Karena putriku adalah darah dagingku
aku senang dengan apa yang telah darah dagingku senang dan aku merasa tersakiti dengan apa yang telah darah
dagingku merasa tersakiti dengan hal itu . Dalam hadist tersebut nabi tidak memberi izin kepada bani hisyam bin
mughirah untuk menikahkan putri mereka dengan saidina Ali, karena mempertimbangkan bisa menyakiti hati fatimah,
maka akan tersakiti hati rasulullah. Dan juga tersebutkan dalam riwayat yang lain Nabi pernah bersabda :
Artinya : Bahwa sesungguhnya
aku tidak mengharamkan sesuatu yang halal dan tidak juga menghalalkan sesuatu yang haram, tetapi demi allah tidak
bisa menghimpunkan putri rasulullah dan putri musuh allah pada satu orang (Ali Bin Abi Thalib). Dari kata-kata
rasulullah aku tidak mengharamkan sesuatu yang halal. Yaitu berpoligami yang dibolehkan dalam agama. Akan tetapi
rasulullah mengharamkan berpoligami karena putri tersebut anak dari pada musuh allah swt . Sebagaimana yang telah
kita pahami dari dua buah hadist di atas, bahwa nabi melarang berpoligami pada saidina ali dengan dua alasan : Dapat
menyakitin fatimah, maka akan tersakiti hati Rasul. Putri yang mau saidina ali nikahi adalah putri dari musuh allah
swt (abu jahal). Rasulullah melarang ali menikah dengan wanita selain fatimah bukan dikarenakan diri menikah
tersebut (la lizatihi), tetapi karena di tinjau dari segi yang lain (li aridhi), yaitu karena wanita tersebut adalah musuh
allah. HIKMAH BERPOLIGAMI Berpoligami merupakan suatu hal yang dibolehkan dalam agama, ada beberapa
hikamahh yang terkandung dalam poligami: Tidak dapat kita pungkiri, bahwa bahtera kehidupan pernikahan
seseorang tidak selalu berjalan dengan mulus; kadang-kadang ditimpa oleh cobaan atau ujian. Pada umumnya,
sepasang lelaki dan perempuan yang telah menikah tentu saja sangat ingin segera diberikan momongan oleh Allah
Swt. Akan tetapi, kadang-kadang ada suatu keadaan ketika sang istri tidak dapat melahirkan anak, sementara sang
suami sangat menginginkannya. Pada saat yang sama, suami begitu menyayangi istrinya dan tidak ingin
menceraikannya. Dengan demikian maka berpoligami adalah suatu solusi yang paling tepat untuk memperoleh
keturunan dan juga istri yang pertama masih bisa membagi kasih sayang dengannya. Berpoligami jadi sebagai
penyelesaian bahtera kehidupan rumah tangga pada ketika keadaan seorang istri sakit keras sehingga menghalanginya
untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri, sedangkan sang suami sangat menyayanginya; ia tetap ingin
merawat istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Akan tetapi, di sisi lain ia membutuhkan wanita lain yang dapat
melayaninya. Ada juga kenyataan lain yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa di dunia ini ada sebagian lelaki yang
tidak cukup hanya dengan satu istri (maksudnya, ia memiliki syahwat lebih besar dibandingkan dengan lelaki pada
umumnya). Maka berpoligami adalah suatu jalan penyelesaian bagi sebahagia lelaki tersebut. Jika ia hanya menikahi
satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti atau menyebabkan kesulitan bagi sang istri. Dan akan mengakibatkan
perzinaan. Fakta lain yang kita hadapi sekarang adalah jumlah lelaki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
perempuan; baik karena terjadinya banyak peperangan ataupun karena angka kelahiran perempuan memang lebih
banyak daripada lelaki. Oleh sebab itu banyak wanita yang tidak kebagian suami, di takutkan dari kaum wanita
sebagai pelampiasan nafsu biologisnya menjurus kepada tindakan-tindakan asusila. Dan sebagainya, maka
berpoligami merupakan sosusi bagi wanita. Nah, dari berbagai fakta yang tidak dapat dipungkiri di atas, yang
merupakan bagian dari permasalahan umat manusia, kita dapat membayangkan, seandainya pintu poligami ini ditutup
maka justru kerusakanlah yang akan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dari sini dapat dipahami, bahwa poligami
sebetulnya dapat dijadikan sebagai salah satu solusi atas sejumlah problem di atas.

Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak)
atau istihbaab (dianjurkan)[6].

Adapun makna perintah dalam firman Allah Taala,

{}

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat (QS an-Nisaa:3).

Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan
kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,

{}

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS an-Nisaa:3).

Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya
adalah larangan, yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil[7], atau
maknanya, Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi.

Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya,

{}

Dan katakanlah:Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna ayat ini adalah
larangan melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya[8].

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya, Apakah poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh)
atau dianjurkan? Beliau menjawab rahimahullah, Poligami (hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi yang
mampu, karena firman Allah Taala (beliau menyabutkan ayat tersebut di atas), dan karena perbuatan
Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam, beliau shallallahu alaihi wa sallam menikahi sembilan orang wanita, Allah
memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan (keberadaan) para istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam tersebut, dan
ini (menikahi sembilan orang wanita) termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu alaihi wa sallam. Adapun selain
beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita[9]. Karena dalam poligami

banyak terdapat kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki maupun permpuan, bahkan bagi seluruh umat
Islam. Sebab dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan,
menjaga kemaluan (kesucian), memperbanyak (jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin
beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan
dan penyimpangan. Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah
dia menikahi seorang wanita (saja), karena Allah Taala berfirman,

{}

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS an-Nisaa:3).

Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan
mereka di dunia dan akhirat[10].

Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, Seorang laki-laki jika dia
mampu dengan harta, badan (tenaga) dan hukumnya (bersikap adil), maka lebih utama (baginya) untuk menikahi
(dua) sampai empat (orang wanita) jika dia mampu. Dia mampu dengan badannya, karena dia enerjik, (sehingga) dia
mampu menunaikan hak yang khusus bagi istri-istrinya. Dia (juga) mampu dengan hartanya (sehingga) dia bisa
memberi nafkah (yang layak) bagi istri-istrinya. Dan dia mampu dengan hukumnya untuk (bersikap) adil di antara
mereka. (Kalau dia mampu seperti ini) maka hendaknya dia menikah (dengan lebih dari seorang wanita), semakin
banyak wanita (yang dinikahinya) maka itu lebih utama. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, Orang yang
terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya[11][12].

Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, Adapun (hukum) asal (pernikahan) apakah poligami atau tidak, maka
aku tidak mendapati ucapan para (ulama) ahli tafsir, yang telah aku baca kitab-kitab tafsir mereka yang membahas
masalah ini. Ayat al-Quran yang mulia (surat an-Nisaa:3) menunjukkan bahwa seorang yang memiliki kesiapan
(kesanggupan) untuk menunaikan hak-hak para istri secara sempurna maka dia boleh untuk berpoligami (dengan
menikahi dua) sampai empat orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki kesiapan (kesanggupan) cukup dia menikahi
seorang wanita, atau memiliki budak. Wallahu alam[13].

Hikmah dan Manfaat Agung Poligami

Karena poligami disyariatkan oleh Allah Taala yang mempunyai nama al-Hakim, artinya Zat yang memiliki
ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah[14] yang maha sempurna, maka hukum Allah Taala yang mulia ini
tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di antaranya:

Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit,
sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Atau jika suami dan

istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat untuk
berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami.
Maka masalah ini tidak akan bisa terselesaikan kecuali dengan poligami, insya Allah.

Kedua: Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia,
setelah hubungan nasab. Allah Taala berfirman,

{
}

Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan
mushaharah (hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa (QS al-Furqaan:54).

Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan (antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab
poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam[15].

Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan
(hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini
merupakan tuntutan syariat.

Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak
cukup baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya.
Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal
yang dihalalkan (agama Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Taala terhadap manusia adalah dengan
dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya[16].

Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata istri mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka
dengan disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.

Keenam: Terkadang juga seorang suami sering bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya
ketika dia sedang bepergian.

Ketujuh: Banyaknya peperangan dan disyariatkannya berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki
yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka membutuhkan suami untuk melindungi
mereka. Maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.

Kedelapan: Terkadang seorang lelaki tertarik/kagum terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama
atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka berdua.

Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian
sang suami menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang pertama, maka dalam kondisi seperti
ini poligami merupakan solusi terbaik.

Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan
persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi jumlah
keturunan.

Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu,
membaca al-Quran dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain.
Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.

Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami
dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam
keadaan sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.

Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang yang beriman kepada Allah dan kebenaran
agama-Nya tidak ragu sedikitpun terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-Nya.
Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah menunaikan perintah AllahTaala dan mentaatiNya dalam semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya[17].

Arti Sikap Adil dalam Poligami

Allah Taala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang
berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat
Allah Taala dalam semua itu, karena Allah Taala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna[18].
Allah Taala berfirman,

{
}

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran (QS an-Nahl:90).

Termasuk dalam hal ini, sikap adil dalam poligami, yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan
para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka[19]. Dan ini tidak berarti harus
adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya[20], yang ini jelas di luar kemampuan manusia[21].

Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa nafsu dan ketidakpahaman terhadap
agama, termasuk kerancuan dalam memahami firman Allah Taala[22],

{
}

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu
biarkan yang lain terkatung-katung (QS an-Nisaa:129).

Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah memahami firman Allah yang mulia ini.

Imam asy-Syafii berkata, Sebagian dari para ulama ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Taala): Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), (artinya: berlaku adil) dalam perasaan yang ada
dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Taala mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap
apa yang terdapat dalam hati mereka. karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)
artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang menyimpang
dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu alam[23].

Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Taala ini dalam bab: al-adlu bainan nisaa (bersikap adil di antara para
istri)[24], dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, Imam alBukhari mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini (adil yang
tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi, dan hadits
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam
poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masingmasing dari mereka. Jika seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka
yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan
apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka)
Imam at-Tirmidzi berkata, Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam hati), demikianlah penafsiran para
ulama (ahli tafsir)Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma beliau berkata ketika menafsirkan ayat di atas, Yaitu: kecintaan (dalam hati) dan jima (hubungan intim)
[25].

Imam al-Qurthubi berkata, (Dalam ayat ini) Allah Taala memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap
adil di antara istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan
ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan
tidak mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh
karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), Ya Allah, inilah pembagianku
(terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau
miliki dan tidak aku miliki[26]. Kemudian Allah melarang karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), Imam Mujahid berkata, (Artinya): janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-

istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini
termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)[27].

Imam Ibnu Katsir berkata, Arti (ayat di atas): Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil
(menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir
semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan
intim, sebagaimana keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan
Dhahhak bin Muzahim[28].

Kecemburuan dan Cara Mengatasinya

Cemburu adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada dalam diri manusia, yang pada asalnya tidak tercela, selama tidak
melampaui batas. Maka dalam hal ini, wajib bagi seorang muslim, terutama bagi seorang wanita muslimah yang
dipoligami, untuk mengendalikan kecemburuannya. Karena kecemburuan yang melampaui batas bisa menjerumuskan
seseorang ke dalam pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk sangka, dusta, mencela[29], atau bahkan kekafiran,
yaitu jika kecemburuan tersebut menyebabkannya membenci ketentuan hukum yang Allah syariatkan.
Allah Taala berfirman,

{}

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah
sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka (QS Muhammad:9).

Demikian pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki untuk lebih bijaksana dalam menghadapi kecemburuan para
wanita, karena hal ini juga terjadi pada diri wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menghadapi semua itu dengan sabar dan bijaksana,
serta menyelesaikannya dengan cara yang baik[30].

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, Asal sifat cemburu adalah merupakan watak bawaan bagi wanita, akan tetapi
jika kecemburuan tersebut melampuai batas dalam hal ini sehingga melebihi (batas yang wajar), maka itulah yang
tercela. Yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Atik alAnshari radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sesunguhnya di antara sifat
cemburu ada yang dicintai oleh Allah dan ada yang dibenci-Nya. Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah alghirah (kecemburuan) terhadap keburukan. Sedangkan kecemburuan yang dibenci-Nya adalah kecemburuan terhadap
(perkara) yang bukan keburukan[31].[32]

Sebab-sebab yang mendorong timbulnya kecemburuan yang tercela (karena melampaui batas) adalah:

Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Taala.

Godaan setan

Hati yang berpenyakit

Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan menunaikan hak sebagian dari istri-istrinya.

Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.

Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan seorang istrinya di hadapan istrinya yang lain[33].

Adapun cara mengatasi kecemburuan ini adalah:

Bertakwa kepada Allah Taala.

Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar bagi wanita yang bersabar dalam mengendalikan dan
mengarahkan kecemburuannya sesuai dengan batasan-batasan yang dibolehkan dalam syariat.

Menjauhi pergaulan yang buruk.

Bersangka baik.

Bersikap qanaah (menerima segala ketentuan Allah I dengan lapang dada).

Selalu mengingat kematian dan hari akhirat

Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan kecemburuan tersebut[34].

Nasehat Bagi Yang Berpoligami dan Dipoligami[35]

1. Nasehat untuk suami yang berpoligami

Bersikap adillah terhadap istri-istrimu dan hendaklah selalu bersikap adil dalam semua masalah, sampai pun dalam
masalah yang tidak wajib hukumnya. Janganlah kamu bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu.

Berlaku adillah terhadap semua anakmu dari semua istrimu. Usahakanlah untuk selalu mendekatkan hati mereka,
misalnya dengan menganjurkan istri untuk menyusui anak dari istri yang lain. Pahamkanlah kepada mereka bahwa
mereka semua adalah saudara. Jangan biarkan ada peluang bagi setan untuk merusak hubungan mereka.

Sering-seringlah memuji dan menyebutkan kelebihan semua istri, dan tanamkanlah kepada mereka keyakinan bahwa
tidak ada kecintaan dan kasih sayang yang (abadi) kecuali dengan mentaati Allah Taala dan mencari keridhaan suami.

Janganlah menceritakan ucapan salah seorang dari mereka kepada yang lain. Janganlah menceritakan sesuatu yang
bersifat rahasia, karena rahasia itu akan cepat tersebar dan disampaikannya kepada istri yang lain, atau dia akan
membanggakan diri bahwa dia mengetahui rahasia suami yang tidak diketahui istri-istri yang lain.

Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak,
di hadapan istri yang lain. Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di
antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.

Janganlah kamu mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah
perbuatan tersebut, supaya mereka tidak terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain.

2. Nasehat untuk istri pertama

Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan ketahuilah bahwa sikap menentang dan tidak menerima akan
membahayakan bagi agama dan kehidupanmu.

Benahilah semua kekuranganmu yang diingatkan oleh suamimu. Karena boleh jadi itu merupakan sebab dia
berpoligami. Kalau kekurangan-kekurangan tersebut berhasil kamu benahi maka bersyukurlah kepada
Allah Taala atas petunjuk-Nya.

Berikanlah perhatian besar kepada suamimu dan sering-seringlah memujinya, baik di hadapan atau di belakangnya,
terutama di hadapan keluargamu atau teman-temanmu, karena ini termasuk hal yang bisa memperbaiki hati dan
lisanmu, serta menyebabkan keridhaan suami padamu. Dengan itu kamu akan menjadi teladan yang baik bagi para
wanita yang menentang dan mengingkari syariat poligami, atau mereka yang merasa disakiti ketika suaminya
berpoligami.

Janganlah kamu mendengarkan ucapan orang jahil yang punya niat buruk dan ingin menyulut permusuhan antara
kamu dengan suamimu, atau dengan madumu. Janganlah kamu mudah menyimpulkan sesuatu yang kamu dengar
sebelum kamu meneliti kebenaran berita tersebut.

Janganlah kamu menanamkan kebencian dan permusuhan di hati anak-anakmu kepada istri-istri suamimu dan anakanak mereka, karena mereka adalah saudara dan sandaran anak-anakmu. Ingatlah bahwa tipu daya yang buruk hanya
akan menimpa pelakunya.

Jangalah kamu merubah sikap dan perlakuanmu terhadap suamimu. Janganlah biarkan dirimu menjadi bahan
permainan setan, serta mintalah pertolongan dan berdolah kepada Allah Taala agar Dia menguatkan keimanan dan
kecintaan dalam hatimu.

3. Nasehat untuk istri yang baru dinikahi

Ketahuilah bahwa kerelaanmu dinikahi oleh seorang yang telah beristri adalah kebaikan yang besar dan
menunjukkan kuatnya iman dan takwa dalam hatimu, insya Allah. Pahamilah ini semua dan harapkanlah ganjaran
pahala dari Allah atas semua itu.

Gunakanlah waktu luangmu ketika suamimu berada di rumah istrinya yang lain dengan membaca al-Quran,
mendengarkan ceramah-ceramah agama yang bermanfaat, dan membaca buku-buku yang berfaedah, atau gunakanlah
untuk membersihkan rumah dan merawat diri.

Jadilah engkau sebagai dai (penyeru) manusia ke jalan Allah Taala dalam hukum-Nya yang mulia ini.
Fahamkanlah mereka tentang hikmah-Nya yang agung dalam syariat poligami ini. Janganlah engkau menjadi
penghalang bagi para wanita untuk menerima syariat poligami ini.

Janganlah bersikap enggan untuk membantu/mengasuh istri-istri suami dan anak-anak mereka jika mereka
membutuhkan pertolonganmu. Karena perbuatan baikmu kepada mereka bernilai pahala yang agung di sisi Allah dan
menjadikan suami ridha kepadamu, serta akan menumbuhkan kasih sayang di antara kamu dan mereka.

Janganlah kamu membeberkan kekurangan dan keburukan istri suami yang lain. Jangan pernah menceritakan kepada
orang lain bahwa suami berpoligami karena tidak menyukai istrinya yang pertama, karena ini semua termasuk
perangkap setan.

Jangan kamu berusaha menyulut permusuhan antara suami dengan istrinya yang lain, agar dia semakin sayang
padamu. Karena ini adalah perbuatan namiimah (mengadu domba) yang merupakan dosa besar. Berusahalah untuk
selalu mengalah kepadanya, karena ini akan mendatangkan kebaikan yang besar bagi dirimu.

Penutup

Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum
Allah Taala. Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena
ditetapkan oleh Allah Taala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.

Kota Nabi shallallahu alaihi wa sallam, 26 Dzulqadah 1430 H

Allah Azza wa Jalla yang menciptakan manusia, maka Dia jugalah yang paling mengetahui mashlahat (perkara yang
membawa kepada kebaikan) bagi manusia, dibandingkan manusia itu sendiri. Dia Maha Mengetahui, Maha Bijaksana,
dan Maha Kasih Sayang kepada hamba-hambaNya. Allah berfirman :

Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui? [Al Mulk/67:14]
Demikianlah seluruh syariat Allah, semuanya merupakan mashlahat, baik mashlahat murni yang tidak ada
keburukannya, ataupun mashlahat rajihah (yang lebih kuat) terhadap keburukannya. Termasuk dalam hal ini, yaitu
poligami yang telah dihalalkan oleh Allah di dalam kitab suciNya, dihalalkan oleh RasulNya yang mulia Shallallahu
alaihi wa sallam, serta disepakati oleh umat Islam.
Sebagai syariat yang dihalalkan, maka seorang muslim yang melakukan poligami, semestinya memperhatikan syarat
dan adab-adabnya. Sementara itu, di tengah masyarakat, umat Islam yang melakukan poligami, sebagian di antara
mereka melakukannya dengan tanpa memenuhi syarat dan adab-adabnya, sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Islam. Hal ini turut memperburuk citra agama Islam di mata musuh-musuhnya. Sehingga melahirkan penilaian negatif
terhadap poligami yang merupakan anugerah Allah ini.
Oleh karena itu sebagai umat Islam, sepantasnya kita mengetahui syarat-syarat dan adab-adab poligami, sehingga
kesempurnaan agama Allah ini dapat kita pahami. Dan bagi seseorang yang melaksanakan poligami, dia
melaksanakan dengan sebaik-baiknya sebagaimana dituntunkan syariat.
SYARAT-SYARAT POLIGAMI
Allah Azza wa Jalla tidak mensyaratkan adanya poligami, kecuali dengan satu syarat saja. Yaitu berlaku adil terhadap
para isteri dalam perkara lahiriyah. Disamping itu, juga harus memiliki kemampuan melakukan poligami, karena
kemampuan merupakan syarat di dalam melaksanakan seluruh jenis ibadah, sebagaimana telah dimaklumi. Berikut
kami sebutkan dalil-dalil berkaitan dengan kedua syarat di atas.
1. Berlaku Adil Terhadap Para Isteri Dalam Pembagian Giliran Dan Nafkah.
Allah Taala berfirman:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya [An-Nisaa`/4:3]
Firman Allah pada ayat di atas: Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, ini
menunjukkan adanya syarat berlaku adil terhadap para isteri. Yang dimaksud berlaku adil di sini, yaitu berlaku adil
dalam perkara pembagian giliran dan nafkah. Adapun dalam hal kecintaan, syahwat, dan jima, maka tidak wajib
berlaku adil. Karena hal ini tidak mampu dilakukan oleh manusia.
Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, jika kamu takut tidak berbuat adil di antara isteri-isteri, sebagaimana firman
Allah.

[Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. an-Nisaa` ayat 129-], maka barangsiapa takut dari hal itu, hendaklah
dia membatasi dengan satu (isteri) atau terhadap budak-budak wanita, karena tidak wajib pembagian di antara mereka
(budak-budak itu), tetapi disukai, barangsiapa melakukan, maka itu baik; dan barangsiapa tidak melakukan, maka
tidak ada dosa.[1]
Ibnu Qudamah al Maqdisi rahimahullah berkata: Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa
tidak wajib menyamakan di dalam jima di antara para isteri. Karena jima adalah jalan bagi syahwat dan
kecondongan, tidak ada jalan untuk menyamakan mereka di dalam hal itu, karena hati seorang suami terkadang
condong kepada salah satu isteri tanpa yang lainnya. [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Alhamdulillah, wajib atas suami berlaku adil di antara dua
isteri dengan kesepakatan muslimin. Dan di dalam Sunan Empat, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, beliau bersabda:

Barangsiapa memiliki dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah satu dari keduanya (yakni tidak adil, Pen.), (maka)
dia akan datang pada hari Kiamat, sedangkan lambungnya miring [3]
Dengan demikian, seorang suami wajib berlaku adil di dalam pembagian. Jika dia bermalam pada satu isterinya
semalam atau dua malam atau tiga malam, maka dia juga bermalam pada isteri yang lain seukuran itu. Dia tidak boleh
melebihkan salah satu dari keduanya dalam pembagian. Namun, jika dia lebih mencintai salah satunya, dan lebih
banyak berjima dengannya, maka tidak ada dosa baginya, dan tentang inilah turun firman Allah:


Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian [An-Nisaa` ayat 129] yaitu dalam hal kecintaan dan jima.
Dalam Sunan Empat, dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam biasa membagi dan berbuat
adil, lalu beliau berdoa:



Wahai Allah, ini pembagianku dalam perkara yang aku mampu, maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara
yang Engkau mampu, sedangkan aku tidak mampu. Abu Dawud mengatakan: Yang beliau maksud adalah hati.[4]
Adapun adil dalam hal pemberian nafkah dan pakaian, maka yang demikian itu merupakan Sunnah (ajaran Nabi), dan
kita diharuskan meneladani Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Demikian juga Rasulullah, beliau juga berlaku adil di
antara isteri-isteri beliau dalam hal nafkah, sebagaimana berlaku adil di dalam pembagiannya.[5]
Syamsul Haq al Azhim rahimahullah berkata: Hadits ini sebagai dalil wajibnya suami untuk menyamakan
pembagian di antara isteri-isterinya, dan haram atasnya jika) cenderung kepada salah satu dari mereka. Allah Taala
berfirman:

[Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)] [An-Nisaa` ayat 129], yang dimaksudkan
adalah cenderung dalam pembagian dan nafkah, bukan dalam hal kecintaan, karena ini termasuk perkara yang tidak
dikuasai oleh hamba.[6]
Dalam terjemahan al Qur`an yang diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia, disebutkan pada catatan kaki
sebagai berikut: [265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan
lain-lain yang bersifat lahiriyah. [266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun
ayat ini, poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam, ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.[7]
Adil dalam pembagian giliran dan nafkah ini termasuk yang dimaksudkan oleh firman Allah:

Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak [An-Nisaa/4`:19]
2. Kemampuan Melakukan Poligami.
Islam adalah agama yang mudah. Dalam Islam, seseorang tidak diperbolehkan memberatkan dirinya sendiri.
Demikian pula dalam hal poligami. Sehingga, seorang laki-laki yang berpoligami, disyaratkan harus memiliki

kemampuan agar tidak menyusahkan orang lain. Kemampuan yang dimaksudkan, meliputi pemberian nafkah dan
menjaga kehormatan isteri-isterinya.
Kemampuan Memberi Nafkah.
Ketika seorang laki-laki menikah, maka dia menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya. Di
antaranya adalah nafkah. Dengan demikian seorang laki-laki yang melakukan poligami, maka kewajibannya tersebut
bertambah dengan sebab bertambah isterinya.
Secara bahasa, yang dimaksud nafkah adalah harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang.
Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.[8]
Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as-Sunnah, dan Ijma.
Dalil dari al-Kitab, di antaranya dapat disebutkan :

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang maruf. [Al Baqarah/2:233]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat dan kewajiban ayah (si anak) memberi nafkah (makan) dan
pakaian kepada para ibu (si anak) dengan maruf (baik), yaitu sesuai dengan kebiasaan yang telah berlaku pada
semisal para ibu itu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya,
kaya, sedang, dan miskin. [9]
Sedangkan dalil dari as-Sunnah, dapat disebutkan antara lain:






Dari Muawiyah al Qusyairi Radhiyallahu anhu, dia berkata: Aku berkata: Wahai, Rasulullah. Apa hak isteri salah
seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya? Beliau menjawab,Engkau memberi makan kepadanya, jika
engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya,
janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah. [HR Abu
Dawud no. 2142, Ibnu Majah no. 1850. Syaikh al Albani mengatakan: Hasan shahih.]
Imam Ibnul-Qaththan rahimahullah (wafat th 628 H) menukilkan ijma tentang masalah ini. Beliau berkata: Ahlul
ilmi telah sepakat kewajiban nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh,
kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami).[10]
Yang termasuk nafkah, yaitu suami memberikan tempat tinggal atau rumah bagi isteri-isterinya. Asalnya, satu rumah
untuk satu isteri, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . Allah Taala berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan [Al
Ahzab/33:53]
Dalam ayat ini Allah menyebutkan rumah-rumah Nabi dengan bentuk banyak, bukan satu rumah saja. Maka dari sini
kita mengetahui, bahwa menempati satu rumah merupakan hak bagi setiap isteri, sebagaimana para isteri Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam . Selain itu, seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Sedangkan jika
berkumpul bersama, seorang wanita tidak akan aman dari terbukanya aurat di antara mereka.
Al Hasan al Bashri rahimahullah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengumpulkan dua isteri di dalam
satu rumah. Beliau menjawab: Mereka (Salaf) membenci wajs. Yaitu seorang suami menggauli salah satu isterinya,
sedangkan yang lain melihatnya.[11]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: Jika seorang laki-laki memiliki banyak isteri, dia tidak boleh mengumpulkan
mereka di dalam satu rumah, kecuali dengan ridha keduanya, atau ridha semua isterinya. Karena, hal itu dapat memicu
timbulnya permusuhan (di kalangan) mereka. Dan seorang suami, tidak boleh menggauli salah satu isterinya dengan
disaksikan oleh yang lainnya, karena menunjukkan kurangnya adab dan buruknya pergaulan. [12]
Dengan demikian, seorang laki-laki tidak boleh mengumpulkan lebih dari satu isteri di dalam satu rumah, kecuali
dengan izin dan ridha mereka, maka itu tidaklah mengapa.
Karena menanggung nafkah merupakan kewajiban suami. Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla memerintahkan
orang-orang yang belum memiliki kemampuan harta untuk menikah, agar menjaga kehormatan mereka, sampai Allah
memberikan karunia-Nya. Allah berfirman:

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan
mereka dengan karunia-Nya [An-Nur/24:33]
Kemampuan Menjaga Kehormatan Isteri-Isterinya.
Selain kebutuhan nafkah, wanita juga memiliki kebutuhan biologis. Sehingga seorang laki-laki yang berpoligami, ia
harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan biologis isteri-isterinya. Jika tidak, hal itu akan membawa
kepada kerusakan, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Wahai jamaah para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa
tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu pemutus syahwat [HR Bukhari, no. 5065, Muslim, no.
1400]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengkhususkan pembicaraan kepada
para pemuda, karena umumnya, pada diri mereka terdapat kekuatan yang mendorong kepada nikah. (Ini) berbeda
dengan orang tua, walaupun maknanya juga diperhatikan jika sebab itu didapati pada orang-orang tua, maka juga
berlaku pada mereka
Di kalangan para ulama, mereka memiliki dua pendapat tentang makna al baah (menikah). Pertama, jima. Kedua,
biaya nikah. Namun sesungguhnya kedua makna tersebut dapat digunakan pada hadits ini. [13]
Perhatikan ayat yang mulia berikut:



Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An-Nisa: 129]
Para penentang poligami mengatakan bahwa:
ini adalah dalil bahwa poligami itu haram sebab dalam ayat ini dijelaskan ketidakmungkinan bagi para suami untuk
berlaku adil.
Maka kita jawab syubhat diatas dengan dua sisi bantahan. Pertama, dengan salah satu kaidah terbesar dalam manhaj
salaf:
Jika itu benar maka tentunya wajib bagi Rasulullah shallallahualayhiwasallam dan para sahabatnya
radhiyallahuanhum untuk menceraikan istri-istri mereka seketika setelah turunnya ayat ini dan cukup bagi mereka
satu istri saja. Akan tetapi mereka semua tidak melakukannya. Sekali-kali tidak mungkin Rasulullah
shallallahualyhiwasallam dan para sahabatnya radhiyallahuanhum menyelisihi dengan sengaja perintah Allah
subhanahuwataala.
Kedua, mari kita lihat kembali apa definisi adil yang disyaratkan dalam sebuah poligami. Apakah adil dalam
kecenderungan hati/cinta atau adil dalam artian lain? Dan mari kita bandingkan definisi adil menurut para ulama
dengan adil menurut para juhalaa yang melemparkan syubhat diatas. Langkah pertama, marilah kita perhatikan kedua
ayat berikut:
Pertama, Allah berfirman:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [An-Nisa: 3].
Kedua, Allah berfirman:



Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An-Nisa: 129]
Nah pertanyaannya, bagaimana cara menggabungkan dua ayat ini? keadilan bagaimanakah yang dikehendaki? Inilah
penjelasan dari para ulama besar kaum muslimin:
Imam Al-Qurthubi berkata: Allah mengabarkan ketidakmampuan merealisasikan keadilan di antara para istri adalah
dalam masalah cinta, jima dan bagian hati. Allah telah menjelaskan sifat manusia bahwa mereka adalah makhluk
yang tidak mampu menguasai kecondongan hati mereka terhadap sebagian, tidak kepada sebagai yang lain.
Oleh karena itulah Rasulullah shallallahualayhiwasallam membagi nafkah di antara para istri beliau dengan adil
kemudian bersabda [yang artinya]: Ya Allah, ini adalah pembagianku terhadap apa yang aku mampu menguasainya,

maka janganlah mencelaku terhadap apa yang Engkau kuasai dan tidak kukuasai [maksudnya adalah hati]<HR. Abu
DAwud: 1822>
Kemudian Allah melarang berlebih-lebihan dalam kecenderungan dengan firman-Nya [yang artinya]: Karena itu
jangalah kamu terlalu cenderung [kepada yang kamu cintai] maksud ayat ini adalah janganlah kalian sengaja berbuat
buruk sebagaimana dikatakan oleh Mujahid [Ahli tafsir besar dari kalangan tabiin sekaligus murid Ibnu Abbas
radhiyallahuanhu]:
Konsistenlah untuk berbuat adil dalam pembagian giliran dan nafkah, dikarenakan ini termasuk hal yang mampu
diusahakan. [Lihat: Al-Jami Li Ahkamil Quran].
Rasulullah shallallahualayhiwasallam bersabda: Barang siapa memiliki dua istri, dan tidak berbuat adil di antara
keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan separuh badannya miring [HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah]
Yang dimaksud disini adalah yang tidak berbuat adil dalam nafkah dan menginap bukan dalam masalah cinta dan
hasrat hati. Tidak ada seorangpun yang mampu menguasai hatinya kecuali Rabb yg menciptakan hati-hati tersebut.
Sedangkan keadilan yang disyaratkan adalah adil secara lahir yang bisa dilakukan oleh manusia yaitu perhatian,
bimbingan, pelayanan kebutuhan bukan keadilan dalam cinta, kasih sayang dan jima [seks] yang itu semua kembali
kepada minat hati.
Muhammad bin Sirin berkata: Aku bertanya kepada Ubaidah tentang ayat ini dan dia berkata: Adil yang tidak bisa
dipenuhi yaitu dalam masalah cinta dan jima.
Abu Bakr Ibnul Arabiy [seorang Ahli Tafsir] berkata tentang cinta: Yang demikian itu [adil dalam masalah cinta-ed]
tidak dimiliki oleh seorangpun, bahkan hatinya berada di antara jari-jemari Ar-rahman. Dia merubah-rubahnya
sekehendak-Nya. Begitupula jima, kadang Dia berhasrat kepada seseorang, tidak kepada yang lain. Maka tidak ada
dosa atasnya dikarenakan dia tidak mampu melakukannya.
Imam Al-Khaththabiy berkata: Wajibnya menggilir diantara istri-istri mereka. Adapun yang dibenci dalam
kecendeungan disini adalah kecenderungan pergaulan yang berhubungan dengan masalah hak materi dan bukan
kecenderungan hati.
Kesimpulannya adalah bahwa kecenderungan hati atau kecintannya kepada salah satu istri yang lebih besar daripada
yang lain wajib tetap berada pada tempatnya yaitu di dalam hati. Tidak boleh ditampakkan dengan ucapan maupun
perbuatan agar tidak menyakiti istri-istri yang lainnya. Juga tidak boleh mengurangi maslahat para istri yang lain dan
anak-anaknya demi memenuhi kecintaannya kepada seorang istri yang lebih dicintainya berikut anak-anaknya. Kita
adalah manusia bukan malaikat. Oleh karena itu kita wajib berbuat adil sebatas kemampuan kita. Sementara keadilan
mutlak itu hanya ada di akhirat di sisi Allah yang tidak ada seorangpun yang terzhalimi disisi-Nya. Wallahualam.

Anda mungkin juga menyukai