Anda di halaman 1dari 6

Bab 19

SIRROSIS DAN HIPERTENSI PORTAL

DEFINISI

Sirrosis didefinisikan sebagai prosess difus yang dicirikan


oleh fibrosis dan perubahan rancangan hepatik normal menjadi nodul yang abnormal
secara struktur. Hasil akhirnya adalah perusakan hepatosit dan penggantian dengan
jaringan fibrous.

Tahanan terhadap aliran darah akan menyebabkan


hipertensi portal dan bisa terjadi varises dan ascites (= akumulasi cairan di rongga
peritoneal). Rusaknya hepatosit dan penutupan aliran darah intrahepatik
menyebabkan berkurangnya fungsi metabolik dan sintetik, yang akan menyebabkan
enselopati hepatik dan koagulopati.

Sirrosis mempunyai banyak sebab (Tabel 19-1). Di AS,


asupan alkohol berlebih dan hepatitis viral yang kronik (tipe B dan C) adalah sebab
paling umum.

PATOFISIOLOGI
Kerusakan anatomi pada sirrosis menyebabkan sejumlah kelainan patofisiologi yang
umum. Ini termasuk ascites, hipertensi portal dan varises, hepatic encelopathy (HE), dan
defek koagulasi.
ASCITES

Ascites, akumulasi cairan limfa dalam rongga peritoneal, merupakan komplikasi


paling umum dari sirrosis.

Pasien dengan sirrosis dan hipertensi portal umumnya akan mengalami


penurunan tahanan vaskular, penguranagn rerata tekanan arterial, dan peningkatan
curah jantung, yang keseluruhan menyebabkan sirkulasi hiperdinamik.

Vasodilator di sirkulasi yang bisa terlibat termasuk nitric oxide, vasoactive


intestinal peptide, substan P, dan prostaglandin.
Tabel 19-1
HIPERTENSI PORTAL DAN VARISES

Hipertensi portal terjadi ketika tekanan portal meningkat 5 mmHg lebih tinggi
dari tekanan di vena cava inferior.

Akibat lanjutan dari hipertensi portal seperti varises dan perubahan rute aliran
darah. Pasien dengan sirrosis beresiko untuk varises ketika hipertensi portal melebihi
tekanan vena cava >12 mmHg.

Hemorrhage dari varises terjadi pada 25%-40% pasien dengan sirrosis dan untuk
tiap episode perdarahan resiko kematian sebesar 30%.
HEPATIC ENCELOPATHY/PORTAL SYSTEMIC ENCELOPATHY

HE adalah sindrom neuropsikiatri yang komplek dengan tanda klinik dan simtom
gangguan neurologik dengan spektrum luas yang terjadi pada pasien dengan
gangguan hepatik parah.

Portal hepatic encelopathy, PHE, sering digunakan untuk menggambarkan


encelopathy yang terjadi sebagai akibat dari penyakit liver kronik.

HE muncul dalam tiga bentuk: akut, kronik dan subklinik. HE akut didefinisikan
sebagai rangkaian kejadian perubahan sensorium yang terjadi kurang dari 4 minggu,
lalu kembali ke kondisi mental dasar.

Encelopathy kronik didefinisikan sebagai kelainan kognitif atau neuropsikiatri


yang bertahan paling tidak 4 minggu.

Encelopathy subklinik berartti perubahan pada fungsi neuropsikiatri yang tidak


tampak secara klinik.

HE dipercaya disebabkan oleh akumulasi nitrogenous dan toksin lain. Mekanisme


lain bisa terlibat, termasuk perubahan sawar darah-otak, ketidakseimbangan
neurotransmitter, perubahan metabolisme serebral; gangguan pada aktivitas kaliumnatrium ATPase dari membran neuronal; defiensi seng; dan peningkatan aminobutyric acid /benzodiazepine endogen.

Level serum amonia mempunyai korelasi jelek dengan tingkatan HE.


DEFEK KOAGULASI

Gangguan koagulasi bisa terjadi pada sirrhosis, proporsional terhadap tingkat


disfungsi hepatik.

Gangguan ini termasuk pengurangan sintesis faktor koagulasi dan kliren dari
faktor pembekuan yang sudah aktif.

Hipertensi portal diikuti oleh pengurangan platelet kualitatif dan kuantitatif.

TAMPILAN KLINIK

Rentang gejala pasien dengan sirrosis dari asimtomatik dengan uji


laboratorium abnormal sampai hemorrhage yang mengancam jiwa.

Keluhan pasien akan penyakit liver termasuk pruritus (= rasa gatal


yang parah), urine berawarna hitam, dan peningkatan ukuran/ abdominal dalam
hubungannya dengan penurunan nafsu makan dan/atau berkurangnya berat. Jaundice
sering menjadi manifestasi akhir dari sirrosis, dan absennya jaundice tidak
menghentikan diagnosa.

Ketika ditanyai, pasien yang menyalahgunakan alkohol sering


meremehkan jumlah alkohol yang dikonsumsi.

Tanda klinik klasik sirrosis, seperti palma erythema, spider


angiomata (= pembentukan pembuluh darah baru), dan ginekomasti, bukan sensitif
atau spesifik untuk penyakit.

Peningkatan prothrombin time adalah manifestasi sirrosis yang


paling dipercaya.
Tabel 19-2

HE yang dihubungkan dengan kegagalan liver yang mendadak


(fulminant) mempunyai onset yang cepat dan simtom awal yang singkat.
Perkembangan penyakit pasien bisa dari mengantuk sampai delirium, konvulsi, dan
koma dalam 24 jam. Dengan gagal liver kronik onset bertahap dan biasanya ringan.

Untuk menentukan keparahan HE bisa digunakan suatu sistem


grade(Tabel 19-2).
ABNORMALITAS LABORATORIUM

Uji liver rutin termasuk alkalin phosphatase, bilirubin, aspartate transaminase


(AST), alanin transaminase (ALT), dan -glutamyl transpeptidase (-GT).

Penanda tambahan termasuk aktivitas sintetik hepar seperti albumin dan


protrhrombin time.

AST dan ALT adalah enzim yang terletak di sitoplasma hepatosit; jumlahnya di
plasma meningkat dengan cedera hepatoselular.

Jumlah alkaline phosphatase meningkat di plasma dengan kelainan kolestasis


yang mengganggu aliran empedu dari hepatosit ke saluran empedu atau dari saluran
empedu ke intestinal.

Jumlah -GT di plasma mempunyai korelasi dengan peningkatan alkaline


phosphatase dan sehingga menjadi penanda yang sensitif untuk penyakit saluran
empedu.

Peningkatan serum bilirubin umum pada penyakit liver stadium lanjut, tapi ada
banyak penyebab lain hiperbilirubinemia.

Gambar 19-1 menggambarkan skema umum untuk interpretasi uji fungsi liver.

Biopsi liver berperan penting pada diagnosis dan penahapan penyakit liver.

Sistem klasifikasi Child-Pugh menggunakan kombinasi temuan fisik dan


laboratorium untuk menilai keparahan sirrosis dan bisa digunakan untuk
memprediksikan apakah pasien akan selamat, hasil operasi, dan resiko untuk berbagai
perdarahan.
Gambar 19-1

HASIL YANG DIINGINKAN

Perbaikan kondisi klinik atau resolusi komplikasi akut, seperti


tamponade (= kompresi jantung karena akumulasi cairan di kantong pericardia) atau
perdarahan, dan resolusi instabilitas hemodinamik dari episode hemorrhage varicel
akut.

Pencegahan komplikasi, penurunan tekanan portal dengan terapi


medik menggunakan terapi -adrenergik, dan penghentian konsumsi alkohol.

PERAWATAN
PENDEKATAN UMUM

Identifikasi dan eliminasi penyebab sirrosis (seperti, penyalahgunaan alkohol).

Menilai resiko perdarahan variceal dan memulai profilaksis farmakologi jika


diindikasikan, terapi endoskopik sebaiknya disimpan untuk pasien resiko tinggi atau
episode perdarahan akut.

Perawatan perdarahan variceal dengan teknik endoskopi dianjurkan untuk pasien


dengan perdarahan akut.

Pasien sebaiknya dievaluasi untuk tanda klinik ascites dan ditangani dengan
perawatan farmakologi (seperti, diuretik) dan paracentesis (= membuat lubang di
rongga tubuh untuk mengeluarkan cairan). Sebaiknya dilakukan pengawasan seksama
untuk peritonitis karena bakteri pada pasien ascites yang kondisinya memburuk.

HE membutuhkan perawatan dengan pantangan pada diet, eliminasi depresan


sistem saraf pusat, dan terapi untuk menurunkan level amonia.

Diperlukan pengawasan yang sering untuk tanda sindrom hepatorenal, gangguan


kerja pulmonal, dan disfungsi endokrin.

Tabel 19-3 memberi rangkuman penanganan pasien sirrosis dan termasuk


parameter pengawasan dan hasil terapi.
Tabel 19-3
PENANGANAN HIPERTENSI PORTAL DAN PERDARAHAN VARICEAL

Penganangan varises melibatkan tiga strategi: (1) profilaksis primer untuk mencegah
perdarahan ulang, (2) penanganan hemorrhage variceal, dan (3)profilaksis sekunder
untuk mencegah perdarahan pada pasien yang sudah mengalami perdarahan.
Profilaksis Primer

Dasar dari profilaksis primer adalah penggunaan agen -adrenergik blocker non
selektif seperti propanolol atau nadolol. Agen-agen ini mencegah perdarahan,
sehingga bisa mengurangi mortalitas.

Terapi -adrenergik blocker sebaiknya dilanjutkan seumur hidup, kecuali tidak


bisa ditoleransi, karena perdarahan bisa terjadi ketika terapi dihentikan dengan
mendadak.

Semua pasien sirrosis dan hipertensi portal bisa menjalani skrining endoskopik,
dan pasien dengan varises besar sebaiknya menerima profilaksis primer dengan adrenergik blocker.

Terapi sebaiknya dimulai dengan propanolol, 10 mg tiga kali sehari, atau nadolol,
20 mg sekali sehari, dan dititrasi sampai terjadi penurunan denyut jantung istirahat
20-25%, denyut jantung absolut 55-60 denyutan per menit, atau timbulnya efek
samping.

Nitrat bisa digunakan untuk pasien yang kontraindikasi atau intolerir dengan adrenergik blocker.

Untuk pasien yang kurang merespon -adrenergik blocker, nitrovasodilator aksi


panjang sebaiknya ditambahkan untuk mendapatkan penurunan tekanan portal.
Hemorrhage Variceal Akut
Gambar 19-2 memberikan panduan penanganan hemorrhage variceal.

Target awal perawatan termasuk : (1) resusitasi cairan yang cukup, (2)
penanganan koagulopati dan trombositopeni, (3) mengontrol perdarahan, (4)
pencegahan perdarahan ulang, dan (5) menjaga fungsi liver.

Pada pasien dengan perdarahan aktif sebaiknya dilakukan stabilisasi kondisi dan
resusitasi cairan yang lalu diikuti pemeriksaan endoskopik.

The
American
College
of
Gastroenterology
mengajurkan
esophagogastroduodenoscopy menggunakan endoscopic injection sclerotheraphy
(EIS) atau endoscopic band ligation (EBL) varises sebagai diagnosa primer dan
strategi perawatan untuk hemorrhage saluran cerna bagian atas setelah hipertensi
portal dan varises.

Octreotide diberikan IV bolus 50-100 g dan diikuti infusi berkelanjutan 25


g/jam, sampai laju maksimum 50 g.jam. Pasien sebaiknya diawasi untuk hipo- atau
hiperglisemi.

Vasopresin, tunggal atau dalam kombinasi dengan nitrogliserin, tidak lagi


dianjurkan sebagai terapi pertama untuk penanganan hemorrhage variseal. Vasopresin
menyebabkan vasokontriksi non-selektif dan bisa menyebabkan hipertensi, sakit
kepala yang parah, iskemi koroner, infark myokardia, dan aritmia.

Terapi antibiotik bisa digunakan lebih awal untuk mencegah sepsis pada pasien
dengan tanda infeksi.

EIS atau EBL seing digunakan untuk hemorrhage saluran cerna atas setelah
hipertensi portal dan varises. Agen sclerosing yang digunakan di EIS termasuk
ethanolamine, natrium tetradecyl sulfate, polidocanol, dan natrium morrhuate.

Gambar 19-2

Jika terapi standar gagal untuk mengontrol perdarahan, prosedur penyelamatan


seperti ballon tamponade (dengan tabung Sengstaken-Blakemore), transjugular
intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) atau operasi shunt (= membuat jalan darah
alternatif) bisa dilakukan.
Pencegahan Perdarahan Ulang

-adrenergik blocker telah digunakan secara tradisional untuk pencegahan


perdarahan ulang; tetapi, EIS atau EBL kini makin menjadi opsi perawatan pilihan.

Pada pasien tanpa kontraindikasi, agen -adrenergik blocker sebaiknya menjadi


langkah awal untuk mencegah perdarahan ulang, bersama dengan EIS atau EBL.
Penggunaan -adrenergik blocker aksi panjang biasanya dianjurkan untuk
meningkatkan kepatuhan, dan bertahap, pemilihan dosis individual untuk
memperkecil efek samping. Propanolol bisa diberikan 20 mg tiga kali sehari (atau
nadolol, 20-40 mg sekali sehari) dan dititrasi tiap minggu untuk mencapai target
denyut jantung 50-60 denyutan/menit atau denyut jantung yang 25% lebih rendah dari
denyut jantung dasar. Pasien sebaiknya diawasi untuk tanda gagal jantung,
bronkospasma, atau intoleransi glukosa.

Untuk pasien yang gagal mencapai pengurangan tekanan portal yang cukup
dengan terapi -blocker tunggal, terpai kombinasi dengan nitrate atau spironolakton
bisa lebih efektif untuk menurunkan tekanan portal.
ASCITES

Untuk pasien dengan ascites, sebaiknya ditentukan serum-ascites albumin


gradient (SAG). Jika SAG>1,1 akurasi adanya hipertensi portal mencapai 97%.

Perawatan ascites sekunder terhadap hipertensi portal termasuk penghentian


asupan alkohol, pembatasan natrium, dan diuretik. Natrium klorida sebaiknya dibatasi
sampai 2 g per hari. Pembatasan cairan dan istirahat total tidak lagi dianjurkan.

Terapi diuretik sebaiknya dimulai dengan dosis pagi tunggal spironolakton, 100
mg, dan furosemide, 40 mg, dengan target penurunan berat badan harian maksimum
0,5 kg. Dosis masing-masing bisa ditingkatkan bersamaan, dengan menjaga rasio
100mg:40mg, sampai dosis maksimum harian 400 mg spironolakton dan 160 mg
furosemide.

Jika ascites parah, sebaiknya dilakukan paracentesis 4-6 l sebelum memulai terapi
diuretik dan pembatasan garam.

Pasien yang merasakan encephalopathy, hiponatremia parah meski sudah


menjalani pembatasan cairan, atau gangguan ginjal sebaiknya menghentikan terapi
diuretik.

Transplantasi liver bisa digunakan pada pasien dengan ascites refrakter.


SPONTANEOUS BACTERIAL PERITONITIS (SBP)

Pasien dengan riwayat atau dicurigai mengalami SBP sebaiknya menerima terapi
antibiotik spektrum luas untuk mengatasi Eschericia coli, Klebsia pneumoniae, dan
Streptococcus pneumoniae.

Cefotaxime, 2 g tiap 8 jam, atau sefalosporin generasi ketiga lainnya dianggap


sebagai obat terpilih.

Ofloxacin oral merupakan alternatif biaya rendah untuk terapi intravena.

Terapi fluoroquinolone jangka pendek bisa dipertimbangkan pada pasien SBP


dengan ascites rendah-protein (<1 g/dl), hemorrhage variceal, atau SBP sebelumnya.
HEPATIC ENCELOPATHY
Tabel 19-4 menggambarkan target perawatan untuk HE.

Pendekatan pertama untuk perawatan HE adalah identifikasi semua faktor


pencetus. Faktor-faktor pencetus dan alternatif terapi pada Tabel 19-5.
Tabel 19-4
Tabel 19-5

Pendekatan perawatan termasuk : (1) pengurangan konsentrasi amonia darah


dengan pembatasan diet dan terapi obat yang ditujukan untuk inhibisi produksi
amonia atau merangsang pengeluarannya (lactulose), (2) inhibisi reseptor aminobutyric acid-benzodiazepine dengan flumazenil, dan (3) inhibisi
neurotransmiter palsu dengan optimisasi keseimbangan asam basa.

Pendekatan untuk megurangi konsentrasi amonia darah termasuk:


o Pada pasien dengan HE akut, membatasi asupan protein 10-20 g/hari sementara
menjaga asupan kalori total. Asupan protein bisa dititrasi dengan
meningkatkannya 10-20 g/hari tiap 3-5 hari sampai total 0,8-1 kg per hari. Pada
HE kronik, batasan protein sampai 40g/hari.
o Pada HE akut, laktulosa dimulai 20-60 ml tiap 1-2 jam sampai catharsis
(pengeluaran) terjadi. Dosis lalu diturunkan 15-30 ml oral empat kali sehari dan
dititrasi sehingga menghasilkan feses lunak, asam, dua-empat kali sehari.
o Pada HE kronik, laktulosa dimulai pada 30-60 ml/hari dengan titrasi sampai titik
akhir yang sama.
o Terapi antibiotik dengan metronidazole atau neomycin sebaknya disimpan untuk
pasien yang tidak merespon diet dan laktulosa.

Anda mungkin juga menyukai