Anda di halaman 1dari 7

Sari Pediatri,

Vol. 8, No.
Januari Januari
2007: 82007
- 14
Sari Pediatri,
Vol. 38,(Suplemen),
No. 3 (Suplemen),

Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah Dengue


pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumah
Sakit di Jakarta
Endah Citraresmi, Sri Rezeki Hadinegoro, Arwin AP Akib

Latar belakang. Pada kejadian luar biasa (KLB) DBD pada tahun 2004 di Jakarta,
pasien memenuhi berbagai rumah sakit sampai tak tertampung dan dirawat di koridor.
Kejadian luar biasa menyebabkan jumlah kasus berat bertambah, namun sangat mungkin
terjadi overdiagnosis.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria diagnosis dan tata laksana
DBD menurut kriteria WHO 1997.
Metoda. Data diambil secara retrospektif dari catatan rekam medis semua pasien usia
0-15 tahun dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue (DD/DBD) yang
dirawat di enam rumah sakit di Jakarta selama KLB 2004.
Hasil. Terdapat 1494 anak memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari DD 241 (16,1%),
DBD tanpa syok 1051 (70,4%) dan DBD syok 202 (13,5%); 19 pasien meninggal
(1,5% kasus DBD). Rerata jumlah cairan yang diberikan selama perawatan pada pasien
DD, DBD tanpa syok dan DBD syok berturut-turut 83,0, 78,4 dan 79,4 ml/kg/hari.
Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok 25,6 ml/kg dan rerata lama syok teratasi
88,3 menit, melebihi waktu 1 jam yang direkomendasikan. Cairan koloid digunakan
pada 1,9% pasien DBD tanpa syok dan 70,3% pasien DBD syok sementara transfusi
darah diberikan pada 7,6% pasien. Penggunaan antibiotik mencapai 59,9% pasien, dan
dijumpai pemberian beberapa obat yang belum dibuktikan manfaatnya pada pengobatan
DBD. Penilaian ulang diagnosis menggunakan kriteria DBD WHO 1997 mendapatkan
hanya 19,1% pasien DBD tanpa syok yang memenuhi kriteria tersebut, sedangkan pada
pasien DBD syok 99,0%. Penghitungan ulang CFR menggunakan jumlah kasus DBD
berdasarkan kriteria tersebut menghasilkan peningkatan CFR menjadi 4,9%.
Kesimpulan. Terdapat overdiagnosis dan tata laksana yang kurang optimal dalam
mengatasi syok serta pemberian obat-obatan yang tidak tepat pada KLB DBD tahun
2004. Sedikitnya jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria WHO 1997 menyebabkan
peningkatan CFR.
Kata kunci: demam berdarah dengue, kejadian luar biasa, kriteria diagnosis WHO 1997, CFR.

Alamat korespondensi:
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp A(K). Divisi Infeksi dan Penyakit
Tropis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jl. Salemba no. 6 Jakarta 10430. Tel. 391 4126. Fax. 3907743.
Dr. Endah Citraresmi PPDS Departemen Ilmu Kesehatan anak FKUIRSCM email : endah182@yahoo.com

nfeksi virus dengue memiliki karakteristik


terjadinya kejadian luar biasa (KLB) atau
epidemi secara periodik.1,2 Dalam kurun waktu
lebih dari 30 tahun terdapat limakali KLB demam

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang cukup


bermakna, yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988, 1998,
dan 2004.3 Kejadian luar biasa pada tahun 2004 terjadi
di 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus
59.321 kasus dan kematian 669 orang (case fatality
rate 1,1%).4 Pada KLB tahun 2004 dilaporkan bahwa
pasien DBD di Jakarta memenuhi berbagai rumah
sakit sampai tak tertampung dan harus dirawat di
koridor rumah sakit dengan tempat tidur tambahan.5
Adanya KLB akan menyebabkan jumlah kasus berat
bertambah, namun sangat mungkin pula terjadi
overdiagnosis. Untuk menghindari overdiagnosis tersebut
dapat digunakan kriteria diagnosis secara klinis dan
laboratorium dengan menggunakan kriteria WHO
tahun 1997.6 Oleh karena itu, dalam menghadapi KLB
DBD, diperlukan peningkatan kewaspadaan dari
segenap petugas kesehatan baik di tingkat puskesmas,
dokter praktek perseorangan dan rumah sakit. Untuk
memberikan gambaran KLB-DBD maka diperlukan
diketahui data karakteristik demografi, klinis, laboratoris
serta tata laksana KLB DBD untuk dapat menjadi acuan
dalam perbaikan perencanaan menghadapi KLB DBD
di masa datang.

Metoda
Penelitian ini adalah suatu studi deskriptif seksi silang
dengan pengambilan data secara retrospektif dari
rekaman medik, dilakukan pada semua pasien usia 015 tahun yang didiagnosis demam dengue (DD) dan
demam berdarah dengue (DBD) yang dirawat di
RSUP dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati,
RSU Pasar Rebo, RSUD Koja, RSAB Harapan Kita

dan RSU Sumber Waras Jakarta pada periode KLB


DBD 1 Januari sampai 31 Mei 2004. Data dari catatan
rekam medik ditelaah mengenai karakteristik
demografi, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis, tata laksana (cairan, transfusi, dan obatobatan), serta outcome pasien. Diagnosis pulang
menurut dokter yang merawat disesuaikan dengan
kriteria definisi kasus menurut WHO 1997 dan
dilakukan penghitungan ulang case fatality rate sesuai
jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria tersebut.
Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi
13.0.

Hasil
Pada KLB-DBD 2004 di dapatkan 1818 kasus DD/
DBD usia 0-15 tahun yang tercatat di enam rumah
sakit, 1494 (82,2%) subyek di antaranya mempunyai
catatan rekam medis lengkap dan memenuhi kriteria.
Rerata usia pasien pada penelitian ini (6,43,8) tahun,
median 6,0 tahun, modus 4,0 tahun, dengan rentang
usia 1 bulan sampai 15 tahun 11 bulan (Tabel 1).
Pasien DD dan DBD sebagian besar memiliki
status gizi baik, 1,4% pasien DBD di antaranya
memiliki status gizi buruk. Rerata lama perawatan
tersingkat didapatkan pada kelompok DD (3,3 hari);
rerata lama perawatan pada pasien DBD 4,4 hari (4,3
hari DBD tanpa syok dan 5,2 hari DBD syok) dengan
rentang lama perawatan 1 sampai 18 hari.
Kelompok usia terbanyak adalah 1-5 tahun (49,4%
pada pasien DD dan 38,9% pada pasien DBD) diikuti
kelompok usia 6-10 tahun (33,6% pada pasien DD
dan 37,8% pada pasien DBD). Terdapat 66 (4,4%)

Tabel 1. Karakteristik demografi pasien DD/DBD di enam rumah sakit saat KLB
2004
Parameter
Jumlah pasien [n(%)]
Usia (rerata SB, tahun)
Rasio laki-laki : perempuan
Status gizi [n (%)]
gizi lebih
gizi baik
gizi kurang
gizi buruk
Lama perawatan (rerata SB, hari)

DD

DBD

Total

241 (16,1)
5,63,7
1,29:1

1253 (83,9)
6,53,8
1,07:1

1494 (100)
6,43,8
1,11:1

64 (26,6)
119 (49,4)
54 (22,4)
4 (1,7)
3,31,4

363(29,0)
530 (42,3)
343(27,4)
17 (1,4)
4,41,9

427 (28,6)
649 (43,4)
397 (26,6)
21 (1,4)
4,21,86

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

Tabel 2. Manifestasi klinis dan laboratorium pasien DD/DBD saat KLB 2004
Manifestasi klinis dan laboratorium
Lama demam (rerataSB, hari)
Manifestasi perdarahan [n (%)]
Perdarahan spontan
Uji bendung positif, (n=633)
Hepatomegali [n (%)]
Syok [n (%)]
Bukti kebocoran plasma [n (%)]
Peningkatan Ht >20%
Efusi pleura, (n=151)
Trombosit <100.000/L [n (%)]

DD

DBD tanpa syok

DBD dengan syok

3,01,4

3,51,6

3,91,3

36 (14,9)
328 (31,2)
58/132 (43,9) 273/442 (61,8)
28 (11,6)
260 (24,7)
0 (0)
0 (0)
50 (20,7)
0/4 (0)
103 (42,7)

pasien berusia di bawah 1 tahun, masing-masing pada


DD, DBD dan DSS yaitu 10,50 dan 6 pasien.
Rerata lama demam di rumah 3,5 hari dengan
modus 4 hari. Pada fase demam, pasien DD dan DBD
memiliki keluhan/gejala penyerta. Pasien DD
menunjukkan keluhan batuk dan pilek dengan
proporsi yang lebih banyak dibandingkan pada pasien
DBD dengan/tanpa syok (p=0,000). Proporsi
muntah, nyeri perut, kejang, penurunan kesadaran,
dan hepatomegali lebih banyak pada DBD syok
dibandingkan kedua kelompok lainnya (p=0,000).
Manifestasi klinis dan laboratoris pada pasien DD/
DBD tertera pada Tabel 2.
Terdapat 497 (33,3%) pasien mengalami perdarahan spontan, terbanyak adalah petekie (19,3%)
dan epistaksis (8,9%). Hematemesis dan melena lebih
banyak dijumpai pada kelompok DBD syok, masingmasing 39,3% dan 18,4% dibandingkan DBD tanpa
syok 1,9% dan 1,3%. Diantara 997 pasien yang tidak
memiliki manifestasi perdarahan spontan, 429
(43,0%) pasien dilakukan uji bendung dengan hasil
positif pada 236 (23,7%) pasien. Pasien DBD tanpa
dan dengan syok memiliki proporsi uji bendung positif
yang lebih tinggi (61,8% dan 69,5%) dibandingkan
pasien DD (43,9%).
Saat masuk rumah sakit, sulit untuk menegakkan
diagnosis DBD berdasarkan nilai awal pemeriksaan
laboratorium. Pasien DBD syok Saat masuk rumah
sakit memiliki rerata kadar hematokrit lebih tinggi
(42,1 vol%, p=0,000) dibandingkan kelompok DD
dan DBD tanpa syok (36,8 dan 37,8). Demikian pula
rerata kadar hematokrit tertinggi selama perawatan
didapatkan pada pasien DBD syok (45,6 vol%).
Sedangkan kelompok DD memiliki rerata kadar
10

344 (32,7)
57/85 (67,1)
791 (75,3)

133 (66,3)
41/59 (69,5)
105 (52,0)
199 (98,5)
151 (74,8)
55/62 (88,7)
199 (98,5)

hematokrit tertinggi selama perawatan yang tidak


berbeda secara statistik dengan DBD tanpa syok
masing-masing 40,7 dan 41,4 vol% (p>0,05).
Hemokonsentrasi hanya ditemukan pada 74,8%
pasien DBD syok dan 32,7% pasien DBD tanpa syok,
dan mencapai 20,7% pada pasien DD.
Rerata jumlah trombosit saat masuk rumah sakit
pada kelompok DBD syok lebih rendah (88.8079.15/
mL, p=0,000) dibandingkan kedua kelompok lainnya
masing-masing untuk DD (151.5653.26/mL) dan
DBD tanpa syok (126.7158.45/mL). Hal yang sama
juga ditemukan pada rerata jumlah trombosit terendah
selama perawatan. Hampir semua (98,5%) DBD syok
mempunyai jumlah trombosit =100.000/L, lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien DBD tanpa syok
dan DD (p=0,000).
Data serologi (uji HI dan IgM/IgG anti dengue)
hanya dilakukan pada 258 (17,3%) pasien, 66 (25,6%)
kasus infeksi primer dan 132 (51,2%) kasus infeksi
sekunder. Dijumpai 48 dari 171 (28,1%) pasien yang
diperiksa antibodi IgM dan IgG anti dengue sebelum
hari kelima sakit, dan 22 pasien menunjukkan hasil
negatif.
Prinsip dari tata laksana kasus DBD adalah
penggantian cairan tubuh yang hilang akibat
perembesan plasma maupun dehidrasi. Jenis dan
jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan
kondisi setiap pasien, sesuai panduan baik dari WHO
maupun Depkes RI. Pemberian cairan pada pasien
DD/DBD tertera dalam Tabel 3.
Rerata jumlah cairan yang diberikan pada pasien
DD 83,0 ml/kg/hari dengan rerata lama pemberian
cairan intravena 3,0 hari. Cairan yang terbanyak
diberikan adalah rinper laktat (RL), rinper asetat (RA)

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

Tabel 3. Pemberian cairan pada pasien DD/DBD di enam RS saat KLB 2004
Cairan
DD
Jumlah cairan rehidrasi
ml/kg/hari (rerataSB)
DBD tanpa syok
Jumlah cairan rehidrasi
ml/kg/hari (rerataSB)
DBD syok
Jumlah cairan kristaloid
ml/kg/hari (rerataSB)
Jumlah cairan koloid
ml/kg/hari (rerataSB)
Syok teratasi
Waktu (rerataSB,
menit)
Jumlah cairan
ml/kg (rerataSB)
*RS. Cipto Mangunkusumo
RS. Fatmawati

RSCM*

RSHK**

RSPR***

RSF

RSK

77,029,1

74,829,2

80,024,1

84,736,9

70,321,5

84,428,2

66,225,6

86,127,6

91,136,0

68,524,9

48,317,1

75,226,5

55,225,7

96,528,6

98,438,0

103,886,6

46,215,6

18,610,5

19,711,6

19,46,7

23,220,9

31,413,4

12,64,3

77,258,7

112,399,1

71,261,0

76,138,9

75,240,1

116,566,0

30,817,8

22,415,1

24,28,2

22,913,1

22,319,3

23,014,0

** RS. Harapan Kita


RS. Koja

dan larutan Nacl 0,9% : Dekstrosa 5% 3 :1 (KaEN


IB). Pada DBD tanpa syok, jenis cairan intravena yang
dipilih sebagian besar adalah RL kecuali di RS. Sumber
Waras (RSSW) menggunakan cairan dekstrosa 5% +1/
2 normal saline (D5%+1/2NS). Cairan koloid
diberikan pada 25 pasien, (1,9%) pada pasien DBD
tanpa syok. Rerata jumlah cairan yang diberikan pada
pasien DBD tanpa syok adalah 78,4 ml/kg/hari,
terendah di RSSW. Rerata lama pemberian cairan
intravena adalah 3,8 hari. Meski lama pemberian cairan
intravena pada kasus DD lebih singkat dibandingkan
kasus DBD tanpa syok, namun volume cairan yang
diberikan lebih banyak.
Pada pasien DBD syok, cairan resusitasi kristaloid
yang terbanyak digunakan adalah RL diikuti dengan
RA. Seluruh pasien di RSSW menggunakan cairan
D5%+1/2NS sebagai cairan resusitasi. Rerata cairan
kristaloid intravena selama perawatan pada pasien
DBD syok secara keseluruhan adalah 79,4 ml/kg/hari,
tidak berbeda dengan pasien DBD tanpa syok.
Terdapat 142 (70,3%) pasien dengan syok mendapat
koloid. Dari 53 pasien dengan komplikasi syok lama
atau berulang, 46 di antaranya mendapat cairan koloid.
Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok secara
keseluruhan adalah 25,6 ml/kg dengan rerata tertinggi
di RSCM. Dengan terapi cairan resusitasi tersebut,
rerata lama syok teratasi di keenam RS adalah 88,3

RSSW

*** RS. Pasar Rebo


RS. Sumber Waras

menit (rerata terendah 71,2 dan tertinggi 116,5 menit).


Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi
komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)
adalah fresh frozen plasma (FFP). Satu pasien DBD
derajat IV dari 26 pasien yang diberi transfusi trombosit
concentrate (TC) tidak memiliki perdarahan spontan
dengan jumlah trombosit terendah adalah 44.000/L.
Sementara 22 dari 95 pasien yang diberi transfusi FFP
tidak disertai perdarahan spontan.
Obat inotropik digunakan pada 43 pasien dan 42
di antaranya pasien DSS; 18 pasien diantaranya
mengalami komplikasi syok lama atau berulang.
Sebanyak 895 (59,9%) pasien mendapat antibiotik
dengan proporsi terendah 8,7% di RSCM dan proporsi
tertinggi di RSK dan RSPR. Hanya 10 (0,7%) pasien
yang datang dengan keluhan demam >7 hari sebelum
dirawat yang dapat menjadi alasan kuat penggunaan
antibiotik. Antivirus (isoprinosin, asiklovir) diberikan
pada 78 (5,2%) pasien. Obat lain yang digunakan
antara lain kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien, obat
untuk menghentikan perdarahan (transamin, adona)
pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada 173
(11,6) pasien.
Enam puluh sembilan (5,5%) pasien mengalami
komplikasi akibat penyakit DBD. Terbanyak adalah
syok berulang (2,7% pasien DBD atau 16,8% pasien
DBD syok). Edema paru dan/atau overload cairan
11

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

Tabel 4. Diagnosis pasien saat pulang dan sesuai kriteria WHO 1997 saat KLB 2004
Diagnosis saat

Diagnosis sesuai kriteria WHO 1997

pulang

DD

DBD tanpa syok

DBD dengan syok

Total

DD
DBD tanpa syok
DBD dengan syok
Total

232
850
2
1084

9
201
0
210

0
0
200
200

241
1051
202
1494

dialami 21 (1,7%) pasien. Terdapat 19 (1,5%) pasien


DBD meninggal. Angka kematian tertinggi didapatkan
di RSCM dan terendah di RSSW. Secara keseluruhan,
angka kematian pada kelompok pasien DBD tanpa
syok 0,2% sedangkan pada pasien DBD syok 8,4%.
Jika dibandingkan diagnosis saat pulang pasien
DD, DBD tanpa syok dan DBD dengan syok dengan
diagnosis menurut kriteria WHO 1997 (Tabel 4),
ternyata hanya 201 dari 1051 (19,1%) pasien yang
didiagnosis DBD tanpa syok saat pulang sesuai dengan
kriteria WHO 1997, sedangkan 232 dari 241 (96,3%)
DD dan 200 dari 202 (99,0%) DBD dengan syok
yang memiliki kesesuaian diagnosis saat pulang dengan
kriteria WHO 1997.
Dengan melakukan klasifikasi diagnosis ulang
sesuai kriteria WHO 1997, dilakukan penghitungan
ulang CFR pada pasien DBD saat KLB tahun 2004
di enam RS di Jakarta. Berdasarkan penghitungan
ulang, CFR pada 410 pasien DBD dari semula 1,5%
(n=1253) meningkat menjadi 4,9%, dan CFR tertinggi
didapatkan pada RSK (semula RSCM) dan terendah
tetap RSSW.

Diskusi
Penelitian ini bersifat retrospektif sehingga sangat
tergantung dari kelengkapan data yang berhubungan
dengan subyek penelitian dan kualitas catatan medik.
Data yang tidak lengkap menyebabkan kasus tersebut
tidak dianalisis yang mungkin sebenarnya bermanfaat
untuk penelitian ini. Kualitas pengukuran (pengisian
catatan rekam medik) sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan dan perilaku dari tenaga medis (dokter
dan perawat) yang merawat pasien.
Penelitian KLB DBD di Jakarta tahun 1988
mendapatkan rerata usia 6 tahun 8 bulan, modus 7
tahun 3 bulan, dan rentang usia 3 bulan - 16 tahun 5
bulan. Pada penelitian tersebut, kelompok umur
12

terbanyak adalah 5-9 tahun (43,7%) diikuti kelompok


usia 1-4 tahun (34,6%). 7 Pada penelitian ini
didapatkan komposisi umur pasien yang lebih muda
dibandingkan tahun 1988. Klasifikasi status gizi pada
penelitian ini dipakai menurut persentase berat badan
aktual terhadap berat badan ideal menurut usia.8
Idealnya digunakan persentase berat badan ideal
menurut tinggi badan, namun data rekam medik
sebagian besar (85,7%) tidak mencantumkan data
tinggi badan anak. Kalayanarooj dkk9 melakukan
penelitian retrospektif terhadap status gizi pada 4532
pasien DD dan DBD anak di Thailand dan mendapatkan sebagian besar (66,6%) memiliki status gizi
normal, sementara 9,3% malnutrisi dan 24,2%
obesitas. Klasifikasi status gizi pada penelitian tersebut
juga menggunakan berat badan menurut usia.
Perbedaan proporsi malnutrisi dan gizi normal dari
penelitian ini mungkin disebabkan perbedaan dalam
batasan klasifikasi status gizi. Pada penelitian tersebut
Kalayanarooj dkk mendapatkan pasien gizi kurang dan
gizi lebih memiliki risiko syok dan komplikasi
dibandingkan dengan pasien gizi normal. Penelitian
yang dilakukan oleh Bachtar E tahun 1990 di RSCM
Jakarta, tidak menemukan hubungan antara derajat
berat penyakit DBD dengan status gizi anak.10
Terdapat 144 pasien (9,6%) yang datang dengan
keluhan demam kurang dari 2 hari dan 10 pasien
(0,7%) yang datang dengan keluhan demam lebih dari
7 hari. Siswan7 hanya menemukan 1 (0,2%) pasien
yang datang dengan demam kurang dari 2 hari. Pada
pasien dengan demam kurang dari 2 hari dengan
penelitian laboratorium normal, sebaiknya dipikirkan
untuk rawat jalan namun harus kontrol setiap hari
sampai demam reda. Pasien tersebut sebaiknya untuk
tidak memperpanjang lama rawat tiap rumah sakit
memiliki sarana ruang rawat sehari (one day care) untuk
melakukan pemantauan pada pasien dengan diagnosis
meragukan.11 Rerata lama demam pada penelitian ini
4,7 hari dengan rentang 1 sampai 16 hari. Pada pasien

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

dengan demam lebih dari 7 hari, perlu dipikirkan


penyebab infeksi lain ataupun infeksi nosokomial/
komplikasi yang menyertai pasien DBD.
Perembesan plasma berat terjadi pada kasus DBD
syok, sehingga terapi penggantian cairan harus
dilakukan dengan cermat. Kebutuhan volume cairan
harus diperhitungkan setiap 2-3 jam atau lebih sering
pada kasus syok. 6,12 Rerata jumlah cairan untuk
mengatasi syok tertinggi ditemukan di RSCM. Hal
ini karena kasus yang datang ke RSCM sebagai rumah
sakit rujukan adalah kasus berat yang membutuhkan
terapi cairan yang lebih agresif. Proporsi pasien DBD
derajat III dan IV di RSCM berturut-turut adalah
26,2% dan 14,7%, lebih tinggi dibandingkan keenam
rumah sakit yaitu 10,6% dan 4,4%.
Dengan terapi cairan resusitasi tersebut, rerata lama
syok teratasi adalah 88,3 menit. Penelitian yang
dilakukan Hadinegoro SR pada periode bukan KLB
tahun 1993-1995, dengan pemberian cairan intravena
yang adekuat rata-rata syok teratasi dalam waktu 48
menit, paling lama 74,6 menit dan prognosis DBD
baik jika syok teratasi dalam waktu maksimal 90
menit.13 Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan
dalam evaluasi tata laksana kasus DBD dengan syok
pada penelitian ini karena rerata lama syok teratasi
melebihi 60 - 90 menit yang pada berbagai penelitian
merupakan indikator prognosis yang buruk.13,14 Perlu
direkomendasikan penggunaan jalur alternatif
(intraoseus) pada kasus syok dengan kesulitan mencari
akses vena dan pemasangan sedikitnya dua jalur dalam
melakukan resusitasi kasus syok untuk mempersingkat
waktu untuk mengatasi syok. Syok harus diupayakan
segera diatasi dengan tepat karena waktu yang
diperlukan untuk mengatasi syok berhubungan dengan
prognosis, makin cepat syok teratasi makin baik
prognosisnya.
Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi
komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)
adalah FFP, dan 22 di antaranya tidak disertai
perdarahan spontan. Fresh frozen plasma selain
digunakan dalam mengatasi perdarahan, juga digunakan
sebagai cairan koloid dalam tata laksana DBD. Fresh
whole blood hanya diberikan pada 2 pasien, hal ini
menunjukkan kecenderungan penggunaan komponen
darah dalam tata laksana DBD di Jakarta.
Penggunaan antibiotik pada KLB DBD 2004
terkesan over-use (59,9% pasien). Demikian juga
pemberian antivirus (isoprinosin, asiklovir) pada 78
(5,2%) pasien, kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien,

obat untuk menghentikan perdarahan (transamin,


adona) pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada
173 (11,6%) pasien. Beberapa penelitian tidak
menemukan manfaat pemberian obat-obatan tersebut
pada DBD.15,16 Tampaknya kesepakatan para dokter
anak dalam menggunakan obat-obatan tersebut perlu
ditelaah kembali.
Sampai saat ini, untuk menentukan diagnosis
klinis DBD di Indonesia dipergunakan kriteria
diagnosis WHO 1997. Kriteria ini juga digunakan
dalam menentukan jumlah kasus dan jumlah kematian
untuk kepentingan evaluasi program dan tata laksana
penyakit. Dengan melakukan penilaian ulang
diagnosis pasien menurut kriteria WHO 1997, pada
kelompok DD dan DBD dengan syok hampir
seluruhnya (96,3% dan 99,0%) terdapat persamaan
diagnosis baik saat pulang maupun diagnosis sesuai
kriteria WHO. Namun pada kelompok DBD tanpa
syok, 80,9% pasien tidak memenuhi kriteria WHO;
jadi sebenarnya mereka tersebut rumah sakit rumah
sakit termasuk dalam DD. Sayangnya pada penelitian
ini yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
serologis hanya 17,3% pasien.
Selama beberapa dekade, Indonesia mengalami
penurunan CFR meskipun terdapat peningkatan
jumlah kasus DBD. Penghitungan ulang CFR
dengan menggunakan diagnosis sesuai kriteria WHO
menghasilkan CFR yang jauh lebih tinggi (4,9% vs
1,5%) dibandingkan dengan menggunakan diagnosis
saat pulang. Juga bila dibandingkan dengan CFR
yang dilaporkan oleh Depkes untuk KLB tahun 2004
yaitu sebesar 1,1%.4 Hal ini memerlukan evaluasi
lebih lanjut dari ketepatan tata laksana DBD pada
saat KLB sehingga Departemen Kesehatan serta para
pengambil kebijakan perencanaan kesehatan tidak
berpuas diri dengan angka CFR yang dilaporkan
rendah selama ini.

Kesimpulan
Pada periode KLB-DD/DBD tahun 2004 di enam
rumah sakit di Jakarta, terdapat 241 pasien DD, 1051
DBD tanpa syok dan 202 DBD syok. Rerata jumlah
cairan yang digunakan untuk mengatasi syok pada
pasien DBD syok 25,6 ml/kg; dengan terapi cairan
resusitasi tersebut, rerata lama syok teratasi di keenam
rumah sakit adalah 88,3 menit, melebihi waktu yang
direkomendasikan. Sebanyak 7,6% pasien memer13

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007

lukan transfusi darah. Antibiotik dan obat lain banyak


diberikan pada pasien tanpa indikasi pemberian yang
jelas dan belum terbukti manfaatnya dalam tata laksana
DBD. Terdapat 80,9% pasien DBD tanpa syok saat
pulang ternyata tidak memenuhi kriteria WHO 1997
sehingga dimasukkan dalam diagnosis DD, sedangkan
pasien yang didiagnosis DBD syok saat pulang 99,0%
sesuai dengan kriteria WHO 1997. Case fatality rate
berdasarkan diagnosis saat pulang yang semula 1,5%,
dengan menyesuaikan diagnosis sesuai kriteria WHO
1997 menyebabkan terdapat peningkatan CFR
menjadi 4,9% akibat pengurangan jumlah pasien
DBD.

6.

7.

8.
9.

10.

Ucapan terima kasih


Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada kepala dan staf SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Fatmawati, RSUD Pasar Rebo, RSU Koja, RSAB Harapan Kita,
dan RSU Sumber Waras.

11.

Daftar Pustaka
12.
1.

2.

3.

4.

5.

14

Kautner I, Robinson MJ, Kuhnle U. Dengue virus infection: Epidemiology, pathogenesis, clinical presentation, diagnosis, and prevention. J Pediatr 1997; 131:
516-24.
Gubler DJ. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever
as a public health, social and economic problem in the
21st century.Trends in Microbiology 2002;10:100-3.
Suroso T, Holani A, Ali I. Dengue haemorrhagic fever
outbreaks in Indonesia 1997-1998. Dengue Bulletin
1998;22.
De p a r t e m e n K e s e h a t a n Re p u b l i k In d o n e s i a .
Kewaspadaan terhadap demam berdarah tetap
diperlukan. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/
popups/newswindow.php?id=488. Diakses tanggal 31
Agustus 2004.
Adimidjaja TK, Wahono TD, Kristina, Isminah,
Wulandari L. Kajian masalah kesehatan demam berdarah
dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan;2004.

13.

14.

15.

16.

World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control.
Geneva:WHO; 1997.
Siswan KRJ. Gambaran klinis dan laboratoris pada
demam berdarah dengue di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada kejadian
luar biasa tahun 1988 dengan penekanan pada uji
serologi inhibisi hemaglutinasi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1988. Tesis.
Djumadias A. Aplikasi antropometri sebagai alat ukur
status gizi di Indonesia. Gizi Indonesia 1990;14:37-50.
Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Is dengue severity related to nutritional status? Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2005;36:378-84
Bachtar E. Status gizi anak penderita demam berdarah
dengue. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1990.
Hadinegoro SRH. Piftalls and pearls dalam diagnosis
dan tata laksana demam berdarah dengue. Dalam
Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, editor.
Pendidikan kedokteran berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLVI: Current management of pediatrics problems. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUIRSCM; 2004. h. 63-72.
Kalayanarooj S, Nimmannitya S, editor. Guidelines for
dengue hemorrhagic fever case management. Bangkok:
WHO Collaborating Centre for Case Management of
Dengue/DHF/DSS Queen Sirikit National Institute of
Child Health; 2004. h. 1-74.
Hadinegoro SRS. Telaah endotoksemia pada perjalanan
penyakit demam berdarah dengue. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta 1996.
Nhan NT, Phuong CXT, Kneen R, Wills B, Mu NV,
Phuong NTQ, dkk. Acute management of dengue shock
syndrome: a randomized double-blind comparison of 4
intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect
Dis 2001;32:204-13.
Sumarmo, Talogo W, Asrin A, Isnuhandojo, Sahudi A.
Failure of hydrocortisone to affect outcome in dengue
shock syndrome. Pediatrics 1982;69:45
Rijal S. Efek carbazochrome pada penderita demam
berdarah dengue. Tesis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan. 2000

Anda mungkin juga menyukai