Anda di halaman 1dari 23

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah


Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang berlokasi di
Jln. Jenderal A. Yani Talang Banten 13 Ulu, Kota Palembang. Fakultas
Kedokteran ini mulai diselenggarakan pada tanggal 11 Juli 2008 berdasarkan ijin
dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
No.2130/D/T/2008.
Visi FK UMP adalah menjadi salah satu fakultas kedokteran yang
terkemuka, unggul, bermutu, dan islami dalam pendidikan, pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran, peduli terhadap tuntutan pelayanan
kesehatan sesuai dengan perkembangan zaman, menjunjung tinggi etika
professional yang berwawasan kebangsaan dan kebersamaan (2017). Misi FK
UMP adalah menyelenggarakan pendidikan sarjana kedokteran dan kesehatan
serta pendidikan profesi kedokteran dan kesehatan sesuai visi dan cita-cita
Muhammadiyah, melaksanakan pengembangan, penyerapan, penapisan ilmu
pengetahuan, teknologi kedokteran, kesehatan umum, dan Islam, melaksanakan
penerapan ilmu pengetahuan, teknologi kedokteran, kesehatan umum dan Islam
dalam menunjang pembangunan daerah dan nasional, menghimpun,
mendayagunakan dan menyebarluaskan informasi ilmu pengetahuan, teknologi
kedokteran, kesehatan umum dan Islam.
Fasilitas pendidikan yang dimiliki oleh fakultas ini antara lain, gedung milik
sendiri dengan ruang kuliah dan tutorial yang seluruhnya full AC serta dilengkapi
dengan LCD projector, sound system, video player, dan white board.
Laboratorium terdiri dari laboratorium Al-Islam, laboratorium mikroskopis,
laboratorium biomedik A, laboratorium biomedik B, laboratorium keterampilan
klinik, laboratorium anatomi, laboratorium multimedia. Perpustakaan dan
cybernetic. Fasilitas penunjang yang dimiliki antara lain, klinik dokter keluarga,

43

44

lapangan olahraga, mushola, ruang baca mahasiswa, CD interactive, dan hotspot


di setiap gedung kampus.
4.2. Hasil Penelitian
Dari penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi sindrom
dispepsia pada mahasiswa aktif FK UMP tahun 2013 diperoleh sebagai berikut.
4.2.1. Analisis Univariat
A. Usia Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia responden paling banyak
pada usia remaja akhir (18-21 tahun) dengan jumlah 156 responden.
Usia remaja pertengahan (<18 tahun) jumlahnya 86 responden
sedangkan usia dewasa awal (22 tahun) paling sedikit yaitu 16
responden. Data ini dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia
Usia
Jumlah
Prosentase
<18 tahun (remaja
86
33,3 %
pertengahan
18-21 tahun

156

60,5 %

(remaja akhir)
22 tahun

16

6,2 %

(dewasa awal)
Total

258

100 %

Usia Responden
6%

33%

61%

Remaja Pertengahan
Remaja Akhir
Dewasa Awal

Gambar 4.1. Diagram Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia


B. Jenis Kelamin Responden

45

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin responden


paling banyak adalah perempuan sebesar 68,6 % sedangkan responden
laki-laki sebesar 31,4 %. Data ini dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Jumlah
Prosentase
Responden
Laki-laki
81
31,4 %
Perempuan
177
68,6 %
Total

258

100 %

Jenis Kelamin Responden


31%
69%

Laki-laki
Perempuan

Gambar 4.2. Diagram Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Jenis Kelamin
C. Semester yang sedang Diikuti Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat semester yang paling
banyak menjadi responden adalah semester I yaitu 76 orang (29,5 %)
dan yang paling sedikit adalah semester VII yaitu 53 orang (20,5 %).
Sedangkan untuk semester III dan V masing-masing sebesar 26,7 % dan
23,3 %. Data ini dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Semester


No.
Semester
Frekuensi
Prosentase
1.
I
76
29,5 %

46

2.
3.
4.

III
V
VII

Total

69
60
53

26,7 %
23,3 %
20,5 %

258

100 %

Semester
21%

I
29%

III
V

23%

VII

27%

Gambar 4.3. Diagram Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Semester
D. Angka Kejadian Sindrom Dispepsia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian sindrom
dispepsia pada mahasiswa aktif FK UMP tahun 2013 lebih sedikit
dibandingkan yang tidak dispepsia yaitu sebesar 41,5 % sedangkan yang
tidak dispepsia sebesar 58,5 % . Data ini dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Angka Kejadian Sindrom Dispepsia
Jumlah
Prosentase
Dispepsia
151
58,5 %
Tidak Dispepsia
107
41,5 %
Total

258

100 %

47

Angka Kejadian Sindrom Dispepsia


Dispepsia

41%

Tidak Dispepsia

59%

Gambar 4.4. Diagram Distribusi Frekuensi Angka Kejadian Sindrom


Dispepsia
E. Kejadian Sindrom Dispepsia Menurut Usia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian sindrom dispepsia
menurut usia pada remaja akhir dengan jumlah paling banyak yaitu 88
orang (58,3 %) sedangkan usia dewasa awal paling sedikit yaitu 12
orang (7,9 %). Usia remaja pertengahan sebesar 33,8 %. Data ini dapat
dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian Sindrom Dispepsia Menurut
Usia
Jumlah
Prosentase
Remaja pertengahan
51
33,8 %
Remaja akhir
88
58,3 %
Dewasa awal
12
7,9 %
Total

151

100 %

Kejadian Sindrom Dispepsia Menurut Usia


8%
34%
58%

Remaja pertengahan
Remaja akhir
Dewasa awal

Gambar 4.5. Diagram Distribusi Frekuensi Kejadian Sindrom Dispepsia


Menurut Usia
F. Kejadian Sindrom Dispepsia Menurut Jenis Kelamin

48

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian sindrom dispepsia


menurut jenis kelamin didapatkan data sebesar 74,2 % perempuan yang
mengalami sindrom dispepsia sedangkan laki-laki sebesar 25,8% dari
total keseluruhan responden yang mengalami sindrom dispepsia. Data
ini dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kejadian Sindrom Dispepsia Menurut
Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Jumlah
Prosentase
Laki-laki
39
25,8 %
Perempuan
112
74,2 %
Total

151

100 %

Kejadian Sindrom Dispepsia Menurut Jenis Kelamin


26%

laki-laki
perempuan

74%

Gambar 4.6. Diagram Distribusi Frekuensi Kejadian Sindrom Dispepsia


Menurut Jenis Kelamin
G. Tingkat Stres
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres pada mahasiswa
FK UMP bervariasi. Mahasiswa FK UMP paling banyak tidak
mengalami stres yaitu sebesar 75,2 % sedangkan urutan kedua terbanyak
yaitu stres ringan sebesar 10,1 %. Stres sedang, stres berat, dan stres
sangat berat masing-masing sebesar 9,3 %, 5,0 % dan 0,4 %. Data ini
dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Stres pada Responden
Tingkat Stres
Jumlah
Prosentase
Tidak Mengalami Stres
194
75,2 %

49

Stres ringan
Stres Sedang
Stres Berat
Stres Sangat Berat

26
24
13
1

10,1 %
9,3 %
5,0 %
0,4 %

Total

258

100 %

Tingkat Stres pada Responden


Tidak Mengalami Stres

9% 5%0%

Stres Ringan

10%

Stres Sedang
Stres Berat
75%

Stres Sangat Berat

Gambar 4.7. Diagram Distribusi Frekuensi Tingkat Stres pada


Responden
H. Pola Makan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola makan pada mahasiswa
FK UMP banyak yang teratur yaitu sebesar 76,4 % sedangkan yang
tidak teratur sebesar 23,6 %. Data ini dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Pola Makan pada Responden
Pola Makan
Jumlah
Prosentase
Teratur
197
76,4 %
Tidak teratur
61
23,6 %
Total

258

100 %

Pola Makan pada Responden


24%

Teratur
Tidak Teratur
76%

50

Gambar 4.8. Diagram Distribusi Frekuensi Pola Makan pada


Responden
I. Makanan dan Minuman Iritatif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa FK UMP banyak
yang tidak makan makanan atau minum minuman yang bersifat iritatif
yaitu sebesar 57 % sedangkan yang makan makanan atau minum
minuman yang bersifat iritatif sebesar 43 %. Data ini dapat dilihat pada
tabel 4.9.
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Makan Makanan dan Minum Minuman
Iritatif
Jumlah
Prosentase
Tidak iritatif
147
57,0 %
Iritatif
111
43,0 %
Total

258

100 %

Makan Makanan dan Minum Minuman Iritatif


Tidak Iritatif

43%
57%

Iritatif

Gambar 4.9. Diagram Distribusi Frekuensi Makan Makanan dan


Minum Minuman Iritatif pada Responden
J. Gastritis/Ulkus Peptikum
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa FK UMP yang
mempunyai riwayat gastritis/ulkus peptikum sebesar 31 % sedangkan
yang tidak memiliki riwayat gastritis/ulkus peptikum sebesar 69 %. Data
ini dapat dilihat pada tabel 4.10.
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Riwayat Gastritis/Ulkus Peptikum pada
Responden
Jumlah
Prosentase
Positif
80
31,0 %
Negatif
178
69,0 %

51

Total

258

100 %

Riwayat Gastritis/Ulkus Peptikum


31%

Positif
Negatif

69%

Gambar 4.10. Diagram Distribusi Frekuensi Riwayat Gastritis/Ulkus


Peptikum pada Responden
K. Mengkonsumsi OAINS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa FK UMP yang
mempunyai riwayat mengkonsumsi OAINS sebesar 12 % sedangkan
yang tidak memiliki riwayat mengkonsumsi OAINS sebesar 88 %. Data
ini dapat dilihat pada tabel 4.11.
Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Riwayat Mengkonsumsi OAINS pada
Responden
Jumlah
Prosentase
Positif
31
12,0 %
Negatif
227
88,0 %
Total
258
100 %

Riwayat Mengkonsumsi OAINS


12%

positif
negatif

88%

Gambar 4.11. Diagram Distribusi Frekuensi Riwayat Mengkonsumsi


OAINS pada Responden

52

4.2.2. Analisis Bivariat


A. Hubungan antara Tingkat Stres dengan Sindrom Dispepsia
Tabel 4.12 Distribusi Responden Menurut Tingkat Stres dan Sindrom
Dispepsia Mahasiswa FK UMP tahun 2013
Dispepsia
Total
P
Tidak

value

Dispepsia

Dispepsia
N

Tingkat

Tidak stres

88

45,4

106

54,6

Stres

Stres

19

29,7

45

70,3

107

41,5

151

58,5

(ringan/sedang/berat/
sangat berat)
Total

4.2.3. Analisis Multivariat


Seleksi kandidat
Tingkat stres
Pola makan
Makanan minuman iritatif
Riwayat gastritis/ulkus peptikum
Riwayat mengkonsumsi OAINS

P value
0,027
0,030
0,303
0,000
0,267

53

4.3. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang pada tanggal 21 dan 23 Desember 2013.
Populasi yang diambil adalah keseluruhan mahasiswa semester I, III, V, dan
VII kemudian diambil sampel sebanyak 288 mahasiswa, pengambilan
sampel menggunakan teknik total sampling. Alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data yaitu kuesioner. Pada penelitian ini jumlah responden
yang didapatkan sebanyak 258 mahasiswa.
4.3.1. Tingkat Stres dan Sindrom Dispepsia
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas
mahasiswa aktif Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang tahun 2013 tidak mengalami stres yaitu 194 orang
(75,2%). Sedangkan kategori stres ringan sebanyak 26 orang (10,1%)
dan stres sedang, stres berat, dan stres sangat berat masing-masing
sebanyak 24 orang (9,3 %), 13 orang (5,0 %), dan 1 orang (0,4 %).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah yang berarti dengan
tingkat stres yang dialami mahasiswa aktif Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang tahun 2013 karena mayoritas
tidak mengalami stres. Namun, minoritas mahasiswa ada yang
mengalami stres dalam kategori berat, dan sangat berat. Stres yang
dialami dapat disebabkan oleh berbagai faktor di kehidupannya. Stres
pada mahasiswa tingkat pertama berbeda dengan stres pada
mahasiswa tingkat akhir. Pada mahasiswa tingkat pertama, faktor
pemicu stres lebih mengarah ke proses adaptasi terhadap lingkungan
perkuliahan sedangkan mahasiswa tingkat akhir, faktor pemicunya
mengarah ke penyelesaian karya tulis sebagai syarat kelulusan
sehingga banyak terjadi situasi yang dapat menimbulkan stres.
Stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan yang
erat kaitannya dengan pola hidup. Akibat dari kelelahan, gangguan
pikiran dan terlalu banyak pekerjaan serta masalah keuangan dapat

54

mengakibatkan kecemasan pada diri seseorang. Gangguan kecemasan


ataupun depresi dipercaya dapat menimbulkan sindrom dispepsia karena
dapat meningkatkan asam lambung, dismotilitas saluran cerna, inflamasi
dan hipersensitif viseral .3 Dari hasil endoskopi pada penderita dispepsia
di RSCM tahun 1994 didapatkan sekitar 30 % tanpa lesi organik di
saluran cerna bagian atas.1 Sementara itu Fisher dkk melakukan
endoskopi pada 3367 pasien dengan dispepsia dan ternyata 33,6 % hasil
endoskopinya normal. Jadi terlihat keluhan dspepsia tidak selalu
berdasarkan kelainan organik, sangat mungkin dilatarbelakangi oleh
faktor psikososial berupa depresi dan ansietas (kecemasan). 5
Interaksi faktor psikis dengan gangguan saluran cerna diyakini
melalui mekanisme brain gut axis. Adanya stimulasi atau stresor
psikis

mempengaruhi

keseimbangan

sistem

syaraf

otonom,

mempengaruhi fungsi hormonal, serta sistem imun ( psiko neuro- imun


- endokrin ). Jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung , terpisah
atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, mempengaruhi
sekresi, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa nyeri.

Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan


jalur endokrin melalui poros hipotalamus pituitary adrenal ( HPA
axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal
akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior
sehingga terjadi pengeluaran hormon kortikotropin. Peningkatan kortisol
ini akan merangsang produksi asam lambung dan dapat menghambat
Prostaglandin E yang merupakan penghambat enzim adenil siklase pada
sel parietal yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung. 6,7
Perkuliahan pada dunia modern sekarang ini, bukan lagi hanya
sekadar datang ke kampus, menghadiri kelas, ikut serta dalam ujian, dan
kemudian lulus. Perkuliahan sekarang tidak sesederhana itu, hal ini dapat
dianalogikan dengan proses evolusi yang membuat spesies-spesies
mahluk hidup semakin kompleks, demikian juga dunia perkuliahan
dewasa ini. Pola hidup yang kompleks ini seringkali menjadi beban
tambahan disamping tekanan dalam kuliah yang sudah begitu

55

melelahkan. Grafik usia mahasiswa menunjukkan bahwa para mahasiswa


umumnya berada dalam tahap remaja hingga dewasa muda. Seseorang
pada rentang usia ini masih labil dalam hal kepribadiannya, sehingga
dalam menghadapi masalah, mahasiswa cenderung terlihat kurang
berpengalaman. Masalah-masalah tersebut, baik dalam hal perkuliahan
maupun kehidupan di luar kampus, dapat menjadi distress yang
mengancam, karena ketika ada stressor yang datang, maka tubuh akan
meresponnya (Hidayat, 2012). Pada kenyataannya stres seperti ini sering
dialami oleh mahasiswa. Keadaan ini bisa disebabkan karena proses
belajar mengajar yang kurang menarik atau bisa dikatakan bobot mata
kuliah yang berat. Dan akhirnya, stres yang ditimbulkan dapat
mengurangi kenyamanan saat mengikuti mata kuliah tersebut dan
mungkin akan menghambat belajar mahasiswa (Hidayat, 2012).
Stres yang tidak mampu dikendalikan dan diatasi oleh individu
akan memunculkan dampak negatif. Dampak negatif pada mahasiswa
secara kognitif antara lain sulit berkonsentrasi, sulit mengingat pelajaran,
dan sulit memahami pelajaran. Dampak negatif secara emosional antara
lain sulit memotivasi diri, munculnya perasaan cemas, sedih, kemarahan,
frustrasi, dan efek negatif lainnya. Dampak negatif secara fisiologis
antara lain gangguan kesehatan, daya tahan tubuh yang menurun terhadap
penyakit, sering pusing, badan terasa lesu, lemah, dan insomnia. Dampak
perilaku yang muncul antara lain menunda-nunda penyelesaian tugas
kuliah, malas kuliah, penyalahgunaan obat dan alkohol, terlibat dalam
kegiatan mencari kesenangan yang berlebih-lebihan (Hidayat, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat stres dengan sindrom dispepsia pada mahasiswa
aktif FK UMP tahun 2013. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Khotimah (2012) bahwa pasien yang mengalami dispepsia berhubungan
dengan stres yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan terhadap 74 orang
mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara jalur
regular angkatan 2008-2011. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Tarigan (2003) bahwa pasien yang mengalami dispepsia

56

berhubungan dengan stres yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan


terhadap 22 orang penderita dispepsia fungsional dan 22 orang penderita
dispepsia organik. Penderita dispepsia fungsional yang mengalami
depresi sebanyak 14 orang (63,6 %) dimana depresi ringan 5 orang,
depresi sedang 4 orang dan depresi berat 5 orang. Sedangkan pada
penderita dispepsia organik yang mengalami depresi sebanyak 8 orang
(36,4 %) dimana depresi ringan 3 orang, depresi sedang 4 orang dan
depresi berat 1 orang.
Menurut Ika (2010, dikutip dari Tantoro, (2003) pasien dispepsia
umumnya menderita gangguan kecemasan (anxietas), depresi dan
neurotik lebih jelas dibandingkan orang yang normal. Menurut Ika (2010,
dikutip dari Hernomo, 2003), sebanyak 40 % kasus dispepsia fungsional
disertai dengan gangguan kejiwaan dalam bentuk ansietas (gangguan
kecemasan), depresi atau kombinasi antara keduanya.
Hasil

penelitian

juga

menunjukkan

bahwa

tingkat

stres

memberikan pengaruh paling besar terhadap kejadian sindroma dispepsia


mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara jalur
regular angkatan 2008-2011. Mahasiswa yang mengalami stres sedang
akan beresiko 10 kali lebih besar menderita dispepsia dibandingkan
dengan mahasiswa yang mengalami stres ringan. Kecemasan dalam diri
seseorang dapat menimbulkan berbagai respon, baik respon psikologis
maupun fisiologis. Salah satu respon fisiologis akibat dari kecemasan
yang dialami seseorang adalah gangguan gastrointestinal atau gangguan
pada lambung. Faktor psikis dan emosi seperti pada kecemasan dan
depresi dapat mempengaruhi fungsi saluran cerna yang mengakibatkan
perubahan sekresi asam lambung. Mempengaruhi motilitas dan
vaskularisasi mukosa lambung serta menurunkan ambang rangsang, nyeri
(Ika, 2010).
Pada pasien depresi, terjadi peningkatan acetylcholine yang
mengakibatkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan
menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang
menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar

57

gejala gastritis dan ulkus peptikum. Peningkatan peradangan pada


mukosa enterik atau plexus neural menimbulkan simptom dispepsia. Hal
ini dapat terjadi karena peningkatan sensitisasi peripheral dan aktifitas
hipermotilitas oleh inflamasi cytokinine (Tarigan, 2003).
Nyeri abdominal merupakan masalah utama yang dialami oleh
pasien dispepsia. Depresi akan mengubah pergerakan usus yang akan
memperkuat perasaan nyeri sehingga menimbulkan perasaan nyeri yang
berlebihan. Pada pasien yang mengalami rasa takut, cemas dan depresi
memperlihatkan mukosa lambung yang pucat akibat penurunan sekresi
lambung dan motilitas (pergerakan) lambung (Tarigan, 2003).
Seperti diketahui manusia bereaksi antara badan, jiwa dan
lingkungan. Setiap gangguan/tekanan jiwa seseorang akan menimbulkan
reaksi pada badan dan lingkungan orang tersebut. Begitu juga sebaliknya,
apabila gangguan pada lingkungan akan menimbulkan reaksi pada badan
atau jiwa orang tersebut. Inilah sebabkan keadaan stres walaupun
gangguan emosi akan terdapat pula gangguan somatik (Tarigan, 2003).
4.3.2. Pola Makan dan Sindrom Dispepsia
Berdasarkan

hasil

penelitian

didapatkan

bahwa

mayoritas

mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara jalur


regular angkatan 2008-2011 memiliki kebiasaan makan yang tidak
teratur, yaitu 40 orang (54,1 %). Sedangkan mahasiswa yang memiliki
kebiasaan makan teratur sebanyak 34 orang (45,9 %). Hal ini
menunjukkan

bahwa

banyak

mahasiswa

yang

tidak

terlalu

memperhatikan kebiasaan makannya.


Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan
khususnya sebagai generasi penerus bangsa diharapkan memiliki perilaku
hidup sehat. Aktivitas yang padat serta kehidupan sosial pada mahasiswa
sangat mempengaruhi perilaku hidup sehatnya khususnya pola makannya
sehari-hari seperti makan yang tidak teratur, tidak sarapan pagi atau
bahkan tidak makan siang serta sering mengkonsumsi jajanan (Mulia,
2010).

58

Menurut Akbar (2012, dikutip dari Reuters, 2012), remaja sering


gagal membuat prioritas kesehatan setelah meninggalkan rumah dan
tinggal di kota lain untuk kuliah. Kehidupan sehari-hari seperti makan
dengan diet seimbang sering tidak dipenuhi. Selain itu, kebanyakan
remaja ketika memasuki kehidupan mahasiswa seringkali meninggalkan
rumah dan menjadi anak kos, dimana kehidupan anak kos identik dengan
gaya hidup yang kurang teratur dan kurang sehat. Anak kos seringkali
tidak memenuhi kebutuhan asupan makanan sehat. Dalam memperoleh
makanan, ada beberapa cara mahasiswa kos mendapatkan makanan yaitu
makan bayar, beli di warung, rantangan dan masak sendiri. Hal ini
dilakukan 3 kali atau 2 kali per hari, tergantung kepada keinginan
mahasiswa tersebut. Khusus mereka yang makan sendiri atau makan
bayar, keteraturan pola makannya sangat tergantung kepada kedisiplinan
mereka mengatur waktu dan keuangan. Tidak jarang dijumpai mahasiswa
yang makan pagi dan siang disatukan karena terlambat bangun atau
kondisi keuangan yang kurang baik, karena biasanya yang dialami anak
kos, ada waktu tertentu uang mereka banyak dan ada waktu tertentu uang
mereka sedikit atau sama sekali tidak ada (Mulia, 2010).
Banyak faktor yang mempengaruhi pola makan mahasiswa.
Tingkat pendapatan yang diperoleh mahasiswa diduga memiliki
hubungan dengan pola makannya. Mahasiswa yang memiliki uang saku
yang besar akan memungkinkan dirinya untuk memilih variasi makanan
yang lebih banyak dan makan lebih sering, sehingga pola makannnya
akan bagus. Sedangkan sedikitnya uang saku akan membatasi seseorang
untuk membeli dan mengkonsumsi makanan (Kembaren, 2004). Faktor
lain yang dianggap memiliki hubungan dengan pola makan mahasiswa
adalah

tingkat

pengetahuan

gizinya.

Banyak

penelitian

yang

mengungkapkan bahwa pengetahuan gizi seseorang ikut berperan besar


dalam pola makannya. Semakin tinggi pengetahuan seseorang terhadap
gizi dan kesehatan maka pola makannya tentu akan bagus, sementara
pengetahuan gizi yang rendah akan menyebabkan jeleknya pola makan
seseorang (Kembaren, 2004).

59

Menurut Annisa (2009, dikutip dari Djojodiningrat, 2001), pola


makan merupakan salah satu faktor yang berperan pada kejadian
dispepsia. Makan yang tidak teratur, kebiasaan makan yang tergesa-gesa
dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara keteraturan makan dengan sindroma
dispepsia mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
jalur regular angkatan 2008-2011. Mahasiswa yang makan tidak teratur
akan beresiko lebih besar untuk menderita sindroma dispepsia. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Annisa
(2009), terdapat hubungan antara ketidakteraturan makan dengan
sindroma dispepsia pada remaja perempuan di SMA Plus Al-Azhar
Medan. Besarnya angka kejadian sindroma dispepsia pada remaja
perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan ternyata sesuai dengan pola
makannya yang sebagian besar tidak teratur.
Dalam ilmu gizi, tidak dianjurkan diet ketat dengan mengurangi
frekuensi makan. Frekuensi makan tetap 3 kali sehari dengan diselingi
makanan ringan diantaranya (Martini, 2011). Menurut Dewi (2011),
jadwal makan yang ideal dijalankan agar mempunyai pola makan yang
baik adalah 5 sampai 6 kali sehari, yaitu sarapan pagi, snack, makan
siang, snack sore, makan malam, dan bilamana perlu boleh ditambah
dengan snack malam.
Setiap fungsi tubuh mempunyai irama biologis (circadian rhythm)
yang jam kerjanya tetap dan sistematis dalam siklus 24 jam per hari.
Meskipun sistem pencernaan sendiri memiliki 3 siklus yang secara
simultan aktif, namun pada waktu-waktu tertentu masing-masing siklus
akan lebih intensif dibandingkan siklus-siklus lainnya. Jika aktivitas salah
satu siklus terhambat, aktivitas siklus berikutnya juga ikut terhambat.
Hambatan ini besar pengaruhnya terhadap proses metabolisme (Soehardi,
2004).
Menurut Annisa (2009, dikutip dari Redaksi, 2009), asam lambung
adalah cairan yang dihasilkan lambung dan bersifat iritatif dengan fungsi

60

utama untuk pencernaan dan membunuh kuman yang masuk bersama


makanan. Peningkatan sekresi asam lambung yang melampaui akan
mengiritasi mukosa lambung, dimana efek-efek korosif asam dan pepsin
lebih banyak daripada efek protektif pertahanan mukosa.
Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari.
Dengan tidak adanya konsumsi makanan yang masuk akan mengganggu
proses pencernaan. Menurut Annisa (2009, dikutip dari Iping, 2004), jeda
waktu makan yang baik berkisar antara 4-5 jam. Jeda waktu makan yang
lama dapat mengakibatkan sindroma dispepsia. Menurut Putheran
(2012), kerja lambung meningkat pada waktu pagi, yaitu jam 07.0009.00. Ketika siang hari berada dalam kondisi normal dan melemah pada
waktu malam hari jam 07.00-09.00 malam.
4.3.3.Makan Makanan dan Minum Minuman Iritatif dan Sindrom
Dispepsia
Berdasarkan

hasil

penelitian

didapatkan

bahwa

mayoritas

mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara jalur


regular angkatan 2008-2011 mengkonsumsi makanan dan minuman yang
tidak iritatif, yaitu 57 orang (77,0 %). Sedangkan mahasiswa yang
mengkonsumsi makanan dan minuman yang iritatif sebanyak 17 orang
(23,0 %). Hal ini menunjukkan bahwa banyak mahasiswa mengkonsumsi
jenis makanan dan minuman yang tidak mengiritasi lambung dan tidak
sedikit juga mahasiswa yang mengkonsumsi makanan dan minuman yang
iritatif, seperti makanan pedas, makanan berlemak, kopi, dan minuman
bersoda.
Suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat membunuh
organisme patogen yang tertelan bersama makanan. Namun, bila barier
lambung telah rusak, maka suasana yang sangat asam di lambung akan
memperberat iritasi pada dinding lambung (Herman, 2004). Faktor yang
memicu produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa zat
kimia, seperti alkohol, umumnya obat penahan nyeri, asam cuka.
Makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan yang pedas serta

61

bumbu yang merangsang, misalnya jahe, merica (Warianto, 2011). Hasil


penelitian juga menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
makanan dan minuman iritatif dengan sindroma dispepsia mahasiswa
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara jalur regular angkatan
2008-2011. Mahasiswa yang mengkonsumsi makanan dan minuman yang
iritatif akan beresiko lebih besar untuk menderita sindroma dispepsia.
Sejumlah makanan dapat menimbulkan dispepsia, diantaranya adalah
jeruk, makanan pedas, alkohol, makanan berlemak dan kopi. Mekanisme
oleh makanan yang menimbulkan dispepsia termasuk kelebihan makan,
kegagalan pengosongan gastrik, iritasi dan mukosa lambung (Harahap,
2009). Meminum kopi kini telah menjadi suatu kebiasaan. Selain dalam
bentuk aslinya (biji atau bubuk), kopi pun kini dapat dijumpai dalam
berbagai bentuk dan turunannya (misalnya dalam bentuk permen, es
krim, ataupun minuman ringan). Kopi mempunyai banyak jenis,bahkan
lebih dari 60 jenis kopi, tetapi yang banyak ditanam/dijadikan komoditas
adalah Coffea arabika dan Coffea canephora (Robusta). Kafein ialah
senyawa kimia yang dijumpai secara alami di dalam makanan, contohya
biji kopi. Kafein merangsang hormon stres dan denyut jantung , serta
meningkatkan tekanan darah. Baik kafein maupun asam yang terdapat
dalam kopi dapat mengiritasi permukaan lambung dan usus (Rizkiani,
2009).
Minuman ringan tidak mengandung alkohol, secara umum juga
tidak mengandung susu ataupun produk olahan susu, dan biasanya
dikonsumsi dalam keadaan dingin. Minuman bersoda ini merupakan air
yang disertai dengan karbondioksida yang menjadikannya sebagai air
karbonasi. Secara umum minuman ringan dapat berupa cola, air berasa,
air bergas, the manis, lemonade, squash, dan fruitpunch (Alamsyah,
2010).
Sebagaimana dikutip dari Method of Healing, terdapat 10 efek
berbahaya bagi tubuh apabila seseorang meminum soda. Yakni,
menaikkan berat badan, tidak ada nilai gizi dalam soda, meningkatkan
resiko diabetes, menyebabkan osteoporosis, merusak gigi, berkaitan

62

dengan kerusakan ginjal, menimbulkan dehidrasi, mengacaukan sistem


pencernaan, dapat memicu penyakit maag (Firman, 2011).
Minuman soda mengandung CO2 sebagai penyebab lambung tidak
bisa menghasilkan enzim yang sangat penting bagi proses pencernaan.
Hal ini terjadi jika mengkonsumsinya bersamaan saat makan maupun
sesudah makan. Memang ada sedikit kandungan asam yang terdapat
dalam banyak jenis makanan dan minuman, termasuk jus buah, mentega
susu, dan minuman ringan. Namun kandungan asam tersebut tidak cukup
kuat untuk membahayakan tubuh kita. Bahkan, asam lambung kita
memiliki kandungan asam yang jauh lebih besar (Firman, 2011).
Tubuh manusia mempunyai suhu optimum 37 derajat supaya enzim
pencernaan berfungsi. Suhu dari minuman soda yang dingin jauh di
bawah 37, terkadang mendekati 0. Hal ini mengurangi keefektifan dari
enzim dan memberi tekanan pada sistem pencernaan, serta mencerna
lebih sedikit makanan. Bahkan makanan tersebut difermentasi. Makanan
yang difermentasi menghasilkan bau, gas, sisa busuk dan racun, yang
diserap oleh usus, diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Penyebaran
racun ini mengakibatkan pembentukan macam-macam penyakit (Firman,
2011).
Makanan

yang

sulit

dicerna

yang

dapat

memperlambat

pengosongan lambung. Hal ini menyebabkan peningkatan peregangan di


lambung yang akhirnya dapat meningkatkan asam lambung seperti
makanan berlemak, kue tart, cokelat, keju. Makanan yang secara
langsung merusak dinding lambung yaitu makan yang mengandung cuka
dan pedas, merica, dan bumbu yang merangsang dapat menyebabkan
dispepsia (Firman, 2011).
4.3.4. Riwayat Penyakit Gastritis/Ulkus Peptikum dan Sindrom Dispepsia
Berdasarkan

hasil

penelitian

didapatkan

bahwa

mayoritas

mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara jalur


regular angkatan 2008-2011 tidak memiliki riwayat penyakit gastritis
yaitu 58 orang (78,4%). Sedangkan mahasiswa yang memiliki riwayat

63

penyakit gastritis sebanyak 16 orang (21,6) dan tidak ada yang menderita
ulkus peptikum. Seluruh responden yang menderita gastritis juga
mengalami sindroma dispepsia.
Dispepsia organik (ulkus) merupakan sindrom pada pencernaan
atas yang disebabkan adanya kerusakan organ lambung. Hal ini diketahui
melalui pemeriksaan klinis USG (Ultrasono grafi) atau pemeriksaan
endoskopi (Tarigan, 2003).
Pada dispepsia organik baik gastritis maupun ulkus peptik pada
umumnya disertai ansietas. Ansietas yang terjadi tidak berhubungan
dengan derajat gastritis dan jenis ulkus peptik. Ini berarti tidak ada
hubungan

antara

derajat

ansietas

dengan

dispepsia

organik.

Helycobacteri pylori tidak terlalu berperan menimbulkan dispepsia


organik karena umumnya ditemukan dispepsia organik tanpa adanya
kuman helycobacteri pylori.Stres psikososial sangat berhubungan dengan
derajat ansietas, di temukan semakin banyak sresor psikisosial semakin
tinggi derajat ansietas yang yang menyertai pada pasien dispesia organik
(Uleng, 2011). Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat hubungan
yang bermakna antara riwayat penyakit gastritis dengan sindroma
dispepsia mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
jalur regular angkatan 2008-2011. Mahasiswa yang memiliki riwayat
penyakit gastritis akan beresiko lebih besar untuk menderita sindroma
dispepsia dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak menderita gastritis.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti
(2011) pada mahasiswa IPB juga ditemukan adanya hubungan antara
riwayat penyakit atau gangguan lambung dengan frekuensi dispepsia.
Mahasiswa yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis atau
tukak

peptik)

sebelumnya

lebih

beresiko

mengalami

dispepsia

dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat penyakit gastritis


sering terjadi pada remaja, orang-orang yang stres, karena stres dapat
meningk\atkan produksi asam lambung, pengkonsumsi alkohol dan obatobatan anti inflamasi non steroid. Gejala yang timbul pada penyakit
gastritis adalah rasa tidak enak pada perut, perut kembung, sakit kepala,

64

mual seperti gejala sindroma dispepsia. Masyarakat sering menganggap


remeh panyakit gastritis, padahal ini akan semakin besar dan parah maka
inflamasi pada lapisan mukosa akan tampak sembab, merah, dan mudah
berdarah (Ekowati, 2008).
Menurut Sebayang (2011, dikutip dari Dongoes, 2000), gastritis
menyebabkan inflamasi dari mukosa lambung, gambaran klinis yang
ditemukan berupa dispepsia atau indigesti. Berdasarkan endoskopi
ditemukan edema mukosa, sedangkan hasil foto memperlihatkan
iregularitas mukosa. Penyakit gastritis sangat menganggu aktifitas seharihari, karena penderita akan merasa nyeri dan rasa sakit tidak enak pada
perut. Selain dapat menyebabkan rasa tidak enak, juga menyebabkan
perdarahan saluran cerna atas, ulkus, anemia kerena gangguan absorbsi
vitamin B12. Ada berbagai cara untuk mengatasi agar tidak terkena
penyakit gastritis dan untuk menyembuhkan gastritis agar tidak menjadi
parah yaitu dengan banyak minum 8 gelas/hari, istirahat cukup, kurangi
kegiatan fisik, hindari makanan pedas dan panas dan hindari stres
(Ekowati, 2008).
Menurut Sebayang (2011, dikutip dari Hirlan, 2001), gastritis
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor
defensive. Faktor agresif itu terdiri dari asam lambung, pepsin, AINS,
empedu, infeksi virus, infeksi bakteri, bahan korosif: asam dan basa kuat.
Sedangakan faktor defensive tersebut terdiri dari mukus, bikarbonas
mukosa dan prostaglandin mikrosirkulasi.
4.3.4. Riwayat Mengkonsumsi OAINS dan Sindrom Dispepsia
Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid merusak mukosa
lambung melaui beberapa mekanisme obat-obat ini dapat menghambat
aktivitas siklooksigenase mukosa. Siklooksigenase merupakan enzim
yang penting untuk pembentukkan prostaglandin dari asam arakhidonat.
Prostaglandin mukosa merupakan salah satu faktor defensive mukosa
lambung yang amat penting, selain menghambat produksi prostaglandin
mukosa, aspirin dan obat antiinflamasi nonsteriod tertentu dapat merusak

65

mukosa secara topikal, kerusakan topikal terjadi karena kandungan asam


dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga dapat merusak sel-sel epitel
mukosa. Pemberian aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid juga dapat
menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu (Sebayang, 2011).

4.4. Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut.
1. Penulis hanya memperoleh 258 sampel dari total keseluruhan 288 orang
mahasiswa yang aktif.
2. Instrument penelitian ini berupa kuesioner yang penulis modifikasi dari
penelitian sebelumnya, kemungkinan masih ada kekurangan dan kurang
mewakili apa yang diharapkan namun kuesioner tingkat stres
menggunakan kuesioner yang sudah baku dan sindrom dispepsia
berpedoman pada Rome III criteria.
3. Terbatasnya waktu penelitian dan jumlah sampel yang cukup banyak
sehingga penulis hanya memperoleh hasil dari jawaban kuesioner yang
di isi oleh responden dan tidak melakukan wawancara tambahan untuk
mengetahui dan memastikan apakah responden benar mengalami
sindrom dispepsia atau tidak.
4.5. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya
Penulis berharap untuk penelitian selanjutnya meneliti faktor-faktor
yang lebih kompleks pengaruhnya terhadap sindrom dispepsia, seperti
infeksi kuman Helicobacter pylori, faktor genetik, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai

  • BAB V Edit
    BAB V Edit
    Dokumen2 halaman
    BAB V Edit
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Abs Trak
    Abs Trak
    Dokumen2 halaman
    Abs Trak
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Ike Proker 2
    Ike Proker 2
    Dokumen5 halaman
    Ike Proker 2
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Kasus Hidranensefali pada Bayi di Rumah Sakit Atma Jaya
    Kasus Hidranensefali pada Bayi di Rumah Sakit Atma Jaya
    Dokumen1 halaman
    Kasus Hidranensefali pada Bayi di Rumah Sakit Atma Jaya
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Ike Proker 2
    Ike Proker 2
    Dokumen5 halaman
    Ike Proker 2
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Usia
    Usia
    Dokumen3 halaman
    Usia
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Refrat
    Refrat
    Dokumen8 halaman
    Refrat
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Ike Proker
    Ike Proker
    Dokumen5 halaman
    Ike Proker
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka (Alhamdulillah)
    Daftar Pustaka (Alhamdulillah)
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka (Alhamdulillah)
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Alur Penelitian
    Alur Penelitian
    Dokumen1 halaman
    Alur Penelitian
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • PPOK Case 2
    PPOK Case 2
    Dokumen47 halaman
    PPOK Case 2
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Kamu Itu Kayak Micro Bacterium Tuberculosis
    Kamu Itu Kayak Micro Bacterium Tuberculosis
    Dokumen1 halaman
    Kamu Itu Kayak Micro Bacterium Tuberculosis
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • PPOK Case 2
    PPOK Case 2
    Dokumen47 halaman
    PPOK Case 2
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • BRONKITIS
    BRONKITIS
    Dokumen7 halaman
    BRONKITIS
    'Zie KawuryaNz
    Belum ada peringkat
  • Fungsi Luhur
    Fungsi Luhur
    Dokumen5 halaman
    Fungsi Luhur
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Askep Hernia
    Askep Hernia
    Dokumen27 halaman
    Askep Hernia
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Ileus Obstruksi
    Ileus Obstruksi
    Dokumen15 halaman
    Ileus Obstruksi
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Hipoglikemia
    Hipoglikemia
    Dokumen3 halaman
    Hipoglikemia
    Ensan Galuh Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Kewarganegaraan
    Kewarganegaraan
    Dokumen60 halaman
    Kewarganegaraan
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat