Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan semakin tingginya angka harapan hidup manusia, maka Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu gangguan pernapasan yang
semakin sering dijumpai di masa mendatang baik di negara maju ataupun di Negara
berkembang.
Pada akhir-akhir ini, PPOK merupakan penyakit terbesar penyebab
morbiditas dan mortalitas di beberapa negara, dan prevalensi ini nampak jelas
semakin meningkat. Di Amerika Serikat pada tahun 1991, PPOK merupakan
penyebab keempat kematian setelah penyakit jantung, kanker, dan penyakit
serebrobskular, dimana angka mortalitas meningkat 33% dibanding pada tahun
1979. Antara 1979-1993, kematian akibat PPOK naik hingga 50%. Diperkirakan
jumlah penderita PPOK hampir 14 juta orang, dimana 12,5 juta diantaranya karena
bronkitis kronis, dan 1,65 juta karena emfisema. Pada 2000, kasus kunjungan pasien
PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan
perawatan rumah sakit dan 119.000 orang meninggal.
Definisi
Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Diseases (GOLD) tahun 2001 dan di update tahun 2005, Chronic
Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) atau penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang dikarakterisir oleh adanya obstruksi
saluran pernapasan yang tidak reversible sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini
umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paruparu terhadap partikel atau gas yang berbahaya.
Di Indonesia morbiditas PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat
ke enam berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan RI
1992. Prevalensi PPOK di Indonesia saat ini masih cukup banyak, dan diperkirakan
meningkat di waktu yang akan dating dengan makin tingginya angka harapan hidup
dan faktor risiko yang cukup luas. Sebagai contoh, menurut data Surkenas tahun

2001, penyakit pernapasan termasuk PPOK merupakan penyebab kematian ke-2 di


Indonesia.
Oleh hal-hal tersebut, maka diperlukan pengenalan dan diagnosis PPOK
lebih lanjut khusunya pada kasus-kasus yang belum menunjukan keluhan sehingga
menekan angka morbiditas dan mortalitas yang tidak diinginkan.
B. Tujuan
Menambah pemahaman klinis terkait Penyakit Paru Obstruktif Kronis
khususnya dari segi diagnosis, pengenalan etiologi dan faktor risiko, patogenesispatofisiologi, serta penatalaksanaan terkait kasus.

BAB II
LAPORAN KASUS
A. Anamnesis (tanggal 16 November 2010)
Identifikasi
o Nama
: Tn. AP
o Usia
: 52 tahun
o Jenis kelamin
: Laki-laki
o Alamat
: Musi II, Palembang
o Pekerjaan
: Pedagang

o
o
o
o

Agama
Tgl Pemeriksaan
Ruang rawat
MRS tanggal

:
:
:
:

Islam
16 November 2010
RA
16 November 2010

Keluhan Utama :
Sesak yang bertambah hebat sejak 1 hari SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit :
2 tahun SMRS, os mengeluh ada batuk berdahak, dahak warna putih,
jumlah sendok teh setiap batuk. Demam (-), sesak (-), nyeri dada (-). Os
membeli OBH, batuk os berkurang.
7 bulan SMRS, os mengeluh mulai timbul sesak, sesak timbul bila os
beraktifitas ringan yang dan berkurang bila beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi
oleh cuaca, emosi, atau posisi. Demam (-), nyeri dada (-), jantung berdebar-debar
(-), tidur dengan 1 bantal, bengkak di kaki, perut, atau kelopak mata (-), batuk (+)
dahak (+), dahak berwarna putih, jumlah 1 sendok teh setiap batuk, dan paling
hebat waktu pagi hari. Nafsu makan biasa, penurunan berat badan (-), BAB dan
BAK biasa. Os tidak berobat ke dokter, namun hanya membeli obat OBH, batuk
dirasa berkurang.
2 bulan SMRS, os mengeluh mulai sesak bertambah, sesak masih dirasa os
walaupun sedang beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca, emosi, ataupun
posisi tidur. Demam (-), nyeri dada (-), jantung berdebar-debar (+), tidur dengan 1
bantal, bengkak di kaki, perut, atau kelopak mata (-), batuk (+) dahak (+), dahak
berwarna putih, jumlah 1 sendok teh setiap batuk, dan paling hebat waktu pagi
hari. Nafsu makan turun, penurunan berat badan (+), 5 kg. BAB dan BAK biasa.
Os berobat ke dokter umum, diberi OBH, prednisone, dan obat tablet yang os lupa
namanya. Keluhan os rasakan berkurang.
1 hari SMRS, os mengaku tiba-tiba sesak hebat, sesak menetap bahkan
saat os beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh posisi. Demam (+) tidak terlalu
tinggi, nyeri dada (+) di seluruh dada seperti ada yang menekan, jantung berdebardebar (+), bengkak kaki (-), batuk (+) dahak (+), dahak berwarna putih, jumlah 1
sendok makan setiap batuk. BAB dan BAK biasa. Os berobat ke dokter yang biasa
merawat os, dokter memberikan obat suntik dan oksigen, kemudian os langsung

dirujuk ke RSMH.
Riwayat Penyakit Dahulu :
-

Riwayat asma (-).


Riwayat penyakit jantung (-).
Riwayat hipertensi 6 tahun yll, os kontrol teratur.
Riwayat kencing manis (-)
Riwayat merokok (+) selama 20 tahun, 1 bungkus/hari, os berhenti merokok

sejak 10 tahun yll.


Riwayat minum alkohol disangkal.
Riwayat minum obat (+), OAT 10 tahun yll, dinyatakan sembuh oleh dokter

atas dasar yang pasien tidak ketahui.


Riwayat alergi makanan, debu, obat, dll disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Riwayat keluarga dengan gejala yang serupa disangkal.

B. Pemeriksaan Fisik MRS (tgl 16 November 2010)


Keadaan Umum
o Keadaan sakit : Tampak sesak
o Kesadaran
: Compos mentis
o Keadaan gizi : BB : 58 kg ; TB: 166 cm ; BMI: 21 (normoweight)
o Dehidrasi
: o Tekanan darah : 130/70 mmHg
o Pulse rate
: 112x/menit
o Pernapasan : 36x/menit
o Temperature : 37,5C
Pemeriksaan Organ
o
o
o
o
o
o

Kepala
Mata
Hidung
Mulut
Leher
Dada

:
:
:
:
:
:

Normocephali, jejas (-).


Sklera ikterik (-/-), conjungtiva palpebra pucat (-/-).
Rhinorhea (-), epistaksis (-).
Rhagaden (-), atrofi papil (-), stomatitis (-), bibir sianosis (+)
JVP (5-2) cmH2O, >KGB (-).
Jejas (-), spider nevi (-), diameter anteroposterior: 27 cm,
diameter transversal: 34 cm.

o Paru-paru
:
- Inspeksi :
- Palpasi
:
- Perkusi
:
- Auskultasi :

Statis dinamis simetris kanan dan kiri.


Stem fremitus menurun kanan dan kiri.
Hipersonor kedua lapang paru.
Vesikuler (+) menurun, ekspirasi memanjang, wheezing (-),

ronkhi kasar halus (+) pada kedua paru.


o Jantung
- Inpeksi
- Palpasi
- Perkusi

:
: Iktus kordis tidak terlihat.
: Iktus kordis tidak teraba.
: Batas atas ICS 2 LPS kiri, bawah ICS 4 LMC kiri, kiri ICS 4
LPS kiri, kanan ICS 4 LS kanan.

Auskultasi : bunyi jantung menjauh, HR: 98x/m, murmur & gallop sulit
dinilai.

o Abdomen
:
- Inspeksi :
- Palpasi
:
- Perkusi
:
- Auskultasi :
o Genitalia
:
o Ekstrimitas :

Datar, spider nevi (-), venektasi (-), caput medusa (-).


Lemas, hepar teraba 1 jbac, lien tak teraba, NT (-).
timpani, shifting dullness (-).
Bising usus (+) normal.
Tidak diperiksa
Edema pretibia (-/-), sianosis (+/+), clubbing finger (-/-),
palmar eritema (-/-)
C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (tanggal 16 November 2010)
-

Hb
Ht
Leu
LED
Trombosit
Diff Count
BSS
Uric acid
Ureum
Creatinine
Natrium
Kalium

: 18,4 g/dl
: 50 vol%
: 8.300/mm3
: 10 mm/jam
: 467.000/mm3
: 0/2/0/52/ 38/8
: 85 mg/dl
: 5,5 mg/dl
: 13 mg/dl
: 1,2 mg/dl
: 137 mEq/L
: 3,8 mEq/L

(12-18 g/dl)
(40-48 vol%)
(5000-10.000/mm3)
(10 mm/jam)
(200.000-500.000/mm3)
(0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8)
(3,5-7,1 mg/dl)
(15-39 mg/dl)
(0,9-1,3 mg/dl)
(135-155 mEq/L)
(3,5-5,5 mEq/L)

EKG (tanggal 16 November 2010)


Sinus Rhythm; axis normal; HR:109; gelombang P normal; PR interval 0,6
second; QRS complex 0,06 second; S/R di V1 < 1; R di V1 + S di V5/V6 < 35,
ST-T change (-), T-interval (-).
Kesan: Sinus takikardi.
Rontgen Thorax (tanggal 16 November 2010)
- Keadaan foto baik
- Simetris
- Tulang-tulang baik
- Sela iga melebar
- Trakea letak tengah
- Sudut costophrenicus tajam
- CTR < 50%
- Tenting diafragma (-)

Parenkim tak ada kelainan


Corakan bronkovaskular meningkat
Hiperaerasi
Kesan: PPOK

RESUME
Pasien bernama Tn AP, laki-laki, usia 52 tahun datang ke bagian emergensi
penyakit dalam RSMH dengan keluhan utama sesak yang bertambah sejak 1hari yll.
Dari Anamnesis diketahui bahwa pasien telah mengalami sesak sejak 7 bulan yll dan
semakin progersif. Sebelum sesak timbul, pasien mengeluhkan adanya batuk berdahak
yang telah pasien alami sejak 2 tahun yll dan bertambah berat hingga sekarang, dahak
berwarna putih, dengan jumlah 1 sth hingga 1 sdm. Demam juga dikeluhkan pasien
terjadi 1 hari yll dengan suhu yang tidak terlalu tinggi.
Riwayat merokok pasien (+), dimana pasien telah merokok sejak 20 tahun lalu,
dengan jumlah 1 bungkus/hari. Pasien juga mengaku bahwa pasien pernah menderita
TBC 10 tahun yll dan minum OAT hingga dinyatakan sembuh oleh dokter atas dasar
yang pasien tidak ketahui.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sesak dengan laju
pernapasan 36 x/menit dan nadi 112 x/menit. Terdapat kecendrungan barrel chest
berdasarkan diameter anteroposterior (27 cm) dan transversal (35 cm), dengan perkusi
dada didapatkan hipersonor pada kedua lapang paru dan batas jantung yang menyempit
(Batas atas ICS 2 LPS kiri, bawah ICS 4 LMC kiri, kiri ICS 4 LPS kiri, kanan ICS 4 LS
kanan). Dari auskultasi paru didapatkan bunyi napas vesikuler yang menurun pada
kedua lapang paru, waktu ekspirasi yang memanjang, dan adanya ronkhi kasar halus di
kedua lapang paru. Sedangkan dari auskultasi jantung terdengar bunyi jantung yang
menjauh. Dari palpasi abdomen didapatkan hepar yang teraba 1 jbac.
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan adanya kecendrungan ke arah
polisitemia dimana Hb pasien (18,0 g/dl) dan Ht (50 vol%) berada diatas normal.
Pemeriksaan rontgen paru mengonfirmasi diagnosis PPOK dimana ditemukan
pelebaran sela iga, corakan bronkovaskular yang meningkat, dan hiperaerasi paru. EKG
mengeksklusi sementara kemungkinan kelainan jantung dimana dari hasil EKG hanya
didapatkan sinus takikardi.

D. Daftar Masalah
- Sesak yang progresif
- Batuk berdahak sputum mukoid
- Demam yang tidak terlalu tinggi
E. Diagnosis Kerja
Penyakit paru obstruktif kronis eksaserbasi akut derajat sedang
F. Rencana Pemeriksaan
- Spirometri
- Analisis gas darah
- Kultur dan resistensi MO sputum
- BTA
- EKG
G. Diferential Diagnosis :
Sindrom Obstruktif Pasca Tuberculosis (SOPT)
Tuberkulosis kasus kambuh
Gagal jantung kronik
H. Penatalaksanaan
Farmakologi:
- Nebulizer salbutamol
- Aminophilin 2 amp (gtt x/mnt)
- Dexamethason 3x1 amp
- Ceftriaxone 2x1 IV
- Ambroxol syrp 3x2c
Non-farmakologi
- Istirahat
- Oksigen 3-5 L
- Diet NB
- IVFD D5%
- Edukasi pasien
I. Prognosis
Dubia ad vitam
Dubia ad bonam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

J. Follow Up
Tanggal 16 November 2010
-

Kel

= sesak, batuk berdahak,

Ass : PPOK eksaserbasi akut derajat

sulit tidur.

sedang.

Sens

= CM

TD

= 130/90 mmHg

- O2 5L

Nadi

= 112 x/mnt

- IVFD D5%

RR

= 36 x/mnt

- Aminophilin 2 amp (gtt x/m)

Temp

= 37,5C

- Ceftriaxone 2x1 gr IV

Kepala

= CP pucat (-/-), SI (-/-)

- Nebulizer salbutamol

Leher

= JVP 5-2 cmH2O, >KGB (-)

- Ambroxol syrp 3x2c

Cor

= 112 x/mnt, m (-), g (-)

- Diet NB

Pulmo

= Ves (+) , w (-), rh basah sedang (+)


di basal dan medial kedua lap. paru

Abd

= datar, lemas, hepar 2 jbac, lien TT,


NT (-), BU (+) N

Ext

= edema pretibia (-/-)

Th/ - Istirahat

PL: Spirometri
AGD
Kultur & resistensi MO sputum
BTA
Ro thorax ulang
EKG ulang

Hasil spirometri : FEV1 = 50%, FEV1/FVC = 60%


AGD: PaO2 = 50 mmHg; SaO2 = 87%

Tanggal 17 November 2010


-

Kel

= sesak berkurang, batuk berdahak,

Ass : PPOK eksaserbasi perbaikan

sulit tidur.
-

Sens

= CM

TD

= 120/70 mmHg

- O2 3L

Nadi

= 94 x/mnt

- IVFD D5%

RR

= 24 x/mnt

- Aminophilin 2 amp (gtt x/m)

Temp

= 36,9C

- Ceftriaxone 2x1 gr IV

Kepala

= CP pucat (-/-), SI (-/-)

- Dexametason 3x1 amp

Leher

= JVP 5-2 cmH2O, >KGB (-)

- Ambroxol syrp 3x2c

Cor

= 94 x/mnt, m (-), g (-)

- Diet NB

Pulmo

= Ves (+) , w (-), rh basah sedang (+)


di basal dan medial kedua lap. paru

Abd

= datar, lemas, hepar 2 jbac, lien TT,


NT (-), BU (+) N

Ext

= edema pretibia (-/-)

Tanggal 18 November 2010

Th/ - Istirahat

PL: EKG ulang k/p

Kel

= sesak berkurang, batuk berdahak,

Ass : PPOK eksaserbasi perbaikan

sulit tidur.
-

Sens

= CM

Th/ - Istirahat

TD

= 120/70 mmHg

- O2 3L

Nadi

= 94 x/mnt

- IVFD D5%

RR

= 20 x/mnt

- Aminophilin 2 amp (gtt x/m)

Temp

= 36,9C

- Ceftriaxone 2x1 gr IV

Kepala

= CP pucat (-/-), SI (-/-)

- Dexametason 3x1 amp

Leher

= JVP 5-2 cmH2O, >KGB (-)

- Ambroxol syrp 3x2c

Cor

= 94 x/mnt, m (-), g (-)

- Diet NB

Pulmo

= Ves (+) , w (-), rh basah halus (+)

PL: EKG ulang k/p

di basal dan medial kedua lap. paru


-

Abd

= datar, lemas, hepar 2 jbac, lien TT,


NT (-), BU (+) N

Ext

= edema pretibia (-/-)

Hasil BTA 123 : negatif

Tanggal 19 November 2010


-

Kel

= sesak berkurang, batuk berdahak,

Ass : PPOK eksaserbasi perbaikan

sulit tidur.
-

Sens

= CM

Th/ - Istirahat

TD

= 120/70 mmHg

- O2 3L

Nadi

= 94 x/mnt

- IVFD D5%

RR

= 20 x/mnt

- Aminophilin 2 amp (gtt x/m)

Temp

= 37,0C

- Ceftriaxone 2x1 gr IV

Kepala

= CP pucat (-/-), SI (-/-)

- Dexametason 3x1 amp

Leher

= JVP 5-2 cmH2O, >KGB (-)

- Ambroxol syrp 3x2c

Cor

= 94 x/mnt, m (-), g (-)

- Diet NB

Pulmo

= Ves (+) , w (-), rh basah halus (+)

PL: EKG ulang k/p

di basal dan medial kedua lap. paru


-

Abd

= datar, lemas, hepar 2 jbac, lien TT,


NT (-), BU (+) N

Ext

= edema pretibia (-/-)

Tanggal 20 November 2010


-

Kel

= sesak berkurang, batuk berdahak,

Ass : PPOK eksaserbasi perbaikan

Sens

= CM

Th/ - Istirahat

TD

= 120/70 mmHg

- O2 3L

Nadi

= 94 x/mnt

- IVFD D5%

RR

= 20 x/mnt

- Aminophilin 2 amp (gtt x/m)

Temp

= 37,0C

- Ceftriaxone 2x1 gr IV

Kepala

= CP pucat (-/-), SI (-/-)

- Dexametason 3x1 amp

Leher

= JVP 5-2 cmH2O, >KGB (-)

- Ambroxol syrp 3x2c

Cor

= 94 x/mnt, m (-), g (-)

- Diet NB

Pulmo

= Ves (+) , w (-), rh basah halus (+)

PL: EKG ulang k/p

di basal dan medial kedua lap. paru


-

Abd

= datar, lemas, hepar 2 jbac, lien TT,


NT (-), BU (+) N

Ext

= edema pretibia (-/-)

Hasil kultur dan resistensi MO sputum : MO (+) apatogenik

Tanggal 22 November 2010


-

Kel

= batuk berdahak berkurang, sesak (-)

Ass : PPOK eksaserbasi perbaikan

Sens

= CM

Th/ - Istirahat

TD

= 120/70 mmHg

- IVFD D5%

Nadi

= 94 x/mnt

- Aminophilin 2 amp (gtt x/m)

RR

= 18 x/mnt

- Dexametason 1x1 amp

Temp

= 36,7C

- Ambroxol syrp 3x2c

Kepala

= CP pucat (-/-), SI (-/-)

- Diet NB

Leher

= JVP 5-2 cmH2O, >KGB (-)

Cor

= 94 x/mnt, m (-), g (-)

Pulmo

= Ves (+) , w (-), rh basah halus (+)


di basal dan medial kedua lap. paru

Abd

= datar, lemas, hepar 2 jbac, lien TT,


NT (-), BU (+) N

Ext

= edema pretibia (-/-)

Hasil spirometri : FEV1 = 70%, FEV1/FVC = 60%


AGD: PaO2 = 60 mmHg; SaO2 = 90%
Tanggal 23 November 2010 : os pulang

PL: Spirometri
AGD

BAB III
ANALISIS KASUS
A. Penanganan Gawat Darurat
Pertolongan pertama pada saat pasien sesak napas sangatlah penting untuk
menjaga adekuasi oksigen ke jaringan dan mencegah komplikasi yang mungkin

terjadi. Penentuan etiologi dari sesak napas harus dikesampingkan dulu karena
kasus sesak dapat berkembang ke arah perburukan dengan sangat cepat.
Adapun beberapa dampak dari sesak yang mungkin dapat terjadi pada os:
-

Lelahnya otot-otot dinding pernapasan


Asidosis respiratori
Penurunan kesadaran hingga koma
Gagal napas
Gagal jantung
Asidosis laktat
Retensi cairan dan kalium hingga gagal ginjal
End organ damage lain.
Pada kasus ini os datang ke bagian emergensi dengan keluhan utama sesak

nafas. Diketahui os dalam keadaan gelisah, napas cepat (RR 36x/menit) dan dalam
serta terlihatnya penggunaan otot-otot bantu pernapasan. Temuan ini menunjukan
kita bahwa os sedang berusaha mengompensasi kondisi hipoksemia berat. Oleh
karena itu kita harus cepat aware dan mengambil tindakan yang cepat dan tepat
untuk mencegah komplikasi yang dapat timbul. Adapun langkah-langkah yang
dapat kita lakukan untuk os meliputi:
1. Oksigenasi
Tujuan dari pemberian oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan
dan meminimalkan asidosis respiratori. Oksigenasi adalah tindakan awal yang
mudah dan tepat sasaran. Usaha os untuk memenuhi oxygen demand akan sangat
terbantu bilamana oksigen tersebut dapat kita berikan. Pertanyaan selanjutnya
adalah berapa kadar oksigen yang kita berikan, dan dengan alat apa kita
memberikan oksigen tersebut ke pasien ?
Indikasi dari pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus
diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi
dan menghindari toksisitas. Selain itu perlu dipertimbangkan apakah pasien hanya
membutuhkan terapi oksigen jangka pendek (short term oxygen therapy) atau terapi
oksigen jangka panjang (long term oxygen therapy). Pada bagian ini kita akan lebih
focus ke penggunaan terapi oksigen jangka pendek, sedangkan terapi oksigen
jangka panjang akan dibahas kemudian.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia, PPOK
eksaserbasi akut, asma bronchial, gangguan kardiovaskular, emboli paru. Pada
keadaan tersebut, oksigen harus diberikan dengan adekuat. Pemberian oksigen yang

tidak adekuat akan menimbulkan cacat dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen
harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek sampai kondisi
membaik dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan
dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila
diperlukan, oksiegn harus diberikan secara terus-menerus.
Untuk pedoman indikasi terapi oksigen pendek telah ada rekomendasi dari
The American College of Chest Physicians dan The National Heart, Lung dan
Blood Institute yang ditunjukan tabel berikut:
Tabel 1. Indikasi Terapi Oksigen Akut Jangka Pendek
Indikasi yang sudah direkomendasikan:
-

Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)


Henti jantung dan henti nafas
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolic (bikarbonat < 18 mmol/L)
Respiratory distress (frekuensi pernapasan > 24x/min)

Indikasi yang masih dipertanyakan:


-

Infark miokard tanpa komplikasi


Sesak napas tanpa hipoksemia
Krisis sel sabit
Angina

Cara pemberian oksigen dibagi dalam 2 jenis yaitu sistem arus rendah dan
sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.
Alat oksigen arus rendah di antaranya kanul nasal, topeng oksigen, reservoir mask,
kateter transtracheal, dan simple mask. Alat oksigen arus tinggi di antaranya venturi
mask dan reservoir nebulizer blenders.
Pada eksasarbasi akut, oksigenasi sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60
mmHg atau Sat O2 > 90%, dengan evaluasi ketat hiperkapni. Alat yang diapat
digunakan adalah sungkup (venturi mask) 24%, 28%, atau 32% dan sebaiknya
adalah sungkup rebreathing untuk mencegah retensi CO2. Pemasangan pulse
oxymetry dianjurkan untuk memantau kadar Sat O2, AGD dilakukan secara
periodic guna memantau kadar PaO2 dan PaCO2 untuk melihat keberhasilan
oksigenasi ataupun kemungkinan telah terjadinya retensi CO2, serta memantau
keseimbangan asam-basa yang juga penting dalam me-maintain kondisi os.
Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus
digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan
dengan noninvasive positive pressure ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil

ventilasi mekanik digunakan intubasi.


2. Pembebasan jalan napas & triple airway maneuver
Tindakan pembebasan jalan napas dan triple airway maneuver bilamana
pada os terjadi obstruksi jalan napas atas akut, namun dari pemeriksaan awal,
diketahui bahwa pasien masih dapat berkomunikasi, tidak ada tanda-tanda choking,
dan sesak yang os alami merupakan eksaserbasi dari sesak yang sudah os salami
berbulan-bulan.
Tidak perlu dilakukan penentuan asal obstruksi pada os (apakah terjadi
obstruksi saluran napas atas, tengah, atau bawah) dengan apalagi dengan tindakan
invasive. Usia os yang lanjut, dan anamnesis singkat yang menyatakan adanya
riwayat batuk kronis, sesak selama berbulan-bulan, demam, riwayat merokok yang
lama, tidak ada riwayat asma atau alergi memberikan kita petunjuk kearah PPOK.
Sehingga tidakan pembebasan jalan napas dengan triple airway maneuver tidak
tepat sasaran.
Pemberian oksigen sebagai tindakan awal merupakan tindakan yang sangat
tepat. Disamping memaksimalkan oksigenasi ke jaringan, pemberian oksigen akan
meminimalkan sesak sehingga kita dapat melakukan anamnesis dan pemeriksaan
lain untuk menuju ke diagnostik.
3. Bronkodilator
Bronkodilator

utama

yang

sering

digunakan

adalah:

-2

agonis,

antikolinergik, dan metilxantin. Obat tadi dapat diberikan secara monoterapi atau
kombinasi. Pemberian secara inhalasi (MDI) lebih menguntungkan dari pada cara
oral atau parenteral karena efeknya lebih cepat pada organ paru dan efek
sampingnya minimal. Pemberian secara MDI lebih disarankan dari pada pemberian
cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6 kali, 2-4 hirup sehari.
Bronkodilator

kerja

cepat

(fenoterol,

salbutamol,

terbutalin)

lebih

menguntungkan daripada yang kerja lambat (salmeterol, formeterol), karena efek


bronkodilatornya sudah dimulai dalam beberapa menit dan efek puncaknya terjadi
setelah 15-20 menit dan berakhir setelah 4-5 jam. Sehingga pada kasus kami lebih
menyarankan untuk diberikan nebulizer salbutamol.
Bila tidak segera memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian
anti kolinergik sampai dengan perbaikan gejala. Obat-obat bronkodilator yang

sering digunakan untuk penanganan PPOK bisa dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2. Daftar Obat yang Umum Dipakai pada PPOK
Obat
Inhaler (g)
Nebulise
r (mg/ml)
Antikolinergik
Ipratropium brom
40-80 (MDI)
0,25-0,5
Tiotropium
18 (DPI)
-2 agonis
Fenoterol
Salbutamol
Terbutalin
Procaterol
Formoterol
Salmeterol

100-200 (MDI)
100-200
(MDI & DPI)
250-500 (DPI)
10
12-24
(MDI & DPI)
50-100
(MDI & DPI)

0,5-2,0
2,5-5,0
5-10

Oral (mg)

6-8
24

2-4
2,5-5
0,25-0,5

200
100-400

Glukokortikosteroid sistemik
Prednison

5-60 (pil)

Glukokortikosteroid inhaler
Beklometason

10-2000mg

Triamsinolon

100, 250, 400


(MDI & DPI)
100, 200, 400
(DPI)
50-500
(MDI & DPI)
100 (MDI)

Kombinasi -2 agonis dengan


antikolinergik dlm satu inhaler
Fenoterol/Ipratropium
Salbutamol/Ipratropium

200/80 (MDI)
75/15 (MDI)

Budenosid
Flutikason

Kombinasi -2 agonis dengan


glukokortikosteroid dalam satu
inhaler
Formeterol/Budenosid

4,5/80, 160
(DPI) (9/320)
(DPI)

4-6
4-6
4-6
6-8
12
12

Metilxantin
Aminofilin
Teofilin SR

Metilprednison

Lama kerja
(jam)

4-6
12-24

4,8,16
(pil)
0,2-0,4
0,2 ;
0,25 ; 0,5

40

1,25/0,5
0,75-4,5

6-8
6-8

Salmeterol/Flutikasone

50/100, 250, 500


(DPI) 25/50.
125, 250 (DPI)

4. Glukokortikosteroid
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intra
vena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metal prednisolon
atau prednisone. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila
terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator
meningkat >20% dan minimal 250 mg. Jika VEV<50% prediksi, dapat diberikan 40
mg prednisolon (oral) per hari selama 10-14 hari bersamaan dengan pemberian
bronkodilator. Budenosid nebulizer bisa dipakai untuk pengobatan yang nonasidosis.
5. Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotika yang digunakan:
-

Lini I : Amoksisilin, Makrolid


Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
baru.

B. Identifikasi Pasien
Jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan tempat tinggal penting untuk diketahui
karena penyakit tertentu memiliki kecendrungan dari segi ini. Pada kasus PPOK
pengaruh segi jenis kelamin, usia, pekerjaan dan tempat tinggal adalah sebagai
berikut:
Usia
Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada
pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia
menderita gangguan genetic berupa defisiensi 1 antitripsin, namun kejadian ini
hanya dialami < 1% pasien PPOK. Pada pasien yang menderita PPOK pada usia
dibawah 50 tahun ada kecendrungan untun asma atau SPOT (sindroma
obstruktif pasca tuberkulosis) sebagai etiologi.
Pada kasus, diketahui os berusia 52 tahun, maka kecendrungan
asma

ataupun

SPOT

dapat

disingkirkan

terlebih

dahulu

dan

mengutamakan PPOK, walaupun demikian perlu pemeriksaan lebih lanjut


untuk mengonfirmasi hal ini.
Jenis Kelamin
Laki-laki berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan
peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita
yang merokok.
Pekerjaan dan Tempat tinggal
Tingginya polusi udara di kota-kota besar atau area industri (seperti
pada os) memberikan dampak negatif terhadap pernapasan yang antara lain
terjadinya PPOK. Akhir-akhir ini data yang dipublikasikan menguatkan
observasi bahwa polusi udara lingkungan yang berat mempunyai pengaruh
buruk pada VEP1, dan meningkatkan mortalitas PPOK. Inhalan yang paling
kuat menyebabkan PPOK adalah cadmium, silica dan debu. Efek paparan debu
atau gas dari lingkungan kerja, Nampak jelas pada buka perokok dan bertambah
jelas lagi pada perokok, yang disebabkan adanya interaksi toksin tersebut
dengan asap rokok. Efek ini juga terjadi pada pekerja yang terpapar dengan
debu mineral, debu padi dan hasil dari paparan industry lainnya.
Pada negara berkembang polusi udara dalam rumah atau gedung yang
berasal dari asap memasak memicu tingginya tingkat pertikulasi udara ruangan
dan dipercaya sebagai penyebab penting terjadinya PPOK. Jelaslah bahwa
pengaruh yang kuat terhadap paparan lingkungan secara kronik pada level tinggi
dapat menyebabkan perkembangan PPOK.

C. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Dari anamnesis diketahui bahwa pasien datang dengan sesak, bila kita
menganalisis tentang sesak maka akan didapatkan banyak sekali kemungkinan yang
terjadi pada os, namun dengan menanyakan riwayat perjalanan penyakit, maka kita
memperkirakan apa yang terjadi pada os.
Sebab terjadinya sesak nafas
1. Allergen seperti serbuk, jamur atau zat kimia.
2. Debu, asap dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi saluran nafas.

3.

Pengaruh obat-obatan yang dimakan atau injeksi dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas
yang mengakibatkan terjadinya sesak.
4. Penyakit saluran nafas
a. Asma
d. Sumbatan laring
b. Bronchitis kronis
e. Tertelan benda asing
c. Emfisema
5. Penyakit parenkimal
a. Pneumonia
syndrome
b. Gagal jantung kongestif
d. Pulmonary infiltrate with
c. Adult respiratory distress
eosinophilia
6. Penyakit vascular paru
a. Emboli paru
c. Hipertensi paru primer
b. Kor pulmonale
d. Penyakit veno-oklusi oparu
7. Penyakit pleura
a. Pneumotoraks
c. fibrosis
b. Efusi pleura, hemotoraks
8. Penyakit dinding paru
a. Trauma
c. Kelainan tulang
b. Penyakit neurologist
9. Sesak napas akan terjadi akibat luasnya kerusakan jaringan paru, didapatkan pada penyakit paru
yang sudah lanjut. Sedangkan pada penyakit yang baru tidak akan dijumpai gejala ini.
10. Sumber penyebab dispnea termasuk:
a. Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada

Dispnea terjadi jika tegangan yang bertambah tidak cukup besar untuk satu
panjang otot
b. Kemoreseptor untuk tegangan O2 dan CO2
c. Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya sesak nafas
d. Ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi
1)Dypnea metabolik : paru-paru mengkoreksi keadaan asidosis metabolik (diabetes
ketoasidosis, gagal ginjal, anemia, asidosis laktat).
2)Eksersional : aktivitas fisik
3)Pulmoner : penyakit pada paru, pada otot atau tulang yang melibatkan thorax,
kelainan neurologik.
4)Othopnea : gagal jantung
5)Nocturnal : bronkospasme yang terjadi pada pagi hari.

11.
12.

Sebelum muncul sesak os mengaku pernah mengalami batuk kronis

(selama 2 tahun) berdahak berwarna putih dengan jumlah sdt. Apakah suatu batuk
produktif ataupun tidak, apa warna sputum, dan jumlah sputum yang dibatukan dapat
mengarahkan kita kerarah etiologi batuk ini, namun kepentingan klinis dari batuk ini
adalah hubungannya dengan keluhan sesak yang dialami os yang mungkin dapat
menjadi petunjuk ke mana arah diagnosis os.
13.
14.
15.

Sebab dari batuk produktif


16. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya bronkus, bersifat iritatif. Kemudian akibat

terjadinya peradangan, batuk berubah menjadi produktif karena diperlukan untuk membuang produkproduk ekskresi dari peradangan. Sputum dapat bersifat mukoid atau purulen.
17. Etiologi tergantung dengan warna dari phlegm.
1) Pada orang sehat atau dengan flu biasa warnannya jernih.

2) Phlegm yang berwarna kuning menandakan respon imun dan merupakan tanda infeksi.
3) Phlegm berwarna hijau atau kecoklatan menandakan infeksi. Warna kehijauan atau kuning
tua/kecoklatan atau phlegm dengan bintik kecoklatan merupakan tanda pneumonia atau
perdarahan internal.
4) Jaika phlegm berwarna coklat merupakan tanda biasa karena merokok karena adanya resin yang
dikeluarkan dari tubuh.
5) Phlegma yang berasosiasi dengan perokok bila berwarna coklat keabuan, mungkin bercampur
dengan debu atau partikel asing karena kerusakan pada silia memungkinkan terkena PPOK.
6) Jika berwarna merah mungkin menunjukkan penyakit setius seperti tuberculosis dan kanker
paru.
18.

19. Tabel 3. Hubungan Tampilan Sputum dengan Etiologi Batuk


20.
22.
24.
26.
28.
30.
32.

Tampilan
Kental, transluen, putih keabu-abuan
Seperti jelly buah kismis (merah bata)
Warna karat (warna air buah plum)
Merah muda, berbusa
Warna ikan salmon/ kuning pucat
Sputum mukopurulen; kuning, kehijauan,

atau abu-abu kotor


34.
Purulen dan berbau busuk

21.
23.
25.
27.
29.
31.
33.

Kemungkinan penyebab
Pneumonia atipikal; asma
Klebsiella pneumonia
Pneumonia pneumokokal
Edema paru
Pneumonia stafilokokus
Pneumonia bakteri; bronchitis

akut/ knonik
35.
Anaerob oral (aspirasi), abses
paru, bronkiektasis

36.

37. Berdasarkan onset:


1.

Akut (< 3minggu), klasifikasi berdasarkan etiologi:

Infeksi
38. Common cold (infeksi virus saluran napas atas, sinus infection, pneumonia, whooping
cough).

Non-infeksi
39. Flare up dari: bronchitis, emphysema, asma, dan alergi terhadap lingkungan.

2.

Kronik (>3 minggu), klasifikasi berdasarkan lokasi dengan respect pada paru-paru:

Iritan dari lingkungan, ex: rokok, debu, bulu binatang, polusi industri, dll.

Kondisi dalam paru


o

Common : asma, emfisema, dan bronchitis kronik.

Uncommon : kanker, sarcoidosis, diseases of the lung tissue, and congestive heart
failure with chronic fluid build-up in the lungs

Kondisi sepanjang perjalanan yang menghubungkan traktus respiratorius dengan


lingkungan luar. Dapat disebabkan oleh infeksi sinus kronik, chronic postnasal drip,
penyakit telinga luar, infeksi tenggorokan, dan penggunaan ACE inhibitors untuk hipertensi.

Kondisi di dalam rongga dada (di luar paru), seperti kanker, paertumbuhan
abnormal lymph node, pembesaran abnormal aorta.

Penyebab digestivus
40. Gastroesophageal reflux (GERD) : terjadi katika asam lambung naik ke esophagus.

Kondisi abnormal ini menyebabkan iritasi pada esophagus dan laring yang menyebabkan
refleks batuk.

41.
42.

Mekanisme batuk produktif:

Glottis terbuka

44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.

Kemudian dari riwayat perjalanan penyakit diketahui bahwa os

merupakan perokok, dimana os telah merokok selama 20 tahun dengan jumlah 1


bungkus/hari. Adapun kriteria perokok dapat ditentukan dari jumlah batang rokok
yang ia hisap ataupun dengan menggunakan Indeks Brinkman (IB), sebagai berikut:
62.

Kriteria perokok:
Sangat berat : > 31 batang/hari, 5 menit setelah bangun pagi harus merokok
Berat : 21 30 batang/hari, 6 30 menit setelah bangun pagi harus merokok.
Sedang : 11 20 batang/hari, 31 60 menit setelah bangun pagi harus
merokok
Ringan : 10 batang/hari,60 menit setelah bangun pagi harus merokok.

63.

Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah

rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
64.

Pada kasus ini, os merupakan perokok sedang.


65.

66.

Penentuan apakah os seorang perokok dan derajatnya akan sangat

membantu kita dalam menentukan kecendrungan diagnosis gangguan pernapasan dan


tingkat keparahannya. Diketahui rokok merupakan faktor resiko utama untuk berbagai
gangguan pernapasan, hal ini disebabkan oleh banyaknya zat berbahaya ( 4000 jenis
bahan kimia) pada rokok yang beberapa diantaranya (40 jenis bahan kimia) berdampak
sangat negative bagi sistem pernapasan, antara lain:
1)CO
o

Menimbulkan desaturasi Hb.

Mengganggu pelepasan O2 ke jaringan sehingga mengurangi persediaan O2 jaringan


(termasuk pada miokardium).

Mempercepat terjadinya aterosklerosis.

2)Nikotin
o

Menyebabkan ketagihan merokok.

Merangsang pelepasan adrenalin.

Mengganggu sisstem saraf simpatis akibatnya meningkatkan kebutuhan O2.

Meningkatkan frekuensi denyut jantung.

Meningkatkan tekanan darah.

Meningkatkan kebutuhan O2 jantung.

Meningkatkan irama jantung

3)Tar
o

Menyebabkan gangguan jalan napas, seperti batuk dan sesak napas.

Menempel pada lidah, bibir, dan jalan napas.

4)Cadmium
o

Ketika diisap, cenderung tertahan di ginjal sehingga dapat memperparah hipertensi.

67.
68. Gambar
69.

70.

Dampak pada respirasi


Tar, CO : merangsang jalan nafas dan tar tersebut tertimbun di saluran menyebabkan

Batuk

Tar yg menempel di jalan nafas kanker jalan nafas, lidah, bibir

Merusakkan permukaan sel cillia

Mengubah anatomi saluran pernafasan

Menyebabkan penghasilan lebih banyak mucus oleh sel epithelium


Dampak asap rokok

Timbulnya kanker

Timbulnya penyakit cardiovascular

Timbulnya penyakit paru

Perubahan pada saluran nafas central

Cilia menghilang atau berkurang

Hyperplasia kelenjar mucus

Sel goblet meningkat

Perubahan epitel yang dulunya epitel pseudostratifed collumner cilia menjadi karsinoma
bronkogenik invasive.

Saluran nafas tepi

Inflamasi

Atrophi

Metaplasi sel goblet

Metaplasia squamosa

Sumbatan lender pada bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratory

Alveoli dan kapiler

Kerusakan jaringan peribronkiolar alveoli pada perokok yang mengalami emfisema paru

Pengurangan jumlah kapiler perialveolar

Penebalan intima dan tunika media pembuluh darah

Imunologis

Leukosit darah tepi meningkat

Nilai fungsi paru lebih kecil

Efek Nikotin pada rokok

Rasa bahagia

Lipolisis

Keguncangan

Vasokontriksi pembuluh darah

Kesigapan

Performance

Frekuensi jantung meningkat

Mengurangi kegelisahan

Isi semenit jantung meningkat

Meningkatkan metabolisme

Tekanan darah meningkat

Relaksasi otot rangka

kulit dan koroner

Jika berhenti merokok

Irritable

Rasa lapar

Rasa kelemahan

Berat badan meningkat

Rasa mengantuk

Gangguan tidur

Sulit konsentrasi

Ketagihan nikotin

Kemampuan bertugas berkurang

Penurunan sekresi katekolamin

Gelisah

Denyut jantung melambat

Asap rokok
(gas + partikelpartikel)
Setiap
hembusan
terdapat 10 radikal
bebas
hidroksida(OH)
Kerusakan silia

Sampai ke
alveolus
Meru
Modifik
(oksidan)
sak
asi anti
dindi
elastas
ng
e pd
alveol
sal.nafa
Kerus
Tdk terjadi
us
s
akan
hambatan pd
paren
neutrofil &
Penuru
kim
makrofag
Reaksi
nan
inflamasi
elastic
Udara di
recoil
paru2
overinf
sulit
asi
keluar/em
fisema

partikulat

Penigkatan
iritasi pd
mukosa
bronkus

Kerusakan
jar.interstitia
l paru

Resiko penyakit: Penyebab kematian perokok menurut WHO


Kanker paru 80 90 %
PPOK 75 %

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan

risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan
merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20%
perokok akan mengalami PPOK.
Kanker kandung kencing 40 %
Jantung koroner 25 %
Stroke 18 %

Dari anamnesis, kita sudah dapat menduga diagnosis os yang mengarah pada
PPOK, namun terdapat suatu tanda yang cukup penting bagi penegakan diagnosis ini.
Diketahui bahwa os telah mengalami sesak dalam jangka waktu yang cukup lama,
namun satu hari SMRS sesak napas os tiba-tiba menghebat, diketahui sebelumnya
terdapat demam yang mendahului serangan sesak ini.
Bila kondisi PPOK stabil tidak menimbulkan sesak yang berat dan mendadak,
maka ada kemungkinan suatu kondisi eksaserbasi dari PPOK ini sendiri dapat
dicetuskan oleh berbagai sebab salah satunya adalah infeksi saluran pernapasan, yang

pada kasus ini bermanifestasi pada adanya demam.

Pemeriksaan fisik membantu kita untuk menegakan kemungkinan diagnosis


PPOK ini, antara lain:

Laju pernapasan (RR) = 36 x/menit dan nadi 112 x/menit.

RR yang tinggi menunjukan adanya kondisi hipoksemia pada os,

ditambah lagi adanya penggunaan otot-otot dinding pernapasan mengisyaratkan kita


adanya kondisi oxygen demand yang berat dan bersifat akut. Kondisi ini dapat
timbul dari berbagai kondisi meliputi: kondisi syok, perdarahan akut, infark
miokard akut, heart failure,

obstruksi saluran pernapasan (yang salah satunya

adalah PPOK), gangguan sistem pernapasan lain (pneumotrak, hidrotorak, efusi


pleura, trauma dinding dada, dll), gangguan keseimbangan asam-basa, dan
gangguan sistem saraf pusat.

Semua kemungkinan diatas harus dipikirkan, namun berdasarkan riwayat

perjalanan penyakit, kondisi perdarahan, syok, gangguan sistem pernapasan non


obstruktif dapat dikesampingkan dan kita dapat focus ke kemungkinan lain.
Terdapat kecendrungan barrel chest berdasarkan diameter anteroposterior (27 cm)
dan transversal (35 cm).
Kondisi hiperinflasi atau barrel chest adalah kondisi emfisema pada
seluruh paru yang khas pada kondisi PPOK, kondisi lain yang dapat menyebabkan
kondisi ini adalah pneumotorak bilateral atau adanya proses metastase pada kedua
paru, namun kondisi demikian sangatlah jarang.
Perkusi dada didapatkan hipersonor pada kedua lapang paru .

Kondisi ini mengonfirmasi bahwa pada parenkim paru terjadi

hiperaerasi, dan menyingkirkan kemungkinan adanya efusi pleura, peradangan paru


(TBC, pneumonia), atelektasis paru, maupun keganasan paru.
Batas jantung yang menyempit (Batas atas ICS 2 LPS kiri, bawah ICS 4 LMC kiri,
kiri ICS 4 LPS kiri, kanan ICS 4 LS kanan).
Kondisi penyempitan batas jantung dapat ditemukan pada hiperaerasi
paru bilateral yang menyebabkan jarak jantung ke dinding dada menjauh sehingga
pada perkusi pekak jantung menyempit.
Dari auskultasi paru didapatkan bunyi napas vesikuler yang menurun pada kedua
lapang paru, waktu ekspirasi yang memanjang, dan adanya ronkhi kasar halus di
kedua lapang paru.

Vesikuler menurun dapat disebabkan oleh berbagai kondisi seperti

hiperaerasi, efusi, atau adanya masa, namun dari perkusi paru diketahui bahwa hal
ini disebabkan oleh kondisi hiperaerasi. Waktu ekspirasi yang memanjang
menunjukan adanya obstruksi jalan napas bawah yang menyebabkan pengeluaran
udara lebih sulit dari biasa, hal ini dapat disebabkan oleh reaksi peradangan pada
bronkeolus. Ronkhi kasar halus menunjukan bahwa penyempitan jalan napas ini
(oleh inflamasi atau produk sekret) terjadi pada cabang bronkus yang kecil.
Sedangkan dari auskultasi jantung terdengar bunyi jantung yang menjauh.

Bunyi jantung menjauh sering disalah interpretasikan dengan kondisi

denyut jantung yang melemah, namun dari pemeriksaan torak sebelumnya ditambah
dengan tidak adanya pulsus parvus, maka sudah dapat dipastikan bahwa kecinya
suara jantung ini akibat dari kondisi hiperaerasi yang membuat jantung menjauh
dari dinding dada.
Dari palpasi abdomen didapatkan hepar yang teraba 1 jbac.

Terabanya hepar pada palpasi abdomen dapat berarti: 1) terjadi

pembesaran hati, yang dapat mengarah pada hepatitis, hepatoma, dll; atau 2)
terdorongnya hati kebawah oleh paru. Dari pemeriksaan sebelumnya dan dari
anamnesis maka kemungkinan terjadinya pembesaran hati sangatlah kecil, dan
sebaliknya kemungkinan terdorongnya hati oleh karena kondisi hiperaerasi paru
sangatlah mungkin.

Untuk memastikannya kita dapat melakukan pemeriksaan batas paru

hati. Normalnya pada perkusi torak kanan, akan didapatkan redup pada ICS V yang
menunjukan batas atas hati, namun pada os perkusi redup tersebut ditemukan pada
ICS VI (dengan catatan pasien tidak dalam fase inspirasi). Hal ini membuktikan
bahwa pada os terabanya hati ini disebabkan oleh pendorongan mekanik paru dan
bukan merupakan kelainan pada organ tersebut.

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (darah rutin dan kimia klinik)

Dari hasil pemeriksaan labor hanya ditemukan kelainan pada

kadar Hb dan Ht, dimana pada kasus ini os mengalami polisitemia. Kondisi
polisitemia ini adalah sekunder dari kondisi PPOK dimana produksi sel darah

merah ditingkatkan untuk mengompensasi kebutuhan oksigen jaringan. Pada


peningkatan kebutuhan oksigen yang akut, tubuh belum melakukan kompensasi
ini, sehingga temuan ini khas untuk kondisi hipoksemia kronis seperti pada
PPOK.

EKG

Pemeriksaan

EKG

diperlukan

untuk

menyingkirkan

kemungkinan adanya kelainan jantung yang dapat menyebabkan kondisi sesak


napas (khususnya IMA dan CHF). Pada os didapatkan hasil EKG yang normal
takikardia, yang menunjukan tidak adanya kelainan pada jantung os, dan
takikardia hanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi kondisi
hipoksemia.

Hipertensi pulmonal pada tingkat lanjut PPOK dapat diketahui

dengan EKG. Dimana terdapat gambaran abnormal EKG antara lain :

P pulmonal, dimana P pulmonal R V6 < 5, R/S <= 1 adalah yang paling


sering terdapat pada gambaran EKG.
Deviasi aksis kekanan "Low voltage" sering pada emfisema. Tanda-tanda
hipertrofi ventikel kanan (RVH).

Pada kasus ini, EKG os belum menunjukan adanya P pulmonal

atau deviasi aksis ke kanan yang menunjukan belum terjadinya hipertensi


pulmonal sebagai komplikasi yang sangat berbahaya bagi pasien PPOK. Namun
mengingat adanya kemungkinan kondisi PPOK berkomplikasi pada hipertensi
pulmonal, maka diperlukan pemantauan tanda vital (khusunya JVP) dan
pemeriksaan EKG bila tanda-tanda hipertensi pulmonal sudah mulai muncul.

Foto rontgen toraks

Foto torak merupakan pemeriksaan diagnosis pada pasien dengan

gangguan paru, pada os ditemukan adanya kelainan berupa pelebaran sela iga,
hiperaerasi, dan peningkatan corakan bronkovaskuler yang mengesankan
kondisi PPOK. Bila dari hasil foto torak tidak ditemukan kelainan apa-apa maka
diagnosis asma bronchial yang lebih dahulu dipikirkan.

Uji faal paru


Spirometri.

Merupakan

pemeriksaan

faal

paru

yang

terpenting, untuk mendeteksi adanya obstruksi jalan nafas


maupun derajat obstruksi. Hambatan aliran udara pernafasan
pada ekspirasi secara spirometri dinyatakan dengan:
Perumusan nilai-nilai Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1.0
= FEV1.0)
Arus tengah Expirasi Maksimal (ATEM = MMEF).
Arus tengah Expirasi Maksimal (ATEM = MMEF).
Kapasitas nafas Maksimal (KNM = MBC/MVV).

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP

(%)

Obstruksi ditegakan bila:

(VEP1/VEP1 pred) < 80%,


(VEP1/KVP) < 75%

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE

meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

Tabel 4. Klasifikasi PPOK Berdasarkan Gejala Klinis dan Spirometri

Tabel 5. Klasifikasi PPOK berdasarkan nilai Spirometri

Deraja
t
COPD
Mild
Moder
ate
Severe
Very
severe

Normal FEV1/FVC

Kriteria

FEV1/FVC < 70%


FEV1 80%
FEV1/FVC < 70%
50% FEV1 < 80% predicted
FEV1/FVC < 70%
30% FEV1 < 50% predicted
FEV1/FVC < 70%
FEV1 < 30% predicted or FEV1 <
50% predicted, plus chronic
repiration failure.
: 70% - 80%
Obstruksi
: FEV1/FVC turun
Restriksi
: FEV1/FVC normal atau meningkat
Kombinasi : FEV1/FVC normal atau menurun

Uji bronkodilator: Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila

tidak ada gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi


sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau
APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.

Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. Uji faal paru setelah

pemberian obat-obat bronkodilator. Umumnya kriteria irreversibel bila kenaikan


nilai-nilai spirometri 15 25%, rata-rata 20% .

Analisis gas darah


Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Kelainan gas darah arteri adalah umumnya PO 2 rendah dan PCO

2 tinggi pada bronkitis menahun. Pada emfisema gambaran darah arteri


umumnya normal kecuali pada stadium yang lanjut terjadi hipoksemia.
Penentuan analisa gas darah penting dalam menilai derajat insufisiensi
pernafasan atau kegagalan pernafasan. Asidosis dapat terjadi pada eksaserbasi
akut umumnya disusul dengan kompensasi renal yang mengembalikan pH darah
dalam batas-batas normal.

Sputum BTA

Sputum BTA dilakukan untuk mengetahui apakah os masih

terjangkit penyakit tuberculosis. Hal ini penting untuk mengetahui apakah


gejala-gejala os ini timbul akibat TB (sindroma obstruktif paska TB), dan
penting dalam penentuan terapi.

Dari hasil sputum BTA I, II, III bernilai negative yang

mengindikasikan bahwa pada os tidak terdapat TB (diperkuat dengan foto


rontgen), namun temuan negative ini (hasil BTA maupun foto rontgen) belum
dapat mengeksklusi kemungkinan SOPT (akan dibahas lebih lanjut kemudian).

Kultur dan resistensi MO sputum

Kultur dan resistensi MO sputum digunakan untuk mengetahui

etiologi dari infeksi saluran pernapasan yang menjadi pencetus PPOK


eksaserbasi, serta untuk penentuan antibiotika.

Pada kasus tidak ditemukan mikroorganisme pathogen (hanya

mikroorganisme yang merupakan flora normal paru), dengan kata lain etiologi
dari demam ini kemungkinan oleh karena infeksi virus, sehingga menjadi
pertimbangan untuk penghentian antibiotika.

E. Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding


1. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
disaluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

Bronkitis kronik
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3

bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.

Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal

bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

Gambar

2. Klasifikasi PPOK
Tabel 6. Klasifikasi PPOK

Gejala

Tubuh

Penam
pakan

Pemer
iksaan fisik

Jantun
g

Darah

Rontg
en

E. K.
G.

Bronkitis ("Blue Bloater" )

Sesak nafas timbul setelah


batuk-batuk produktif bertahun-tahun.

Gemuk

Sianotik (biru)

Dada normal

Pekak jantung dan hepar jelas.

Suara nafas kasar.

Rhonchi basah/kering pada


ekspirasi & inspirasi yang berubah
dengan batuk.

Gagal jantung kanan sering


terdapat dan penyebab kematian.

Polisitemia sekunder.

Analisa gas darah arteri

P02 rendah, "CO2 tinggi

Jantung membesar disertai


tanda-tanda bendungan paru;

Hipertrofi ventikel kanan P.


pulmonal.

Spirometri : Obstruksi jalan

Emfisema ("Pink Puffer")

Sesak nafas lebih dahulu


diikuti batuk-batuk dengan / tanpa
sputum.

Kurus

Kemerahan

Dada gembung

Pekak jantung dan hepar


hilang oleh over-distensi.

Suara nafas lemah dengan


ekspirasi yang memanjang.

Umumnya tidak ada suara


nafas tambahan.

Gagal jantung kanan jarang,


kematian karena gagal pernafasan.

Polisitemia jarang.

P02 normal atau rendah

PCO2 rendah.

Jantung
memanjang,
diafragma rendah dan hiperinflasi.

Mungkin
terdapat
P.
pulmonal.

Obstruksi
jalan
nafas

Uji
Faal Paru

nafas yang reversible sebagian.

Kapasitas paru total normal

atau sedikit meningkat.

Kapasitas difusi meningkat

irreversibel.

Kapasitas
paru
total
meningkat.

Kapasitas difusi menurun.

3. Epidemiologi

Menurut data surkenas tahun 2001, penyakit pernapfasan termasuk

PPOK merupakan penyebab kematian ke-2 di Indonesia. Prevalensi PPOK meningkat


dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi pada pria daripada wanita.
Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara dimana merokok merupakan gaya
hidup, yang menunjukan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama.

4. Faktor Risiko
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat
merokok perlu diperhatikan :
Riwayat merokok: perokok aktif, perokok pasif, bekas perokok.
Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah

rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
Hipereaktiviti bronkus
Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

5. Etiologi

Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang

dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan
lingkungan antara lain:
Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko

30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan
penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami
PPOK.
Pekerjaan

Para pekerja tambang emas dan batu bara, industry gelas dan keramik

yang terpapar debu silika atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum,
toluene diisosianat, dan asbes mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja
ditempat selain yang disebutkan diatas.

Polusi Udara

Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host antara lain:

Usia

Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada

pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia
menderita gangguan genetic berupa defisiensi 1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya
dialami < 1% pasien PPOK.
Jenis Kelamin

Laki-laki berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait

dengan kebiasaan merokok

pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan

prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi.

Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya

PPOK, misalnya defisiensi immunoglobulin A (igA/hypogamaglobulin) atau infeksi


pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan
fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan
waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap
berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan
parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami PPOK.

6. Manifestasi Klinis
-

Batuk

Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen

Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk bernapas

Cachexia: hilangnya massa lemak bebas

Pengurangan massa otot: apoptosis, disuse atrophy

Osteoporosis

Depresi

Anemia normokromik normositik

Peningkatan risiko penyakit kardiovaskular: berhubungan dengan peningkatan CRP

7. Patogenesis dan Patofisiologi

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,

metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat
fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
a. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama.
b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
c. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena

perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Gambar
Sindrom Obstruktif Paska Tuberkulosis
Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB dikenal dengan

berbagai nama. Cugger (1955) menyebutnya emfisma obstruksi kronik. Martin dan Hallet
menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin menyebutnya sebagai
emfisema obstruksi difus; Vargha dan Bruckner menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi;
Tanuwtharj menyebutnya sirldronrobstruksi difus. Di Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta
kelainan obstruksi pada penderita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom
obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas
Patogenesis sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru yang kelainan

obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT), sangat kompleks;


kemungkinannya antara lain :
Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan, sehingga

1)

dapat menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya


2)
3)

neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif.


Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena proses TB.
Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis dan

oksidasi akibat infeksi TB.


4)
TB"paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis
diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya proses.proteolisis dan oksidasi sangat
meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas
menuju kerusakan paru yang menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang
dapat dideteksi secara spirometri.

Adapun beberapa patokan untuk membedakan Asma, PPOK, dan SOPT:

Tabel 7. Perbedaan Karakteristik Asma-PPOK-SOPT

F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :

1)
2)
3)
4)
5)
6)

Mengurangi gejala
Mencegah eksaserbasi berulang
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
Edukasi
Obat obatan
Terapi oksigen
Ventilasi mekanik
Nutrisi
Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga

penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

a) Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK

stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal

3. Mencapai aktiviti optimal

4. Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara

berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi
dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena
memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan
dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.

Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat

penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :

1.
2.
3.
4.
5.

Pengetahuan dasar tentang PPOK


Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari pencetus (berhenti merokok)
Penyesuaian aktivitas

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan

skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :


1. Berhenti merokok:
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan

2. Pengunaan obat obatan


a. Macam obat dan jenisnya
b. Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
c. Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau
perlu saja )
d. Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
a. Kapan oksigen harus digunakan
b. Berapa dosisnya
c. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
4. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya.
Tanda eksaserbasi :
a. Batuk atau sesak bertambah
b. Sputum bertambah
c. Sputum berubah warna (menjadi purulen)

Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga:


a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala diatas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala diatas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala diatas ditambang infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa penyebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >20% baseline, atau

frekuensi nadi >20% baseline.


5. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
6. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,

langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi
sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada
setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang
ireversibel
Ringan
-

Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel


Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain

berhenti merokok
Segera berobat bila timbul gejala

Sedang
Menggunakan obat dengan tepat
Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
Program latihan fisik dan pernapasan

Berat
-

Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi


Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

Penggunaan oksigen di rumah

b) Obat - obatan
a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek
panjang ( long acting ).

Macam - macam bronkodilator :

Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator

juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).


Golongan agonis beta 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
Tabel 8. Pemberian Bronkodilator Berdasarkan Gejala

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi

intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20%
dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

- Lini I :

amoksisilin makrolid

- Lini II :

amoksisilin dan asam klavulanat

sefalosporin

kuinolon

makrolid baru

Perawatan di Rumah Sakit : (dapat dipilih)

- Amoksilin dan klavulanat

- Sefalosporin generasi II & III injeksi

- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas

- Aminoglikose per injeksi

- Kuinolon per injeksi

- Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.

f.

Antitusif

Terapi Oksigen

Pada

PPOK

terjadi

hipoksemia

progresif

dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ - organ lainnya.

Manfaat oksigen :

- Mengurangi sesak

- Mengurangi hematokrit

- Memperbaiki aktiviti

- Mengurangi hipertensi pulmonal

- Mengurangi vasokonstriksi

Memperbaiki

neuropsikiatri

- Meningkatkan kualiti hidup

fungsi

Macam terapi oksigen :

- Pemberian oksigen jangka panjang

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi

oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas
kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat
daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di
rumah dibedakan :

- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil

terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen
dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah
hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.

Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.

Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

Tabel 9. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang pada Pasien PPOK


Indikasi
Pencapaian
PaO2 55 mmHg atau SaO2 88%
PaO2 60 mmHg atau SaO2 90%

tidur dan latihan

Pasien dengan kor-pulmonal

PaO2 55-59 mmHg atau SaO2 89%

Adanya

pulmonal

pada

Indikasi khusus (Nocturnal hypoxemia)

PaO2 60 mmHg atau SaO2 90%


Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat

tidur dan latihan

EKG,

hematokrit > 55% dan gagal jantung kongestif.

Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat

Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat


tidur dan latihan

Tidak ada hipoksemia saat istirahat, tetapi


saturasi menurun selama latihan atau tidur

Algoritma Penatalaksanaan PPOK :

Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat


tidur dan latihan

G. Prognosis

Masa

hidup

(survival)

penderita

PPOM

faktor-faktor

yang

mempengaruhi prognosis:
1. Gangguan fungsionil inisial, VEP1.0 sering dijadikan parameter untuk menilai
prognosis, umumnya prognosis buruk, bila VEP1.0 mencapai 1.5 liter atau
kurang, dengan survival kurang lebih 10 tahun, menjadi 4 tahun pada VEP 1.0 1
liter dan 2 tahun pada VEP1.0 0,5 liter (Petty).
2. Adanya Cor pulmonale yang umumnya disertai dengan hipoksemia dan
hiperkapnia.
3. Kurang berat, lebih dari 20% (Rodman & Sterling). Penyebab kematian utama
(Rodman & Sterling)
Cor pulmonale (53%)

Kegagalan pernafasan akut (sub akut 30%)


aritemia Jantung.

60 % orang meninggal pada umur 20 tahun,dan 95 % meninggal pada umur 55

tahun
CPOD tahap mild dan moderate dapat dikontrol dengan baik melalui
pengobatan dan rehabilitasi pulmonal sedangkan untuk yang tahap berat

pengobatan akan lebih sulit


Diagnosis dini dan berhenti merokok akan memberikan prognosis yang jauh
lebih baik

H. Komplikasi
Infeksi pernafasan : lebih sering menderita flu atau pneumonia
Tekanan darah tinggi pada arteri yang membawa darah ke paru
Gangguan jantung
Kanker paru
Depresi : karena sesak nafas membuat sulit untuk mengerjakan aktivitas seharihari
Bronkitis akut
Cor pulmonal
Aritmia

Anda mungkin juga menyukai

  • BAB IV Edit
    BAB IV Edit
    Dokumen23 halaman
    BAB IV Edit
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Abs Trak
    Abs Trak
    Dokumen2 halaman
    Abs Trak
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • BAB V Edit
    BAB V Edit
    Dokumen2 halaman
    BAB V Edit
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Refrat
    Refrat
    Dokumen8 halaman
    Refrat
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Ike Proker
    Ike Proker
    Dokumen5 halaman
    Ike Proker
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Alur Penelitian
    Alur Penelitian
    Dokumen1 halaman
    Alur Penelitian
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Ike Proker 2
    Ike Proker 2
    Dokumen5 halaman
    Ike Proker 2
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Ike Proker 2
    Ike Proker 2
    Dokumen5 halaman
    Ike Proker 2
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • BRONKITIS
    BRONKITIS
    Dokumen7 halaman
    BRONKITIS
    'Zie KawuryaNz
    Belum ada peringkat
  • Kasus Hidranensefali pada Bayi di Rumah Sakit Atma Jaya
    Kasus Hidranensefali pada Bayi di Rumah Sakit Atma Jaya
    Dokumen1 halaman
    Kasus Hidranensefali pada Bayi di Rumah Sakit Atma Jaya
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka (Alhamdulillah)
    Daftar Pustaka (Alhamdulillah)
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka (Alhamdulillah)
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Kamu Itu Kayak Micro Bacterium Tuberculosis
    Kamu Itu Kayak Micro Bacterium Tuberculosis
    Dokumen1 halaman
    Kamu Itu Kayak Micro Bacterium Tuberculosis
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • PPOK Case 2
    PPOK Case 2
    Dokumen47 halaman
    PPOK Case 2
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Usia
    Usia
    Dokumen3 halaman
    Usia
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Fungsi Luhur
    Fungsi Luhur
    Dokumen5 halaman
    Fungsi Luhur
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Askep Hernia
    Askep Hernia
    Dokumen27 halaman
    Askep Hernia
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Ileus Obstruksi
    Ileus Obstruksi
    Dokumen15 halaman
    Ileus Obstruksi
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Hipoglikemia
    Hipoglikemia
    Dokumen3 halaman
    Hipoglikemia
    Ensan Galuh Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Kewarganegaraan
    Kewarganegaraan
    Dokumen60 halaman
    Kewarganegaraan
    Iqhe Prima Sastrowinoto
    Belum ada peringkat