Anda di halaman 1dari 14

PHARMACEUTICAL CARE

PIO (Pelayanan informasi obat)

Oleh:
Kelompok V
Hasrul lukman
Nur asia samal

1443700027
1443700005

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA

PROGRAM PROFESI APOTEKER


2014
A. PENDAHULUAN
Pada 10 tahun terakhir ini terjadi peningkatan yang cukup mendasar dibidang
pelayanan publik, terutama pelayanan kesehatan. Kebutuhan akan bentuk layanan publik
yang bermutu, berkualitas makin meningkat. Kepedulian, kesadaran masyarakat akan
kesehatan makin dirasakan penting artinya, disamping kebutuhan masyarakat akan
makan, sandang, papan, dan pendidikan. Kebutuhan akan layanan kesehatan bersinergi
terhadap sarana kesehatan yang ada, masyarakat makin kritis terhadap layanan mutu
yang diterimanya. Pemerintahpun menangapi kebutuhan masyarakat tersebut dengan
menempatkan prioritas kesehatan sebagai program pokok nasional yang kedua setelah
bidang pendidikan. Pemerintah juga melindungi masyarakat terhadap bentuk layanan
publik yang diterimanya dengan membentuk, mengesahkan undang-undang perlindungan
konsumen dan perlindungan hak asasi.
Suatu organisasi idealnya harus peduli dengan mutu atau kualitas yang
dihasilkannya, terlebih organisasi yang bergerak dibidang jasa, pelayanan maupun
gabungan jasa-barang, seperti halnya organisasi Rumah Sakit. Rumah Sakit sebagai
sarana kesehatan yang utama masyarakat untuk upaya kesehatn, maka sudah
sewajarnya jika suatu Rumah Sakit tiada hentinya selalu berbrnah diri meningkatkan,
memperbaiki mutu, kualitas bentuk layanannya. Instansi-instansi yang ada di rumah sakit
dan profesiprofesi kesehatan yang ada di Rumah Sakit hendaknya selalu ditingkatkan,
dioptimalkan fungsi dan perannya untuk pencapaian mutu layanan yang optimal, terukur
bagi masyarakat.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit merupan bagian dari organisasi Rumah Sakit,
Penunjang Medik yang juga harus berbenah diri untuk mendukung output layananya.
Kesadaran, profesionalisme masing-masing profesi kesehatan, terutama apoteker di
Rumah Sakit sanggatlah diperlukan untuk mencapai hasil keluaran yang optimal tersebut.

Instalasi Farmasi Rumah Sakit hendaknya juga dapat merubah paradigma yang melekat
padanya selama ini. IFRS selama ini hanya terjebak di pelayanan stock, harus segera
berbenah diri ke bentuk pelayanan pasien dan bangsal dengan tanpa mengurangi
perannya

sebelumnya.

Pemerintah

mendukung

paradigma

farmasis

ini

dengan

menetapkan KepMenKes Standar Pelayanan Rumah Sakit dan KepMenKes Standar


Pelayanan Farmasi Rumah Sakit.
Pelayanan kefarmasian sebagai salah satu unsur dari pelayanan utama di rumah
sakit, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan di rumah sakit
yang berorientasi kepada pelayanan pasien. Di banyak Rumah Sakit pelayanan farmasi
atau di Instalasi Faramasi Rumah Sakit menyumbangkan profit di urutan ke-3 bahkan ada
yang menduduki urutan ke-2 bagi managerial Rumah Sakit. Salah satu bentuk
pendekatan, peningkatan bentuk layanan yang galak dikembangkan oleh farmasi atau
Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah Pelayanan Informasi Obat dan Pelayanan Farmasi
Klinis. Pada dasarnya Pelayanan Informasi Obat merupankan salah satu bagian, cabang
dari Pelayanan Farmasi Klinis. Pelayanan informasi obat dan pelayanan farmasi klinis
menanggapi keprihatinan terhadap masyarakat akan mortalitas dan morbiditas yang
terkait dengan pengunaan obat, kerasionalan pengunaan obat, semakin meningkatnya
biaya perawatan pasien dikarenakan makin meningkatnya biaya obat dan makin tingginya
harapan masyarakat, ledakan medis serta ilmiah.
Pelayan farmasi klinis merupan kerja tim, apoteker dengan profesi kesehatan lain
untuk memecahkan kasus perawatan pasien untuk menghasilkan outcome, hasil yang
maksimal untuk pasien. Pelayanan Farmasi Klinis memerlukan pengetahuan terapi tinggi
bagi apotekernya, kemampuan komonikasi, monitoring respon obat ke pasien, pelayanan
informasi obat. Pelayanan Farmasi Klinis lebih ditekankan dipelayanan rawat inap rumah
sakit dan berorientasi lebih ke pasien dari pada produk. Berbagai manfaat dapat
dihasilkan dari pelayan informasi obat dan praktek Pelayanan Farmasi Klinis tersebut, baik

untuk rumah sakit, farmasis, maupun masyarakat. Pelayanan Farmasi Klinis untuk
memulainya juga tidaklah ringan, diperlukan komitmen yang cukup tinggi dari berbagai
profesi yang ada terlebih apoteker, disampint tantangan lainnya yang cukup beragam dari
masyarakat dan managerial rumah sakit. Disamping itu faktor-faktor keberhasilan
pelayanan faramsi klinis lainnya, seperti komite farmasi klinis, sofeware, sumber daya
manusia yang ada di Rumah Sakit juga perlu disiapkan baik kualitas dan kuantitasnya.
Metode evaluasi bagaimana yang akan diterapkan bagi komite farmasi klinis, managerial
Rumah Sakit juga perlu ditetapkan.
Suatu mutu layanan yang optimal, terukur niscaya tidak akan tercapai, terwujud jika
kesadaran masing-masing profesi kesehatan untuk mengembangkan diri, profesional yang
ada terlalu minim. Suatu tujuan bersama mustahil tercapai jika masing-masing profesi
kesehatan

yang

ada

hanya

berdiri

sendiri-sendiri,

minim

kesadarannya

untuk

bekerjasama. Suatu tujuan tidak akan terwujut tanpa dimulai, dirintis dari proses yang
sedini mungkin.

B. PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO)

a. Definisi Menurut keputusan Menkes RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004 PIO merupakan


kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberi informasi secara akurat,
tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat,profesi kesehatan lainnya
dan pasien.
b. Tujuan
1. Menyediakan

informasi

mengenai

obat

kepada

pasien

dan

tenaga

kesehatan

dilingkungan rumah sakit.


2. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan
obat, terutama bagi Panitia/Komite Farmasi dan Terapi.
3. Meningkatkan profesionalisme apoteker
4. Menunjang terapi obat yang rasional (Anonim)
C. FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN
1. Sumber informasi obat
2. Tempat
3. Tenaga
4. Perlengkapan

D. KEGIATAN PIO
Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang bersifat aktif
atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayananinformasi obat memberika
informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaanmelainkan secara aktif memberikan
informasi obat, misalnya penerbitan buletin, brosur, leaflet, seminar dan sebagainya.
Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi
obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima (Anonim, 2006).

E. LANGKAH-LANGKAH SISTEMATIS PEMBERIAN INFORMASI OBAT OLEH PETUGAS


PIO
1. Penerimaan permintaan Informasi Obat : mencatat data permintaan informasidan
mengkategorikan permasalahan : aspek farmasetik (identifikasi obat,perhitungan farmasi,
stabilitas dan toksisitas obat), ketersediaan obat, harga obat,efek samping obat, dosis
obat, interaksi obat, farmakokinetik, farmakodinamik, aspek farmakoterapi, keracunan,
perundang-undangan.
2. Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan : menanyakan lebihdalam
tentang karakteristik pasien dan menanyakan apakah sudah diusahakanmencari informasi
sebelumnya
3. Penelusuran sumber data : rujukan umum, rujukan sekunder dan bila perlurujukan
primer.
4. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan : jawaban jelas, lengkap danbenar,
jawaban dapat dicari kembali pada rujukan asal dan tidak bolehmemasukkan pendapat
pribadi.
5. Pemantauan dan Tindak Lanjut : menanyakan kembali kepada penanya manfaat informasi
yang telah diberikan baik lisan maupun tertulis (Juliantini danWidayati, 1996).
Dengan adanya pelayanan informasi obat proses pengunaan obat dapat diambil
lebih tepat, misalnya:
a. Memilih obat yang tepat
b. Memilih sediaan yang tepat.
c. Menentukan dosis yang tepat.
d. Menentukan rute obat.
e. Menentukan lama penggunaan obat.
f. Memantau efek terapi dan efek samping obat.

g. Merencanakan tindak lanjut jangka panjang untuk mendorong penggunaan obat yang
rasional dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada pasein.
F. CIRI-CIRI PELAYANAN INFORMASI OBAT
a. Mandiri (bebas dari segala bentuik keterikatan).
b. Objektif (sesuai dengan kebutuhan)
c. Seimbang
d. Ilmiah
e. Berorientasi kepada pasien dan pro aktif
Jenis-jenis pelayanan yang diberikan oleh pelayanan informasi obat antara lain:
a. Menjawab pertanyaan spesifik yang diajukan melalui telpon, surat atau tatap muka.
b. Meyiapkan materi brosur atau leflet informasi obat (pelayanan cetak ulang atau re print).
c. Konsultasi tentang cara penjagaan terhadap reaksi ketidakcocokan obat, konsep-konsep
obat yang sedang dalam penelitian atau peninjauan penggunaan obat-obatan.
d. Mendukung kegiatan panitia farmasi terapi dalam menyusun formularium rumah sakit dan
meninjau terhadap obat-obat baru yang diajukan untuk masuk dalam formularium rumah
sakit.
e. Mengkoordinasikan pemantauan dan pelayanan ESO.
Selain kegiatan pelayanan dan pendidikan, pelayanan informasi obat juga berperan
aktif didalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan penelitian yang berkaitan dengan obat,
membuat dokumentasi serta mengevaluasi setiap kegiatan yang telah dilakukan. Didalam
pengembangan pendidikan, pelayanan informasi obat juga melakukan kegiatan-kegiatan
antara lain:
a. Mengajar,

membimbing

mahasiswa

dan

mengkoordinasikan

program

pendidikan

berkelanjutan dibidang informasi obat, semisal penilitian yang berkaitan dengan obat.
b. Mengevaluasi literatur obat dan penggunaannya.
c. Memberikan pendidikan kepada tenaga kesehatan lainnya tentang informasi obat.

Kegiatan antara lain memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen


secara aktif dan pasif. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan
melalui telepon, surat atau tatap muka. Membuat buletin, leaflet, label obat. Menyediakan
informasi bagi Komite/Panitia Farmasi dan Terapi sehubungan dengan penyusunan
Formularium Rumah Sakit. Bersama dengan PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan
bagi pasien rawat jalan dan rawat inap. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga
farmasi dan tenaga kesehatan lainnya. Mengkoordinasi penelitian tentang obat dan
kegiatan pelayanan kefarmasian.
Peralatan Ruang Informasi Obat antara lain:
1. Kepustakaan yang memadai untuk melaksanakan pelayanan informasi obat
2. Peralatan meja, kursi, rak buku, kotak
3. Komputer
4. Telpon - Faxcimile
5. Lemari arsip
6. Kartu arsip
7. TV dan VCD ( disesuaikan dengan kondisi Rumah Sakit )

Ruang Informasi Obat sebaiknya tersedia ruangan sumber informasi dan teknologi
komunikasi dan penanganan informasi yang memadai untuk mempermudah pelayanan
informasi obat. Luas ruangan yang dibutuhkan untuk pelayanan informasi obat untuk 200
tempat tidur idealnya adalah 20 meter2 sedangkan untuk 400-600 tempat tidur seluas 40
meter2 dan untuk 1300 tempat tidur 70 meter2.
Adapun referensi atau sumber-sumber informasi bias berasal dari referensi primer
(informasi obat terbaru langsung dari peneliti, misal jurnal), referensi sekunder (indeks
atau abstrak dari original artikel, missal medline), referensi tersier (informasi yang sudah
estabilished, biasanya berbentuk text book, CD room dan interne atau AHFS).

Salah satu dari pelayanan informasi obat adalah menjawab pertanyaan dari konsumen
PIO mengenai informasi obat, adapun tahapannya meliputi:
1. Menerima pertanyaan : tunjukan keramahan dan kesiapan untuk membantu menjawab
pertanyaan.
2. Identifikasi penanya meliputi:
a. Siapa (dokter, perawat,Apoteker, pasien, tenaga kesehatan lainnya).
b. Jenis pertanyaan (identifikasi, dosis, kontraindikasi, indikasi).
c. Untuk apa (penelitian, perawatan pasien).
d. Dari mana (ICU, IRNA, IRJA, IRDA, IBS maupn lainnya).
e. Urgency jawaban
3. Menentukan apakah pertanyaan akan dijawab, ditolak, atau dirujuk ke tempat lainnya.
4. Jika diputuskan untuk menjawab pertanyaan maka dimulai penelusuran pustaka secara
sistematis :
a. Mengolongkan tipe pertanyaan
b. Mulai mencari sumber informasi dari referensi tersier
c. Jika tidak ada beralih ke referensi sekunder
d. Berusaha mendapatkan artikel asli tidak hanya abstrak saja
e. Kadang diperlukan p[endapat lisan dari para pakar terkait
5. Mengevaluasi referensi yang relevan dengan pertanyaan.
6. Menjawab pertanyaan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh si penanya.
Pada umumnya, ada dua jenis metode utama untuk menjawab pertanyaan informasi,
yaitu komunikasi lisan dan tertulis. Apoteker, perlu memutuskan kapan suatu jenis dari
metode itu digunakan untuk menjawab lebih tepat daripada yang lain. Dalam banyak
situasi klinik, jawaban oral biasanya diikuti dengan jawaban tertulis.
a. Jawaban tertulis
Jawaban tertulis merupakan dokumentasi informasi tertentu yang diberikan kepada
penanya dan menjadi suatu rekaman formal untuk penanya dan responden. Keuntungan

dari format tertulis adalah memungkinkan penanya untuk membaca ulang informasi
jawaban tersebut dan secara pelan-pelan mengintepretasikan jawaban tersebut.
Komunikasi tertulis juga memungkinkan apoteker untuk menerangkan sebanyak mungkin
informasi dalam keadaan yang diinginkan tanpa didesak penanya. Jawaban tertulis dapat
mengakomodasi tabel, grafik, dan peta untuk memperlihatkan data secara visual (Siregar,
2004).
b. Jawaban lisan (oral)
Setelah ditetapkan bahwa jawaban lisan adalah tepat, apoteker perlu memutuskan
jenis metode jawaban lisan yang digunakan. Ada dua jenis metode menjawab secara
lisan, yaitu komunikasi tatap muka dan komunikasi telepon. Komunikasi tatap muka lebih
disukai, jika apoteker mempunyai waktu dan kesempatan untuk mendiskusikan temuan
informasiobat dengan penanya (Siregar, 2004).
7. Membuat ringkasan jawaban.
8. Menghubungi penanya dalam waktu yang telah dijanjikan.
9. Menyiapkan jawaban, semua jawaban harus berdasarkan referensi yang dapat dipercaya,
tidak menebak atau menduga.
10. Menindaklanjutin jawaban.
Mendokumentasikan secara baik, fungsinya untuk mengurangi beban kerja jika ada
pertanyaan serupa akan lebih cepat mencari jawabannya.Setiap pertanyaan yang
diajukan kepada PIO akan didokumentasikan didalam formulir pelayanan informasasi obat
yang memuat:
a. Tanggal dan waktu menerima pertanyaan.
b. Nama penanya ( instansi Bag./Bid./SMF).
c. Penanya

(dokter.

Perawat,

Apoteker,

pasien/keluarga,

kelompok,tim,kepanitian,penelitian)
d. Uraian pertanyaan.
1. Mengetahui pertanyaan sebenarnya

dan

lain-lain

seperti

Menetapkan informasi obat sebenarnya yang dibuthkan penanya adalah langkah pertama
dalam menjawab suatu pertanyaan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggolongkan jenis
penaya, seperti dokter, apoteker, perawat, dan sebagainya, serta informasi latar belakang
yang perlu (Siregar, 2004).
Penggolongan penanya dapat dilakukan secara otomatis jika penanya memperkenalkan
dirinya, tetapi kadang-kadang apoteker harus menanyakan, terutama jika berkomunikasi
melalui telepon. Dengan mengetahui jenis penanya, akan membantu apoteker dalam
memberikan jawaban yang benar-benar ia perlukan (Siregar, 2004).
2. Mengumpulkan data khusus pasien
Apabila pertanyaan melibatkan seorang pasien, adalah penting untuk memperoleh
informasi latar belakang tentang pasien sebelum menjawab suatu pertanyaan yang
berbeda-beda sesuai dengan jenis pertanyaan. Umur, bobot, jenis kelamin biasanya
diperlukan. Kekhususan tentang kondisi medis pasien seperti diagnosis sekarang, fungsi
ginjal dan hati, sering diperlukan. Dalam beberapa kasus diperlukan juga sejarah obat
yang lengkap (Siregar, 2004).
Pentingnya pengambilan sejarah obat pasien telah benar-benar dimengerti oleh dokter
dan perawat. Apoteker harus memiliki keterampilan dalam pengambilan sejarah obat
berdasarkan dua alasan dari sudut pandang penyediaan informasi obat, yaitu:
a. Untuk memberi apoteker pengertian yang lebih baik tentang permintaan informasi
sebenarnya dengan keadaan permintaan, agar apoteker dapat mencari dan menyediakan
jawaban.
b. Untuk memungkinkan apoteker menyajikan jawaban yang lebih berguna dan sesuai untuk
keadaan klinik tertentu (Siregar, 2004)
3. Pencarian secara sistemik
Pada dasarnya, dalam suatu pencarian sistemik, apoteker harus berusaha memperoleh
jawaban dalam referensi acuan tersier terlebih dahulu. Jawaban biasanya dapat diperoleh,
tetapi jika jawaban tidak dapat, apoteker bergerak ke langkah berikutnya (Siregar, 2004).

Pencarian informasi secara sistematik dapat meminimalkan kesempatan melalaikan


sumber penting dan kehilangan perspektif. Masalah ini dapat terjadi terutama pada
apoteker tanpa pengalaman praktid atau tanpa ketrampilan klinik lanjutan. Tanpa
menghiraukan pengalaman, biasanya apoteker dapat memperoleh manfaat dari membaca
pendahuluan atau latar belakang persiapan, terutama jika apoteker tidak memahami
pertanyaan (Siregar, 2004).
e. Klasifikasi pertanyaan (identifikasi obat, stabilitas, ketercampuran, farmakokinetik,
farmakodinamik, dosis, efek samping, interaksi oabt, toksisitas dan lain-lainnya).
f. Kegunaan

(Dokter,perawatan,

pasien,Apoteker,dan

lain-lain

seperti,kelompok,tim,kepanitiaan ,peneliti),
1. Dokter
Dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat serta regimennya
untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari apoteker agar ia dapat
membuat keputusan yang rasional. Informasi obat diberikan langsung oleh apoteker,
menjawab pertanyaan dokter melalui telepon atau sewaktu apoteker menyertai tim medis
dalam kunjungan ke ruang perawatan pasiean atau dalam konferensi staf medis (Siregar,
2004).
2. Perawat
Dalam tahap penyampaian atau distribusi oabt kepada PRT dalam rangkaian proses
penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat tentang berbagai aspek oabt
pasien, terutama tentang pemberian obat. Perawat adalah profesional kesehatan yaang
paling banyak berhubungan dengan pasien karena itu, perawatlah yang pada umumnya
yang pertama mengamati reaksi obat merugikan atau mendengar keluhan mereka.
Apoteker adalah yang paling siap, berfungsi sebai sumber informasi bagi perawat.
Informasi yang dibutuhkan perawat pada umumnya harus praktis, seera, dan ringkas,
misalnya frekuensi pemberian dosis, metode pemberian obat, efek samping yang

mungkin, penyimpanan obat, inkompatibilitas campuran sediaan intravena, dll (Siregar,


2004).
3. Pasien
Informasi yang dibutuhkan pasien, pada umumnya adalah informasi praktis dan kurang
ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan profesional kesehatan. Informasi
obat untuk PRT diberikan apoteker sewaktu menyertai kunjungan tim medik ke ruang
pasien; sedangkan untuk pasien rawat jalan, informasi diberikan sewaktu penyerahan
obatnya. Informasi obat untuk pasien pada umumya mencangkup cara penggunaan obat,
jangka waktu penggunaan, pengaruh makanan pada obat, penggunaan obat bebas
dikaitkan dengan resep obat, dan sebagainya (Siregar, 2004).
4. Apoteker
Setiap apoteker suatu rumah sakit masing-msaing mempunyai tugas atau fungsi tertentu,
sesuai dengan pendalaman pengetahuan pada bidang tertentu. Apoteker yang langsung
berinteraksi dengan profesional kesehatan dan pasien, seing menerima pertanyaan
mengenai informasi obat dan pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya dengan segera,
diajukan kepada sejawat apoteker yang lebih mendalami pengetahuan informasi obat.
Apoteker apotek dapat meminta bantuan informasi obat dari sejawat di rumah sakit
(Siregar, 2004).
5. Kelompok, Tim, Kepanitiaan, dan Peneliti
Selain kepada perorangan, apoteker juga memberikan informasi obat kepada kelompok
profesional kesehatan, misalnya mahasiswa, masyarakat, peneliti, dan kepanitiaan yang
berhubungan dengan obat. Kepanitiaan di rumah sakit yang memerlukan informasi obat
antara lain, panitia farmasi dan terapi, panitia evaluasi penggunaan obat, panitia sistem
pemantauan kesalahan obat, panitia sistem pemantauan dan pelaporan reaksi obat
merugikan, tim pengkaji penggunaan oabt retrospektif, tim program pendidikan in-service
dan sebagainya (Siregar 2004).

g. Referensi yang digunakan untuk menjawab pertanyaan.


h. Respon yang diberikan (verbal, tulisan, dan lain-lainnya).
i. Jawaban pertanyaan.
j. Nama pemberi jawaban dan waktu menjawab.
Sumber Daya Manusia (SDM) pelayanan informasi obat hendaknya memadai dan
terlatih secara khusus, mampu menjalankan organisasi dan mengelola administrasi
informasi obat, mampu melakukan kegiatan-kegiatan penelitian, mampu menggunakan
strategi

yang

effisien

dalam

menelusuri

sumber-sumber

informasi

obat

dan

menyampaikan secara efektif informasi kepada pengguna pelayanan informasi obat.


G. PRIORITAS UNTUK PERMINTAAN INFORMASI OBAT
Sasaran utama pelayanan informasi obat adalah penyempurnaan perawatan pasien
melalui terapi obat yang rasional. Oleh karena itu, prioritas harus diberikan kepada
permintaan informasi obat yang paling memoengaruhi secara langsung pada perawatan
pasien. prioritas untuk permintaan informasi obat diurutkan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Penanganan/pengobatan darurat pasien dalam situasi hidup atau mati


Pengobatan pasien rawat tinggal dengan masalah terapi obat khusus
Pengobatan pasien ambulatori dengan masalah terapi obat khusus
Bantuan kepada staf profesiional kesehatan untuk penyelaesaian tanggung jawab mereka
Keperluan dari berbagai fungsi PFT
Berbagai proyek penelitian yang melibatkan penggunaan obat
Adapun simulasi pelayanan informasi obat adalah penanya berada di ruang PIO,
petugas mengisi formulir mengenai klasifikasi, nama penanya dan pertanyaan yang
ditanyakan, setelah itu petugas menanyakan tentang informasi latar belakang penyakit
mulai muncul, petugas melakukan penelusuran sumber data dengan mengumpulkan data
yang ada kemudian data dievaluasi. Formulir jawaban didokumentasikan oleh petugas lalu
kemudian dikomunikasikan kepada penanya. Informasi yang dikomunikasikan petugas
kepada penanya akan menimbulkan umpan balik atau respon penanya (Juliantini dan
Widayati, 1996)

Anda mungkin juga menyukai