Anda di halaman 1dari 15

MAKNA ISLAM SERTA KARAKTER ISLAM SEBAGAI

AGAMA FITRAH DAN TAUHID

KELOMPOK 1
KELAS FK 2

ANGGOTA KELOMPOK :
1.
2.
3.
4.

Ahmad Barrun N (102010101045)


Endivia Rizki M (102010101046)
Indah Kusuma W (102010101048)
Puspita Sari
(102010101050)

UNIVERSITAS JEMBER
2010
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga tim
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Makna Islam serta Karakter Islam Sebagai
Agama Fitrah dan Tauhid. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah agama
sebagai mata kuliah umum pada semster ganjil ini.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
tim penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen mata kuliah agama yaitu Ibu Dra. Hj.
Mukniah, M.Pd. yang telah membimbing dan memberi petunjuk kepada kami dalam menyusun
makalah ini. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu selama proses penyusunan
makalah ini.
Penyusun juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan
skripsi ini. Akhirnya seluruh anggota tim penulis berharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Jember, 7 Oktober 2010

Tim Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul......................................................................................
Prakata..................................................................................................
2

Halaman
i
ii

Daftar Isi...............................................................................................
Isi :
1.
Makna Islam Dari Berbagai Sisi.....................................
2.
Islam sebagai Agama Fitrah............................................
3.
Islam Sebagai Agama Tauhid..........................................6
Kesimpulan...........................................................................................
Daftar Pustaka.......................................................................................

iii
1
2
11
12

1. MAKNA ISLAM DARI BERBAGAI SISI


2.
3.

Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata Islam berasal

dari bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama
yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman
Allah SWT, Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah,
sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati (Q.S. 2:112). Dari
kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang
yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada
ajaran-Nya .
4.

Hal senada dikemukakan Hammudah Abdalat. Menurut beliau,

kata Islam berasal dari akar kata Arab, SLM (Sin, Lam, Mim) yang berarti
kedamaian, kesucian, penyerahan diri, dan ketundukkan. Dalam pengertian
religius, menurut Abdalati, Islam berarti penyerahan diri kepada kehendak
Tuhan dan ketundukkan atas hukum-Nya (Submission to the Will of God and
obedience to His Law). Hubungan antara pengertian asli dan pengertian religius
dari kata Islam adalah erat dan jelas. Hanya melalui penyerahan diri kepada
kehendak Allah SWT dan ketundukkan atas hukum-Nya, maka seseorang dapat
mencapai kedamaian sejati dan menikmati kesucian abadi.
5.

Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan, Islam

adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh
Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan
berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Cukup banyak ahli dan ulama yang
berusaha merumuskan definisi Islam secara terminologis. KH Endang Saifuddin
Anshari mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan tentang agama
Islam, lalu menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan bahwa, agama
Islam adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk
disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada
dan ianya adalah suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur
1

segala perikehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan:


dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya.
6. ISLAM SEBAGAI AGAMA FITRAH
7.
8.

Secara bahasa, kata fitrah berasal dari bahasa Arab (bentuk qi-yasan

mashdar dari kata fathara-yafthuru-fathran), artinya sifat, asal kejadian, kesucian,


kemuliaan, bakat, atau agama yang benar. Yang semuanya disandarkan kepada manusia.
Sedangkan menurut istilah, ada beberapa pendapat yang mendefinisikan fitrah, di
antaranya Asy-Syarif Ali bin Ahmad al-Jurjani, sebuah karakter yang senang dalam
menerima agama; Raghib al-Isfahani, kekuatan dan kemampuan yang diberikan Allah
SWT kepada manusia untuk mengenal iman; menurut ahli fikih, karakter yang bersifat
suci dan asli yang dibawa manusia sejak lahir; sedangkan ahli filsafat mengartikan
sebagai suatu persiapan sebelum lahir ke dunia untuk melaksanakan hukum Allah SWT
yang akan mampu membedakan antara hak dan batil.
9.
Kalau kita merujuk pada definisi fitrah tadi (menurut bahasa dan istilah),
tentu fitrah yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia tidak terbatas nilai dan
jumlahnya. Lebih jauhnya lagi akan menghasilkan pemahaman tentang makna fitrah
yang lebih luas, karena segala suatu yang berhubungan dengan proses penciptaan
(fathara) manusia dinamakan fitrah. Legalitas pemberian fitrah pun tidak hanya ketika
lahir ke dunia - tetapi terus berlaku tetap (istamara)- bahkan akan sampai pada hari
perhitungan di alam akhirat kelak. Tentu ini berlaku bagi umatnya nabi Muhammad
saw., yakni dengan adanya syafaat udzma dari Beliau (Q.S. al-Isra (17) 79).
10.
Fitrah diungkap dalam hadits dengan berbagai bentuk dan makna.
Masing-masing hadits memiliki topik dan latar belakang yang berbeda-beda. Penulis di
sini hanya menampilkan beberapa hadits dalam bentuk terjemah ke bahasa Indonesia.
Walaupun kuantitasnya masih relatif minim, namun diperkirakan mampu mengkaver
keseluruhan kata-kata fitrah dalam hadits. Adapun hadits yang dimaksud Hadits pertama
: Seseorang tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari
Abu Hurairah). Hadits kedua : Sepuluh macam yang termasuk dalam kategori fitrah,
yaitu (1) mencukur kumis, (2) membiarkan jengggot panjang dan lebat, (3) bersikat
gigi/bersiwak, (4) menghirup air untuk membersihkan hidung, (5) menggunting kuku,
(6) membersihkan jari-jemari, (7) mencabut bulu ketiak, (8) mencukur bulu kelamin, (9)

membersihkan kencing dengan air, dan (10) berkumur-kumur.(H.R. Muslim dan Abu
Dawud dari Aisyah). Hadits ketiga: Zakat fitrah itu diwajibkan sebanyak segantang
kurma atau segantang gandum bagi setiap orang Muslim merdeka maupun budak, lakilaki maupun wanita. (H.R. Al-Bukhari dari Ibn Umar). Hadits keempat: Shalat Idul
Adha itu sebanyak dua rakaat, shalat Idul Fitri itu sebanyak dua rakaat, shalat orang
yang berpergian itu sebanyak dua rakaat, shalat Jumat itu sebanyak dua rakaat. (H.R.
Al-NasaI dari Umar ibn al-Khattab). Hadits kelima : Doa Nabi SAW: Ya Allah yang
menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui yang gaib dan yang tampak, Tuhan
segala sesuatu dan sesuatu itu menjadi milik-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Engkau. Aku minta perlindungan-Mu dari keburukan hawa nafsu dan syaitan
serta kroni-kroninya. (H.R. Al-Darimiy dari Abu Hurairah).
11.
Berkenaan beberapa hadits di atas, maka dapat dipahami sebagai berikut :
Pertama, hadits pertama berkaitan dengan masalah takdir dan status anak yang
dilahirkan, baik dari keturunan mukmin atau kafir. Konsep fitrah pada hadits ini
mengisyaratkan adanya takdir manusia atau status anak yang dilahirkan selalu dalam
kondisi kemusliman. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan kondisi psikis
manusia yang berpotensi untuk ber-Islam. Kedua, hadits kedua berkaitan dengan topik
kesucian fisik manusia. Dalam hadits di atas, terdapat sepuluh macam yang termasuk
bagian kefitrian (kesucian). Barangsiapa yang mau melaksanakan sepuluh macam itu
maka fisiknya berada dalam kefitrian. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan
kondisi kesucian fisik manusia. Ketiga, hadits ketiga berkaitan dengan topik zakat
fitrah, yaitu zakat yang dikeluarkan oleh setiap umat Islam pada bulan Ramadhan, baik
kecil maupun besar, laik-laki maupun perempuan, budak maupun merdeka. Zakat ini
berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia, dan dapat menambah kesempurnaan ibadah
puasa. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan jenis zakat yang diwajibkan
untuk setiap individu Muslim agar jiwanya menjadi fitri (suci). Keempat, hadits
keempat berkaitan dengan topik shalat pada hari raya Idul Fitri. Pelaksanaan shalat Idul
Fitri dua rakaat. Konsep fitrah pada hadits ini lebih dekat diartikan dengan jenis shalat
sunnat yang dilakukan setiap satu bulan syawal. Kelima, hadits kelima berkaitan dengan
topik salah satu nama (asma) Allah, yaitu al-Fathir. Nabi Muhammad SAW ketika
berdoa terkadang menyebut asma Allah dengan al-Fathir, yaitu Zat Pencipta, sebab
hanya Allah yang menciptakan jagat raya ini. Konsep fitrah di sini diartikan dengan
penciptaan.
3

12.

Islam adalah ajaran fitrah di mana Nabi Muhammad diutus untuk

menjelaskan ajaran kebenaran-Nya dan memperlihatkan tuntunan-Nya, serta


mengembalikan manusia kepada jalan yang lurus setelah manusia dikuasai oleh
bujuk rayu setan. (Ghazali, 2003 : 14). 1
13.

Para ulama telah memberikan petunjuk bagaiman cara kita

mempertahankan fitrah sehingga tetap berada dalam Islam secara kaffah. Imam
Ghazali misalnya memberikan tahapan dalam membersihkan jiwa ini. Pertama,
dengan jalan Muraqabah. Jiwa yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT
sehingga ia selalu takut berbuat segala sesuatu yang menimbulkan
kemarahannya.Al Mujaadillah ayat 7 yang berbunyi, tidakkah kamu perhatikan,
bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi?
tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan
tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada
(pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian
Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah
mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
14.

Yang

kedua,

dengan

jalan

Muahadah.

Mengingat

dan

mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana
sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan
ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, Bukankah Aku ini
Rabbmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi
saksi.(QS. 7:172). Allah juga mengingatkan dalam surat Al Baqarah:83 yang
berbunyi dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu
bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah
kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada
kamu, dan kamu selalu berpaling.
1 Yusuf Al-Qardhawi, Krakteristik Islam, Kajian Analitik( Surabaya :Risalah Gusti.1995)

15.

Yang ketiga, dengan jalan Muhasabah (evaluasi). Jiwa yang

selalu memperhitungkan dan mempertimbangkan segala amalannya dalam


perspektif kehidupan akhirat seperti firman Allah SWT dalam surat Al Hasyr
ayat ke-18 yang berbunyi, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Melakukan muhasabah (evaluasi)
terhadap dirinya atas kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti
kebaikan dan keburukan yang ia miliki, agar ia tidak terperanjat kaget dengan
sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya pada hari kiamat. Dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : Orang cerdas (berakal)
ialah orang yang menghisab dirinya dan berbuat untuk setelah kematian. Dan,
orang yang lemah ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya
dan berangan-angan kepada Allah. (At-Tirmidzi)
16.

Yang keempat, dengan jalan Muaqabah. Selain mengingat

perjanjian (muahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk


mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh
dalam mengiqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri).
Dengan kata lain jiwa yang selalu menghukum dirinya apabila terlanjur khilaf
berbuat Maksiyat (salah). Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada kita
seperti terlihat dalam surat Al Hajj: 78 yang berbunyi, dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam
(Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu
semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.
17.

Yang kelima, dengan jalan Mujahadah. Jiwa yang selalu

sungguh-sungguh dalam beramal ibadah. Mujahadah adalah upaya keras untuk

bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang


dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya.
18.
19.
20. ISLAM SEBAGSAI AGAMA TAUHID
21.
22.

Tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wataala dengan beribadah

kepadaNya semata. Ibadah merupakan tujuan penciptaan alam semesta ini. Allah
Subhanahu wataala berfirman, "Dan Aku (Allah) tidah menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzaariyaat: 56). Maksudnya, agar
manusia dan jin mengesakan Allah Subhanahu wataala dalam beribadah dan
mengkhususkan kepadaNya dalam berdoa.
23.
Tauhid berdasarkan Al-Quranul Karim ada tiga macam, yaitu Tauhid
Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid AsmaWa Shifat. Tauhid Rububiyah adalah
pengakuan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wataala adalah Tuhan dan Maha
Pencipta. Orang-orang kafir pun mengakui macam tauhid ini. Tetapi pengakuan tersebut
tidak menjadikan mereka tergolong sebagai orang Islam. Allah Subhanahu wataala
berfirman, "Dan sungguh, jika Kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang
menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab,Allah." (Az-Zukhruf: 87). Berbeda
dengan orang-orang komunis, mereka mengingkari keberadaan Tuhan. Dengan
demikian, mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah.
24.
Tauhid Uluhiyah ialah mengesakan Allah Subhanahu wataala dengan
melakukan berbagai macam ibadah yang disyariatkan. Seperti berdoa, memohon
pertolongan kepada Allah, thawaf, menyembelih binatang kurban, bernadzar dan
berbagai ibadah lainnya. Macam tauhid inilah yang diingkari oleh orang-orang kafir.
Dan ia pula yang menjadi sebab perseteruan dan pertentangan antara umat-umat
terdahulu dengan para rasul mereka, sejak Nabi Nuh alaihissalam hingga diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahualaihi wasallam.
25.
Dalam banyak suratnya, Al-Quranul Karim sering memberikan anjuran soal
tauhid uluhiyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdoa dan meminta hajat khusus
kepada Allah semata. Dalam surat Al-Fatihah misalnya, Allah berfirman, "Hanya
Kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah Kami memohon
pertolongan." (Al-Fatihah: 5). Maksudnya, khusus kepadaMu (ya Allah) kami

beribadah, hanya kepadaMu semata kami berdoa dan kami sama sekali tidak memohon
pertolongan kepada selainMu. Tauhid uluhiyah ini mencakup masalah berdoa sematamata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-Quran, dan tunduk berhukum
kepada syariat Allah. Semua itu terangkum dalam firman Allah, "Sesungguhnya Aku
ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku." (Thaha:
14).
26.

Tauhid AsmaWa Shifat adalah beriman terhadap segala apa yang

terkandung dalam Al-Quranul Karim dan hadits shahih tentang sifat-sifat Allah yang
berasal dari penyifatan Allah atas DzatNya atau penyifatan Rasulullah Subhanahu
wataala. Beriman kepada sifat-sifat Allah tersebut harus secara benar, tanpa tawil
(penafsiran), tahrif (penyimpangan), takyif (visualisasi, penggambaran), tathil
(pembatalan,

penafian),

tamtsil

(penyerupaan),

tafwidh

(penyerahan,

seperti

yang.banyak dipahami oleh manusia) .


27.
Misalnya tentang sifat al-istiwa (bersemayam di atas), an-nuzul (turun), al-yad
(tangan), al-maji (kedatangan) dan sifat-sifat lainnya, kita menerangkan semua sifatsifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-istiwa misalnya, menurut keterangan
para tabiin sebagaimana yang ada dalam Shahih Bukhari berarti al-uluw wal irtifa
(tinggi dan berada di atas) sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah
Shallallahualaihi wasallam. Allah berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuura: 11).2
28.
Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah secara benar adalah dengan
tanpa Tahrif (penyimpangan), Tathil (pembatalan, penafian), Takyif (visualisasi,
penggambaran), Tamtsil (penyerupaan), Tafwidh (penyerahan). Tathil (pembatalan,
penafian) adalah mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada
di atas langit, sebagian kelompok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap
tempat. Takyif (visualisasi, penggambaran) adalah menvisualisasikan sifat-sifat Allah.
Misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di atas Arsy itu begini
dan begini. Bersemayamnya Allah di atas Arsy tidak serupa dengan bersemayamnya
para makhluk, dan tak seorang pun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah
semata.
29.

Tamtsil (penyerupaan) adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan

sifat-sifat makhlukNya. Karena itu kita tidak boleh mengatakan, "Allah turun ke langit,
2 Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan II/17-18.

sebagaimana turun kami ini". Hadits tentang nuzul-nya Allah (turunnya Allah) ada
dalam riwayat Imam Muslim. Sebagian orang menisbatkan tasybih (penyerupaan) nuzul
ini kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini adalah bohong besar. Kami tidak
menemukan keterangan tersebut dalam kitab-kitab beliau, justru sebaliknya, yang kami
temukan adalah pendapat beliau yang menafikan tamtsil dan tasybih.
30.
Tafwidh (penyerahan), menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif
(hal, keadaan) tidak pada maknanya. Al-Istiwa misalnya berarti al-uluw (ketinggian),
yang tak seorang pun mengetahui bagaimana dan seberapa ketinggian tersebut kecuali
hanya Allah. Tafwidh (penyerahan): Menurut Mufawwidhah (orang-orang yang
menganut paham tafwidh) adalah dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan.
Pendapat ini bertentangan dengan apa yang diterangkan oleh ulama salaf seperti Ummu
Salamah, Rabiah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua
sependapat bahwa, "Istiwa (bersemayam di atas) itu jelas pengertiannya, bagaimana
cara/keadaannya itu tidak diketahui, iman kepadanya adalah wajib dan bertanya
tentangnya adalah bidah."
31.
Wahyu dalam hal ini al Quran dan akal disatu sisi dalam Islam, sejatinya tidak
mengenal adanya dikotomisasi. Kebenaran yang didapat melalui akal dalam titik
tertentu bisa mempunyai kedudukan yang setingkat dengan wahyu. Ayat falam annahu
la illaha ilallah (ketahuilah, tidak ada Tuhan selain Allah) menunjukan bahwa beriman
itu perlu ilmu (yakni melalui proses mengetahui), jadi ilmu dalam Islam adalah
mendahului iman. Maka dari itu pintu masuknya bukanlah keimanan yang didasari oleh
taqlid buta, tapi kesaksian yang penuh kesadaran (shahadah). Proses kesadaran
(shahadah) inilah yang sebetulnya memberikan ruang bagi akal untuk mencapai
kebenaran setingkat wahyu. Akal dalam hal ini melalui metode induksi (observasi dan
eksperimen) (Ibn Ruyd), ia bisa membaca tanda-tanda alam dan menemukan kebenaran
didalamnya. Wahyu (al Quran) adalah inspirasi, didalamnya terdapat hukum-hukum
dan pengetahuan yang bersifat umum dan statmen-statmen final seperti dalam ayat
mengenai masa dalam bumi, bahwa matahari beredar juga layaknya bumi pada jalurnya.
Begitu juga dalam masalah hukum fiqh mengenai tatanan sosial dan bermasyarakat, dan
perlu diingat fiqh tidak sekaku yang dibayangkan orang, ia punya mekanisme seperti
qiyas yang memungkinkan fiqh itu berkembang, maka tak heran dimasa-masa dinasti
Abasyiah, bisa terjadi

32.

adanya perbedaan masalah fiqh dimasing-masing daerah, misal masalah pajak,

zakat dan sistem pemerintahan. Nah, pada titik tersebut akal memainkan peranannya
yang sangat besar.
33.
Pada metode-metode argumentasi dari Ibn Rusyd dalam sanggahannya
terhadap Tahafut-nya al Ghozali lebih menekankan pembuktian akal daripada metafisika
atau mistik al Ghozali dalam mencapai kebenaran. Bagi Ibn Ruyd, al-Quran terdapat
banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk
memahami segala yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada proses berfikir yang
menggunakan metode logika analogi (qiyas al-aqli), maka metode yang terbaik adalah
metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas alfiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode demonstrasi
(qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-mawjudat), Hasil
dari proses berfikir demonstratif ini adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan
dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran.
34.

Akal secara fitrahnya juga sudah tersetting untuk mendeskripsikan

tentang kebenaran. Ia dapat mengetahui perbedaan perbuatan buruk dan baik, cinta dan
benci, kebohongan dan kebenaran, yang bathil dan yang haq, dan kata Ibn Taimiyah
seandainya Allah tidak menurunkan agamanya, manusia dengan akalnya bisa
mengetahui hakikat tentang Tuhannya dan kebenaran itu sendiri. Namun, secara fitrah
juga manusia punya kelemahan, lemah dalam menahan nafsu sehingga mudah tertipu
daya, suka tergesa-gesa, tidak cermat, dan lain-lain. Maka disinilah urgensi Wahyu,
sebab manusia tidak hanya perlu mengetahui hakikat kebenaran namun juga perlu
ditunjukan jalan atas kebenaran itu sendiri. Wajar jikalau kemudian Ibn Taimiyah
maupun Ibn Hazm memposisikan Aqal sebagai instrument syarat atau watak gharizah,
hal ini perlu digaris bawahi. Sebab ketika aqal difungsikan sebagai gharizah maka ia
bisa sejajar dengan wahyu. Gharizah akal akan menjadi syarat bagi segala macam ilmu,
apakah Rasional ataupun Irrasional, dan dalam kedudukannya sebagai syarat, akal tidak
dapat bertentangan dengan wahyu. Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh
dari gharizah tadi akal difahami sebagai pengetahuan akal yang jelas dan pasti
kebenarannya (aqli qati).
35.
Di antara

bukti

kesempurnaan

Islam

adalah,

bagaimana

ia

mengagungkan kaum wanita dan menempatkannya dalam posisi dan derajat yang sangat

mulia. Islam memandang, bahwa hanya kualitas ketakwaanlah yang patut menjadi
barometer kemuliaan seseorang di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tak ada yang
lain. Bukan kekayaan, kedudukan, ketampanan, apalagi jenis kelamin.
36.
Allah menciptakan manusia, lelaki dan wanita, sebagai makhluk yang
mulia dan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Ia diciptakan dalam sebaik-baik ciptaan.
Namun sayang, kadang manusia sendiri yang merendahkan martabatnya dan
melecehkan kedudukannya. Seperti, sikap sebagian mereka yang menzhalimi,
mensubordinasi, dan memandang sebelah mata posisi wanita dalam kehidupannya
dengan justifikasi dalil agama. Padahal dalam pandangan Islam, sesungguhnya wanita
adalah sama mulianya dengan pria. Wanita adalah saudara, mitra, dan sahabat sejati
yang menemani dalam menciptakan hari-hari bahagia dan penuh kesuksesan.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.

KESIMPULAN

10

51.

Islam adalah agama yang paling murni diantara agama agama

yang lain. Inti dari semuanya adalah fitrah dan tauhid itu sendiri. Dari islamlah
semua bersumber. Islam pada hakikatnya membawa ajaran ajaran yang bukan
hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan
manusia. Ajaran islam itu sendiri bersumber pada Al Quran dan hadits yang
disampaikan oleh Nabi besar Muhammad Saw. Sehingga pengembangan ilmu
islam oleh para ulama dapat sampai hari ini menjadi pegangan muslim di dunia.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68. DAFTAR PUSTAKA

11

69. Arandi, Agus.dkk,"Islam Rahmatan Li Al'Alamin", Surabaya, Unesa


University Press, 2002.
70. Ali, Mochammad Daud,"Pend Agama Islam", Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 1998.
71. Ali, Mochammad Daud, "Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum & tata
hukum islam di Indonesia", Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
72. Nasution, Harun, "Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya", UI Press, 1974.
73. Yusuf, Ali Anwar, "Wawasan Islam", Bandung, CV. Pustaka Setia, Catatan
Pertama, 2002.
74. Yusuf Al-Qardhawi, Krakteristik Islam, Kajian Analitik, Risalah Gusti,
Surabaya, 1995.Islam ditinjau dari berbagai Aspek Jilid II (Harun Nasution).
75. (MKDU) Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi.
76. Pola-pola Hidup Muslim Aqidah.
77. Asas-asas Hukum Islam (H. Safadus).

12

Anda mungkin juga menyukai