Anda di halaman 1dari 15

Dwi Kewarganegaraan dan Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia

Susi Dwi Harijanti, PhD


A. Pendahuluan
Kewarganegaraan merupakan salah satu unsur yang selalu dikaitkan dengan negara bangsa
(nation state).1 Akan tetapi sebagai akibat perubahan yang terjadi saat ini, relasi antara
kewarganegaraan dengan negara bangsa tertentu mulai dipersoalkan. Misalnya, isu mengenai
kewarganegaraan Uni Eropa. Transformasi relasi ini terjadi karena dua sebab, terutama yang
berkaitan dengan kondisi yang saling berhubungan (interconnected conditions), yaitu (1)
perubahan ciri kedudukan dan kelembagaan dari negara bangsa sebagai akibat berbagai
bentuk globalisasi yang terjadi mulai tahun 1980-an, serta (2) munculnya aktor-aktor baru
dalam hubungan internasional selain negara.2
Sebagai akibat globalisasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan orang atau kelompok
secara lebih mudah, fenomena migrasi menjadi semakin nyata yang menyebabkan munculnya
diaspora di berbagai negara.3 Menjadi tidak bermasalah apabila perpindahan dengan maksud
menetap yang diikuti dengan perpindahan kewarganegaraan hanya menimbulkan akibat
hilangnya salah satu kewarganegaraan. Akan tetapi fenomena yang muncul adalah adanya
tuntutan pemberlakukan dwi kewarganegaraan. Tuntutan ini menimbulkan pertanyaan
mengenai loyalitas dan kesetiaan (loyalty and allegiance) yang biasanya melekat pada konsep
kewarganegaraan. Haruskah konsep loyalitas dan kesetiaan ini diberi tafsir baru dan
digantikan dengan konsep connectedness?
Sebagai negara dimana warga negaranya mulai melakukan migrasi, Indonesia menghadapi
masalah yang sama. Beberapa tahun belakangan diaspora Indonesia mulai menggagas
pemikiran mengenai kemungkinan penggunaan dwi kewarganegaraan. Menyikapi hal
tersebut, DPR mulai melakukan kajian-kajian dwi kewarganegaraan dari berbagai perspektif,
seperti Hukum Tata Negara, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, serta Hukum
Internasional.
Terdapat beberapa masalah dalam TOR yang disusun oleh Tim Setjen DPR dalam rangka
penyusunan konsep Naskah Akademik dan RUU Kewarganegaraan Ganda: (1) bagaimana
urgensi pengaturan kewarganegaraan ganda dalam undang-undang tersendiri?; bagaimana
konsep kewarganegaraan ganda? ; (3) siapa saja yang dapat memperoleh kewarganegaraan
ganda?; (4) bagaimana negara memberikan perlindungan dan fasilitas dalam penerapan
kewarganegaraan ganda di Indonesia?; (5) bagaimana tujuan dan manfaat kewarganegaraan
ganda bagi rakyat Indonesia?: (6) Bagaimana pemberian kewarganegaraan ganda dari
perspektif hak asasi manusia (HAM)?; (7) bagaimana tata cara untuk memperoleh
kewarganegaraan ganda?; dan (8) bagaimana tata cara kehilangan kewarganegaraan ganda?
Beberapa permasalahan di atas, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konsep kewarganegaraan, serta permasalahanpermasalahan yang bersifat teknis. Masalah no. 1, misalnya, perlu diawali dengan
mendiskusikan konsep kewarganegaraan ganda terlebih dahulu, serta masalah praktikal yang
dihadapi dari penerapan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU
Kewarganegaraan), khususnya yang berkaitan dengan masalah konflik status
kewarganegaraan (conflict of nationality/citizenship) atau fenomena kewarganegaraan
terkini. Dari pembahasan tersebut, baru dapat diketahui apakah kita perlu mengatur dan

menerapkan kewarganegaraan ganda atau tidak di Indonesia. Jika memang perlu diatur, ada
tiga kemungkinan: apakah diatur dengan UU tersendiri, perubahan parsial atau bahkan
penggantian terhadap UU Kewarganegaraan. Jika memang kewarganegaraan ganda (secara
penuh) akan diadopsi dalam hukum kewarganegaraan Indonesia, pilihan pilihan tersebut
tentu saja akan mengubah politik hukum kewarganegaraan Indonesia yang selama ini
didasarkan pada prinsip kewarganegaraan tunggal, dan hanya mengakui kewarganegaraan
ganda terbatas pada anak dari perkawinan campuran.
Sedangkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan mekanisme pemberian
kewarganegaraan ganda merupakan persoalan teknis yang dapat diselesaikan setelah
persoalan konsep dapat diselesaikan.
B. Kewarganegaraan Ganda: Konsep dan Perkembangan
Kewarganegaraan ganda secara konseptual dapat dimaknai secara sempit dan luas. Dalam ari
sempit, kewarganegaraan ganda mengacu konsep dwi kewarganegaraan (dual citizenship/
nationality) pada status seseorang yang memiliki dua kewarganegaraan dari dua negara yang
berbeda. Dalam arti luas, kewarganegaraan ganda diperluas tidak hanya terbatas pada dwi
kewarganegaraan, namun juga lebih dari 2 banyak kewarganegaraan (plural/multiple
citizenship/ nationality). 4 Kemungkinan besar, masalah yang sedang kita diskusikan bukan
mengacu pada kewarganegaraan ganda dalam arti luas, namun dalam arti sempit, yaitu Dwi
Kewarganegaraan. Namun demikian, oleh karena pengakuan kewarganegaraan ganda pada
kebanyakan negara berupa dwi kewarganegaraan 5 , maka istilah kewarganegaraan ganda
lebih banyak diasosiasikan dalam bentuk dwi kewarganegaraan.
Dwi kewarganegaraan secara umum dapat muncul karena penerapan asas- asas
kewarganegaraan dari segi kelahiran secara timbal balik (interplay), antara asas ius sanguinis
dan ius soli atau naturalisasi seorang warga negara suatu negara ke negara lain. Namun,
sepanjang sejarah masyarakat modern, masalah Dwi Kewarganegaraan atau kewarganegaraan
ganda pada umumnya, menurut Spiro, dalam makna terbaiknya, lebih dianggap sebagai suatu
anomali, dan paling buruk, dianggap sebagai suatu kekejian (abomination)6, atau bahkan ada
yang menyebutnya sebagai the greatest evil.7 Hal ini tidak terlepas dari filosofi
kewarganegaraan yang didasarkan pada doktrin kesetiaan abadi (perpetual allegiance) yang
sebenarnya merupakan masa feodalisme. 8 Memiliki dua kewarganegaraan, apalagi
kewarganegaraan ganda, dianggap sebuah ketidaksetiaan/ tidak loyal (disloyalty) pada suatu
negara, walaupun klaim tersebut lebih bersifat mekanisme untuk membuat malu (shaming
mechanism), dari pada sanksi hukum.9 Namun dalam perkembangannya, banyak negara
menerapkan dan mengakui kewarganegaraan ganda, baik implisit maupun eksplisit. Catatan
Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) pada tahun 2006, dari 198 negara, 53 negara
memperbolehkan dwi-kewarganegaraan dengan tidak adanya atau hampir tidak adanya
larangan khusus, 5 negara memperbolehkan dwikewarganegaraan secara umum dengan
cukup banyak larangan khusus, 37 negara tidak memperbolehkan dwi-kewarganegaraan
tetapi dengan cukup banyak kekecualian khusus, dan 15 negara tidak memperbolehkan dwikewarganegaraan dengan tidak adanya atau hampir tidak adanya kekecualian khusus.10
Faktor utama pengakuan atas dwi kewarganegaraan mulai meluas adalah globalisasi dan
transnasionalisasi11, terutama gelombang migrasi internasional yang tak terbendung, baik
karena alasan-alasan yang bersifat sukarela maupun keterpaksaan. Kewarganegaraan ganda
dalam konteks globalisasi, di satu sisi dapat dipandang contoh internal globalization

(globalisasi internal) dimana aturan-aturan negara bangsa merespon ikatan-ikatan berbagai


warga negara lintas batas negara12, di sisi lain, kewarganegaraan ganda juga dapat dipandang
sebagai an incident of globalization (kecelakaan dari globalisasi) 13 , mengingat berbagai
persoalan yang berujung pada klaim atas kewarganegaraan ganda akibat migrasi internasional
yang begitu masif dan tak terhindarkan.
Selain globalisasi dan transnasionalisasi, klaim terhadap Dwi Kewarganegaraan juga
didasarkan pada pengakuan HAM yang mengglobal yang telah diakui oleh hampir semua
negara. Walaupun hak atas kewarganegaraan ganda secara universal tidak dijamin sebagai
hak asasi, karena dibatasi hanya untuk satu kewarganegaraan,14 namun bukti di berbagai
negara, pentingnya dwi kewarganegaraan disituasikan dalam kerangka pikir hak asasi
manusia.15 Klaim kewarganegaraan ganda sebagai hak asasi juga tidak terlepas dari
tanggung jawab realisasi HAM yang bertumpu pada rezim negara dalam merealisasikan hak
asasi individu. Oleh karena sebagian besar jaminan hak asasi bersifat universal, maka
kegagalan atau ketidakoptimalan suatu negara dalam merealisasikan hak asasi warga
negaranya, menjadi dasar bagi seorang warga negara untuk mendapatkan kewarganegaraan
dari negara lainnya, tanpa kehilangan kewarganegaraan asalnya, agar hak asasinya dapat
direalisasikan secara penuh. Konsekuensi dari prinsip bahwa HAM tidak terbagi (indivisible),
saling berkaitan (interrelated) dan saling bergantung (interdependent)16, menyiratkan
kebebasan untuk memilih kewarganegaraan, termasuk klaim atas Dwi Kewarganegaraan,
pasti berkorelasi dengan upaya merealisasikan hak asasi lainnya, misalnya hak atas
penghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, atau bahkan hak atas rasa
aman.
Walaupun pengakuan terhadap dwi kewarganegaraan mulai meluas, namun sebagian negara
selalu mengkaitkan pengakuan tersebut berdasarkan ikatan khusus terhadap negaranya.
Artinya, pengakuan Dwi kewarganegaraan sangat dimungkinkan untuk diberikan dengan
kriteria tertentu. Kriteria tersebut selalu dihubungkan dengan ikatan dengan negara, warga
negara atau komunitas politiknya dalam arti luas (misalnya ikatan bagi negara-negara
persemakmuran Inggris). Sebagai contoh, walaupun Amerika Serikat (AS) mengakui dwi
kewargenegaraan karena asas ius soli dalam hal kelahiran anak di wilayahnya (tanpa melihat
kewarganegaraan orang tuanya, kecuali tidak berlaku bagi diplomat) atau cara lain, namun
apabila warga negara AS melakukan naturalisasi atas permohonan sendiri atau wakilnya ke
negara lain atau mengucapkan janji setia (oath of allegiance) ke negara asing, menyebabkan
kehilangan status sebagai warga negara AS. 17 Bahkan El Savador yang mengakui
kewarganegaraan ganda dalam arti luas (banyak kewarganegaraan/ mulitiple citizenship),
namun pengakuan kewarganegaraan ganda tersebut hanya dimungkinkan bagi warga negara
yang mendapatkan kewarganegaraan El Savador karena kelahiran (by birth), dan tidak
berlaku warga negara karena naturalisasi.18
C. Masalah Yang Kita Hadapi dan Perlukah Pengakuan dan Pengaturan Dwi
Kewarganegaraan?
Beberapa tuntutan dwi kewarganegaraan di Indonesia sangat beragam alasannya. Pertama,
tuntutan awal berasal dari eks-WNI yang dicabut status WNI-nya karena dianggap terlibat
Peristiwa 1965, melalui penarikan parpor Indonesia. Pencabutan kewarganegaraan tersebut
sebenarnya tidak sah, karena dilakukan secara sewenang-wenang, karena persoalan politis,
dan menyebabkan banyak WNI, terutama para mantan mahasiswa ikatan dinas, diplomat atau

staf Perwakilan RI menjadi exile. Kedua, tuntutan dwi kewarganegaraan dari diaspora
Indonesia, baik eks-WNI atau WNI yang menetap di luar negeri yang telah berasimilasi
dengan negara lain dan warga negaranya (misalnya menikah dengan WNA, memiliki
keturunan di luar negeri). Di samping itu, ada satu masalah lagi yang walaupun tidak
berujung pada tuntutan konkrit atas dwi kewarganegaraan, namun terkait dengan penerapan
ketentuan pengakuan status dwi kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran.
Untuk tuntutan pertama di atas, sebenarnya Pemerintah RI berdasarkan UU
Kewarganegaraan (UU No. 12 Tahun 2006) dapat menggunakan prosedur memperoleh
kembali kewarganegaraan RI dengan prosedur yang sederhana, yaitu memberikan pernyataan
untuk memperoleh kembali kewarganegaraan RI, namun dengan syarat melepaskan status
kewarganegaraan yang terakhir mereka dapat. Kebanyakan dari eks- WNI kategori pertama
ini, tidak menggunakan prosedur ini dengan alasan yang beragam, salah satunya karena
keberatan untuk melepaskan kewarganegaraan asingnya, karena dapat berakibat hilangnya
hak sebagai warga negara dari negara tersebut, terutama berkaitan dengan hak-hak
kesejahteraan, misalnya pencabutan jaminan sosial. Selain itu, peristiwa penarikan Paspor RI
yang dapat dianggap sebagai pencabutan kewarganegaraan secara sewenang-wenang
(arbitratry), juga mengarah pada tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.
Sebagian dari eks-WNI ini bahkan menginginkan Pemerintah RI untuk memohon maaf
secara resmi atas pelanggaraan HAM yang terjadi (pencabutan kewarganegaraan RI).19
Tuntutan tersebut tentu saja sangat berkaitan dengan political will rezim yang berkuasa.
Masalah kedua, tuntutan dwi kewarganegaraan didasarkan pada kelompok diaspora
Indonesia di berbagai negara, baik yang sudah tidak berstatus WNI maupun WNI yang
menetap di negara lain. Sepamahaman saya, tuntutan mereka agak berbeda dengan tuntutan
eks-WNI kategori pertama di atas. Para diaspora Indonesia sebenarnya menginginkan agar
keberadaannya di luar negeri dapat diberdayakan untuk kepentingan Negara RI. Di sisi lain,
ada pula keinginan mereka untuk dapat menanamkan investasi sekaligus memberdayakan
potensi ekonomi mereka untuk masyarakat Indonesia, yang selama ini hanya dipandang dari
segi remitansi. Tentu saja pemahaman yang lebih tepat mengenai alasan tuntutan diaspora
Indonesia atas dwi kewarganegaraan perlu dielaborasi dari pandangan komunitas tersebut.
Masalah ini pun sebenarnya cukup mendapatkan jalan keluar berdasarkan UU No. 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian, yang menjamin eks-WNI mendapatkan status sebagai
penduduk dengan serta merta, tanpa harus memenuhi syarat jangka waktu bertempat
tinggal di Indonesia, dengan berbagai fasilitas keimigrasian yang memudahkan eks-WNI
keluar masuk Indonesia, misalnya izin masuk kembali. Menjadi penduduk Indonesia
(permanent resident), tidak menjadikan eks-WNI tersebut kehilangan kewarganegaraan
existing-nya. Namun demikian, dengan status sebagai penduduk Indonesia, eks-WNI
memiliki hak yang sama dengan orang asing dengan status penduduk Indonesia. Artinya,
hampir tidak ada perbedaan antara penduduk yang merupakan eks-WNI dengan penduduk
yang merupakan orang asing yang tidak memiliki ikatan khusus (special tie) dengan
Indonesia. Bahkan secara pragmatis, status sebagai penduduk Indonesia membuat eks-WNI
dan keturunannya tidak memiliki beberapa hak mendasar layaknya WNI, seperti hak milik
atas tanah, dan hak untuk memilih dalam Pemilu, dan sebagainya. Bagi diaspora berstatus
sebagai WNI, persoalan jangka waktu perizinan keimigrasian, seperti izin masuk kembali
yang memiliki jangka waktu tertentu, menjadi hambatan tersendiri ketika tuntutan
mobilitasnya di luar negeri sangat tinggi, dan niat untuk berkontribusi terhadap kemajuan

Indonesia juga tinggi. Tuntutan Dwi Kewarganegaraan dari komunitas diaspora Indonesia
mencerminkan konsep kewarganegaraan yang bukan hanya masalah status hukum
(citizenship as status), namun juga mencerminkan konsep kewarganegaraan sebagai identitas
dan perasaan yang bersifat kolektif 20 dari komunitas ini sebagai bagian dari Bangsa
Indonesia.
Masalah lainnya sebagaimana dikemukakan di atas, terkait dengan penerapan ketentuan
pengakuan Dwi Kewarganegaraan bagi anak dari perkawinan campuran. Adanya ketentuan
yang membatasi waktu pendaftaran anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum UU
Kewarganegaraan diundangkan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia21, menjadi
persoalan tersendiri saat batas waktu tersebut sudah terlampaui. Anak dari perkawinan
campuran yang semula diposisikan sebagai orang asing dan berdasarkan UU
Kewarganegaraan (2006) juga mendapatkan status WNI, menjadi kehilangan haknya atas
status WNI akibat prosdur administratif yang tidak memberikan jalan keluar (exit way). Hal
ini mengindikasikan bahwa masalah kewarganegaraan ganda bagi anak pun, perlu ditata
kembali pada level undangundang. Artinya, tanpa adanya tuntutan baru atas Dwi
Kewarganegaraan pun, kita perlu mengatur ulang ketentuan kewarganegaraan ganda bagi
anak dari perkawinan campuran.
Tuntutan dwi kewarganegaraan pada umumnya, khususnya dari komunitas diaspora
Indonesia perlu direspon dengan cermat. Tuntutan ini perlu dimaknai bahwa komunitas
diaspora Indonesia telah membuka diri kepada bangsa-nya (Indonesia), untuk menjaring
kembali dan memberdayakan berbagai potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang
berpindah ke negara lain. Karena persoalan keterbatasan kemampuan internal Indonesia
dalam memberdayakan SDM potensial di dalam negeri, sebagian WNI menetap di luar negeri
demi mendapatkan penghidupan dan apresiasi yang lebih baik atas kemampuannya. Padahal
mereka tidak pernah merasa melepas ikatan kebangsaannya dengan Indonesia, walaupun
menetap di luar negeri atau bahkan telah berganti kewarganegaraan. Pada negara-negara yang
mengakui Dwi Kewarganegaraan, umumnya tingkat partisipasi imigran dalam Pemilu di
negara tersebut sangat rendah.22 Artinya, sebagian besar imigran, baik yang berstatus
sebagai penduduk tetap atau warga negara, tetap lebih terikat dengan negara asalnya,
dibandingkan negara barunya.
Dwi kewarganegaraan sebenarnya bukan merupakan satu-satunya faktor keberhasilan
memberdayakan potensi diaspora bagi negara asalnya. Negara asal perlu mengupayakan
berbagai tindakan aktif untuk menjaring potensi diaspora demi kepentingan negara asal dan
masyarakatnya. Artinya, tanpa upaya serius untuk memaintaince hubungan dengan diaspora,
termasuk dengan negara tempat tinggalnya, negara asal sangat mungkin tidak mendapatkan
apa-apa, kecuali berharap semua diaspora berkontribusi secara sukarela bagi negara asalnya.
Namun demikian, Dwi Kewarganegaraan memudahkan para diaspora untuk memelihara
hubungan-hubungan dengan negara asalnya 23, dari berbagai hubungan yang bersifat
rasional, seperti transfer ilmu pengetahuan, investasi di bidang sektor-sektor potensial, hingga
hubungan hubungan yang bersifat emosional dengan keluarga dan masyarakat asalnya.
Secara umum, pengaturan dwi kewarganegaraan dalam hukum kewarganegaraan Indonesia
menjadi penting untuk diakomodasi. Bahkan dari perspektif hak asasi manusia dalam hukum
nasional, Dwi kewarganegaraan di Indonesia mendapatkan ruang pengaturan yang lebih luas,
mengingat jaminan hak atas kewarganegaraan dalam UUD 1945 Perubahan, tidak dibatasi

pada klaim atas satu kewarganegaraan, namun hak untuk memilih kewarganegaraan.24
Artinya, pilihan satu atau dua kewarganegaraan, sangat berkaitan politik hukum nasional kita
untuk merespon globalisasi, melindungi hak asasi manusia, termasuk mengantisipasi
implikasi dari migrasi internasional, sekaligus memberdayakan sumber daya manusia
Indonesia di luar negeri untuk kepentingan nasional.
Kembali pada masalah akomodasi dwi kewarganegaraan dalam hukum kewarganegaraan
Indoensia, menurut saya hal tersebut dapat dilakukan sepanjang pengakuan tersebut memiliki
kualifikasi. Kualifikasi yang dimaksud terkait dengan kriteria subjek yang diakui memiliki
kewarganegaraan Indonesia dan secara simultan memiliki kewarganegaraan asing. Menurut
saya, oleh karena asas kewarganegaraan yang menjadi dasar politik hukum kewarganegaraan
Indonesia adalah ius sangunis, maka pengakuan dwi kewarganegaraan harus didasarkan pada
asas tersebut. Artinya, dwi kewarganegaraan hanya dimungkinkan bagi orang yang
kewarganegaraan asalnya (sejak kelahiran) adalah Indonesia (original acquisition25), dan
kemudian mendapatkan status kewarganegaraan asing di kemudian hari, termasuk bagi
keturunannya (generasi kedua) yang sebelumnya telah dijamin oleh UU Kewarganegaraan
(2006). Dengan demikian, status Dwi Kewarganegaraan dikecualikan bagi orang asing yang
mendapatkan status WNI melalui perolehan kewarganegaraan secara derivatif (derivative
acquisition)26, seperti naturalisasi atau karena perkawinan campuran.
Penegasan kualifikasi di atas menjadi penting, untuk menghindari upaya-upaya
penyelundupan hukum bagi orang asing yang memiliki maksud terselubung tertentu,
misalnya status WNI yang diperoleh karena perkawinan campuran demi memperoleh hak
tertentu yang hanya dimiliki oleh WNI, seperti hak milik atas tanah. Ketentuan ini mungkin
dapat dikecualikan: perkawinan campuran dengan WNI dapat menyebabkan orang asing
menjadi mendapatkan status WNI, tanpa melepaskan status kewarganegaraan asingnya,
namun perlu diatur bahwa yang bersangkutan akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia
apabila telah bercerai, dan hak-haknya sebagai WNI tidak berlaku lagi.
Kualifikasi pengakuan dwi kewarganegaraan dengan kriteria tersebut juga penting untuk
mencegah Negara menjadikan status WNI sebagai komoditas (commodification of
citizenship), misalnya Kamboja pada tahun 1995 memberikan status temporary Cambodian
nationality kepada para pengusaha dan penanam modal Cina yang telah mengajukan
permohonan menjadi warga negara Kamboja.27 Walaupun dasar kewarganegaraan tidak lagi
bertumpu pada doktrin perpetual allegiance (kesetiaan abadi), namun konsep
kewarganegaraan sebagai dasar konstitutif Negara tetap berlaku. Warga negara adalah
anggota tetap dari suatu negara, sehingga upaya upaya untuk menjadikan status
kewarganegaraan sebagai komoditas, tidak sejalan dengan konsep kewarganegaraan yang
multifaset, yang tidak hanya sekedar status, namun sebagai identitas dan perasaan yang
bersifat kolektif, dan aspek-aspek lainnya.28
D. Alternatif: UU Tersendiri, Perubahan UU Kewarganegaraan atau Penggantian UU
Kewarganegaraan?
Masalah selanjutnya, apakah perlu mengatur Dwi Kewarganegaraan dalam undang-undang
tersendiri? UU Kewarganegaraan saat ini tidak mengatur pengakuan Dwi Kewarganegaraan
di luar anak. Tentu saja pengakuan Dwi Kewarganegaraan selain kepada anak dalam
konstruksi UU Kewarganegaraan saat ini tidak diperkenankan/ bertentangan dengan asas dan
kaidah dalam UU tersebut. Namun pengaturan Dwi Kewarganegaraan dalam perspektif

politik hukum, diposisikan sebagai ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan. Oleh
karena itu, Dwi Kewarganegaraan perlu diatur sekurang-kurangnya pada level undangundang, mengingat perubahan UUD secara umum lebih sulit dilakukan, dibandingkan dengan
perubahan undang-undang.
Sepengetahuan saya, tidak ada negara yang memiliki undang-undang khusus tentang dwi
kewarganegaraan. Pengakuan dan pengaturan dwi kewarganegaraan merupakan sub-sistem
dalam hukum kewarganegaraan, sehingga materi tersebut biasanya diatur dalam Konstitusi
atau undang-undang tentang kewarganegaraan. Pengaturan dwi kewarganegaraan secara
khusus dalam UU tersendiri dapat dianggap sebagai inkonsistensi politik hukum
kewarganegaraan, kecuali jika UU Kewarganegaraan telah mengatur ketentuan pokok tentang
dwi kewarganegaraan. Oleh karena UU Kewarganegaraan tidak mengakui dwi
kewarganegaraan selain bagi anak, maka UU Kewarganegaraan tersebut yang perlu diubah.
Jika disepakati bahwa status Dwi kewarganegaraan harus didasarkan pada status WNI
sebagai kewarganegaraan asal, maka Dwi kewarganegaraan modal tersebut merupakan
pengecualian dari asas kewarganegaraan tunggal yang dianut UU Kewarganegaraan
(2006). Dalam hal ini, walaupun mengubah politik hukum dari UU Kewarganegaraan, namun
pengaturan dwi kewarganegaraan tidak mengubah prinsip pokok politik hukum
kewarganegaraan Indonesia yang masih didasarkan pada prinsip kewarganegaraan tunggal.
Artinya, perubahan yang dilakukan terhadap UU Kewarganegaraan adalah perubahan parsial,
bukan perubahan komprehensif/ penggantian. Namun secara teknis, jika perubahan tersebut
mengubah sebagian besar batang tubuh UU Kewarganegaraan, maka tidak menutup
kemungkinan dilakukan pengantian UU Kewarganegaraan dengan yang baru.
E. Apa Saja Yang Perlu Diatur?
Dalam Perubahan UU Kewarganegaraan, beberapa hal pokok mengenai Dwi
Kewarganegaraan yang perlu diatur mencakup:
1. Subjek dwi kewarganegaraan (WNI, eks WNI dengan status kewarganegaraan asing, anak
dari perkawinan campuran antara WNI dengan WNA); 2. Kondisi-kondisi yang dapat
diperbolehkan perolehan dwi kewarganegaraan (termasuk tata caranya), seperti memperoleh
kewarganegaraan dari suatu negara asing yang juga mengakui Dwi Kewarganegaraan melalui
kelahiran, pewarganegaraan/ naturalisasi, perkawinan campuran/ antar bangsa. 3. Kondisikondisi yang menyebabkan kehilangan kewarganegaraan Indonesia yang memiliki dwi
kewarganegaraan (termasuk tata caranya), seperti melakukan pengkhianatan negara, dan
alasan-alasan kehilangan kewarganegaraan Indonesia, selain larangan dwi kewarganegaraan.
4. Ketentuan tentang kerja sama dengan negara-negara yang menerima dwi kewarganegaraan
untuk memastikan dwi kewarganegaraan diakui secara timbalk balik, termasuk ketentuan
tentang hak dan kewajiban tertentu dari pemegang status dwi kewarganegaraan, seperti
perjanjian masalah pajak (untuk menghindari persoalan double taxation). 5. Ketentuan
peralihan yang mengatur proses pengakuan dwi kewarganegaraan, misalnya pendaftaran bagi
eks-WNI, anak dari hasil perkawinan campuran berkewarganegaraan asing yang kehilangan
kewarganegaraan Indonesia sebelum UU tersebut diundangkan.

dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang
yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA),
atau sebaliknya
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki
kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada
anak tersebut
5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan
yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum
kawin
8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status
kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya
tidak diketahui
10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki
kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena
ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak
yang bersangkutan
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian
ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui
secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA
berdasarkan penetapan pengadilan
3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI,
yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan
pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai
berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah
Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut
penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan
kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang
kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat

menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak
mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini
memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18
tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan
pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.

(http://id.wikipedia.org)
pendapat saya : Ada dua asas kewarganegaraan :
1. asas Ius Soli : Yaitu asas di mana pemberian kewarganegaraan kepada seseorang
berdasarkan tempat kelahiran.Adpun negara yang menganut asas ini : Amerika
Serikat , Argentina, Brazil, dan lain-lain.
2. asas Sanguinis : Yaitu asas di mana pemberian kewarganegaraan di berikan kepada
seseorang berdasarkan keturunan.Contoh negara yang menganut asas ini : Cina,
Malaysia , dan lain-lain.
Asas ini mengakibatkan seseorang kadang Apatride , kadang juga Bipatride.
Mengapa hal ini dapat terjadi ?
Di katakan Bipatride apabila :
seorang ibu yang berasal dari negara penganut asa ius sanguinis melahirkan
seorang anak di negara yang menganut asas ius soli. Sehingga kedua negara itu
sama-sama memberikan kewarganegaraannya kepada anak tersebut. Dan
sebaliknya , di katakan Apatride , yaitu :
Apabila ada seorang ibu yang negaranya menganut asas ius soli, melahirkan
seorang anak di negara yang menganut asas ius sanguinis, sehingga kedua negara
ini tak memberikan kewarganegaraannya kepada anak tersebut.
Adanya UU ini dapat memperjelas status seorang anak yang di lahirkan oleh
orang tua yang kadang salah satunya adalah WNA.
Adapun manfaat adanya dwikewarganegaraan di era globalisasi ini :

Seorang warga negara ganda dapat bebas membuka usaha di negara lain

alih teknologi lebih bebas , tak terkendala

adanya perlindungan yang jangkauannya lebih luas, dengan memiliki dwi


kewarganegaraan ia mendapatkan perlindungan yang lebih dari negaranegara yang mengakuinya.

Di samping itu ada dampak yang kurang baik , di antaranya :

Jika seseorang memiliki kewarganegaraan ganda maka ia ada di dalam naungan


kebijakan-kebijakan pemerintahan yang kadang antara dua negara itu berbeda.

dalam hal ideologi, antara satu negara dengan yang lain kadang berbeda

Kita akan bicara mengenai pentingnya kewarganegaraan bagi diaspora. Tamu kita adalah Hamdan Hamedan,
seorang diaspora Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Saat ini Hamdan Hamedan menjabat sebagai
Presiden Indonesian Diaspora Network Northern California, AS.
Menurut Hamdan, diaspora adalah perantau. Seseorang yang pergi dari tanah kelahirannya ke luar negeri,
kemudian menetap, mungkin bersekolah atau bekerja. Ada yang masih mempertahankan kewarganegaraannya,
ada yang mungkin sudah tidak WNI. Diaspora juga refer to anak dari keturunan WNI yang berada di luar negeri,
atau mantan WNI di luar negeri. Salah satu kendala atau kesulitannya yaitu mendapatkan beasiswa ataupun
pekerjaan tertentu yang mungkin mengharuskan diaspora tersebut mengubah kewarganegaraannya.
Indonesia bisa mendapatkan banyak manfaat jika menerapkan dwi kewarganegaraan bagi diaspora. Pertama,
hasil kajian menunjukkan bila suatu negara memberlakukan dwi kewarganegaraan maka jumlah remitansi yang
masuk ke negara tersebut akan meningkat. Saat ini jumlah remitansinya sekitar US$ 8,4 miliar per tahun.
Sebuah studi yang dilakukan Profesor David Leblanc dari University of Virginia mengenai remitansi, bukan
khusus untuk Indonesia, menyatakan peningkatan remitansi bisa mencapai 73%.
Hal lain yang juga sangat penting adalah pemberlakuan dwi kewarganegaraan sangat banyak memfasilitasi para
expert atau para ahli yang sebelumnya menetap di luar negeri, kembali ke negara asal. Namun hal yang sangat
penting bahwa dwi kenegaraan adalah sebuah upaya merangkul para diaspora di luar negeri, dan mengakui
mereka sebagai extended nations, bagian dari sebuah negara di luar negeri.
Berikut wawancara Perspektif Baru dengan narasumber Hamedan Hamdan dan sebagai pewawancara Hayat
Mansur.
Saat ini banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja dan tinggal di luar negeri. Mereka disebut
dengan diaspora. Apa sebenarnya pengertian mengenai diaspora?
Singkatnya yang dimaksud diaspora adalah perantau. Seseorang yang pergi dari tanah kelahirannya ke luar
negeri, kemudian menetap, mungkin bersekolah atau bekerja. Ada yang masih mempertahankan
kewarganegaraannya, ada yang mungkin sudah tidak WNI. Diaspora juga refer to anak dari keturunan WNI
yang berada di luar negeri, atau mantan WNI di luar negeri.
Apa kendala yang dihadapi para diaspora saat ini?
Salah satu kendala atau kesulitannya yaitu mendapatkan beasiswa ataupun pekerjaan tertentu yang mungkin
mengharuskan diaspora tersebut mengubah kewarganegaraannya.
Apa arti pentingnya kewarganegaraan bagi seorang diaspora?
Menurut saya, kewarganegaraan merupakan hal penting. Namun konsep kewarganegaraan terus berubah seiring
dengan perkembangan zaman. Pada abad ke-20 kewarganegaraan dilihat sebagai identitas tunggal, kemudian
terjadi pergeseran. Kini banyak negara-negara mengadopsi, misalnya dual citizenship, dimana seorang diaspora
di luar negeri mungkin saja sudah tidak memegang paspor Indonesia. Namun dia masih tetap cinta Indonesia
dan masih tetap memberikan kontribusi secara positif kepada Indonesia. Saya melihat dari definisi
kewarganegaraan, nasionalisme, dan sumbangsihnya.
Contoh, mungkin diantara para diaspora di luar negeri ada yang sudah tidak lagi WNI, namun dia terus
mengirimkan uang setiap bulan untuk membantu keluarga dan juga melakukan sesuatu. Misalnya saat melihat di
kampungnya tidak ada sekolah, mereka membangun sekolah kecil. Saya pernah juga mendengar langsung
seorang diaspora yang membuat perpustakaan kecil di kampungnya karena sekitar 40% penduduk kampungnya
buta huruf. Kemudian juga ada yang membuat klinik kecil.

Apa konsep kewarganegaraan yang dianut Indonesia saat ini?


Saat ini kita mempunyai Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Berdasarkan UU tersebut, seseorang dapat mempunyai kewarganegaraan terbatas, khususnya anak
sampai berusia 18 tahun. Kemudian dalam waktu tiga tahun dia diharuskan memilih satu kewarganegaraan.
Apakah artinya kalau sudah di atas 21 tahun harus memiliki kewarganegaraan tunggal?
Iya, kewarganegaraan tunggal.
Lalu, apa dampaknya bagi para diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri?
Saya masih WNI, dan saya tidak berkeinginan secara pribadi memiliki kewarganegaraan lain. Ini pilihan saya
pribadi. Namun saya melihat, anak keturunan Amerika Serikat (AS) Indonesia setelah berumur 18 tahun atau
21 tahun harus memilih apakah kewarganegaraan AS atau Indonesia, dan kadang-kadang ini pilihan yang sangat
sulit bagi mereka. Itu karena mereka memiliki kecintaan yang sangat dalam terhadap Indonesia. Bahkan di
Northern California, saya menjumpai banyak sekali diaspora yang berusia 18-19 tahun yang masih bersekolah
ingin sekali mempunyai kesempatan bekerja dan tinggal di Indonesia, juga berbakti pada Indonesia. Jadi sangat
disayangkan kalau aset bangsa ini tidak bisa diklaim oleh Indonesia.
Ini kembali pada sebuah konsep yang disebut brain drain, yaitu istilah dimana seseorang yang mempunyai
kemampuan terampil dan terdidik pindah dari suatu negara, umumnya negara berkembang ke negara maju,
sehingga kapasitas SDM di negara berkembang itu hilang. Sekarang dengan adanya dwi kewarganegaraan ada
mekanisme bagi seseorang untuk kembali dan bekerja atau berbakti di Indonesia. Ini merupakan salah satu cara
yang dapat membantu reversing brain drain.
Apa mekanisme yang seharusnya ada dalam dwi kewarganegaraan ini agar diaspora bisa kembali ke
Indonesia atau tetap mengabdi dengan memberikan manfaat ke Indonesia?
Dwi kewarganegaraan yang tidak terbatas. Saat ini revisi UU No.12/2006 sudah masuk ke program legislasi
nasional (Prolegnas) dan sedang dalam proses legislasi nasional di DPR RI periode 2015-2019. Kami dari
Indonesian Diaspora Network, sedang mengupayakan naskah akademik yang akan menjembatani keinginan dwi
kewarganegaraan, dan juga proses legislasi yang berlangsung di DPR supaya ide ini bisa diuji secara teoritis dan
empiris.
Apa saja hal-hal penting dari naskah akademik yang diajukan oleh rekan-rekan Diaspora Network
mengenai dwi kewarganegaraan ini?
Pertama, kita harus mengetahui apa tujuan dari perubahan UU tersebut, yaitu mengenai advokasi mengIndonesia-kan orang Indonesia.
Apa maksudnya?
Jadi orang Indonesia yang lahir di Indonesia kemudian mungkin ia tinggal di luar negeri atau mereka akan
mendapatkan kewarganegaraan lain, namun kewarganegaraan Indonesianya tidak hilang. Kedua, mantan warga
negara Indonesia yang kehilangan warga negaranya ketika mereka mendapatkan warga negara baru juga
mendapatkan kembali kewarganegaraan Indonesianya melalui mekanisme yang sah. Ketiga, anak keturunannya
dari diaspora Indonesia baik yang WNI maupun non WNI dapat juga dimasukan ke dalam sistem tersebut.
Apakah secara otomatis semuanya dapat dimasukan ke dalam dwi kewarganegaraan?
Saya belum tahu secara jelas apakah otomatis. Sehubungan dengan hal itu naskah akademis akan dibuat. Jadi
pertama, kita harus tahu subyeknya dulu. Kedua mengapa harus diubah. Kalau diubah tentu harus ada kelebihan
atau keuntungannya. Dari sana kami mengumpulkan data-data informasi mengenai keuntungannya.

Apa saja keuntungan bagi bangsa Indonesia jika menganut sistem dwi kewarganegaraan ini?
Menurut saya, singkatnya ada tiga atau empat yang paling penting. Pertama, mengenai remitansi. Quantitative
studies menunjukkan bila suatu negara memberlakukan dwi kewarganegaraan maka jumlah remitansi yang
masuk ke negara tersebut akan meningkat.
Berapa jumlah remitansi selama ini yang disumbangkan diaspora Indonesia kepada bangsa Indonesia
selama setahun?
Jumlahnya sekitar US$ 8,4 miliar per tahun. Di Asia Tenggara yang paling tinggi Filipina mencapai lebih dari
US$ 20 miliar per tahun dan mereka memberlakukan dwi kewarganegaraan. Nomor dua Vietnam, dan ketiga
Indonesia. Vietnam sekitar US$ 10 miliar, dan Indonesia US$ 8,4 miliar. Bila Indonesia memberlakukan dwi
kewarganegaraan, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan melampui Vietnam sebagai negara kedua terbesar
pengirim remitansi.
Berapa perkiraan remitansi yang didapat kalau dwi kewarganegaraan ditetapkan di Indonesia?
Sebuah studi yang dilakukan Profesor David Leblanc dari University of Virginia mengenai remitansi, bukan
khusus untuk Indonesia, menyatakan peningkatan remitansi bisa mencapai 73%. Kalau kita menggunakan data
konservatif mengenai remitansi Indonesia saat ini sekitar US$ 8,4 miliar atau Rp 109 triliun. Kalau kita
memberikan semacam komparasi, maka jumlah tersebut kira-kira lebih besar dari anggaran pertahanan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia pada 2014, dan hampir sebesar anggaran
pendidikan di APBN Indonesia pada 2014.
Apa lagi keuntungan remitansi jika Indonesia menetapkan dwi kewarganegaraan?
Hal lain yang juga sangat penting, yaitu mengurangi brain drain tadi. Menurut studi yang telah kami telaah,
pemberlakuan dwi kewarganegaraan sangat banyak memfasilitasi para expert atau para ahli yang sebelumnya
menetap di luar negeri, kembali ke negara asal. Saya pikir hal itu sangat membantu reverse, mengembalikan
brain drain, dimana Indonesia kehilangan banyak individu hebat di luar negeri.
Berikutnya yang juga sangat penting terjadi knowledge dan skill transfer dengan adanya dwi kewarganegaraan.
Misalnya, individu-individu yang mempunyai expertise terdidik dan terlatih yang jarang dimiliki oleh negara
asal dapat mempekerjakan orang tersebut, dan memberikan tawaran yang baik untuk bekerja di negara asal, juga
memberikan kewarganegaraan yang mungkin saja sudah tidak dimiliki olehnya. Tetapi hal yang sangat penting
bahwa dwi kenegaraan adalah sebuah upaya merangkul para diaspora di luar negeri, dan mengakui mereka
sebagai extended nations, bagian dari sebuah negara di luar negeri. Jika diperhatikan maka diaspora Indonesia
sudah mempunyai sejarah sebelum 1945.
Bagaimana cerita singkatnya?
Dulu mendengar perjuangan dari para diaspora di Belanda yang saat itu dikomandani oleh Bung Hatta,
mengadvokasikan kemerdekaan Indonesia di Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Selain itu kita juga
mendengar kiprah seorang insinyur penerbangan yang handal tinggal di Jerman selama 30 tahun. Kemudian dia
dipanggil dan terpanggil kembali ke tanah airnya, tidak lama kemudian menjadi Menteri Riset dan Teknologi
(Menristek), dan akhirnya menjadi Presiden ke-3 Indonesia. Menurut data Kementerian Luar Negeri, jumlahnya
sekitar 4,7 juta jiwa. Sedangkan jumlah diaspora Indonesia diprediksikan 7-8 juta jiwa. Estimasinya
diperkirakan 2 atau 3 juta dengan menghitung juga jumlah anak, keturunan, dan sebagainya. Jadi jika saya
membayangkan diaspora di luar negeri sekitar 7-8 juta jiwa, maka itu diibaratkan seperti jumlah penduduk
provinsi Lampung atau Sumatera Selatan.
Apa yang menjadi kendala bagi pemerintah dan berbagai pihak untuk Indonesia menerapkan dwi
kenegaraan ini?

Kami terus berdiskusi dan belajar bersama pemerintah dan NGO mengkaji masalah dwi kewarganegaraan. Yang
saya ingin garis bawahi adalah ini merupakan simbiosis mutualisme. Keuntungan untuk Indonesia, keuntungan
untuk negara, keuntungan untuk diasporanya. Ketika kami mengadakan diskusi, kami juga mempelajari posisi
dan opini mereka tentang dwi kewarganegaraan. Salah satu reservasi yang kami dengar dari beberapa kelompok
adalah mengenai masalah keamanan.
Apa yang mereka khawatirkan dari masalah keamanan?
Contohnya, bila mantan WNI yang berada di luar negeri, kemudian mereka pernah terlibat dalam gerakan
separatisme, terorisme, dan sebagainya, maka ada kekhawatiran ketika dwi kewarganegaraan diberlakukan
mereka dapat mendapatkan kewarganegaraan Indonesianya kembali. Tapi kelemahan ini dapat diatasi bila kita
mempunyai suatu mekanisme mengecek, dan memverifikasi identitas dari individu yang akan melamar
kewarganegaraan Indonesia. Misalnya, ketika seseorang melamar, lalu pemerintah memasukkan datanya,
mungkin ada informasi dari Badan Intelejen Negara (BIN), Kepolisian RI, maupun Tentara Nasional Indonesia
(TNI) untuk mengecek apakah orang ini berbahaya atau tidak berbahaya.

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengatakan Program
Duta Belia Paskibraka akan dihapuskan. Program ini adalah tambahan kegiatan anggota
Paskibraka ke luar negeri yang otomatis mengharuskan peserta menyerahkan paspor. Garagara program ini, Gloria Natapraja Hamel gagal bertugas sebagai Paskibraka.
"Soal paspor ini ada hikmahnya. Program Duta Belia kan sebenarnya program tambahan. Ke
depan Paskibraka tidak boleh lagi Program Duta Belia," kata Imam di Kompleks Parlemen,
Senayan, Selasa, 16 Agustus 2016.
Baca:
Gloria Paskibraka: Darah dan Napas Saya untuk Indonesia
Gara-gara Paspor Prancis, Gloria Gagal Jadi Paskibraka
Imam mengatakan Duta Belia dilakukan sebagai hadiah setelah satu bulan anggota
Paskibraka berlatih di Jakarta. Otomatis mereka meninggalkan keluarga dan teman-teman.
"Akhirnya, kami kasih bonus ke Malaysia atau Brunei. Ke depan tidak boleh lagi," kata
Imam.

Persoalan paspor Gloria muncul sepekan setelah terpilihnya para anggota Paskibraka tingkat
pusat. Saat itu, mereka diminta menyerahkan paspor untuk pengurusan kunjungan ke
Malaysia. Ketika itulah Gloria menyerahkan paspor Prancis karena tidak memiliki paspor
Indonesia.
Imam mengatakan persoalan kewarganegaraan Gloria ini baru muncul di tahap akhir karena
seleksi administrasi Paskibaraka dilakukan di tingkat kabupaten/kota. "Pusat hanya menerima
matang," kata Imam. Nyatanya, gara-gara program itu, persoalan kewarganegaraan Gloria
mencuat karena dia dianggap warga negara Prancis.
Imam mengatakan selain akan meniadakan Duta Belia, evaluasi lain dalam perekrutan
Paskibraka ke depan adalah seleksi harus benar-benar dijalankan dengan teliti dan detail,
mulai di tingkat kabupaten/kota. "Termasuk soal paspor," ujarnya.
Meski gagal sebagai petugas pengerek bendera, menurut Imam, Gloria tetap akan dilibatkan

dalam kegiatan setelah 17 Agustus. "Kami libatkan dalam kegiatan program berikutnya, baik
anjangsana dan Duta Belia," kata Imam.

TEMPO.CO, Jakarta - Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka)


perwakilan Jawa Barat, Gloria Natapradja Hamel, 15 tahun, tidak dapat bertugas
dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan ke-71 di Istana Merdeka pada Rabu
mendatang karena dinilai memiliki masalah kewarganegaraan.
Kepala Staf Garnisun Tetap DKI Jakarta Brigadir Jenderal TNI Yoshua Pangdip
Sembiring mengatakan Gloria masih memegang paspor Prancis. "Dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 jelas dikatakan kehilangan warga negara
seseorang itu bila dia mempunyai paspor. Gloria ini sudah punya paspor. Jadi kita
harus taat dengan undang-undang," kata Yoshua seusai pengukuhan Paskibraka
2016 di Istana Negara, Senin, 15 Agustus 2016.
Baca: Menteri Yasonna: Menteri Arcandra Punya Paspor AS
Yoshua mengatakan pihak Garnisun baru mengetahui Gloria memegang paspor
Prancis sepekan lalu. Menurut dia, proses seleksi berada di Kementerian Pemuda
dan Olahraga. Setelah latihan berlangsung baru diketahui mengenai
kewarganegaraan Gloria. Dari hasil pemeriksaan, ternyata benar bahwa Gloria
memegang paspor Prancis.
Garnisun tidak ingin menyalahkan Kementerian Pemuda Olahraga yang
melakukan proses seleksi. "Tanya saja leading sector-nya. Kalau bertentangan
dengan undang-undang, harus kita tegakkan," katanya.
Baca: Presiden Jokowi Saksikan Sumpah Paskibraka 2016
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengatakan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia sudah mengeluarkan surat bahwa Gloria
berkewarganegaraan asing. Artinya, Gloria tidak bisa mengikuti upacara bendera
di Istana Merdeka pada peringatan Hari Kemerdekaan pada Rabu mendatang.
Imam menyalahkan proses seleksi di tingkat kabupaten. "Proses seleksi di
tingkat kabupaten yang tidak sempat kami pantau," katanya.

TEMPO.CO,Jakarta- Gloria Natapraja Hamel, anggota Pasukan Pengibar Bendera


Pusaka asal Jawa Barat, membuat surat pernyataan sebagai warga negara Indonesia. Gloria
tidak dapat bertugas dalam upacara kemerdekaan 17 Agustus 2016 di Istana Negara karena
bermasalah dengan kewarganegaraan dan memegang paspor Prancis.
Dalam surat tertanggal 13 Agustus 2016 tersebut, ia menuliskan empat poin pernyataannya.
Pertama, ia menjelaskan bahwa dia adalah anak dari ibunya, Ira Natapraja (warga negara
Indonesia) dengan ayahnya yang bernama Didier Hamel (warga negara Prancis). Ia
menyatakan pula, sejak lahir hingga kini, ia mengikuti pendidikan dari TK, SMP, dan SMA di
Indonesia.

Poin berikutnya, Gloria menegaskan tidak pernah memilih kewarganegaraan Prancis.


"Karena darah dan napas saya untuk Indonesia tercinta," tulisnya, Senin, 13 Agustus 2016.
Ia menuturkan, berdasarkan Pasal 4-d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang
Kewarganegaraan, dia adalah warga Indonesia. "Merujuk Pasal 21 Undang-Undang 2006
maka saya adalah warga Indonesia," ucapnya.

Pasal 21 Tahun 2006 Undang-undang tentang Kewarganegaraan menjelaskan, anak yang


belum berusia 18 tahun atau belum kawin, bila salah satu orang tuanya WNI serta berada dan
tinggal di Indonesia, dengan sendirinya berkewarganegaraan Indonesia.
Ia pun menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo kesetiaannya pada Indonesia. "Saya
warga negara Indonesia dan memilih kewarganegaraan Indonesia serta akan tetap menjadi
WNI," ujar Gloria. Alasannya, Indonesia adalah tanah tumpah darahnya.

Anda mungkin juga menyukai