Anda di halaman 1dari 11

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

A Definisi
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan sekelompok penyakit kompleks dan
heterogen yang disebabkan oleh berbagai penyebab dan dapat mengenai setiap lokasi di
sepanjang saluran nafas (WHO, 1986).
Secara klinis ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap
bagian saluran pernafasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Adapun yang termasuk
ISPA adalah influenza, campak, faringitis, trakeitis, bronkhitis akut, brokhiolitis, dan
pneumonia (Anonim, 2009)
B Klasifikasi
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan
yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya
penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti
rhinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai
bukan pneumonia (Rasmaliah, 2004).
WHO

(1986)

telah

merekomendasikan

pembagian

ISPA menurut

derajat

keparahannya. Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul, dan telah
ditetapkan dalam lokakarya Nasional II ISPA tahun 1988.
Adapun pembagiannya sebagai berikut :
a. ISPA ringan
Ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut :
Batuk
Pilek dengan atau tanpa demam
b. ISPA sedang
Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:

Pernafasan cepat.
Umur < 1 tahun : 50 kali / menit atau lebih.
Umur 1-4 tahun : 40 kali / menit atau lebih.
Wheezing (nafas menciut-ciut).
Sakit/keluar cairan dari telinga.
Bercak kemerahan (campak).
Khusus untuk bayi <2 bulan hanya dikenal ISPA ringan dan ISPA berat dengan batasan
frekuensinya nafasnya 60 kali / menit.
c. ISPA berat
Meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:
Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi.
Kesadaran menurun.
Bibir / kulit pucat kebiruan.
Stridor (nafas ngorok) sewaktu istirahat.
Adanya selaput membran difteri.
Depkes RI (1991) membagi ISPA berdasarkan atas umur dan tanda-tanda klinis yang
didapat yaitu :
a. Untuk anak umur 2 bulan - 5 tahun.
Untuk anak dalam berbagai golongan umur ini ISPA diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :
Pneumonia berat

Tanda utama :
Adanya tanda bahaya, yaitu tak bisa minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, serta gizi buruk.
Adanya tarikan dinding dada ke belakang. Hal ini terjadi bila paru-paru menjadi
kaku dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik nafas.
Tanda-tanda lain yang mungkin ada :
Nafas cuping hidung
Suara rintihan
Sianosis (pucat)
Pneumonia (tidak berat)
Tanda :
Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
Disertai nafas cepat :
Lebih dari 50 kali / menit untuk usia 2 bulan 1 tahun.
Lebih dari 40 kali / menit untuk usia 1 tahun 5 tahun.
Bukan Pneumonia
Tanda :
Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
Tak ada nafas cepat :
Kurang dari 50 kali / menit untuk anak usia 2 bulan 1 tahun.

Kurang dari 40 kali / menit untuk anak usia 1 tahun 5 tahun.


b. Anak umur kurang dari 2 bulan
Untuk anak dalam golongan umur ini, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
Pneumonia berat
Tanda :
Adanya tanda bahaya yaitu kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, wheezing, demam atau dingin.
Nafas cepat dengan frekuensi 60 kali / menit atau lebih, atau
Tarikan dinding dada ke dalam yang kuat.
Bukan Pneumonia
Tanda :
Tidak ada nafas cepat.
Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
C Etiologi
Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari 90% untuk
ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya lebih kecil. Dalam
Harrisons Principle of Internal Medicine disebutkan bahwa penyakit infeksi saluran nafas
akut bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring
hampir 90% disebabkan oleh viral, sedangkan infeksi akut saluran nafas bagian bawah
hampir 50% diakibatkan oleh bakteri di mana Streptococcus Pneumonia adalah yang
bertanggung jawab untuk kurang lebih 70-90%, sedangkan Stafilococcus Aureus dan H.

Influenza sekitar 10-20%. Saat ini telah diketahui bahwa infeksi saluran pernafasan akut ini
melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut (Anonim, 2009).
D Faktor Resiko
Menurut WHO beberapa faktor yang telah diketahui mempengaruhi pneumonia dan
kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup, imunisasi tidak lengkap,
defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan hunian, udara dingin, jumlah kuman
yang banyak di tenggorokan, terpapar polusi udara oleh asap rokok, gas beracun dan lainlain.
Faktor-faktor resiko yang berperan dalam kejadian ISPA pada anak adalah sebagai
berikut:
1. Faktor host (diri)
a. Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun,
terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada
usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut(Anonim,
2009).
b. Jenis kelamin
Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana angka
kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di negara Denmark
(Anonim, 2009).
c. Status gizi
Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama dikenal, kedua
keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi yang
lainnya. Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi pathogen lebih kuat sehingga

menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah
satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi
anak (Anonim, 2009).
d. Status imunisasi
Pada sebuah penelitian mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan
peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA (Anonim, 2009).
e. Pemberian suplemen vitamin A
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa pertumbuhannya, daya
tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan
untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi (Anonim, 2009).
f. Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama
kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai
sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja
secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif
melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran
pernafasan atas (Anonim, 2009).
2. Faktor lingkungan
a. Rumah
Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung
yang dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang
berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga
dan individu (Anonim, 2009).
b. Kepadatan hunian (crowded)

Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat
diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003)
membuktikan bahwa kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna
prevalensi ISPA berat (Anonim, 2009).
c. Status sosioekonomi
Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah
mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat (Anonim, 2009).
d. Kebiasaan merokok
Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai kemungkinan terkena
ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu
dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua
merokok (Anonim, 2009).
e. Polusi udara
Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain
adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara
biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap
tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah
terjadinya ISPA anak (Rasmaliah, 2004).
E Patofisiologi dan Patogenesis
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu
tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak
lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Anonim, 2009).

Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan
stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus
yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan
mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan
gejala. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk (Anonim,
2009).
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat
infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme
perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan
bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak
tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan
dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk
yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan
dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan
infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak
(Anonim, 2009).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain
dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke
saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas
bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan
atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan
pneumonia bakteri (Anonim, 2009).
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis
saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang sebagian besar
terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun
saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas
system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada
saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori

IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas
(Anonim, 2009).

Cacing masuk ke dalam tubuh manusia lewat makanan atau minuman yang tercemar telurtelur cacing. Umumnya, cacing perut memilih tinggal di usus halus yang banyak berisi
makanan. Meski ada juga yang tinggal di usus besar. Penularan penyakit cacing dapat lewat
berbagai cara, telur cacing bisa masuk dan tinggal dalam tubuh manusia. Ia bisa masuk lewat
makanan atau minuman yang dimasak menggunakan air yang tercemar. Jika air yang telah
tercemar itu dipakai untuk menyirami tanaman, telur-telur itu naik ke darat. Begitu air
mengering, mereka menempel pada butiran debu. Telur yang menumpang pada debu itu bisa
menempel pada makanan dan minuman yang dijajakan di pinggir jalan atau terbang ke
tempat-tempat yang sering dipegang manusia. Mereka juga bisa berpindah dari satu tangan
ke tangan lain. Setelah masuk ke dalam usus manusia, cacing akan berkembang biak,
membentuk koloni dan menyerap habis sari-sari makanan. Cacing mencuri zat gizi, termasuk
protein untuk membangun otak.

Jenis jenis Cacing :

Cacing gelang : Setiap satu cacing gelang memakan 0,14 gram karbohidrat dan 0,035
protein per hari.
Cacing cambuk : setiap satu cacing cambuk menghabiskan 0,005 milimeter darah per hari
Cacing tambang : Setiap satu cacing tambang minum 0,2 milimeter darah per hari.

Tanda dan gejala berdasarkan jenis cacing

Cacing gelang. Cacing betinanya yang panjangnya kira-kira 20-30 cm ini mampu
bertelur 200.000 telur per harinya. Dalam waktu lebih kurang 3 minggu telur ini akan
berisi larva yang bersifat infektif, yang dapat menjadi sumber penularan jika secara tidak
sengaja mencemari makanan/minuman yang kita konsumsi. Cacing ini hidup sebagai
parasit dalam usus halus, sehingga akan mengambil nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh
kita dan menimbulkan kerusakan pada` lapisan usus tersebut. Akhirnya timbullah diare
dan gangguan penyerapan sari-sari makanan tersebut. Bahkan pada keadaan yang berat,
larva dapat masuk ke paru sehingga membutuhkan tindakan operatif.

Cacing cambuk (Trichuris trichiura). Cacing ini juga menghisap sari makanan yang
kita makan. Dia menghisap darah dan hidup di dalam usus besar. Cacing betinanya bisa
bertelur 5 ribu-10 ribu butir per hari. Biasanya infeksi cacing ini menyerang pada usus
besar. Infeksinya sering menimbulkan perlakaan usus, karena kepala cacing dimasukkan
ke dalam permukaan usus penderita. Pada infeksi yang ringan biasanya hanya timbul
diare saja. Tetapi pada infeksi yang berat, hampir pada sebagian besar permukaan usus
besar dapat ditemukan cacing jenis ini. Akibatnya diare yang terjadi juga relatif berat dan
dapat berlangsung terus menerus. Karena juga dapat menyebabkan perlukaan usus, maka
anemia sebagai komplikasi perdarahan merupakan akibat yang tidak begitu saja dapat
dianggap ringan. Inilah sebetulnya akibat-akibat infeksi cacing yang tidak pernah kita
perkirakan selama ini dan proses yang merugikan itu berlangsung terus tanpa kita sadari.
Infeksi cacing biasanya menimbulkan anemia.

Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Inilah cacing


yang paling ganas, karena ia menghisap darah. Cacing betinanya bisa bertelur 15 ribu-20
ribu butir per hari. Penularannya cepat, karena larva cacing tambang sanggup menembus
kulit kaki dan selajutnya terbawa oleh pembuluh darah ke dalam usus. Cacing dewasa
bertahan hidup 2-10 tahun. Cacing tambang ini menimbulkan perlukaan pada permu-kaan
usus, sehingga perdarahan dapat terjadi secara lebih berat dibanding dengan infeksi
cacing jenis lainnya. Perdarahan yang lebih berat ini disebabkan karena mulut (stoma)
cacing mengerat permukaan usus. Bahkan satu ekor cacing saja dapat menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,0050,34 cc sehari. Mengingat itu semua, maka infeksi
cacing tambang merupakan penyebab anemia yang paling sering ditemukan pada anakanak, sehingga dapat mempengaruhi daya tahan tubuhnya dan menurunkan prestasi
belajarnya. Telur cacing gelang yang masuk ke pencernaan akan menetas menjadi larva.
Larva ini menembus dinding usus halus menuju jantung dan paru-paru. Cacing gelang
menyebabkan gizi buruk dan membuat anak tidak nafsu makan, karena nutrisinya direbut
cacing. Cacing betinanya bisa bertelur mencapai 200 ribu butir per hari. Cacing dewasa
dapat bertahan hidup 6-12 bulan.

Cacing kremi. Cacing ini mirip kelapa parut, kecil-kecil dan berwarna putih. Awalnya,
cacing ini akan bersarang di usus besar. Saat dewasa, cacing kremi betina akan pindah ke
anus untuk bertelur. Telur-telur ini yang menimbulkan rasa gatal. Bila balita menggaruk
anus yang gatal, telur akan pecah dan larva masuk ke dalam dubur. Saat digaruk, telurtelur ini bersembunyi di jari dan kuku, sebagian lagi menempel di sprei, bantal atau
pakaian. Lewat kontak langsung, telur cacing menular ke orang lain. Lalu siklus cacing
dimulai lagi.

Anda mungkin juga menyukai