Anda di halaman 1dari 6

PERAN INOVASI PRODUK DALAM PENGEMBANGAN PERKOTAAN

Erie Sadewo, Yunita Arafah


Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung
Abstrak
Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan terhadap tiga faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan perkotaan, antara lain: evolusi geografi ekonomi (Frenken & Boschma,
2007); eksternalitas pengetahuan (Lim, 2007); serta perubahan elastisitas nilai lahan
(Isakson & Ecker, 2001). Ketiga faktor tersebut diadopsi dari penelitian Duranton dan Puga
(2013) terkait dengan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi kota dalam
ekonomi yang berkembang.Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan satu persamaan
yang dapat menjembatani peran ketiga faktor tersebut dalam mempengaruhi
pertumbuhan perkotaan. Denggan menggunakan metode studi literatur didapati bahwa
satu kesamaan yang dapat menjembatani peran ketiga faktor tersebut dalam
menjembatani pertumbuhan perkotaan adalah inovasi produk.
Kata kunci: pertumbuhan perkotaan, inovasi produk
Pendahuluan
Pengaruh dimensi ekonomi dalam
perkembangan
kota
pada
awalnya
dijelaskan melalui teori lokasi industri.
Menurut
Weber
pertumbuhan
kota
merupakan dampak pertumbuhan skala
ekonomi
dan
redistribusi
populasi
(Goohen,
1973).
Akibat
globalisasi,
deregulasi, dan perubahan struktural,
perkembangan teori lokasi mengalami
pergeseran dari persoalan faktor biaya,
menjadi kualitas institusi dan lingkungan
serta
limpasan
pengetahuan.
Faktor
aglomerasi, yang disebut sebagai faktor
lokasi kedua oleh Weber (1929), dinilai
sebagai hal yang lebih penting dan
mendominasi teori lokasi pada abad 20
(Assink & Groenendijk, 2009). Timbulnya
aglomerasi
ekonomi
didorong
oleh
munculnya berbagai industri baru atau
pindahnya industri dari suatu tempat
akibat telah berdirinya kumpulan industri
yang
serupa
pada
suatu
wilayah
(Rosenthal & Strange, 2003).

Terwujudnya aglomerasi ekonomi


terbukti
mampu
meningkatkan
produktivitas industri sehingga mendorong
wilayah yang produktif untuk berkembang
lebih cepat (Glaeser et al., 1992).
Aglomerasi ekonomi mendorong aliran
orang, barang, serta ide, yang ketika
mencapai skala tertentu, akan membentuk
perkotaan (Shao, 2015). Namun demikian,
perkotaan tidak mengalami pertumbuhan
dengan kecepatan yang sama (Duranton &
Puga, 2013). Untuk itu sangat penting
diketahui faktor-faktor apa saja yang
mendorong sebuah perkotaan untuk
tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
kota lainnya.
Menurut Duranton dan Puga (2013),
terdapat
empat
faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan
populasi
kota dalam ekonomi yang berkembang.
Keempat faktor tersebut antara lain
transportasi dan ketersediaan perumahan,
fasilitas, efek aglomerasi, serta teknologi.
Dalam penelitian ini, akan dilakukan
perbandingan terhadap beberapa faktor
1

yang
mempengaruhi
pertumbuhan
perkotaan
dengan
mengadopsi
pendekatan Duranton dan Puga (2013),
antara lain: evolusi geografi ekonomi
(Frenken & Boschma, 2007); eksternalitas
pengetahuan (lim, 2007); serta perubahan
elastisitas nilai lahan (Isakson & Ecker,
2001). Tujuan dari penelitian ini adalah
menemukan persamaan mendasar yang
dapat menjembatani peran ketiga faktor
tersebut dalam pertumbuhan perkotaan.

pertumbuhan ekonomi dapat diuraikan


menjadi tahap siklus kehidupan industri
yang berbeda (Boschma & Wenting, 2007).
Evolusi geografi ekonomi dapat
dijelaskan sebagai evolusi perusahaan,
industi, jaringan, perkotaan, dan wilayah
dari sudut pandang proses masuk,
berkembang, dan keluar atau terjadinya
realokasi. Fenken dan Boschma (2007)
memberikan
kerangka
kerja
untuk
mengukur proses evolusi geografi ekonomi
melalui
penyediaan
dasar
geografi
ekonomi
dalam
skala
mikro
untuk
mengetahui kaitan dinamika industri dan
pertumbuhan perkotaan. Hasilnya didapati
bahwa
inovasi
produk
menyediakan
kesempatan pertumbuhan bagi usaha
yang sudah ada, maupun perusahaan
baru, serta bagi wilayah yang sudah ada,
serta kesempatan pengembangan wilayah
yang baru.

Evolusi Geografi Ekonomi


Teori evolusi geografi ekonomi
menjelaskan
perkembangan
ekonomi
sebagai distribusi antar waktu dan ruang
terhadap kegiatan perusahaan dalam
mekanisme pasar (Boschma & Frenken,
2003, 2006). Ketika kegiatan tersebut
mengalami
replikasi,
baik
melalui
perluasan usaha maupun mobiltas tenaga
kerja, maka hal ini memerlukan lokasi
baru. Secara umum, proses replikasi
tersebut terjadi pada wilayah yang bersifat
lokal. Akibatnya, suatu jenis kegiatan akan
bersifat dominan pada suatu wilayah
tertentu. Dalam prosesnya, evolusi ini
menyebabkan timbulnya suatu pola serta
menghasilkan distribusi ekonomi yang
tidak
merata
secara
spasial
dan
menyebabkan
terjadinya
perbedaan
ukuran perkotaan.
Proses
pertumbuhan
ekonomi
berasal dari adanya inovasi produk akan
mendorong terbentuknya unit usaha baru
dalam suatu perusahaan pada suatu
perkotaan (Fenken & Boschma, 2007).
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi
dapat dipandang sebagai suatu proses
evolusi yang didorong melalui adanya
inovasi. Dengan memisahkan antara
inovasi yang bersifat inkremental (dalam
suatu produk) dengan inovasi yang radikal
(menghasilkan
produk
baru),
maka

Eksternalitas Pengetahuan
Pertumbuhan ekonomi yang pesat
merupakan fungsi dari akses terhadap
teknologi baru dan bauran gagasan yang
terjadi dalam struktur produktif (Romer,
1993). Limpahan pengetahuan tidak hanya
menimbulkan eksternaitas dinamis, namun
merupakan
pendorong
utama
pertumbuhan
ekonomi
(Lim,
2007).
Menurut Romer (1986) dan Lucas (1988),
dinamika
eksternalitas
pengetahuan
merupakan
mesin
pendorong
pertumbuhan.
Menurut Glaeser et. al. (1992),
Eksternalitas
Marshall-Arrow-Rommer
(MAR) atau dikenal sebagai eksternalitas
pengetahuan
diasosiasikan
sebagai
komunikasi antara industri yang sejenis
dalam suatu lokasi (Marshall, 1929; Arrow,
1962;
Romer,
1986).
Hal
ini
mengindikasikan
adanya
peningkatan
spesialisasi industri dalam suatu kota akan
2

melimpah kepada perusahaan yang lain.


Melalui penurunan biaya komunikasi dan
transaksi, serta perpindahan tenaga kerja
terlatih antar perusahaan, proses inovasi
dan pertumbuhan
dapat dipercepat.
Berbeda dengan MAR, Jacobs (1969)
menyatakan
bahwa
inovasi
dan
pertumbuhan industri dalam suatu kota
lebih dipengaruhi oleh pertukaran ide dan
pengetahuan yang berasal dari jenis
industri yang beragam. Porter (1990)
menambahkan bahwa pertumbuhan dan
inovasi
berasal
dari
limpahan
pengetahuan yang bersifat terbatas dan
terkonsentrasi, serta adanya kompetisi
lokal.
Kekuatan aglomerasi menggiring
aktivitas ekonomi dan inovasi kedalam
konsentrasi geografis. Kesamaan dari
kajian MAR, Jacobs, dan Porter terkait pada
lokalitas
sebaran
eksternalitas
pengetahuan.
Artinya,
perbedaan
akumulasi
eksternalitas
pengetahuan
antar lokasi perkotaan akan menghasilkan
inovasi dan pertumbuhan yang berbeda.
Dalam kasus industri berteknlogi tinggi,
eksternalitas pengetahuan merupakan
penentu pola pertumbuhan perkotaan
(Lim, 2007). Glaeser et. al. (1992)
menyatakan
bahwa
eksternalitas
pengetahuan yang ditunjang oleh jenis
industri yang beragam sangat kondusif
menunjang
pertumbuhan
ekonomi
perkotaan. Sementara itu, Henderson et.
al. (1995) menemukan bahwa pada
industri berteknologi tinggi, eksternalitas
pengetahuan yang berbasis spesialisasi
dan keragaman jenis industri akan
mendorong
pertumbuhan
ekonomi
perkotaan.
Pada tahun 1990 ditemukan bahwa
industri berteknologi tinggi tumbuh empat
kali lebih cepat dibandingkan dengan ratarata perekonomian secara keseluruhan

(DeVol, 1999). Untuk menjelaskan kaitan


antara eksternalitas pengetahuan pada
industri berteknologi tinggi terhadap
pertumbuhan
perkotaan
(khususnya
metropolitan), Lim (2007) melakukan
penelitian
terhadap
313
daerah
metropolitan pada periode 1990-1999.
Hasilnya
didapati
bahwa
dinamika
eksternalitas sangat berkenaan dengan
pertumbuhan aktivitas ekonomi daerah
metropolitan yang didekati melalui tingkat
upah
pekerja.
Hal
itu
mendukung
pendapat mengenai pentingnya dampak
eksternalitas spesialisasi teknologi pada
pertumbuhan
daerah
metropolitan.
Dengan
demikian,
dampak
dari
ekternalitas pengetahuan berupa inovasi
akan
mempercepat
pertumbuhan
ekonomi. Namun demikian, tidak terdapat
bukti
bahwa
dampak
dari
adanya
keragaman
dan
kompetisi
lokal
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
daerah metropolitan.
Perubahan Elastisitas Nilai Lahan
Proses evolusi geografi ekonomi
(Fenken & Boschma, 2007) akan terus
berlangsung
hingga
tercapai
titik
konvergensi. Pada titik ini, daya dukung
perkotaan
mencapai
ambang
batas
sehingga tidak mampu lagi menampung
adanya industri baru. Kelangkaan lahan,
kekurangan infrastruktur, dan faktor lain
yang mendorong meningkatnya biaya
produksi akan mendorong industri untuk
mencari lokasi lainnya di wilayah sub
urban. Transformasi spasial di kawasan
sub urban merupakan konsekuensi dari
ketidakmampuan
kota
untuk
mengakomodasi
pertumbuhan
di
dalamnya (Hudalah & Firman, 2012).
Penjualan
lahan
yang
belum
dikembangkan pada kawasan sub urban
memacu tingkat ekspansi perkotaan, dan
3

melahirkan
kawasan
pusat
aktivitas
ekonomi yang baru (Isakson & Ecker,
2001).
Dalam menjelaskan pengaruh lokasi
terhadap nilai lahan, perlu dikatahui
pengaruh lokasi terhadap nilai lahan.
Capozza
dan
Helsley
(1989,1990)
memberikan model penilaian lahan pada
pertumbuhan
perkotaan
yang
monosentris. Sementara model penilaian
lahan untuk tipe plattage dikembangkan
oleh
Colwell
dan
Sirmans,
(1980).
Perbedaan keduanya terletak pada ukuran
lahan,
dimana
model
monosentrik
mengasumsikan luas lahan adalah sama,
sementara
tipe
plattage
sebaliknya
sehingga mengandung unsur elastisitas
harga. Selain itu pada tipe plattage, harga
tanah
yang
dijual
dalam
bentuk
pecahan/kavling memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan jika dijual secara utuh.
Namun demikian, model tipe plattage
standar tidak memungkinkan penilaian
efek plattage ini berubah seiring dengan
waktu.
Untuk mengukur nilai lahan tipe
plattage yang menuat komponen waktu,
Isakson (1997) telah mengembangkan
model yang tepat untuk diterapkan pada
wilayah sekitar perkotaan. Model ini
merupakan kasus khusus dari fungsi CobbDouglas untuk penilaian lahan, dimana
parameter elastisitas ukuran merupakan
fungsi dari waktu. Dalam waktu yang
bersamaan Colwell dan Munneke (1997)
juga mengembangkan kombinasi model
monosentris
dan
plattage,
dimana
hasilnya memperlihatkan bahwa efek
plattage mengalahkan efek monosentis.
Namun demikian, efek plattage dalam
model ini masih diasumsikan konstan
antar ruang dan waktu. Untuk itu, Isakson
dan Ecker (2001) mengatasi kelemahan
tersebut dengan mengembangkan model

plattage spasio-temporal. Melalui tiga


pendekatan yang ditawarkan, Isakson dan
Ecker
(2001)
menyimpulkan
bahwa
perubahan
komponen
waktu
pada
elastisitas lahan disebabkan oleh adanya
harapan atas perkembangan kota di masa
mendatang. Sementara itu, komponen
spasial
disebabkan
oleh
kedekatan
terhadap pusat aktivitas ekonomi. Dengan
demikian, perubahan elastisitas nilai lahan
yang didapatkan melalui inovasi produk
dalam
penjualan
lahan
dengan
penggunaan model tipe plattage yang
terukur secara spasio temporal sangat
berpengaruh
terhadap
perkembangan
perkotaan.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini dilakukan
perbandingan terhadap tiga faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan perkotaan,
antara lain: evolusi geografi ekonomi
(Frenken & Boschma, 2007); eksternalitas
pengetahuan (lim, 2007); serta perubahan
elastisitas nilai lahan (Isakson & Ecker,
2001). Ketiga faktor tersebut diadopsi dari
penelitian Duranton dan Puga (2013)
terkait dengan faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan
populasi
kota
dalam
ekonomi yang berkembang. Tujuan dari
penelitian ini adalah menemukan satu
persamaan yang dapat menjembatani
peran ketiga faktor tersebut dalam
mempengaruhi pertumbuhan perkotaan.
Metode yang digunakan adalah studi
literatur.
Meskipun memberikan pendekatan
yang berbeda dalam mempengaruhi
pertumbuhan perkotaan, namun terdapat
beberapa keterkaitan antar ketiga faktor
tersebut. Yaitu bagaimana inovasi produk
menjadi kunci dalam pengembangan
perkotaan. Dalam teori evolusi geografi
ekonomi, inovasi produk menyediakan
4

kesempatan pertumbuhan bagi usaha


yang sudah ada, maupun perusahaan
baru, serta bagi wilayah yang sudah ada,
serta kesempatan pengembangan wilayah
yang
baru.
Dari
sisi
ekternalitas
pengetahuan, dampak berupa inovasi
akan mempercepat pertumbuhan ekonomi
dan perkotaan. Sementara itu perubahan
elastisitas nilai lahan yang didapatkan
melalui inovasi produk dalam penjualan
lahan dengan penggunaan model tipe
plattage yang terukur secara spasio
temporal
juga
sangat
berpengaruh
terhadap perkembangan perkotaan.

Risks for Metropolitan Areas, Santa


Monica, CA: Milken Institute
Duranton, G., Puga, D., (2013) The growth
of city, CEPR Discussion Paper No.
DP9590
Frenken, K., Boschma, R.A., (2007), A
theoretical framework for evolutionary
economic
geography:
industrial
dynamics and urban growth as a
branching process, Journal of Economic
Geography 7, pp. 635649
Glaeser, E.L., Kallal, H.D., Scheinkman,
J.A., Shleifer, A., (1992), Growth in
Cities, The Journal of Political Economy
100 (6), Centennial Issue, pp: 11261152
Goheen, P.G., (1973) industrialization and
the growth of cities in nineteenthcentury America, American Studies, Vol.
14 (1), pp. 49-65
Henderson, V., Kuncoro, A., Turner, M.,
(1995), Industrial development in cities,
Journal of Political Economy 103, pp:
1067-1090
Hudallah, D., Firman, F., (2012) Beyond
property: Industrial estates and postsuburban transformation in Jakarta
Metropolitan Region, Cities 29, pp: 40
48
Isakson, H. R., (1997) An Empirical
Analysis of the Determinants of the
Value of Vacant Land, The Journal of
Real Estate Research 13 (2), pp: 103-14
Isakson, H.R., Ecker, M.D., (2001) An
Analysis of the Influence of Location in
the Market for Undeveloped Urban
Fringe Land, Land Economics, 77 (1),
pp. 30-41
Lim, U., (2007), Knowledge externalities,
spatial dependence, and metropolitan
economic growth in the United States,
Environment and Planning A, vol. 39,
pp: 771-788
Lucas, R.E. Jr., (1988) On the mechanics of
economic development, Journal of
Monetary Economics 22, pp:3- 42

Daftar Pustaka
Arrow,
K.H.,
(1962)
The
economic
implications of learning by doing,
Review of Economic studies 29, pp: 155173
Assink, M., GroenenDijk, N., (2009) Spatial
Quality, Location Theory And Spatial
Planning, Regional Studies Association
Annual Conference 2009 Understanding
and Shaping Regions: Spatial, Social
and Economic Futures, Leuven, Belgium,
April 6-8, 2009
Boschma, R. A. and Wenting, R. (2007) The
spatial
evolution
of
the
British
automobile industry. Does location
matter?
Industrial
and
Corporate
Change, in press
Capozza, D. R., Helsley, R. W., (1989) The
Fundamentals of Land Prices and Urban
Growth, Journal of Urban Economics 26,
pp: 295-306.
, (1990) The Stochastic City, Journal
of Urban Economics 28, pp: 187-203
Colwell, P. F., Munneke H.J., (1997) The
Structure of Urban Land Prices, Journal
of Urban Economics 41, pp: 321-36
Colwell, P. F., Sirmans, C.F., (1981)
Nonlinear Urban Land Prices, Urban
Geography 1 (2), pp: 141-52
DeVol, R.C., (1999) America's High-tech
Economy: Growth, Development, and
5

Romer, P.M., (1986) Increasing returns and


long-run growth, Journal of Political
Economy 94, pp:1002-1037
Romer P.M., (1993) Idea gaps and object
gaps in economic development, Journal
of Monetary Economics 32, pp. 543- 573
Porter, M., (1990) The Competitive
Advantage of Nations, New York: Free
Press
Rosenthal, S.S., Strange, W.C., (2003),
Geography, Industrial Organization, and

Agglomeration,
The
Review
of
Economics and Statistics 85(2), pp: 377393
Shao, Z., Relevant Theories on New Urban
Area Development, a chapter in Shao,
Z., (2015) The New Urban Area
Development: A Case Study in China,
Berlin Heidelberg: Springer-Verlag
Weber, A., (1929), Theory of the location
of industries, Chicago: University of
Chicago Press

Anda mungkin juga menyukai