PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan Instalasi yang memberikan
pertolongan pertama untuk pasien dalam kondisi ke gawat darurat. Dan IGD
merupakan garda awal dalam manajemen kasus yang melaluinya. Banyak varian
kasus yang terjadi, maka dibutuhkan kesigapan, kecermatan dan kedisiplinan
dalam tatalaksana pengobatan pasien.12
Banyak dari kasus kasus bedah merupakan kasus emergency yang masuk
melalui IGD, dari kasus trauma kepala, trauma thorax, abdomen maupun keadankeadaan seperti patah tulang, dan masih banyak lagi kasus lainnya. Yang harus
segera diputuskan apakah perlu tindakan pembedahan ataupun perbaikan keadaan
terlebih dahulu.12
Tidak ada literatur yang jelas mengenai insidensi kasus bedah yang masuk
melalui IGD di Rumah Sakit-Rumah Sakit Daerah di Indonesia. Namun biasanya
terdapat beberapa kasus yang sering ditangani di IGD, paling banyak kasus
trauma seperti cedera kepala, fraktur dan jejas yang bisa berupa vulnus laceratum
dan bentukan lainnya, disamping kasus kasus bedah digesti dan urologi
B.PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut: Kasus bedah apa saja yang sering terjadi melalui
IGD?, apa saja variannya, bagaimana tingkat distribusi umur, jenis kelamin dan
insidensinya, lalu seberapa tingkat mortalitas dari varian kasus bedah yang
melalui IGD?
C.TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran insidensi dan klasifikasi
kasus bedah di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Purworejo
mulai 3 juli 10 september 2006
Secara khusus penelitian ini juga menggambarkan:
1. Penanganan
2. Mortalitas
3. Distribusi umur pasien
4. Distribusi jenis kelamin
5. Diagnosa kasus bedah
BAB II
DASAR TEORI
bahwa seseorang tidak mungkin sama sekali seperti sebelumnya apabila telah
menderita sebelumnya.6
Kerusakan akibat cedera kepala akibat trauma dibagi dalam tiga golongan
utama yaitu:
1. Kerusakan kognitif yang mencakup kehilangan memori atau ingatan jangka
pendek dan jangka pamjang, lambat berpikir, sulit menaruh perhatian dan
konsentrasi, kelemahan persepsi , komunikasi, kemampuan membaca dan
menulis, pemikiran, pemecahan masalah, perencanaan, menyusun dan
memutuskan sesuatu.
2. Kerusakan fisik yang dapat meliputi pembicaraan, penglihatan, pendengaran,
dan kerusakan alat indera lain seperti sakit kepala, kurang koordinasi,
kekejangan otot (kelumpuhan sesuatu atau kedua belahan badan), kelainan
zeisure dan masalahmasalah yang berkaitan dengan tidur.
3. Kerusakan psikososial, perilaku dan emosi yang meliputi kelelahan, perasaan
mengambang, penyangkalan, pemusatan pada diri sendiri, kegelisahan, jiwa
yang tertekan, kurang menghargai diri sendiri sulit mengendalikan emosi dan
pengaturan kemarahan, tidak mampu mengatasi masalah, agitasi berlebihlebihan dalam ketawa dan menangis, sulit berhubungan dengan. (perhatian
kepada kelainan dan gangguan emosi sangat penting setelah terjadi cedera
kepala akibat trauma, karena mereka seringkali salah paham atau salah
tanggap)
Dari ketiga akibat dari cedera kepala akibat trauma diatas maka tugas
pokok dari seorang penderita cedera kepala, keluarga penderita dan tenaga medis
sebagai penanggung jawab pengobatan adalah untuk merangsang penyembuhan
dan kompensasi alami ini dan memandunya kearah selayaknya melalui upaya
rehabilitasi dan pendidikan. 6
Tujuan akhir adalah memaksimalkan penyembuhan bagi setiap penderita.
Fakta bahwa seseorang dengan cedera kepala akibat trauma tetap mengalami
kerusakan atau cacat tertentu (seperti seizure, lumpuh atau sulit berbicara).
C. KLASIFIKASI.
Klasifikasi dari cedera kepala dibagi dalam beberapa aspek, dan secara
praktis dikenal dengan 3 diskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan: (1) Mekanisme,
(2) Beratnya, (3) Morfologinya. 6
1. Mekasnisme Cedera Kepala.
Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan motor-mobil, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru dan tusukan. Adanya penetrasi selaput dura
menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul. 6
2. Beratnya Cedera.
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera kepala. Nilai GCS juga digunakan dalam menilai tingkat kesadaran
penderita akibat berbagai penyebab lain. Koma didefinisikan penderita tidak
mampu melaksanakan perintah, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat
membuka mata. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,
mematuhi perintah dan berorientasi memiliki GCS total 15, sementara pada
penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya flasid dan tidak dapat membuka
mata sama sekali nilai GCS nya minimal sama dengan 3. Sebenarnya istilah koma
tidak dapat di nyatakan dengan tepat apabila memakai GCS. Namun sebanyak 90
% penderita dengan GCS sama atau kurang dari 8 adalah dalam keadaan koma,
dan tidak satupun penderita dengan GCS diatas 9 akan dalam keadaan koma, bila
memakai definisi koma seperti disebut diatas. Karenanya nilai GCS lebih kecil
atau sama dengan 5 dianggap sesui dengan definisi koma. Perbedaan antara
penderita cedera kepala berat, sedang dan ringan cukup jelas apabila memakai
GCS. Membedakan cedera kepala ringan dan sedang membingungkan.
Berdasarkan nilai GCS maka penderita dengan cedera kepala sedang memiliki
GCS 9-13 sedangkan penderita dengan cedera kepala ringan memiliki GCS 14-15.
Hal ini penting dalam penilaian GCS adalah menggunakan nilai respon motorik
pada sisi yang terbaik, namun dicatat respon pada kedua sisinya. 6
3. Morfologi Cedera .
Secara morfologis cedera kepala di bagi atas fraktur kranium dan lesi
intracranial.
a.
Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan CT-Scan dengan bone window untuk
melihat garis frakturnya. Juga secara klinis dilihat apakah terdapat tanda-tanda
fraktur dasar tengkorak antara lain: ekimosis periorbital (Racoon eyes sign),
ekimosis retroaurikular (Batlles sign), kebocoran pada CSS (rhinorrea,
otorrhea) dan paresis nervus fasialis. Sebagai patokan umum bila terdapat
fragmen tulang yang menekan kedalam, lebih tebal tulang kalvaria, biasanya
memerlukan tindakan pembedahan cranium terbukanya atau komplikata
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan
otak karena robeknya selaput dura. Keadaan ini memerlukan tindakan
pembedahan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa
benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan terjadinya retak
tulang tengkorak. Pada penderita sadar bila ditemukan fraktur linear pada
kalvaria, meningkatkan adanya pendarahan intrakranial sampai dengan 400
kali. Penderita koma kemungkinan ditemukannya pendarahan intrakranial
pada fraktur linear adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial
memang sudah lebih tinggi. Fraktur dasar tengkorak sering disertai dengan
kebocoran CSS baik melalui hidung (rhinorrhea) atau melalui telinga
(otorrhea). Fraktur ini juga sering menyebabkan paresis nervus fasialis yang
dapat terjadi segera setelah terjadi cedera atau timbul beberapa hari kemudian.
Umumnya prognosis pemulihan adanya parsesis nervus fasialis lebih baik
pada keadaan parese yang terjadi beberapa waktu kemudian. 6
b.
Lesi Intrakranial.
Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal dan lesi difus, walaupun
jenis ini sering terjadi secara bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu
perdarahan epidural dan kontusio (perdarahan intraserebral). Cedera otak difus
umumnya menunjukkan gambaran CT-Scan yang normal namun dalam
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan
koma. Berdasarkan pada dalamnya dan lamanya koma, maka cedera difus
dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik dan Cedera Aksonal
Difus (CAD). 6
a.
Perdarahan epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi dalam rongga
tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks dan menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang
disebabkan robeknya a.meningea media akibat retaknya tulang
tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh
darah arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan
vena, karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya
sinus venosus terutama pada region parieto-oksipital pada fosa posterior.
Walaupun secara relative perdarahan epidural jarang terjadi (0.5% dari
seluruh penderita cedera kepala dan 9% dari penderita yang dalam
keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan
tindakan diagnostik maupun operatif yang tepat. Perdarahan epidural
apabila ditolong akan memiliki prognosis yang sangat baik karena
kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan
otak tidak berlangsung lama.Penderita dengan perdarahan epidural dapat
menunjukkan adanya Interval lucid yang klasik atau keadaan dimana
penderita semula mampu untuk berbicara namun tiba-tiba meninggal
(talk and die).
b. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural sering terjadi daripada perdarahan epidural
(kira-kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini memang terjadi
10
Komusio
serebri
klasik
adalah
cedera
kepala
yang
11
Tetapi pada tahun 1993 pada jurnal yang sama mengganti istilah minor menjadi
cedera
kepala
ringan.
Dr
Thomas
Kay
pada
artikelnya
tentang
12
13
2.
3.
Perubahan
perilaku
yang
ditandai
dengan
perubahan
emosional
14
15
b.
Mekanisme cedera.
c.
Waktu cedera.
d.
e.
Tingkat kewaspadaan.
f.
g.
h.
Kejang.6
Sedangkan pemeriksaan fisik maupun penunjang yang diperlukan untuk
16
b.
c.
d.
e.
Kesadaran menurun.
f.
g.
h.
i.
Rhinorrea.
j.
k.
l.
m.
Amnesia.6
kepala tembus atau bila CT Scan tidak tersedia. Bila pemeriksaan foto ronsen
dilakukan maka dokter harus menilai hal ahal berikut :
1. Fraktur linear/ depresi.
2. Posisi kelenjar pineal yang biasanya di garis tengah ( bila terkalsifikasi).
17
2.
3.
Pemeriksaan neurologis.
4.
Radiografi tengkorak.
5.
6.
7.
Adapun kriteia rawat dari pasien dengan CKR apabila memenuhi criteria:
1.
2.
3.
18
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
CT-Scan abnormal.8
Mayoritas pasien yang datang ke IGD dengan cedara kepala ringan pada
waktu diperiksa oleh dokter dalam keadaan bangun namun amnestik atas kejadian
sekitas pada saat cedera. Mungkin pasien memiliki riwayat kehilangan kesadaran
sebentar yang biasanya sulit untuk dipastikan. hal tersebut mungkin dikacaukan
oleh alkohol dan intoksikan lain.8
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan akan menuju pemulihan
tanpa disertai dengan hal-hal yang berarti.terkadang hanya dengan sekuele
neurologis yang sangat ringan.Namun sekitar 3% pasien secara tidak disangka
memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak diketahui
dini. Dalam menghadapi hal itu maka pertentangan klasik antara keefektifan biaya
dan tindakan terbaik mungkin diberikan betul-betul berlaku. Namun tindakan
seperti yang disebutkan dibawah ini optimal untuk pasien cedera kepala ringan.8
Sinar X tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan fraktur tengkorak
linear atau depreesesd , posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifiksi, level
udara cairan dalam sinus, pneumosefalus, fraktur fasial, dan benda asing.
Pemeriksaan foto rontgen memiliki arti penting sesuai dengan kelompok resiko
cedera kepala yang dialami pasien:
a.
Untuk kelompok dengn resiko rendah dengan tanda-tanda dan gejala awal
yang minimal seperti nyeri kepala, pusing dan laserasi skalp, dianjurkan
dipulangkan kepada lingkungnnya untuk diobservasi dengan tidak
memerlukan radiografi tengkorak.
b.
19
tanda adanya fraktur basilar atau depressed ,tindakan yang tepat dianjurkan
adalah termasuk peningkatan pengamatan ketat, petimbangkan untuk CTScan atau radiografi polos serta konsultasi pada bagaian bedah syaraf.
c.
20
petugas yang peka terhadap pemburukan yang tanpa keraguan dalam menghadapi
setiap kemungkinant yang terjadi.8
Tulang belakang servikal serta bagian lainnya harus disinar X bila ada
nyeri atau tenderness. Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgetik
non narkotik seperti parasetamol. Toksoid tetnus yang di berikan pada luka
terbuka.Tes darah rutin tidak perlu dilakukan apabila tidak terdapat cedera
terbuka, sedangkan tes darah untuk menilai konsentrasi alkohol yang
didindikasikan untuk kepentingan medikolegal.8
Cedera kepala ringan dengan CT-Scan normal dapat dipulangkan bila
ada yang bertanggung jawb dalam pengawasan dan dengan menyertakan lembar
peringatan untuk menempatkan pasien dalam pengawasan ketat selama 12 jam
dan membawa pasien kembali apabila sesuatu terjadi atau timbul suatu keadaan
yang mengarah pada pemberatan. Bial tidak memiliki relasi yang dapat
bertanggung jawab pasien tetap di UGD selam 12 jam dengan pemeriksaaan
neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan apabila nampak
stabil.Bila pasien ditemukan lesi pada hasil CT-Scan maka pasien harus dirawat
dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya pada hari-hari berikutnya an
dilakukan CT-Scan ulang sebelum pasien pulang atau lebih awal bila terjadi
pemburukan neurologis.8
E.1. Pasien Dalam Keadaan Sadar (GCS 15)
1. Simple Head Injury.
Pada cedera kranio-serebral tanpa defisit neurologi, hanya
dilakukan perawatan luka apabila terdapat perlukaan sebagai
akibat samping dari penyebab trauma.
Dilakukan pemerikasaan radiologis apabila ada indikasi.
Pasien dipulangkan dan diminta keluarga mengobservasi
kesadaran.
Bila dicurigai adanya kesadaran menurun saat observasi, pasien
segera dibawa ke rumah sakit kembali.
2. Kesadaran terganggu sesaat.
21
dibawa
pulang
dan
keluarga
diminta
untuk
mengobservasi kesadarannya.
Bila dicuriagai adanya penurunan kesadaran maka pasien
dibawa kembali ke rumah sakit.9
E.2. Pasien dengan kesadran menurun.
1. Cedera kranio-serebral ringan (GCS 14-15)
Perubahan orientasi atau not obey command, tanpa disertai dengan
defisit fokal serebral.
Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat
baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisis pasien
disertai dengan terapi simtomatis. Observasi minimal 24 jam di
rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial
misalnya riwayat lusid interval , sakit kepala, muntahmuntah,
kesadaran menurun, gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleks patologis positif). Jika dicurigai adanya hematom maka
dibuat scanning otak.9
2. Medikamentosa.
Pasien cedera kepala ringan memiliki variasi keluhan yang
diakibatakan oleh gangguan cerebral, keluhannya antara lain, nyeri kepala,
pusing mual, muntah
a.
adalah
dari
sinusistis,
dari
disfungsi
sendi
22
yang
mengandung
bahan
itu
maka
diusahakan
untuk
c.
23
24
BAB III
METODE PENELITIAN.
Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, dengan mengikuti jumlah
kasus bedah yang di Instalasi Gawat Darurat (IGD) selama 10 minggu, terhitung 3
juli 2006 sampai dengan 10 september 2006.
Metode yang digunakan adalah diskripsi kuantitatif, data yang di telaah
meliputi :
1. Angka Kasus Bedah
Dihitung berdasarkan jumlah kasus bedah yang yang tercatat melalui
IGD RSUD Saras Husada Purworejo, terhitung mulai tanggal 3 juli 2006
sampai dengan 10 september 2006.
2. Klasifikasi Kasus Bedah
Kasus Bedah yang masuk dikelompokkan menjadi kasus Bedah Minor,
Bedah Syaraf, Bedah Thorax dan Vaskular, Bedah Digesti, Bedah
Urologi, Bedah Anak, Bedah Orthopedi, Bedah Onkologi, Bedah Plastik.
3. Diagnosa
Jumlah kasus bedah yang masuk sesuai klasifikasi, dikelompokkan
menurut diagnosanya.
4. Jenis Kelamin
Jumlah kasus bedah yang masuk sesuai klasifikasi, di rating sesuai
dengan jenis kelamin.
5. Umur pasien
Umur pasien dikelompokkan dalam kelompok umur kurang dari 1 tahun,
1-4 tahun, 5-14 tahun, 15-24 tahun, 25-44 tahun, 45-64 tahun dan lebih
atau sama dengan 65 tahun, sesuai dengan pencatatan yang terdapat
dalam data rekam medis RSUD Saras Husada Purworejo
6. Penanganan
Penanganan disini dibagi menjadi 4, yaitu Rawat Jalan, Rawat Inap (Non
ICU), Rawat ICU dan Rujuk ke RS Propinsi. Rujukan yang dimaksu
25
26