Camelopardalids ini akan melampaui 1.000 meteor/jam. Jika itu terjadi, hujan
meteor ini pun bakal menyandang status baru sebagai badai meteor.
Komet
Bagaimana hujan meteor Camelopardalids bisa terjadi?
Seperti halnya seluruh hujan meteor periodik yang telah dikenal, meteoroid
Camelopardalids pun berasal dari remah-remah komet dalam bentuk debu
dan pasir. Mereka dilejitkan dari komet 209 P/LINEAR, yakni komet
berperiode pendek yang baru kita kenal dalam satu dasawarsa terakhir. Ia
pertama kali terlihat pada 3 Februari 2004 silam oleh sistem LINEAR (Lincoln
Near-Earth Asteroid Research), yakni salah satu sistem penyigi langit paling
ambisius yang bertujuan memburu dan menemukan komet dan asteroid
baru yang tak pernah dikenal sebelumnya serta mengevaluasi potensi
ancamannya terhadap Bumi kita.
Pada awalnya sistem LINEAR, yang bersenjatakan teleskop pemantul dengan
cermin obyektif bergaris tengah 100 cm, mendeteksi komet ini sebagai
benda langit mirip asteroid yang dikodekan sebagai 2004 CB. Namun
berselang sebulan kemudian, observasi astronom Robert McNaught
(Australia) per 30 Maret 2004 memperlihatkan benda langit ini ternyata
memiliki ekor, yang memastikan statusnya sebagai komet yang kemudian
disebut sebagai komet 209 P/LINEAR.
Gambar 3. Kiri: lintasan komet 209 P/LINEAR pada tahun 1903, dengan
remah-remah komet terserak sepanjang lintasannya, dalam bentuk lonjong.
Lingkaran kecil merupakan orbit Bumi, sementara lingkaran lebih besar
adalah orbit Jupiter. Kanan : lokasi mayoritas meteoroid produk lintasan
komet 209 P/LINEAR sejak tahun 1803 hingga 1924. Garis merah
menunjukkan orbit Bumi dan titik-titik merah dengan tanggal tertentu
menunjukkan kapan Bumi menempati posisi titik tersebut. Nampak bahwa di
antara 24 Mei 2014 pukul 00:00 UTC (GMT) hingga 25 Mei 2014 pukul 00:00
Gambar 4. Langit malam bagian utara pada saat puncak hujan meteor
Camelopardalids, disimulasikan dari kawasan subtropis utara. Sumber: Sky &
Telescope, 2014.
Kala berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi, komet 209 P/LINEAR ini
tetap akan terlihat sebagai benda langit yang cukup redup. Magnitudonya
diperkirakan hanya sebesar +11 saja sehingga dibutuhkan teleskop dengan
diameter lensa/cermin obyektif minimal 100 mm (10 cm). Di sisi lain, sangat
dekatnya jarak perlintasan komet 209 P/LINEAR ini dengan Bumi beserta
terjadinya perubahan orbitnya secara gradual dari waktu ke mengundang
pertanyaan tentang bagaimana dengan nasib remah-remah yang
ditinggalkan di sepanjang lintasannya?
Pertanyaan tersebut dielaborasi lebih lanjut oleh astronom Esko Lyytinen
(Finlandia) beserta Peter Jenniskens (AS). Dan 8 tahun silam mereka berdua
memaparkan bahwa pada 24 Mei 2014 terjadi fenomena istimewa terkait
dengan remah-remah komet 209 P/LINEAR. Pada tanggal itu, mayoritas
remah komet yang ada pada lintasan yang ditinggalkan komet 209 P/LINEAR
sejak tahun 1803 hingga 1924 akan berpotongan dengan orbit Bumi. Hal ini
akan menghasilkan hujan meteor yang tak biasa, dengan intensitas yang
besar. Analisis lain oleh astronom Maslov (2013), Vaubaillon (2012) dan Paul
Wiegert (2013) secara terpisah juga menyimpulkan hal senada. Radian hujan
meteor ini diprediksikan terletak pada koordinat deklinasi 79 derajat dan
right ascension 124 derajat (atau 8 jam 16 menit) yang terletak di dalam rasi
Camelopardalis berdekatan dengan perbatasan rasi Lynx dan Ursa Mayor.
Sebuah hujan meteor bisa disaksikan dengan leluasa kala malam telah
datang, dengan ketinggian Matahari minimal 12 derajat di bawah horizon
sehingga langit telah betul-betul gelap tanpa terganggu oleh fajar/senja
kelautan (nautical twilight). Hujan meteor juga lebih mudah disaksikan jika
malam tak terganggu cahaya Bulan yang benderang di kala Bulan berada di
sekitar fase purnamanya. Potensi terlihatnya sebuah peristiwa hujan meteor
juga lebih besar jika radiannya berkedudukan cukup tinggi di langit.
Pada saat hujan meteor Camelopardalids terjadi, Bulan sudah jauh melewati
fase purnamanya dan kini sedang menyandang status Bulan tua menuju ke
konjungsi Bulan-Matahari yang baru berikutnya. Sehingga gangguan akibat
cahaya Bulan di sekitar fase purnamanya dapat ditepis. Namun bila faktor
fajar/senja kelautan dan ketinggian radian yang besar diperhitungkan, maka
sejatinya hanya kawasan Amerika bagian utara saja yang berpotensi besar
menyaksikan hujan meteor ini. Sementara bagian dunia lainnya tidak
seberuntung itu.