Anda di halaman 1dari 9

Camelopardalids Itu Hujan Meteor

yang Tak Biasa


Sabtu, 24 Mei 2014. Inilah saat langit seakan runtuh dengan titik-titik cahaya
yang mengesankan sebagai bintang-bintang berjatuhan ke bawah menuju ke
Bumi. Namun jangan buru-buru cemas. Tak ada langit runtuh yang
sesungguhnya pada saat itu. Adapun yang kelihatan laksana bintang-bintang
berjatuhan sesungguhnya adalah meteor. Meteor-meteor itu berasal dari
remah-remah sebuah komet redup, meski inti kometnya relatif cukup besar
di antara sesamanya. Komet tersebut baru ditemukan umat manusia dalam
kurun satu dasawarsa terakhir, namun diduga telah melanglang buana
dalam lingkungan tata surya di antara orbit Bumi hingga Jupiter sepanjang
ratusan hingga ribuan tahun terakhir. Remah-remah komet itu bakal
memasuki atmosfer Bumi di antara pukul 13:00 hingga 15:00 WIB. Kita yang
beruntung akan menyaksikan ratusan buah meteor melejit di langit malam
dalam setiap jamnya. Bahkan ada potensi angkanya melonjak dramatis
hingga mencapai ribuan meteor per jamnya.

Gambar 1. Sebuah hujan meteor berintensitas tinggi yang sedang terjadi,


dalam hal ini Leonids di tahun 1998, seperti diamati dari Bratislava
(Slowakia). Selempang galaksi Bima Sakti nampak terlihat jelas di latar
belakang. Pemandangan semacam ini bakal terlihat kala hujan meteor
Camelopardalids mencapai puncaknya 24 Mei 2014 besok. Sumber: NASA,
1998.
Itulah hujan meteor Camelopardalids. Ia mendapatkan namanya yang megah
karena titik sumbernya (radian), yakni titik koordinat dimana seluruh meteor
tersebut seakan-akan berasal, terletak dalam konstelasi bintang
Camelopardalis (Jerapah). Sebagian kita mungkin jarang mendengar nama
rasi bintang yang tergolong besar namun beranggotakan bintang-bintang
redup ini. Camelopardalis mengambil posisi di belahan langit bagian utara,
berbatasan dengan dua rasi lainnya yang jauh lebih populer yakni Biduk atau
Beruang besar (Ursa Mayor) dan Perseus. Sebagai tetangga dekat rasi Ursa
Mayor, maka rasi Camelopardalis selalu berada di dekat horizon utara bila
disaksikan dari Indonesia.
Hujan meteor Camelopardalids merupakan hujan meteor yang tak biasa.
Sebelum tahun 2014 ini ia belum pernah terjadi. Dan selepas 2014 pun ia
juga (mungkin) takkan terulang lagi secara periodik. Sehingga berbeda
dengan sejumlah hujan meteor periodik yang rutin menyambangi langit
malam kita pada waktu-waktu tertentu, misalnya hujan meteor eta Aquarids,
maka Camelopardalids tak demikian. Ia hanya akan muncul di tahun ini saja.

Gambar 2. Komet 209 P/LINEAR, sang induk hujan meteor Camelopardalids,


diabadikan pada 17 Mei 2014 oleh Gianluca Masi. Saat itu komet cukup
redup, hanya seterang Pluto, sehingga harus dilakukan
pencitraan/pemotretan dengan eksposur 180 detik sebanyak 5 kali yang
kemudian digabungkan menjadi satu melalui teknik stacking. Sumber: Virtual
Telescope Project, 2014.
Namun meski tak biasa, hujan meteor Camelopardalids langsung melejitkan
sensasi. Sebab intensitasnya, yakni jumlah meteor per jam yang
berkemungkinan teramati, tergolong cukup besar yakni diprediksikan antara
100 meteor/jam hingga 400 meteor/jam. Angka ini melebihi apa yang bisa
dicapai trio hujan meteor periodik terbesar, yakni Quadrantids (120
meteor/jam), Lyrids (100 meteor/jam) dan Geminids (120 meteor/jam).
Bahkan ada peluang, meski kecil, kalau intensitas hujan meteor

Camelopardalids ini akan melampaui 1.000 meteor/jam. Jika itu terjadi, hujan
meteor ini pun bakal menyandang status baru sebagai badai meteor.
Komet
Bagaimana hujan meteor Camelopardalids bisa terjadi?
Seperti halnya seluruh hujan meteor periodik yang telah dikenal, meteoroid
Camelopardalids pun berasal dari remah-remah komet dalam bentuk debu
dan pasir. Mereka dilejitkan dari komet 209 P/LINEAR, yakni komet
berperiode pendek yang baru kita kenal dalam satu dasawarsa terakhir. Ia
pertama kali terlihat pada 3 Februari 2004 silam oleh sistem LINEAR (Lincoln
Near-Earth Asteroid Research), yakni salah satu sistem penyigi langit paling
ambisius yang bertujuan memburu dan menemukan komet dan asteroid
baru yang tak pernah dikenal sebelumnya serta mengevaluasi potensi
ancamannya terhadap Bumi kita.
Pada awalnya sistem LINEAR, yang bersenjatakan teleskop pemantul dengan
cermin obyektif bergaris tengah 100 cm, mendeteksi komet ini sebagai
benda langit mirip asteroid yang dikodekan sebagai 2004 CB. Namun
berselang sebulan kemudian, observasi astronom Robert McNaught
(Australia) per 30 Maret 2004 memperlihatkan benda langit ini ternyata
memiliki ekor, yang memastikan statusnya sebagai komet yang kemudian
disebut sebagai komet 209 P/LINEAR.

Gambar 3. Kiri: lintasan komet 209 P/LINEAR pada tahun 1903, dengan
remah-remah komet terserak sepanjang lintasannya, dalam bentuk lonjong.
Lingkaran kecil merupakan orbit Bumi, sementara lingkaran lebih besar
adalah orbit Jupiter. Kanan : lokasi mayoritas meteoroid produk lintasan
komet 209 P/LINEAR sejak tahun 1803 hingga 1924. Garis merah
menunjukkan orbit Bumi dan titik-titik merah dengan tanggal tertentu
menunjukkan kapan Bumi menempati posisi titik tersebut. Nampak bahwa di
antara 24 Mei 2014 pukul 00:00 UTC (GMT) hingga 25 Mei 2014 pukul 00:00

UT, Bumi melintas di populasi terpadat meteoroid tersebut. Sumber: IMCEE,


2014.
Observasi demi observasi dari berbagai penjuru Bumi pada akhirnya
memastikan bahwa benda langit tersebut adalah komet dan tergolong komet
berperiode pendek. ia beredar mengelilingi Matahari dalam sebentuk orbit
lonjong dengan perihelion 0,97 SA (satuan astronomi) dan aphelion 4,95 SA
yang ditempuhnya sekali dalam tiap 5,09 tahun. Dengan kata lain, orbit
komet ini merentang di antara orbit Bumi hingga ke dekat orbit Jupiter.
Karena aphelionnya berdekatan dengan orbit Jupiter, maka konsekuensinya
komet ini mengalami gangguan gravitasi dari planet raksasa gas tersebut
secara periodik. Akibatnya orbit yang ditempuh komet ini sejatinya selalu
berubah-ubah secara gradual. Sehingga orbit yang dilaluinya (misalnya)
pada tahun ini adalah sedikit berbeda dibanding lintasannya pada 5 tahun
silam, juga sedikit berbeda lagi dibanding lintasan 10 tahun silam. Orbit yang
takstabil adalah fenomena yang umum bagi anggota tata surya berukuran
mini seperti halnya komet maupun asteroid.
Komet 209 P/LINEAR ini memiliki inti komet yang tergolong besar dibanding
sesama komet lainnya. Observasi astronom Carl Hergenrother (AS) dengan
memanfaatkan teleskop radio Arecibo, yang adalah teleskop radio dengan
piringan terbesar di dunia hingga saat ini (garis tengah piringan 304 meter),
memperlihatkan inti komet 209 P/LINEAR bergaris tengah antara 1,9 km
hingga 4 km dengan permukaan yang nyaris sama gelapnya dengan aspal
ataupun batubara. Ia berotasi dengan periode rotasi 22 jam, yang tergolong
lambat ukuran komet. Namun belum diketahui seberapa luas permukaan
aktifnya, yakni bagian permukaan inti komet yang menyemburkan gas-gas
volatil (mudah menguap) disertai debu dan pasir.
Dengan konfigurasi orbitnya, maka pada 6 Mei 2014 kemarin komet ini telah
berada di titik perihelionnya dan kini mulai bergerak menjauhi Matahari
kembali. Dan pada Kamis 29 Mei 2014 kelak, komet 209 P/LINEAR akan
berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi yakni sejauh 8,29 juta kilometer
dari permukaan planet biru ini. Untuk ukuran astronomi, jarak tersebut
terhitung sangat dekat. Dalam khasanah komet, jarak perlintasan itu
menjadikan komet 209 P/LINEAR mencetak rekor sebagai komet terdekat
kesembilan dari Bumi. Namun untuk ukuran manusia, komet tersebut akan
melintas sangat jauh dari Bumi kita yakni 21,6 kali lipat lebih jauh ketimbang
Bulan. Namun tak ada yang perlu dikhawatirkan karena potensi komet ini
untuk bertubrukan dengan Bumi adalah nol.
Prospek

Gambar 4. Langit malam bagian utara pada saat puncak hujan meteor
Camelopardalids, disimulasikan dari kawasan subtropis utara. Sumber: Sky &
Telescope, 2014.
Kala berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi, komet 209 P/LINEAR ini
tetap akan terlihat sebagai benda langit yang cukup redup. Magnitudonya
diperkirakan hanya sebesar +11 saja sehingga dibutuhkan teleskop dengan
diameter lensa/cermin obyektif minimal 100 mm (10 cm). Di sisi lain, sangat
dekatnya jarak perlintasan komet 209 P/LINEAR ini dengan Bumi beserta
terjadinya perubahan orbitnya secara gradual dari waktu ke mengundang
pertanyaan tentang bagaimana dengan nasib remah-remah yang
ditinggalkan di sepanjang lintasannya?
Pertanyaan tersebut dielaborasi lebih lanjut oleh astronom Esko Lyytinen
(Finlandia) beserta Peter Jenniskens (AS). Dan 8 tahun silam mereka berdua
memaparkan bahwa pada 24 Mei 2014 terjadi fenomena istimewa terkait
dengan remah-remah komet 209 P/LINEAR. Pada tanggal itu, mayoritas
remah komet yang ada pada lintasan yang ditinggalkan komet 209 P/LINEAR
sejak tahun 1803 hingga 1924 akan berpotongan dengan orbit Bumi. Hal ini
akan menghasilkan hujan meteor yang tak biasa, dengan intensitas yang
besar. Analisis lain oleh astronom Maslov (2013), Vaubaillon (2012) dan Paul
Wiegert (2013) secara terpisah juga menyimpulkan hal senada. Radian hujan
meteor ini diprediksikan terletak pada koordinat deklinasi 79 derajat dan
right ascension 124 derajat (atau 8 jam 16 menit) yang terletak di dalam rasi
Camelopardalis berdekatan dengan perbatasan rasi Lynx dan Ursa Mayor.

Gambar 5. Prediksi Fluxtimator untuk hujan meteor Camelopardalids dari


kota San Fransisco (AS), baik pada lingkungan tengah kota, pinggiran,
pedesaan maupun puncak pegunungan. Kurva biru menunjukkan intensitas
meteor yang berkemungkinan teramati. Lingkungan berpolusi cahaya
mempengaruhi prediksi intensitas meteor yang mungkin teramati per
jamnya. Namun secara umum hujan meteor Camelopardalids dapat
disaksikan dari kawasan kota ini. Sumber: Fluxtimator, 2014.
Seiring belum diketahuinya kuantitas produksi debu komet 209 P/LINEAR dan
tak teramatinya komet ini sebelum 2004, maka seberapa besar intensitas
hujan meteor Camelopardalids sulit diketahui. Sejauh ini hanya bisa
dikatakan bahwa
hujan meteor ini akan berintensitas antara 100 meteor/jam hingga 400
meteor/jam. Namun intensitas yang lebih besar lagi pun tetap berpeluang
terjadi. Juga intensitas meteor yang lebih kecil dari 100 meteor/jam tetap
berpeluang. Demikian halnya durasinya. Menurut Jenniskens dan Lyytinen,
hujan meteor Camelopardalids akan berlangsung dalam waktu setidaknya 2
jam penuh. Namun dengan tak diketahuinya kuantitas produksi debu komet
ini, maka bisa saja durasinya jauh lebih singkat (jika ternyata produksi
debunya kecil) atau bahkan mungkin mencapai 15 jam (jika produksi
debunya besar) seperti pendapat Paul Wiegert. Yang jelas semua sepakat
bahwa puncak hujan meteor ini akan terjadi di sekitar pukul 14:00 WIB.
Indonesia

Sebuah hujan meteor bisa disaksikan dengan leluasa kala malam telah
datang, dengan ketinggian Matahari minimal 12 derajat di bawah horizon
sehingga langit telah betul-betul gelap tanpa terganggu oleh fajar/senja
kelautan (nautical twilight). Hujan meteor juga lebih mudah disaksikan jika
malam tak terganggu cahaya Bulan yang benderang di kala Bulan berada di
sekitar fase purnamanya. Potensi terlihatnya sebuah peristiwa hujan meteor
juga lebih besar jika radiannya berkedudukan cukup tinggi di langit.
Pada saat hujan meteor Camelopardalids terjadi, Bulan sudah jauh melewati
fase purnamanya dan kini sedang menyandang status Bulan tua menuju ke
konjungsi Bulan-Matahari yang baru berikutnya. Sehingga gangguan akibat
cahaya Bulan di sekitar fase purnamanya dapat ditepis. Namun bila faktor
fajar/senja kelautan dan ketinggian radian yang besar diperhitungkan, maka
sejatinya hanya kawasan Amerika bagian utara saja yang berpotensi besar
menyaksikan hujan meteor ini. Sementara bagian dunia lainnya tidak
seberuntung itu.

Gambar 6. Prediksi Fluxtimator untuk hujan meteor Camelopardalids dari


Indonesia, dalam hal ini dari Kebumen (Jawa Tengah) yang mewakili daerah
lintang selatan dan Banda Aceh (Aceh) mewakili daerah lintang utara, untuk
lingkungan pedesaan. Kurva biru menunjukkan intensitas meteor yang
berkemungkinan teramati. Nampak di daerah lintang selatan tak
memperlihatkan adanya meteor Camelopardalids, sementara di daerah
lintang utara ada meski sedikit. Sumber: Fluxtimator, 2014.
Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, kali ini kita tak beruntung. Saat
hujan meteor Camelopardalids mencapai puncaknya, Indonesia masih
mengalami situasi siang hari sehingga nyaris tak mungkin untuk melakukan
pengamatan, terkecuali menggunakan radar khusus ataupun menantikan
adanya meteor-terang (fireball) yang lebih benderang ketimbang Venus.
Situasi diperparah oleh fakta bahwa radian Camelopardalids berketinggian
cukup rendah di langit utara dan sudah terbenam sekitar sejam setelah
terbenamnya Matahari. Sebuah hujan meteor memang masih bisa terlihat
kala radiannya sudah terbenam, namun intensitasnya melorot drastis.
Sehingga kala Amerika bagian utara berpesta-pora dengan hujan meteor
Camelopardalids, mayoritas kita di Indonesia terpaksa harus gigit jari.
Terkecuali di bagian Indonesia yang berada di daerah lintang utara, misalnya

ujung utara pulau Sumatra. Di sini hujan meteor Camelopardalids


berkemungkinan teramati, meski intensitasnya lebih kecil.
Jenniskens dan partnernya astronom Dave Nugent telah membangun aplikasi
berbasis Java untuk memprediksi berapa intensitas sebuah hujan meteor
yang bisa disaksikan dari titik manapun di permukaan Bumi dengan berbagai
variasi polusi cahaya langit malam, mulai dari kawasan tengah kota (dengan
polusi cahaya terparah), suburban/pinggiran kota, pedesaan hingga ke
pegunungan (dengan polusi cahaya terminimal). Aplikasi tersebut
dinamakan Fluxtimator. Kala Fluxtimator diterapkan dalam kasus hujan
meteor Camelopardalids, nyatalah bahwa di Indonesia dalam selang waktu
antara pukul 21:00 hingga pukul 07:00 keesokan paginya, tak ada satupun
lokasi yang berkesempatan menikmati hujan meteor Camelopardalids. Di
Asia Tenggara, hanya kawasan seperti Bangkok (Thailand) dan sekitarnya
yang berkesempatan menikmati hujan meteor ini pada rentang waktu
tersebut, itupun dengan intensitas sangat kecil. Secara umum Fluxtimator
memprediksikan kawasan Asia pada umumnya kurang begitu beruntung
dalam mengamati hujan meteor Camelopardalids ini. Hal ini sangat berbeda
jika dibandingkan dengan Amerika Utara, misalnya di kota San Fransisco (AS)
dan sekitarnya.

Gambar 7. Sebuah meteor Camelopardalids, terekam pada 13 Juni 2012 dari


Amerika Utara. Dalam puncak hujan meteor Camelopardalids 2014 ini,
meteor sejenis dan yang lebih terang akan lebih banyak terlihat. Sumber:
Jenniskens, 2014.
Namun jangan khawatir! Masih terbuka kemungkinan untuk mengamati
hujan meteor Camelopardalids dari Indonesia, meski kecil. Salah satunya

dengan mengandalkan adanya kemungkinan meteor-terang (fireball) dalam


hujan meteor ini. Laporan-laporan memperlihatkan bahwa hingga 2 minggu
menjelang puncak hujan meteor Camelopardalids, telah terdeteksi sejumlah
meteor-terang yang berasal dari radian ini dan dipastikan merupakan bagian
dari hujan meteor Camelopardalids. Beberapa meteor-terangnya bahkan
cukup terang, melebihi benderangnya Venus, sehingga berkemungkinan
terlihat di siang hari. Inilah salah satu kesempatan untuk menyaksikan hujan
meteor yang tak biasa tersebut.
Referensi:
Beatty. 2014. Ready for Mays Surprise Meteor Shower? Sky & Telescope
Online.
Phillips. 2014. A New Meteor Shower in May? NASA Science News, 6 Mei
2014.
Maslov. 2014. 209P-ids, 2014, Prediction of Activity.
IMCEE. 2014. The Next Big Meteor Shower.
http://ekliptika.wordpress.com/2014/05/22/camelopardalids-itu-hujan-meteoryang-tak-biasa/

Anda mungkin juga menyukai