Anda di halaman 1dari 2

Sekolah Homeschooling

Hampir seratus tahun lampau Rabindranath Tagore, peraih Nobel Sastra tahun 1913,
menyelorohkan ucapan bernada pahit itu. Sekolah adalah siksaan tak tertahankan.
Dan Tagore tak keliru.Di Indonesia, mungkin juga tempat lainnya, serapah Tagore telah
mewujud sejak lama. Ketika siksaan seolah tak tertahankan, maka sekolah dan
penjara bagai dua entitas yang sulit dibedakan.
Tapi siapa bilang sekolah selamanya harus seperti penjara? Bagi Ratna Megawangi
penjara itu harus dirubuhkan. Tak tega melihat anaknya stres akibat banyaknya
pekerjaan rumah, dan buntutnya jadi kehilangan semangat belajar, Ratna mengambil
langkah berani.Dikabulkannya keinginan si anak, yang saat itu kelas satu SMA, keluar
dari sekolah. Lantas, Ratna pun membangun sendiri sekolah di rumahnya yang asri.
Didatangkannya guru privat jempolan.
Sejak saat itu si anak belajar di rumah. Tak lagi ada mata pelajaran yang padat,
penyajian materi yang membosankan, atau bangku kelas yang keras. Kini ia bisa
berselonjor di atas karpet, sambil menyimak uraian matematika, fisika, atau Bahasa
Inggris bak dendangan dawai yang menenangkan.Dan perubahan itu tampak jelas. Ia
tampak bahagia sekali, gairah belajarnya malah jadi menggebu-gebu. Anehnya, jika
sewaktu di sekolah ia tidak mahir berbahasa Inggris, kini setelah belajar di rumah ia
fasih berbahasa Inggris dalam tempo cepat, tutur Ratna yang istri Menkominfo Sofyan
Jalil itu, Kamis (5/5).
Seperti Ratna, Yayah Komariah SPd, seorang mantan guru SD, juga mengambil
langkah berani itu. Rumahnya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kini tak lagi
sekadar menjadi tempat tidur atau makan bagi anak-anaknya, tapi sekaligus tempat
homeschooling.Setiap pagi, empat anaknya (kelas 1 dan 2 SD serta setingkat TK) tak
berangkat ke sekolah seperti lazimnya anak-anak seusia mereka. Alih-alih berpanaspanasan ikut upacara bendera, mereka malah berselonjor bebas di ruang tengah

rumahnya, sembari menyimak ocehan sang guru. Pengajarnya? Tak lain sang ibu
mereka, Yayah, yang berpengalaman jadi guru SD selama 10 tahun.
Bagaimana Yayah menyelenggarakan pendidikan di rumahnya? Kurikulumnya, kata
Yayah, tetap berbasis kurikulum nasional, namun dengan inovasi di sana-sini, terutama
porsi praktik dan mobilitas yang diperbanyak. Betapa cerianya Yayah dan anakanaknya.
Untuk mengajarkan materi transportasi, misalnya, si anak beserta enam anak lain
tetangganya harus turun langsung ke jalan. Semua alat transportasi dijajal, dari ojek
motor, kereta api, hingga busway.Lantas mereka diminta menceritakan pengalamannya
itu dalam bentuk narasi, sekaligus belajar Bahasa Indonesia. Mereka disuruh
menghitung jumlah roda bus Transjakarta, sekaligus belajar matematika.
Kegiatan belajar dibuat fun. Mereka juga langsung bersentuhan dengan realitas,
sehingga bukan melulu teori. Ini membuat mereka lebih ceria dan menjadi lebih kreatif.
Potensinya mereka bisa dimunculkan, tutur Yayah.Bukan cuma Ratna atau Yayah,
psikolog kondang, Dr Seto Mulyadi, termasuk yang setuju betul terhadap metode
homeschooling alias belajar di rumah itu. Beberapa waktu ini, anak Seto yang setingkat
SMA, tak lagi belajar di sekolah umum melainkan menjadi homescholler. Sekarang dia
malah akan mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, paparnya.

Anda mungkin juga menyukai