Anda di halaman 1dari 4

Guideline KDIGO (The Kidney Disease Improving Global Outcomes) untuk tata laksana anemia pada

pasien Penyakit Ginjal Kronis (PGK) selama ini menjadi panduan bagi klinisi untuk memberikan terapi
anemia pada pasien PGK. Pada tahun ini, KDIGO menerbitkan versi terkini guideline itu. Berikut
disampaikan ikhtisar guideline yang terbagi atas 4 chapter tersebut.

Chapter 1

Diagnosis dan Evaluasi Anemia pada Pasien PGK

Pada pasien PGK tanpa anemia, lakukan pemantauan kadar Hemoglobin (Hb) jika terindikasi atau secara
berkala (tergantung stadium).

Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi ESA, lakukan pemantauan kadar Hb jika terindikasi atau
secara berkala (tergantung stadium).

Diagnosis anemia pada pasien dewasa atau anak usia >15 tahun jika kadar Hb <13 g/dL pada pria atau <12
g/dL pada wanita.

Diagnosis anemia pada pasien anak jika kadar Hb <11 g/dL (usia 0,5 5 tahun), <11,5 g/dL (usia 5 12
tahun), dan <12 g/dL (usia 12 15 tahun).

Pada pasien PGK dengan anemia, lakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, hitung retikulosit absolut,
kadar feritin serum, saturasi transferin serum (TSAT), serta kadar vitamin B12 dan folat serum.

Chapter 2

Pemberian Fe untuk Terapi Anemia pada Pasien PGK

Saat memberikan terapi Fe, pertimbangkan rasio risiko-manfaat (meminimalkan transfusi darah, pemberian
ESA, gejala dan komplikasi anemia, serta risiko efek samping terapi Fe).

Pada pasien PGK dewasa dengan anemia tanpa terapi ESA atau Fe, dianjurkan pemberian Fe IV sebagai uji
coba (trial) jika diinginkan peningkatan kadar Hb tanpa pemberian ESA atau kadar TSAT 30% dan kadar
feritin 500 ng/mL.

Pada pasien PGK dewasa yang tidak mendapat terapi Fe namun mendapat terapi ESA, dianjurkan pemberian
Fe IV sebagai uji coba (trial) jika diinginkan peningkatan kadar Hb atau penurunan dosis ESA dan TSAT 30%
dan kadar feritin 500 ng/mL.

Pada pasien PGK non-dialisis yang membutuhkan suplementasi Fe, pemilihan rute pemberian Fe
berdasarkan derajat defisiensi Fe, ketersediaan akses intravena, respons terhadap pemberian Fe oral
sebelumnya, efek samping pemberian Fe oral/IV sebelumnya, tingkat kepatuhan pasien, dan biaya terapi.

Pemberian Fe berikutnya disesuaikan berdasarkan respons Hb, status Fe, respons terhadap terapi ESA, dan
status klinis pasien.

Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang tidak mendapat terapi Fe atau ESA, direkomendasikan
pemberian Fe oral (atau Fe IV jika menjalani hemodialisis) saat TSAT 20% dan kadar feritin serum 100
ng/mL.Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang mendapat terapi ESA namun tidak mendapat
terapi Fe, direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe IV jika menjalani hemodialisis) untuk
mempertahankan TSAT >20% dan feritin serum >100 ng/mL.

Pemantauan status Fe (TSAT dan feritin serum) dilakukan minimal setiap 3 bulan selama mendapat terapi
ESA. Pemantauan dianjurkan lebih sering saat mulai atau peningkatan dosis terapi ESA, saat terjadi
kehilangan darah, pemantauan respons setelah 1 siklus terapi Fe IV, atau kondisi lain dimana terjadi
kehilangan Fe.

Pasien yang mendapat Fe IV dianjurkan untuk dipantau selama 60 menit pasca infus terhadap terjadinya
reaksi alergi.

Hindari pemberian Fe IV pada pasien dengan infeksi sistemik.

Chapter 3

Pemberian ESA dan Terapi Lain untuk Terapi Anemia Pasien PGK

Sebelum memulai terapi ESA, singkirkan kemungkinan penyebab terjadinya anemia (termasuk defisiensi Fe
dan kondisi inflamasi).

Pertimbangkan rasio risiko-manfaat sebelum memulai terapi ESA.

Hati-hati pemberian ESA pada pasien PGK dengan penyakit kanker.

Jika kadar Hb >10 g/dL tidak direkomendasikan pemberian terapi ESA.

Pada pasien PGK dewasa, terapi ESA dianjurkan untuk dimulai saat kadar Hb 9,0 10,0 g/dL untuk
mencegah penurunan kadar Hb <9 g/dL. Sedangkan pada pasien anak perlu pertimbangan individual.

Pada beberapa pasien di mana peningkatan kualitas hidup pasien terpantau pada kadar Hb yang lebih tinggi,
terapi ESA dapat dimulai pada kadar Hb >10 g/dL.

Terapi ESA secara umum tidak ditujukan untuk mempertahankan kadar Hb >11,5 g/dL pada pasien PGK
dewasa. Namun, pada pasien tertentu kadar Hb >11,5 g/dL mungkin diperlukan.

Pada seluruh pasien PGK dewasa, direkomendasikan pemberian ESA tidak untuk meningkatkan kada Hb >13
g/dL.

Pada pasien PGK anak, pemberian ESA ditujukan untuk mencapai kisaran kadah Hb 11,0 12,0 g/dL.

Dosis ESA awal ditentukan menurut kadar Hb pasien, berat badan, dan pertimbangan klinis.

Penyesuaian dosis ESA menurut kadar Hb pasien, perubahan kadar Hb, dosis ESA saat ini, serta
pertimbangan klinis.

Dosis awal ESA (epoetin alfa dan beta) yaitu 20 50 IU/kg 3 kali seminggu.

Dosis epoetin alfa dapat ditingkatkan setiap 4 minggu dengan peningkatan dosis mingguan 3 x 20 IU/kg jika
diperlukan.

Jika kadar Hb mendekati 11,5 g/dL, dosis ESA diturunkan 25%. Jika kadar Hb terus meningkat, terapi
sementara perlu dihentikan hingga kadar Hb mulai turun kembali.

Jika kadar Hb meningkat >1 g/dL dalam periode 2 minggu, dosis ESA harus dikurangi 25% dari dosis
sebelumnya.

Dianjurkan untuk mengurangi dosis ESA dibandingkan penghentian ESA saat diperlukan pengurangan dosis
ESA.

Evaluasi ulang dosis ESA jika pasien mengalami efek samping ESA atau pasien mengalami penyakit
akut/progresif yang dapat menyebabkan hiporesponsif ESA.

Pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, ESA dapat diberikan secara subkutan/intravena. Sedangkan
pada pasien yang tidak menjalani dialisis/dialisis peritoneal direkomendasikan pemberian ESA secara
subkutan.

Frekuensi pemberian ESA ditentukan berdasarkan stadium PGK, treatment setting, efikasi, toleransi dan
pilihan pasien, serta jenis ESA.

Pemilihan ESA berdasarkan pertimbangan farmakodinamik, aspek keamanan, efikasi, biaya, dan
ketersediaan. Serta ESA yang diberikan harus yang sudah mendapat approval dari badan regulasi setempat.

Selama pasien mulai mendapat ESA, pemantauan Hb sekurang-kurangnya sebulan sekali.

Pada pasien yang tidak menjalani dialisis, selama mendapat terapi pemeliharaan dengan ESA, pemeriksana
kadar Hb sekurang kurangnya setiap 3 bulan. Sedangkan pada pasien dengan dialisis sekurang
kurangnya sebulan sekali.

Pasien dianggap hiporesponsif terhadap ESA jika tidak terdapat peningkatan kadar Hb setelah 1 bulan terapi
ESA dengan dosis sesuai. Pada pasien tersebut tidak disarankan pemberian ESA dengan dosis 2 kali lipat.

Pasien diklasifikasikan sebagai acquired ESA hyporesponsiveness jika pasca terapi dengan dosis ESA stabil,
membutuhkan 2 kali peningkatan dosis hingga 50% di atas dosis stabil sebelumnya untuk mempertahankan
kadar Hb.

Pada pasien hiporesponsif, perlu evaluasi dan penanganan penyebab spesifik buruknya respons terhadap
ESA.

Jika tetap hiporesponsif setelah penanganan tersebut, direkomendasikan terapi individual dengan
mempertimbangkan rasio risiko-manfaat dari penurunan kadar Hb, kontinuitas terapi ESA, dan transfusi
darah.

Tidak direkomendasikan pemberian androgen maupun terapi lainnya (misal, vitamin C, D, E, asam folat, lcarnitine, danpentoxifyllin) sebagai terapi adjuvan ESA.

Pantau terhadap kemungkinan terjadinya Pure Red Cell Aplasia (PRCA) pada pasien yang mendapat terapi
ESA lebih dari 8 minggu dan mengalami penurunan Hb cepat (0,5 1,0 g/dfL/minggu) atau membutuhkan
transfusi 1-2 kali/minggu, kadar trombosit dan sel darah putih normal, dan jumlah retikulosit absolut
<10.000 /L.

Jika pasien terdiagnosa mengalami PRCA, terapi ESA harus dihentikan. Direkomendasikan
pemberian peginesatide sebagai terapi PRCA.

Chapter 4

Transfusi Sel Darah Merah untuk Terapi Anemia pada Pasien PGK

Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan sedapat mungkin menghindari transfusi sel darah merah
untuk menghindari risikonya.

Pada pasien kandidat transplantasi organ, direkomendasikan sedapat mungkin menghindari transfusi sel
darah merah untuk meminimalkan risiko allosensitization.

Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan pemberian transfusi sel darah merah pada pasien di
mana terapi ESA tidak efektif dan risiko terapi ESA melebihi manfaatnya (misal, riwayat
keganasan/riwayat stroke).

Pertimbangan untuk memberikan transfusi pasien PGK dengan anemia non-akut tidak berdasarkan ambang
batas kadar Hb, namun berdasarkan gejala anemia.

Pada kondisi klinis akut tertentu, direkomendasikan pemberian transfusi jika manfaatnya melebihi risiko
(meliputi saat koreksi cepat anemia dibutuhkan untuk menstabilkan kondisi pasien atau saat koreksi Hb preoperasi dibutuhkan).

(LHS)
Referensi :
1.

Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group. KDIGO Clinical Practice
Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease. Kidney inter., Suppl. 2012;2:279-335.

2.

Dreke TB, Parfey PS. Summary of the KDIGO guideline on anemia and comment.Medscape.[internet].2012
[cited 2012 Des 14].available from : http://www.medscape.com/viewarticle/774338.

Anda mungkin juga menyukai