Salmonella Typhi. Penyakit Ini Merupakan Penyakit Endemis Di Indonesia Serta
Salmonella Typhi. Penyakit Ini Merupakan Penyakit Endemis Di Indonesia Serta
PENDAHULUAN
lebih sering ditemukan pada kelompok usia sekolah dan dewasa muda (IDAI,
2009).
Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda
dengan TB pada orang dewasa. Masalah yang dihadapi pada TB anak adalah
masalah diagnosis, pengobatan dan pencegahan. Gejala dan tanda TB anak sering
tidak khas, sehingga perlu ketelitian dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik
(Kemenkes RI, 2013).
Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat. Sekurangkurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Di Indonesia
proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB yang ternotifikasi dalam
program TB berada dalam batas normal yaitu 8-11 %, tetapi apabila dilihat pada
tingkat provinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan variasi
proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8 15,9% (Kemenkes RI, 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Tifoid
2.1.1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella thyphi. Penyakit ini ditandai oleh panas
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjer limfe usus dan peyers patch (IDAI,
2008).
2.1.2 Epidemiologi
Di Amerika serikat, sekitar 400 kasus demam tifoid terjadi setiap tahun.
Sebagian besar kasus yang dilaporkan terjadi pada orang dibawah usia 20 tahun
dan berasal dari negara lain. Diseluruh dunia diperkirakan ada 16 juta kasus
demam tifoid setiap tahunnya, menyebabkan 600.000 kematian. Basil tifoid hanya
menginfeksi manusia, dan karena itu carrier kronik bertanggung jawab terhadap
kasus baru (Behrman & Kliegman, 2010). Umur penderita yag terkena di
Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus.
Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan di Amerika Serikat (IDAI, 2008)
2.1.3 Etiologi
Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri GramNegatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membenuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari Oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik (IDAI, 2008).
2.1.4 Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses komples mengikuti ingesti
organisme, yaitu (IDAI, 2008):
(1) Penempelan dan invasi sel-sel M Peyers Patch.
(2) Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers Patch,
Nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal siste
retikuloendotelial.
(3) Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah.
(4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP didalam kripta
usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air kedalam lumen
intestinal.
Usus kecil bagian atas merupakan tempat invasi yang utama. Monosit
memfagositosis, tapi tidak membunuh basil pada awal penyakit, dan mereka
membawa organisme dari darah ke kelenjar getah bening mesenterika dan
retikuloendotelial lain tempat bakteri berploriferasi sehingga menghasilkan radang
pada kelenjar getah bening, hati dan limpa. Septikemia sekunder tersebar dari
tempat ini dan biasanya lama, menginvasi organ-organ lain. Kandung empedu
biasanya paling rentan dan terinfeksi dari hati melalui sistem empedu atau darah.
Mikroorganisme yang memperbanyak diri pada kandung empedu akhirnya
dikeluarkan ke dalam usus (Behrman & Kliegman, 2010).
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis bervariasi dari ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu
dibagian tengan kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegaly
lebih sering dijumpai daripada splenomegaly. Kadang-kadang terdengan ronki
pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan Penunjang
1) Darah tepi perifer :
Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi
2)
3)
Airfluid level
Bayangan radiolusen di daerah hepar
Udara bebas pada abdomen
4) Pemeriksaan Serologi
Serologi Widal: kenaikan titer S. typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4
kali titer fase akut ke fase konvalesens
Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
2.1.6 Komplikasi
1. Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan
perdarahan usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini
biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi
pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu,
tekana darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus
ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi
dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah,
nyeri pada perabaan abdomen, defance muskular, hilangnya keredupan
hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus
halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
2. Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi,
stupor bahkan koma.
3. Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia,
perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun
nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada
kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang
tidak mencolok.
4. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang
200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal
setiap tahun akibat TB.
Diperkirakan
banyak
anak
menderita
TB
tidak
mendapatkan
2.2.3 Etiologi
9
Tuberkulosis
disebabkan
oleh
Mycobacterium
tuberculosis,
suatu
organisme aerob yang tumbuh lambat dengan struktur dinding sel kompleks yang
mengandung asam mikolat, suatu asam lemak 70-80 karbon, dan arabinogalaktan
yang terikat pada asam muramat. Kandungan lipid yang tinggi menyebabkan
organisme bersifat tahan-asam pada pewarnaan (resisten terhadap perubahan
warna dengan asam-alkohol), seperti digunakan pada metode pewarnaan ZiehlNeelsen atau Kinyoun yang digunakan untuk mengidentifikasi organisme ini. M.
Tuberculosis dapat dibedakan dari mikrobakteri lain dengan tidak adanya
pigmentasi, dengan angka pertumbuhannya yang lambat. Dengan waktu
penggandaan 24-36 jam, dan dengan penggunaan probe DNA spesifik (Behrman
& Kliegman, 2010).
2.2.4 Patofisiologi (Kemenkes RI, 2013)
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
10
11
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ballvalve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
12
13
Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun (kemungkinan masalah
gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan tata laksana yang
adekuat selama minimal 1 bulan).
Keluhan respiratorik berupa batuk kronik lebih dari 3 minggu atau nyeri
dada.
Bila mengenai susunan saraf pusat (SSP), dapat terjadi gejala iritabel,
leher kaku, muntah-muntah, dan kesadaran menurun.
Pemeriksaan fisis
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan
pada posisi di daerah bawah atau di bawah P5.
15
TB koksae atau TB genu: jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau
lutut.
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) multipel, tidak nyeri tekan, dan
konfluens (saling menyatu).
Pemeriksaan penunjang
16
Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT, Mycodot dan lain-lain, nilai
diagnostiknya tidak lebih unggul daripada uji tuberkulin sehingga tidak
dianjurkan. Sampai saat ini semua pemeriksaan diagnostik TB hanya dapat
mendeteksi adanya infeksi TB, tapi tidak dapat membedakan ada tidaknya
penyakit TB.
Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses rutin, sebagai
pelengkap data namun tidak berperan penting dalam diagnostik TB.
17
Kontak TB
Tidak jelas
Laporan
keluarga,
BTA
BTA (+)
Sko
r
18
Uji
tuberkulin
Negatif
Berat
Badan/Keada
an Gizi
Demam yang
tidak
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran
kelenjar
limfe kolli,
aksila,
inguinal
Pembengkak
an
tulang/sendi
panggul,
lutut, falang
Foto toraks
(-)/BTA
tidak
jelas/tidak
tahu
Positif (10 mm
atau 5 mm
pada
imunokomprom
ais
BB/TB<90% Klinis
atau
gizi buruk
BB/U<80%
atau
BB/TB<7
0 % atau
BB/U<60
%
2 minggu
-
3 minggu
1 cm, lebih dari 1 KGB,
tidak nyeri
Ada
pembengkak
an
Normal/kelain
an tidak jelas
Gambaran
sugestif
(mendukung
) TB
Skor Total
2.2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
19
Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase intensif maupun
fase lanjutan.
TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstra paru: 4-5 OAT
selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin
hingga genap 9-12 bulan terapi.
20
dosis yang digunakan sama yaitu INH 5-10 mg/kgBB/hari. Profilaksis primer
diberikan selama kontak masih ada, minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3 bulan
dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika hasilnya negatif, dan kontak tidak ada,
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, dievaluasi
apakah hanya terinfeksi atau sudah sakit TB. Jika hanya infeksi profilaksis primer
dilanjutkan sebagai profilaksis sekunder.
Profilaksis sekunder diberikan selama 6-12 bulan yang merupakan waktu
risiko tertinggi terjadinya sakit TB pada pasien yang baru terinfeksi TB.
Tabel 2.
Isoniazid (H)
Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
10 (7-15)
Dosis maksimal
(mg/hari)
300
Rifampisin (R)
15 (10-20)
600
Nama Obat
Efek samping
Hepatitis, neuritis
perifer,
hipersensitivitas
Gangguan
gastrointestinal,
21
Pirazinamid (Z)
35 (30-40)
Etambutol (E)
20 (15-25)
Streptomisin (S)
15-40
1000
reaksi
kulit,
hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan
enzim hati, cairan
tubuh
berwarna oranye
kemerahan
Toksisitas hepar,
artralgia,
gangguan
gastrointestinal
Neuritis
optik,
ketajaman mata
berkurang, buta
warna
merah
hijau,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Ototoksik,
nefrotoksik
Fase intensif
2HRZ
TB BTA
positif
TB paru
dengan
tanda-tanda
kerusakan
luas:
TB milier
TB +
destroyed
lung
Meningitis
TB
2HRZE
2HRZ+E
atau S
Fase lanjutan
Prednison
Lama
4HR
6 bulan
2 minggu dosis
penuh, kemudian
tappering off
4HR
7-10HR
4 minggu dosis
penuh kemudian
tappering off
9-12 bulan
10HR
4 minggu dosis
penuh kemudian
tappering off
12 bulan
22
Peritonitis
TB
2 minggu dosis
penuh kemudian
tappering off
2 minggu dosis
penuh kemudian
tappering off
-
Perikarditis
TB
Skeletal TB
2 bulan
RHZ (75/50/150)
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
4 bulan
RH (75/50)
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
Suportif
Asupan gizi yang adekuat sangat penting untuk keberhasilan terapi TB.
Jika ada penyakit lain juga perlu mendapat tata laksana memadai. Fisioterapi
dilakukan pada kasus pasca bedah (IDAI, 2009).
BAB III
TINJAUAN KASUS
Ilustrasi Kasus
3.1 Anamnesis
Seorang pasien anak laki-laki 16 tahun masuk RSSN (Rumah Sakit Stroke
Nasional) Bukittinggi melalui IGD jam 11.05 WIB dengan keluhan utama demam
berulang sejak 1 bulan yang lalu.
tinggi pada malam hari, pasien mengalami mual dan muntah sebanyak 1 kali saat
pagi hari sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien tidak batuk, tidak diare, BAK
dan BAB normal.
24
pernah memiliki riwayat TB, dan telah meminum obat TB selama 6 bulan sampai
tuntas dan dinyatakan telah sembuh.
Riwayat Kebiasaan
Pasien sangat malas makan, terlihat dari kondisi badan pasien yang kurus.
Kebiasaan pasien pergi sekolah menempuh jarak kurang lebih 20 km pada pagi
hari dengan menggunakan motor tanpa menggunakan jaket serta pasien juga
sering begadang.
3.2 Pemeriksaan Fisik
Umum
o Keadaan umum
: sedang
o Nadi
: 96x/mnt
o Nafas
: 24x/mnt
o Suhu
: 39 0C
o Berat badan
: 39 Kg
o Mata
o Thorax(cor)
o Pulmo
: R-/-,W-/-
o Abdomen
Khusus
25
o Tingkat kesadaran
: CM
o GCS
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil
Hb
14,9 g/dL
Leukosit
25,42 x 103 /ul
Eritrosit
5,55 x 106 /ul
Hematokrit
42,7 %
Trombosit
209 x 103/ul
LED
45 mm/jam
Salmonella thypii 1/80
Nilai Normal
13-16 g/dL
5000-10000/ul
4,8-10,8 x106 /ul
37-43 %
150-400 x 103/ul
<10 mm/jam
Keterangan
Normal
Tinggi
Normal
Normal
Normal
Tinggi
H
Salmonella thypii 1/160
O
Widal
1/160
IV FD RL 28 tetes/menit makro
Ceftriaxone 2x 1,5 g
Dumin 3x 500 mg
Ranitidine 2x 150 mg
26
BAB IV
FOLLOW UP
: sedang
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 96x/menit
Suhu
: 37,7oC
BB
: 39 Kg
Abd
: NTE (+)
27
O : TD
: 110/70 mmHg
Suhu
: 36,3oC
Abd
: NTE (+)
: 110/70 mmHg
: 36 oC
: sedang
TD
: 110/70 mmHg
Suhu
: 37,7oC
Abd
: NTE (+)
28
O : KU
: sedang
TD
: 110/70 mmHg
Suhu
: 36,5 oC
Abd
: NTE (+)
: sedang
Suhu
: 36,5 oC
Abd
: NTE
: sedang
Suhu
: 39,5 oC
Abd
: NTE
Hb
: 12,3 g/dL
Leukosit
: 8740/uL
Trombosit : 173000/uL
LED
: 18/jam
29
Ro Thorax :
A : Demam tifoid, ISPA, dispepsia, gizi kurang , suspek TB
P:
Terapi lanjut
Antasid 3x1 tab
Ro thorax
Cek urin
INH 1x300 mg
Rifampisin 1x600 mg
Pirazinamid 1x1000mg
Vitacur sirup 2x1 cth
8. Hari kedelapan rawatan (9 September 2016)
S : Demam (-), sakit perut
O : Suhu
: 36,5oC
Abd
: NTE
: 37,2oC
Abd
: NTE
A : SOL
P:
30
Terapi lanjut
: 36 oC
: normal
: 36 oC
: 36,2oC
31
O : TD
Suhu
: 120/70 mmHg
: 36,4oC
: sedang
Suhu
: 37,3oC
: sedang
Suhu
: 37,3oC
32
BAB V
PEMBAHASAN
Seorang pasien anak laki-laki berusia 16 tahun dibawa ke RSSN melalui
IGD (instalasi gawat darurat) pada jam 11.05 WIB dengan keluhan utama demam
berulang sejak 3 minggu yang lalu, sejak 1 hari yang lalu demam tinggi pada
malam hari, pasien mengalami mual dan muntah sebanyak 1 kali saat pagi hari
sebelum dibawa ke rumah sakit. Sebelumnya pasien juga dirawat di RS Yarsi
selama 2 minggu dengan keluhan yang sama, seminggu di rumah, pasien kembali
demam.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, suhu tubuh pasien saat di IGD 39 oC,
berat badan 39 Kg, frekuensi nadi 96x/menit, frekuensi pernafasan 24x/menit.
Pada pemeriksaan lidah pasien, ditemukan bahwa lidah pasien berwarna putih
kotor ditengah dan kemerahan dibagian tepi (coated tongue). Hasil pemeriksaan
tes widal diperoleh Salmonella thypii O 1/160. Dari gejala dan pemeriksaan pada
pasien menguatkan diagnosa bahwa pasien menderita demam tifoid dan dispepsia.
Wawancara dengan keluarga, pasien tidak memiliki riwayat penyakit
terdahulu, dan juga pasien memiliki kebiasaan begadang serta malas makan, hal
tersebut juga didukung dengan kondisi pasien yang kurus, pasien setiap pagi pergi
sekolah menempuh jarak kurang lebih 20 km menggunakan motor tanpa
menggunakan jaket.
33
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala demam lebih dari 7 hari.
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman /
makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa
kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja. Gelaja klinis demam tifoid
sangat bervariasi, dari gejala ringan dan tidak perlu perawatan khusus sampai
dengan berat sehingga harus dirawat. Semua pasien demam tifoid selalu menderita
demam di awal penyakit. Demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu stepladder yaitu demam naik secara bertahap setiap harinya dan turun perlahan.
Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi
pada sore dan malam hari dibandingkan pagi harinya. Gejala lainnya adalah
timbul nyeri kepala, pusing, nyeri perut, lesu, tidak bersemangat, dan radang
tenggorokan.
Berdasarkan keluhan pasien dan diagnosa dokter pasien juga mengalami
dispepsia. Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau
beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa
penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual,
muntah, dan sendawa (Miwa, et al., 2012).
Penatalaksanaan demam tifoid dalam IDAI (2008) dengan pemberian
antibiotik:
1. Kloramfenikol (drug of choice) 100 mg/kgBB/hari, oral atau IV,
dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari, atau sampai 5-7 hari demam
turun.
34
35
membahayakan
Demam
berbahaya
karena
secara drastic
Antipiretik mungkin tidak melindungi
terhadap terjadinya kejang demam,
karena kecepatan naiknya suhu lebih
penting daripada tingginya suhu dalam
Mengurangi
gejala
yang
ketidaknyamanan
berhubungan
antipiretik
dapat
indikasi:
1. Demam lebih dari 39oC yang berhubungan dengan gejala nyeri atau
tidak nyaman, biasa timbul pada keadaan otitis media atau myalgia.
2. Demam lebih dari 40,5oC
36
37
Kemungkinan
Penanganan
Penyebab
Minor
Anoreksia, mual, sakit Rifampisin
perut
Nyeri sendi
Rasa panas dikaki
Urin kemerahan
Mayor
Gatal-gatal, kemerahan
Tiasetazon
Streptomisin
di kulit
Ketulian
Pirazinamid
INH
Rifampisin
38
Pusing,
vertigo, Streptomisin
nistagmus
Icterus (tanpa sebab lain)
Berbagai
TB
bingung Berbagai
Muntah,
etambutol
Hentikan streptomisin, ganti dengan
etambutol
anti Hentikan anti TB
anti Hentikan obat, segera periksa fungsi
hati dan waktu protombin
Hentikan etambutol
Hentikan rifampisin
ginjal akut
Pasien diberikan IVFD KA-EN 1B + KCl Meq ( 22 tetes / menit ). Infus
ini digunakan untuk menganti atau menyalurkan cairan elektrolit tubuh pasien
selain untuk menjaga kondisi cairan pasien seimbang. Menurut perhitungan, dosis
yang diberikan sudah sesuai. Dosis untuk anak adalah 50 100 mL/jam.
Jumlah tetesan per menit=
39
BAB VI
EDUKASI PADA PASIEN DAN KELUARGA
40
41
BAB VII
ANALISA DRUG RELATED PROBLEMS
7.1 TERAPI YANG DIBERIKAN
Tabel 6. Terapi yang diberikan pada pasien
No.
Nama obat
1
2
3
4
5
IV FD RL
Ceftriaxone
Paracetamol (Dumin)
Ranitidin
IV FD KAEN 1 B (Dektrose
Bentuk
Sediaan
Infus
IV
Tablet
IV
Infus
Dosis
Indikasi
28 gtt/menit
2x1,5g
4x500mg
2x80 mg
26 gtt/menit
Oral
3x1
Tablet
Tablet
Tablet
bungkus
1x300mg
1x600mg
1x1000mg
Anti tuberkolosis
Anti tuberkolosis
Anti tuberkolosis
KCl 7,46% 10 ml
Puyer batuk (trifed 4/5 tab +
7
8
9
interpect 20 mg)
INH
Rifampisin
Pirazinamid
42
10
Antacid
Sirup
3x1 sendok
Antacid
11
Curvit
Sirup
teh
2x1 sendok
teh
DRP
1b
Keterangan
Semua indikasi telah diterapi
Rekomendasi
mg/kgBB
3b
pemakaian
diterima
pasien
perhitungan
untuk
berat
dosis,
anak
39
kg,
ceftriaxone
15
seharusnya
dosis
yang
diterima
Dosis berlebih
dengan
penggunaan
dosis
yang
obat
OAT
terapi
sudah
rontgen thorax.
Pemilihan obat telah tepat
Efek samping obat belum muncul pada
-
pasien ini.
Tidak ditemukan ada penggunaan obat
yang
Duplikasi terapi
hasil
berinteraksi
saat
digunakan
bersama.
Tidak ditemukan adanya duplikasi terapi
44
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
1. Dosis injeksi ceftriaxone yang diterima pasien kurang 2x1,5 g
45
2. Pasien mengeluhkan nyeri pada telapak kaki saat diinjakan, namun tidak
diberikan terapi untuk mengurangi keluhan pasien
3. Dosis ranitidin yang diterima pasien saat di ruangan kurang (2x80 mg)
4. Pada hari kedua rawatan, pasien tidak lagi demam tetapi masih diberikan
parasetamol
5. Pada hari ketujuh rawatan (8 September) pasien didiagnosa TB paru
berdasarkan hasil rontgen thorax dan gejala klinis, namun hasil rontgen
thorax telah keluar saat pasien dirawat di RS Yarsi.
8.2 Saran
a. Berdasarkan perhitungan dosis, untuk anak dengan berat 39 kg, dosis
ceftriaxone yang diterima seharusnya adalah 3,9 g (2x1,95 g)
b. Berikan aspirin sebagai analgesic dengan dosis 15-20 mg/kgBB diberikan
tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g/hari, jadi dapat
diberikan 600-800 mg 4x sehari.
c. Dosis ranitidin yang seharusnya diterima pasien berdasarkan berat badan
adalah 195-390 mg/hari dalam 2 dosis terbagi
d. Hentikan pemakaian parasetamol
e. Berikan obat OAT untuk berat badan 40 Kg adadalah INH 300 mg,
rifampisin 600 mg dan pirazinamid 1000 mg, terapi sudah diberikan dokter
saat mengetahui hasil rontgen thorax.
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Health Drug Information. 2001. Cephalosporins. America:
ASHF.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. 2007. Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
46
47