Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi sistemik


Salmonella typhi. Penyakit ini merupakan penyakit endemis di Indonesia serta
masih menjadi masalah kesehatan khususnya negara-negara yang sedang
berkembang di dunia. Tingkat kejadian demam tifoid masih tergolong tinggi,
meskipun total angka kematian sudah menurun dengan upaya diagnosis cepat dan
pemberian antibiotik yang tepat (Crump, et. al., 2004).
Persentasi kasus demam tifoid sekitar sembilan puluh enam persen (96%)
yang disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Mekanisme
masuknya kumani ialah masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati
lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus
sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman ikut aliran
limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai jaringan
RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami
bakteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ
lain (intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari (IDAI, 2009).
Demam tifoid masih sangat endemis dan terjadi sepanjang tahun di seluruh
wilayah di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
bahwa prevalensi demam tifoid klinis nasional adalah 1,6%, tersebar diseluruh
kelompok umur dan merata pada umur dewasa. Kasus demam tifoid terjadi pada
umur 3-19 tahun memiliki prevalensi 91%, kemudian kejadian meningkat setelah
umur 5 tahun di Indonesia. Berdasarkan data berbasis rumah sakit, demam tifoid

lebih sering ditemukan pada kelompok usia sekolah dan dewasa muda (IDAI,
2009).
Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda
dengan TB pada orang dewasa. Masalah yang dihadapi pada TB anak adalah
masalah diagnosis, pengobatan dan pencegahan. Gejala dan tanda TB anak sering
tidak khas, sehingga perlu ketelitian dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik
(Kemenkes RI, 2013).
Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat. Sekurangkurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Di Indonesia
proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB yang ternotifikasi dalam
program TB berada dalam batas normal yaitu 8-11 %, tetapi apabila dilihat pada
tingkat provinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan variasi
proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8 15,9% (Kemenkes RI, 2013).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Tifoid
2.1.1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella thyphi. Penyakit ini ditandai oleh panas
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjer limfe usus dan peyers patch (IDAI,
2008).
2.1.2 Epidemiologi
Di Amerika serikat, sekitar 400 kasus demam tifoid terjadi setiap tahun.
Sebagian besar kasus yang dilaporkan terjadi pada orang dibawah usia 20 tahun
dan berasal dari negara lain. Diseluruh dunia diperkirakan ada 16 juta kasus
demam tifoid setiap tahunnya, menyebabkan 600.000 kematian. Basil tifoid hanya
menginfeksi manusia, dan karena itu carrier kronik bertanggung jawab terhadap
kasus baru (Behrman & Kliegman, 2010). Umur penderita yag terkena di
Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus.
Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan di Amerika Serikat (IDAI, 2008)
2.1.3 Etiologi
Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri GramNegatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membenuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari Oligosakarida, flagelar

antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik (IDAI, 2008).
2.1.4 Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses komples mengikuti ingesti
organisme, yaitu (IDAI, 2008):
(1) Penempelan dan invasi sel-sel M Peyers Patch.
(2) Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers Patch,
Nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal siste
retikuloendotelial.
(3) Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah.
(4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP didalam kripta
usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air kedalam lumen
intestinal.
Usus kecil bagian atas merupakan tempat invasi yang utama. Monosit
memfagositosis, tapi tidak membunuh basil pada awal penyakit, dan mereka
membawa organisme dari darah ke kelenjar getah bening mesenterika dan
retikuloendotelial lain tempat bakteri berploriferasi sehingga menghasilkan radang
pada kelenjar getah bening, hati dan limpa. Septikemia sekunder tersebar dari
tempat ini dan biasanya lama, menginvasi organ-organ lain. Kandung empedu
biasanya paling rentan dan terinfeksi dari hati melalui sistem empedu atau darah.
Mikroorganisme yang memperbanyak diri pada kandung empedu akhirnya
dikeluarkan ke dalam usus (Behrman & Kliegman, 2010).

2.1.5 Diagnosis (IDAI, 2009)


Anamnesis

Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir

minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi.


Anak sering mengigau (Delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri

kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung.


Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan
ikterus.

Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis bervariasi dari ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu
dibagian tengan kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegaly
lebih sering dijumpai daripada splenomegaly. Kadang-kadang terdengan ronki
pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan Penunjang
1) Darah tepi perifer :
Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi

2)

3)

Fe, atau pendarahan usus.


Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/L
Limfositosis relative
Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat.
Pemeriksaan biakan Salmonella
Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4
Pemeriksaan radiologik :
Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti

perforasi usus atau pendarahan saluran cerna.


Pada perforasi usus tampak :
Distribusi udara tak merata

Airfluid level
Bayangan radiolusen di daerah hepar
Udara bebas pada abdomen
4) Pemeriksaan Serologi
Serologi Widal: kenaikan titer S. typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4
kali titer fase akut ke fase konvalesens
Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
2.1.6 Komplikasi
1. Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan
perdarahan usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini
biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi
pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu,
tekana darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus
ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi
dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah,
nyeri pada perabaan abdomen, defance muskular, hilangnya keredupan
hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus
halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
2. Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi,
stupor bahkan koma.
3. Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia,
perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun
nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada
kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang
tidak mencolok.
4. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang

dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik


mempunyai prognosis buruk.
5. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan
ini dapat ditimbulkan oleh kuman salmonella typhi, namun seringkali
sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.
6. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi
intravaskular diseminata, hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi
dibeberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang,
otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.
(IDAI, 2008)
2.1.7 Penatalaksanaan (IDAI, 2009)

Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah


Tirah baring
Isolasi yang memadai
Cukupi kebutuhan cairan dan kalori
Demam tifoid berat harus dirawat inap dirumah sakit :
Cairan dan kalori
Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila asupan

cairan dan kalori diberikan melalui sonde lampung.


Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5

kebutuhan dengan kadar natrium rendah


Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan
Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
Pertahankan osigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
Pelihara kedaan nutrisi
Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
Antipiretik, diberikan apabila demam >39oC, kecuali pada pasien dengan
riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal
Diet
Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih
padat dengan kalori cukup

Transfusi darah : kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna


dan perforasi usus
Medikamentosa
Antibiotik
Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari
Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari
Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari
Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari,
selama 5 hari
Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari
Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.
Deksametason 1-3 mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga
kesadaran membaik.
Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus.
2.2 Tuberkulosis Anak
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer (IDAI, 2009).
2.2.2 Epidemiologi (Kemenkes RI, 2013)

Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang


karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 4050% dari
jumlah seluruh populasi.

Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun.

200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal
setiap tahun akibat TB.

Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat


diagnostik yang child-friendly dan tidak adekuatnya sistem pencatatan
dan pelaporan kasus TB anak.

Diperkirakan

banyak

anak

menderita

TB

tidak

mendapatkan

penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi


DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada
morbiditas dan mortalitas anak.

Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara


semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5%
pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per
provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini
menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level
provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun
dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun
yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada
TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan
tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

2.2.3 Etiologi
9

Tuberkulosis

disebabkan

oleh

Mycobacterium

tuberculosis,

suatu

organisme aerob yang tumbuh lambat dengan struktur dinding sel kompleks yang
mengandung asam mikolat, suatu asam lemak 70-80 karbon, dan arabinogalaktan
yang terikat pada asam muramat. Kandungan lipid yang tinggi menyebabkan
organisme bersifat tahan-asam pada pewarnaan (resisten terhadap perubahan
warna dengan asam-alkohol), seperti digunakan pada metode pewarnaan ZiehlNeelsen atau Kinyoun yang digunakan untuk mengidentifikasi organisme ini. M.
Tuberculosis dapat dibedakan dari mikrobakteri lain dengan tidak adanya
pigmentasi, dengan angka pertumbuhannya yang lambat. Dengan waktu
penggandaan 24-36 jam, dan dengan penggunaan probe DNA spesifik (Behrman
& Kliegman, 2010).
2.2.4 Patofisiologi (Kemenkes RI, 2013)
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.

10

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe


menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama 48
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila

11

imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ballvalve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

12

menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai


lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB

13

secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul


dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread.
2.2.5 Diagnosa (IDAI, 2009)
Anamnesa
Gejala umum dari penyakit TB pada anak tidak khas.

Nafsu makan kurang.

Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun (kemungkinan masalah
gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan tata laksana yang
adekuat selama minimal 1 bulan).

Demam subfebris berkepanjangan (etiologi demam kronik yang lain perlu


disingkirkan dahulu, seperti infeksi saluran kemih (ISK), tifus, atau
malaria).

Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal, atau


tempat lain.
14

Keluhan respiratorik berupa batuk kronik lebih dari 3 minggu atau nyeri
dada.

Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan


pengobatan baku atau perut membesar karena cairan atau teraba massa
dalam perut.

Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila TB mengenai organ ekstrapulmonal,


seperti:

Benjolan di punggung (gibbus), sulit membungkuk, pincang, atau


pembengkakan sendi.

Bila mengenai susunan saraf pusat (SSP), dapat terjadi gejala iritabel,
leher kaku, muntah-muntah, dan kesadaran menurun.

Gambaran kelainan kulit yang khas yaitu skrofuloderma.

Limfadenopati multipel di daerah colli, aksila, atau inguinal.

Lesi flikten di mata.

Pemeriksaan fisis
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.

Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan
pada posisi di daerah bawah atau di bawah P5.

Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.

Kelainan pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB mengenai organ


tertentu.

TB vertebra: gibbus, kifosis, paraparesis, atau paraplegia.

15

TB koksae atau TB genu: jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau
lutut.

Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) multipel, tidak nyeri tekan, dan
konfluens (saling menyatu).

Meningitis TB: kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal lain.

Skrofuloderma: Ulkus kulit dengan skinbridge biasanya terjadi di daerah


leher, aksila, atau inguinal.

Konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih di limbus kornea yang sangat


nyeri.

Pemeriksaan penunjang

Uji tuberkulin: dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml tuberkulin


PPD secara intra kutan di bagian volar lengan dengan arah suntikan
memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah
penyuntikan. Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam mm
berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi
sama sekali. Indurasi 10 mm ke atas dinyatakan positif. Indurasi <5 mm
dinyatakan negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu
diulang, dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji tuberkulin positif
menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB)
pada anak. Reaksi uji tuberkulin positif biasanya bertahan lama hingga
bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberkulin
tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB.

16

Foto toraks antero-posterior (AP) dan lateral kanan. Gambaran radiologis


yang sugestif TB di antaranya: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,
konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis,
atau kalsifikasi.

Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung atau sputum,


untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung dan
Mycobacterium tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan
diagnosis pasti TB. Hasil BTA atau biakan negatif tidak menyingkirkan
diagnosis TB.

Pemeriksaan patologi dilakukan dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan


lain yang dicurigai TB.

Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT, Mycodot dan lain-lain, nilai
diagnostiknya tidak lebih unggul daripada uji tuberkulin sehingga tidak
dianjurkan. Sampai saat ini semua pemeriksaan diagnostik TB hanya dapat
mendeteksi adanya infeksi TB, tapi tidak dapat membedakan ada tidaknya
penyakit TB.

Funduskopi perlu dilakukan pada TB milier dan Meningitis TB.

Pungsi lumbal harus dilakukan pada TB milier untuk mengetahui ada


tidaknya meningitis TB.

Foto tulang dan pungsi pleura dilakukan atas indikasi.

Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses rutin, sebagai
pelengkap data namun tidak berperan penting dalam diagnostik TB.

Sistem Skoring (Kemenkes RI, 2013)

17

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat


dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian
oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati
sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak
terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu
tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi
terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai
berikut:

Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular


mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.

Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan


diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

Pasien dengan jumlah skor 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan


mendapat OAT.

Tabel 1. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang


TB di fasyankes
Parameter

Kontak TB

Tidak jelas

Laporan
keluarga,
BTA

BTA (+)

Sko
r

18

Uji
tuberkulin

Negatif

Berat
Badan/Keada
an Gizi

Demam yang
tidak
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran
kelenjar
limfe kolli,
aksila,
inguinal
Pembengkak
an
tulang/sendi
panggul,
lutut, falang
Foto toraks

(-)/BTA
tidak
jelas/tidak
tahu
Positif (10 mm
atau 5 mm
pada
imunokomprom
ais
BB/TB<90% Klinis
atau
gizi buruk
BB/U<80%
atau
BB/TB<7
0 % atau
BB/U<60
%
2 minggu
-

3 minggu
1 cm, lebih dari 1 KGB,
tidak nyeri

Ada
pembengkak
an

Normal/kelain
an tidak jelas

Gambaran
sugestif
(mendukung
) TB

Skor Total
2.2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,

19

sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis


primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder)
(Kemenkes RI, 2013).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah: (Kemenkes RI,
2013)

Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai


monoterapi.

Pemberian gizi yang adekuat.

Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

Medikamentosa (IDAI, 2009)


Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu:

Fase intensif: 3-5 OAT selama 2 bulan awal:

Fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH-rifampisin) hingga 6-12 bulan.

Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase intensif maupun
fase lanjutan.

TB paru: INH, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif,


dilanjutkan INH dan rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ
4HR).

TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstra paru: 4-5 OAT
selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin
hingga genap 9-12 bulan terapi.

TB kelenjar superfisial: terapinya sama denganTB paru.

20

TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari


selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap (tappering off)
selama 2 minggu, sehingga total waktu pemberian 1 bulan.

Kelompok risiko tinggi memerlukan medikamentosa profilaksis.

Profilaksis primer untuk mencegah tertular/infeksi pada kelompok yang


mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa dengan uji BTA positif.

Profilaksis sekunder untuk mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok


yang telah terinfeksi TB tapi belum sakit TB.
Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun obat dan

dosis yang digunakan sama yaitu INH 5-10 mg/kgBB/hari. Profilaksis primer
diberikan selama kontak masih ada, minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3 bulan
dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika hasilnya negatif, dan kontak tidak ada,
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, dievaluasi
apakah hanya terinfeksi atau sudah sakit TB. Jika hanya infeksi profilaksis primer
dilanjutkan sebagai profilaksis sekunder.
Profilaksis sekunder diberikan selama 6-12 bulan yang merupakan waktu
risiko tertinggi terjadinya sakit TB pada pasien yang baru terinfeksi TB.
Tabel 2.

Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya

(Kemenkes RI, 2013)

Isoniazid (H)

Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
10 (7-15)

Dosis maksimal
(mg/hari)
300

Rifampisin (R)

15 (10-20)

600

Nama Obat

Efek samping
Hepatitis, neuritis
perifer,
hipersensitivitas
Gangguan
gastrointestinal,

21

Pirazinamid (Z)

35 (30-40)

Etambutol (E)

20 (15-25)

Streptomisin (S)

15-40

1000

reaksi
kulit,
hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan
enzim hati, cairan
tubuh
berwarna oranye
kemerahan
Toksisitas hepar,
artralgia,
gangguan
gastrointestinal
Neuritis
optik,
ketajaman mata
berkurang, buta
warna
merah
hijau,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Ototoksik,
nefrotoksik

Tabel 3. Panduan OAT Kategori Anak (Kemenkes RI, 2013)


Jenis
TB ringan
Efusi pleura
TB

Fase intensif
2HRZ

TB BTA
positif
TB paru
dengan
tanda-tanda
kerusakan
luas:
TB milier
TB +
destroyed
lung
Meningitis
TB

2HRZE
2HRZ+E
atau S

Fase lanjutan
Prednison
Lama
4HR
6 bulan
2 minggu dosis
penuh, kemudian
tappering off
4HR
7-10HR

4 minggu dosis
penuh kemudian
tappering off

9-12 bulan

10HR

4 minggu dosis
penuh kemudian
tappering off

12 bulan

22

Peritonitis
TB

2 minggu dosis
penuh kemudian
tappering off
2 minggu dosis
penuh kemudian
tappering off
-

Perikarditis
TB
Skeletal TB

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination) (Kemenkes


RI, 2013)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket
dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak
berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Dosis kombinasi pada TB anak


Berat badan (kg)
5-7
8-11
12-16
17-22
23-30

2 bulan
RHZ (75/50/150)
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet

4 bulan
RH (75/50)
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet

BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa


Bedah (IDAI, 2009)

TB paru berat dengan destroyed lung untuk lobektomi atau pneumektomi.

TB tulang seperti spondilitis TB, koksitis TB, atau gonitis TB.


23

Tindakan bedah dapat dilakukan setelah terapi OAT selama minimal 2


bulan, kecuali jika terjadi kompresi medula spinalis atau ada abses
paravertebra tindakan bedah perlu lebih awal.

Suportif
Asupan gizi yang adekuat sangat penting untuk keberhasilan terapi TB.
Jika ada penyakit lain juga perlu mendapat tata laksana memadai. Fisioterapi
dilakukan pada kasus pasca bedah (IDAI, 2009).

BAB III
TINJAUAN KASUS

Ilustrasi Kasus
3.1 Anamnesis
Seorang pasien anak laki-laki 16 tahun masuk RSSN (Rumah Sakit Stroke
Nasional) Bukittinggi melalui IGD jam 11.05 WIB dengan keluhan utama demam
berulang sejak 1 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Demam berulang sejak 1 bulan yang lalu, sejak 1 hari yang lalu demam

tinggi pada malam hari, pasien mengalami mual dan muntah sebanyak 1 kali saat
pagi hari sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien tidak batuk, tidak diare, BAK
dan BAB normal.

24

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat TB.

Riwayat Penyakit Keluarga


Berdasarkan wawancara dengan keluarga pasien, orang tua pasien (ibu)

pernah memiliki riwayat TB, dan telah meminum obat TB selama 6 bulan sampai
tuntas dan dinyatakan telah sembuh.

Riwayat Kebiasaan
Pasien sangat malas makan, terlihat dari kondisi badan pasien yang kurus.

Kebiasaan pasien pergi sekolah menempuh jarak kurang lebih 20 km pada pagi
hari dengan menggunakan motor tanpa menggunakan jaket serta pasien juga
sering begadang.
3.2 Pemeriksaan Fisik

Umum
o Keadaan umum

: sedang

o Nadi

: 96x/mnt

o Nafas

: 24x/mnt

o Suhu

: 39 0C

o Berat badan

: 39 Kg

o Mata

: CA anemis -/-, SI -/-

o Thorax(cor)

: S1S2 reg bising-/-, desah-/-

o Pulmo

: R-/-,W-/-

o Abdomen

: NTE (-), peristaltik (+)

Khusus

25

o Tingkat kesadaran

: CM

o GCS

: E=4 M=6 V=5

3.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan

Hasil
Hb
14,9 g/dL
Leukosit
25,42 x 103 /ul
Eritrosit
5,55 x 106 /ul
Hematokrit
42,7 %
Trombosit
209 x 103/ul
LED
45 mm/jam
Salmonella thypii 1/80

Nilai Normal
13-16 g/dL
5000-10000/ul
4,8-10,8 x106 /ul
37-43 %
150-400 x 103/ul
<10 mm/jam

Keterangan
Normal
Tinggi
Normal
Normal
Normal
Tinggi

H
Salmonella thypii 1/160
O
Widal

1/160

3.4 Diagnosa Kerja


Obs thypoid + leukositosis
3.5 Terapi Farmakologi saat di IGD
Terapi yang diberikan di IGD pada tanggal 1 September 2016 pada pukul
11.06 WIB

IV FD RL 28 tetes/menit makro

Ceftriaxone 2x 1,5 g

Dumin 3x 500 mg

Ranitidine 2x 150 mg

26

BAB IV
FOLLOW UP

1. Hari pertama rawatan (2 september 2016)


S : Demam berulang 1 bulan, batuk (+), pilek (+), mual (+), muntah (+),
perut terasa sakit
O : KU

: sedang

TD

: 120/80 mmHg

Nadi

: 96x/menit

Suhu

: 37,7oC

BB

: 39 Kg

Abd

: NTE (+)

A : Demam tifoid, ISPA, dispepsia, gizi kurang


P : Terapi yang diberikan :
IV FD KAEN 1 B + KCl 10 ml
Inj ceftriaxone 2 x 1,5 g
Paracetamol (dumin) 500 mg 4x1
Ranitidine 2x80 mg
Cap batuk (trifed 4/5 tablet + interpect 20 mg) 3x1
2. Hari kedua rawatan (3 September 2016)
S : Demam , batuk (+), pilek , mual

27

O : TD

: 110/70 mmHg

Suhu

: 36,3oC

Abd

: NTE (+)

A : Demam tifoid, ISPA, dispepsia, gizi kurang


P : Terapi yang diberikan :
Terapi lanjut
3. Hari ketiga rawatan (4 September 2016)
S : Demam , batuk (+), pilek , mual
O : TD
Suhu

: 110/70 mmHg
: 36 oC

A : Demam tifoid, ISPA, dispepsia, gizi kurang


P : Terapi yang diberikan :
Terapi lanjut
4. Hari keempat rawatan (5 September 2016)
S : Demam , batuk (-), pilek(-), nyeri perut (+)
O : KU

: sedang

TD

: 110/70 mmHg

Suhu

: 37,7oC

Abd

: NTE (+)

A : Demam tifoid, ISPA, dispepsia, gizi kurang


P : Terapi yang diberikan :
Terapi lanjut
5. Hari kelima rawatan (6 September 2016)
S : Demam (-), nyeri perut (+)

28

O : KU

: sedang

TD

: 110/70 mmHg

Suhu

: 36,5 oC

Abd

: NTE (+)

A : Demam tifoid, ISPA, dispepsia, gizi kurang


P : Terapi yang diberikan :
Terapi lanjut
6. Hari keenam rawatan (7 September 2016)
S : demam (-), kepala sakit, nyeri perut
O : KU

: sedang

Suhu

: 36,5 oC

Abd

: NTE

A : Demam tifoid, ISPA, dispepsia, gizi kurang


P : Terapi yang diberikan :
Terapi lanjut
7. Hari ketujuh rawatan (8 September 2016)
S : Demam (+)
O : KU

: sedang

Suhu

: 39,5 oC

Abd

: NTE

Hb

: 12,3 g/dL

Leukosit

: 8740/uL

Trombosit : 173000/uL
LED

: 18/jam

29

Ro Thorax :
A : Demam tifoid, ISPA, dispepsia, gizi kurang , suspek TB
P:
Terapi lanjut
Antasid 3x1 tab
Ro thorax
Cek urin
INH 1x300 mg
Rifampisin 1x600 mg
Pirazinamid 1x1000mg
Vitacur sirup 2x1 cth
8. Hari kedelapan rawatan (9 September 2016)
S : Demam (-), sakit perut
O : Suhu

: 36,5oC

Abd

: NTE

A : Demam tifoid, ISPA,TB paru,dispepsia


P : Terapi yang diberikan :
Terapi lanjut
9. Hari kesembilan rawatan (10 September 2016)
S : Demam (-), sakit kepala hebat semalam, mata kabur, gambar ganda
O : Suhu

: 37,2oC

Abd

: NTE

A : SOL
P:
30

Terapi lanjut

Brain scanning, konsul bedah syaraf

10. Hari kesepuluh rawatan (11 September 2016)


S : Demam (-)
O : Suhu
CT scan

: 36 oC
: normal

A : Demam tifoid, ISPA,TB paru,dispepsia


P : Terapi yang diberikan :
Terapi lanjut
11. Hari kesebelas rawatan (12 September 2016)
S : Demam (-)
O : Suhu

: 36 oC

A : Demam tifoid, ISPA,TB paru,dispepsia


P : Terapi yang diberikan :
Terapi lanjut
12. Hari keduabelas rawatan (13 September 2016)
S : Demam (-)
O : Suhu

: 36,2oC

A : Demam tifoid, ISPA,TB paru,dispepsia


P : Terapi yang diberikan :
Terapi lanjut
13. Hari ketigabelas rawatan (14 September 2016)
S : Demam (-), badan letih

31

O : TD
Suhu

: 120/70 mmHg
: 36,4oC

A : Demam tifoid, ISPA,TB paru,dispepsia


P : Terapi yang diberikan :
Infus stop
14. Hari keempatbelas rawatan (15 September 2016)
S : Demam (-)
O : KU

: sedang

Suhu

: 37,3oC

A : Demam tifoid, ISPA,TB paru,dispepsia


P : Boleh pulang
15. Hari kelimabelas rawatan (16 September 2016)
S : Demam (-)
O : KU

: sedang

Suhu

: 37,3oC

A : Demam tifoid, ISPA,TB paru,dispepsia


P : Pasien pulang
Terapi pulang:
INH 1x300 mg
Rifampisin 1x600 mg
Pirazinamid 1x1000 mg
Curvit sirup 2x1 cth

32

BAB V
PEMBAHASAN
Seorang pasien anak laki-laki berusia 16 tahun dibawa ke RSSN melalui
IGD (instalasi gawat darurat) pada jam 11.05 WIB dengan keluhan utama demam
berulang sejak 3 minggu yang lalu, sejak 1 hari yang lalu demam tinggi pada
malam hari, pasien mengalami mual dan muntah sebanyak 1 kali saat pagi hari
sebelum dibawa ke rumah sakit. Sebelumnya pasien juga dirawat di RS Yarsi
selama 2 minggu dengan keluhan yang sama, seminggu di rumah, pasien kembali
demam.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, suhu tubuh pasien saat di IGD 39 oC,
berat badan 39 Kg, frekuensi nadi 96x/menit, frekuensi pernafasan 24x/menit.
Pada pemeriksaan lidah pasien, ditemukan bahwa lidah pasien berwarna putih
kotor ditengah dan kemerahan dibagian tepi (coated tongue). Hasil pemeriksaan
tes widal diperoleh Salmonella thypii O 1/160. Dari gejala dan pemeriksaan pada
pasien menguatkan diagnosa bahwa pasien menderita demam tifoid dan dispepsia.
Wawancara dengan keluarga, pasien tidak memiliki riwayat penyakit
terdahulu, dan juga pasien memiliki kebiasaan begadang serta malas makan, hal
tersebut juga didukung dengan kondisi pasien yang kurus, pasien setiap pagi pergi
sekolah menempuh jarak kurang lebih 20 km menggunakan motor tanpa
menggunakan jaket.

33

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala demam lebih dari 7 hari.
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman /
makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa
kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja. Gelaja klinis demam tifoid
sangat bervariasi, dari gejala ringan dan tidak perlu perawatan khusus sampai
dengan berat sehingga harus dirawat. Semua pasien demam tifoid selalu menderita
demam di awal penyakit. Demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu stepladder yaitu demam naik secara bertahap setiap harinya dan turun perlahan.
Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi
pada sore dan malam hari dibandingkan pagi harinya. Gejala lainnya adalah
timbul nyeri kepala, pusing, nyeri perut, lesu, tidak bersemangat, dan radang
tenggorokan.
Berdasarkan keluhan pasien dan diagnosa dokter pasien juga mengalami
dispepsia. Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau
beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa
penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual,
muntah, dan sendawa (Miwa, et al., 2012).
Penatalaksanaan demam tifoid dalam IDAI (2008) dengan pemberian
antibiotik:
1. Kloramfenikol (drug of choice) 100 mg/kgBB/hari, oral atau IV,
dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari, atau sampai 5-7 hari demam
turun.

34

2. Ampicillin 200mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara


IV
3. Amoxicillin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian, oral
atau IV selama 10 hari
4. Ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis
(maksimal 4g/hari), selama 5-7 hari
5. Cefotaxime 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
6. Cefixime 10-16mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis selama 10
hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama apabila jumlah
leukosit <2000/l atau dijumpai resistensi terhadap S.thypii.
Saat dibangsal pasien mendapatkan injeksi ceftriaxone 2 x 1,5 g, dalam IDAI
(2008), ceftriaxone dapat diberikan 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis
(maksimal 4 g/hari) selama 5-7 hari. Pada pemeriksaan penunjang demam tifoid
seharusnya pasien mengalami leukopenia, namun dari pemeriksaan laboratorium
leukosit pasien 25420/l mengindikasi terdapat infeksi selain dari S.thypii, hal ini
yang mendasari penggunaan ceftriaxone yang merupakan golongan sefalosporin
generasi ketiga yang memiliki spectrum luas, bekerja dengan cara menghambat
sinstesis dinding sel bakteri. Pemilihan obat telah tepat, namun dosis yang
diberikan kurang, seharusnya untuk anak dengan BB 39 kg, dosis ceftriaxone
yang diberikan adalah 4 g/hari (2x2g).
Gejala klinis penyerta demam tifoid adalah demam, mual dan muntah yang
merupakan gejala khas dari demam tifoid. Untuk mengatasi demam pasien
diberikan paracetamol dengan dosis 4x500 mg. Menurut Ikatan Dokter Anak
Indonesia, dosis paracetamol untuk anak adalah 10-15mg/kgBB sehingga menurut

35

perhitungan dosis pasien sudah mendapatkan dosis yang sesuai. Namun,


penggunaan antipiretik (parasetamol) masih menjadi kontroversi, dikarenakan ada
beberapa alasan yang menjadi dasar diberikan atau tidak diberikan antipiretik,
alasan tersebut berupa (IDAI, 2008):
Setuju penggunaan antipiretik
Demam
dapat
merugikan

Tidak setuju penggunaan antipiretik


atau Demam adalah self-limited dan jarang

membahayakan
Demam

serius, selama penyebabnya diketahui

berbahaya

dan kehilangan cairan dapat diatasi


dapat Kecuali hipertemia, demam diatur oleh

karena

mengakibatkan kerusakan susunan saraf hipotalamus dan tidak akan meningkat


pusat
Resiko kejang demam

secara drastic
Antipiretik mungkin tidak melindungi
terhadap terjadinya kejang demam,
karena kecepatan naiknya suhu lebih
penting daripada tingginya suhu dalam

Mengurangi
gejala

yang

ketidaknyamanan
berhubungan

proses terjadinya kejang demam.


dan Demam mempunyai pola karakteristik

dengan yang bermanfaat untuk menegakan

demam seperti otot, rasa kantuk dan diagnosis,


delirium

antipiretik

dapat

mempengaruhi pola tersebut, demikian


pula pemberian antibodi
Dalam IDAI (2008) disebutkan bahwa pemberian antipiretik dengan

indikasi:
1. Demam lebih dari 39oC yang berhubungan dengan gejala nyeri atau
tidak nyaman, biasa timbul pada keadaan otitis media atau myalgia.
2. Demam lebih dari 40,5oC

36

3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolism.


Keadaan undernutrition, penyakit jantung, luka bakar atau pasca
operasi memerlukan antipiretik.
4. Anak dengan riwayat kejang delirium yang disebabkan demam.
Kumpulan gejala dari dispepsia berupa mual dan muntah serta nyeri perut
pasien diberikan ranitidin 2x150 mg saat di IGD dan 2x80 mg di ruangan.
Mekanisme kerja dari ranitidin adalah menghambat secara kompetitif histamin
pada reseptor H2 sel-sel pariental lambung yang menghambat sekresi asam
lambung dan konsentrasi ion hidrogen (Sweetman, 2009). Dosis ranitidin untuk
anak menurut IDAI (2013) adalah 2 4 mg/kgBB/kali setiap 8 12 jam. Dosis
ranitidin untuk anak 1 bulan-16 tahun adalah 5-10mg/kgBB/hari (IDAI, 2009),
dosis ranitidin yang seharusnya diterima pasien berdasarkan berat badan adalah
78-156 mg/kali atau 195-390 mg/hari dalam 2 dosis terbagi, berdasarkan
pengamatan dosis ranitidine yang diterima pasien saat di ruangan kurang,
sehingga perlu dikomunikasikan kembali ke dokter. Dosis antasida sirup untuk
anak adalah 50-150mg/kgBB/hari sehingga dosis yang diberikan sudah memenuhi
range dosis seharusnya. Antasida diberikan untuk gejala yang muncul pada
penyakit dispepsia. Antasida yang merupakan garam inorganik ini bekerja dengan
menetralkan asam lambung (HCl) (AHFS, 2011).
Hari ketujuh rawatan (8 September 2016), pasien didiagnosa TB paru
karena dokter melihat hasil rontgen thorax yang pernah dilakukan di RS Yarsi
dengan hasil positif TB, oleh karena itu, terapi TB ditambahkan dalam daftar
terapi pasien.

37

Tujuan utama dari pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka


kematian, mencegah kekambuhan dan kesakitan serta mencegah penularan dengan
cara menyembuhkan pasien. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3
macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap
hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan, dosis obat harus disesuaikan
dengan berat badan anak. OAT yang diberikan untuk kategori anak adalah
isoniazid (INH) 5mg/kgBB/hari (DM 300 mg), rifampicin 10-15mg/kgBB/hari
(DM 600 mg) dan pirazinamid 25-35mg/kgBB/hari (DM 2 g) (DEPKES, 2006)
(IDAI, 2009). Saat di bangsal pasien mendapatkan isoniazid 300 mg, rifampicin
600 mg, pirazinamid 1000 mg. Dosis OAT yang diberikan telah sesuai dengan
yang ada pada referensi. Namun, pada hari ketigabelas rawatan, berdasarkan
pengamatan yang dilakukan pasien mengeluhkan nyeri pada bagian kaki, hal ini
kemungkinan efek samping dari penggunaan pirazinamid, sehingga untuk
mengatasinya perlu diberikan obat aspirin 15-20 mg/kgBB diberikan tiap 4-6 jam
dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g/hari yang berguna sebagai analgetik.
Tabel 5. Efek Samping Obat TB dan Penanganannya (IONI, 2008)
Efek Samping

Kemungkinan

Penanganan

Penyebab
Minor
Anoreksia, mual, sakit Rifampisin

Teruskan pemakaian obat


Berikan obat pada malam hari

perut
Nyeri sendi
Rasa panas dikaki
Urin kemerahan
Mayor
Gatal-gatal, kemerahan

Tiasetazon

sesudah makanan yang lain


Aspirin
Piridoksin 100mg/hari
Terangkan kepada pasien
Hentikan obat penyebab
Hentikan obat yang bersangkutan

Streptomisin

Hentikan streptomisin, ganti dengan

di kulit
Ketulian

Pirazinamid
INH
Rifampisin

38

Pusing,

vertigo, Streptomisin

nistagmus
Icterus (tanpa sebab lain)

Berbagai

TB
bingung Berbagai

Muntah,

(kecurigaan gagal hati)


TB
Gangguan penglihatan
Etambutol
Syok, purpura, gagal Rifampisin

etambutol
Hentikan streptomisin, ganti dengan

etambutol
anti Hentikan anti TB
anti Hentikan obat, segera periksa fungsi
hati dan waktu protombin
Hentikan etambutol
Hentikan rifampisin

ginjal akut
Pasien diberikan IVFD KA-EN 1B + KCl Meq ( 22 tetes / menit ). Infus
ini digunakan untuk menganti atau menyalurkan cairan elektrolit tubuh pasien
selain untuk menjaga kondisi cairan pasien seimbang. Menurut perhitungan, dosis
yang diberikan sudah sesuai. Dosis untuk anak adalah 50 100 mL/jam.
Jumlah tetesan per menit=

Jumlah kebutuhan cairan x faktor tetesan


waktu ( jam ) x 60 menit

Jumlah kebutuhan cairan Jumlah tetesan per menit x 60 menit


=
jam
faktor tetesan
Jumlah kebutuhan cairan 22 tetes per menit x 60 menit
=
=66 mL / jam
jam
20

39

BAB VI
EDUKASI PADA PASIEN DAN KELUARGA

1. Kurangi aktifitas berat dan perbanyak istrahat selama 10-14 hari.


2. Selama masa penyembuhan hindari makan makanan yang keras, pedas,
mengandung rempah ataupun berserat.
3. Menjaga kebersihan makanan, minuman, badan, dan lingkungan
4. Perbanyak minum air putih
5. Makan secara teratur, jangan melewatkan waktu makan
6. Hindari kontak langsung dengan penderita tifoid dan pisahkan peralatan
makan penderita dengan orang sehat untuk menghambat terjadinya
penularan.

40

7. Pemakaian obat obatan sesuai dengan petunjuk, misalnya :


-

Antibiotik diminum tepat waktu dan dihabiskan untuk mencegah


resistensi.

8. Menjaga kebersihan makanan, minuman, badan, dan lingkungan untuk


mencegah penyakit demam tifoid.
9. Dalam pemakaian antibiotik, hindari pemakaiannya bersamaan dengan
susu untuk mencegah terjadinya interaksi.
10. Pengobatan TB berlangsung lama, minimal 6 bulan, tidak boleh terputus
dan harus teratur tiap bulan.
11. Obat rifampisin dapat menyebabkan tubuh (air seni, air mata, keringat,
ludah) berwarna merah.
12. Secara umum obat sebaiknya diminum dalam keadaan perut kosong yaitu
1 jam sebelum makan/minum susu atau 2 jam sesudah makan

41

BAB VII
ANALISA DRUG RELATED PROBLEMS
7.1 TERAPI YANG DIBERIKAN
Tabel 6. Terapi yang diberikan pada pasien
No.

Nama obat

1
2
3
4
5

IV FD RL
Ceftriaxone
Paracetamol (Dumin)
Ranitidin
IV FD KAEN 1 B (Dektrose

Bentuk
Sediaan
Infus
IV
Tablet
IV
Infus

Dosis

Indikasi

28 gtt/menit
2x1,5g
4x500mg
2x80 mg
26 gtt/menit

Terapi cairan dan elektrolit


Infeksi
Antipiretik
Antiulseratif , antirefluks
Terapi cairan dan elektrolit

Oral

3x1

Batuk dan pilek

Tablet
Tablet
Tablet

bungkus
1x300mg
1x600mg
1x1000mg

Anti tuberkolosis
Anti tuberkolosis
Anti tuberkolosis

18,75 g + NaCl 1,125 g) +


6

KCl 7,46% 10 ml
Puyer batuk (trifed 4/5 tab +

7
8
9

interpect 20 mg)
INH
Rifampisin
Pirazinamid

42

10

Antacid

Sirup

3x1 sendok

Antacid

11

Curvit

Sirup

teh
2x1 sendok

Meningkatkan nafsu makan

teh

7.2 DRUG RELATED PROBLEMS


Tabel 7. Drug Related Problem
Jenis DRP
Indikasi yang tidak
diterapi
Terapi tanpa indikasi

DRP
1b

Keterangan
Semua indikasi telah diterapi

Rekomendasi

Pasien mengeluhkan nyeri pada telapak Berikan aspirin sebagai


kaki saat diinjakan

analgesic dengan dosis


15-20

mg/kgBB

diberikan tiap 4-6 jam


dengan dosis total tidak
melebihi 3,6 g/hari, jadi
dapat diberikan 600800 mg 4x sehari.
Parasetamol masih diberikan, suhu tubuh Hentikan
Dosis kurang

3b

pemakaian

pasien telah turun


(kapan perlu)
Dosis ranitidin yang diterima pasien saat Dosis yang seharusnya
di ruangan kurang (2x80 mg).

diterima

pasien

berdasarkan berat badan


adalah 195-390 mg/hari
dalam 2 dosis terbagi
Dosis injeksi ceftriaxone yang diterima Berdasarkan
43

ppasien kurang 2x1,5 g

perhitungan
untuk
berat

dosis,

anak
39

kg,

ceftriaxone

15

seharusnya

adalah 3,9 g (2x1,95 g)


Berdasarkan perhitungan dosis tidak
dite--mukan

Gagal mendapatkan obat

dosis
yang

diterima
Dosis berlebih

dengan

penggunaan

dosis

yang

berlebih pada pasien ini.


Pada hari ketujuh rawatan (8 September) Berikan

obat

OAT

pasien didiagnosa TB paru berdasarkan untuk berat badan 40


hasil rontgen thorax dan gejala klinis, Kg adadalah INH 300
namun hasil rontgen thorax telah keluar mg, rifampisin 600 mg
saat pasien dirawat di RS Yarsi.

dan pirazinamid 1000


mg,

terapi

sudah

diberikan dokter saat


mengetahui
Pilihan obat tidak tepat
ESO
Interaksi obat

rontgen thorax.
Pemilihan obat telah tepat
Efek samping obat belum muncul pada
-

pasien ini.
Tidak ditemukan ada penggunaan obat
yang

Duplikasi terapi

hasil

berinteraksi

saat

digunakan

bersama.
Tidak ditemukan adanya duplikasi terapi

pada pasien ini.

44

BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
1. Dosis injeksi ceftriaxone yang diterima pasien kurang 2x1,5 g

45

2. Pasien mengeluhkan nyeri pada telapak kaki saat diinjakan, namun tidak
diberikan terapi untuk mengurangi keluhan pasien
3. Dosis ranitidin yang diterima pasien saat di ruangan kurang (2x80 mg)
4. Pada hari kedua rawatan, pasien tidak lagi demam tetapi masih diberikan
parasetamol
5. Pada hari ketujuh rawatan (8 September) pasien didiagnosa TB paru
berdasarkan hasil rontgen thorax dan gejala klinis, namun hasil rontgen
thorax telah keluar saat pasien dirawat di RS Yarsi.
8.2 Saran
a. Berdasarkan perhitungan dosis, untuk anak dengan berat 39 kg, dosis
ceftriaxone yang diterima seharusnya adalah 3,9 g (2x1,95 g)
b. Berikan aspirin sebagai analgesic dengan dosis 15-20 mg/kgBB diberikan
tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g/hari, jadi dapat
diberikan 600-800 mg 4x sehari.
c. Dosis ranitidin yang seharusnya diterima pasien berdasarkan berat badan
adalah 195-390 mg/hari dalam 2 dosis terbagi
d. Hentikan pemakaian parasetamol
e. Berikan obat OAT untuk berat badan 40 Kg adadalah INH 300 mg,
rifampisin 600 mg dan pirazinamid 1000 mg, terapi sudah diberikan dokter
saat mengetahui hasil rontgen thorax.
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Health Drug Information. 2001. Cephalosporins. America:
ASHF.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. 2007. Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.

46

Behrman, R. E. & Kliegman, R. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Ed.4.


Jakarta: EGC.
Crump, J. A., Stephaen, L. P., Eric, M. D. 2004. The Global Burden of Typhoid
Fever. Buletin WHO Vol. 82, No.5.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2013. Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi
Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Miwa, H., Ghoshal, C.U., Gonlachanvit, S., dkk. 2012. Asian Consensus Report
on Functional Dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil, 18, 150-68.
Sweetman, S. C. 2009. Martindale 36th. Chicago: Pharmaceutical Press. UHC
Consortium. 2014. Albumin Administration Guidelines. NFJM.

47

Anda mungkin juga menyukai