Anda di halaman 1dari 355

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI


INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi


informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau


menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem


Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup


mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses


tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI


INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi


informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau


menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem


Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup


mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses


tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi


informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak


sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil


perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan


pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini


terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi


informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama


yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.


Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih


menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian


(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa


saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para


stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI


INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi


informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau


menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem


Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup


mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses


tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi


informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak


sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil


perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan


pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan


memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih
menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing


kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan


teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan


teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi


informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan


pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan


memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih
menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing


kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan


teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan


teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi


informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan


pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan


memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih
menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing


kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan


teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan


teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba
diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.
Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan
memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih

menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi


informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.
Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing
kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan


pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI

BAB 3
RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI
INFORMASI

Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di


dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya
menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan
teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi
informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di
kalangan praktisi bisnis.

RETURN ON INVESTMENT (ROI)


Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe,
1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana
dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang
telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini
terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa
depan dan memproyeksikan besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi
dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal
Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value
(NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih
dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate
of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati
perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di
bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak
oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber
daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi
para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek
teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih
besar dari ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga
deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan
leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap
proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari
metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau
parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya,
karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai
perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi
di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk
ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau
manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan


memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya
proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan
perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan
bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk
menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih
menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi
informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode
ini.

COST- BENEFIT ANALYSIS (CBA)


Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau
menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi
terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978).
Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait
seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau
harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi
sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu
orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk
dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke
dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format
alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya
manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif
maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian
yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam
menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak
jelas tersebut.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

MULTI OBJECTIVE, MULTI CRITERIA METHODS (MOMC)


Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah
MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa
di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing
memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari
sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran
yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap
proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang
ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap
stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk
melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada
(misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan
dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya
maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk
memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik
yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun
manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah
dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih
dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat
terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak
sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat
dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak
tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya
analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

BOUNDARY VALUES
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari
karena

kemudahan

dan

kesederhanaannya

(Martin,

1989).

Prinsip

yang

dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio


perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung
Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas
Widyatama

biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan
dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau
total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi
dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara
jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula
dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio
biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi
informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan
teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan
dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan
memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

RETURN ON MANAGEMENT (ROM)


Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan
terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985).
Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap
nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil
perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan
nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali
biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah
sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan
dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan
metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya
terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan.
Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

INFORMATION ECONOMICS (IE)


Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satusatunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor
dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam
mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam
prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang
disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian
(uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi
informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan
mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun
untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan
sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian
dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang
bersifat

tangible

dan

intangible.

Singkatnya,

metode

ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul


akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini
dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses
tambahan yang diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di


berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan

kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang
penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama
yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk
menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang
kompleks dan cukup memakan waktu.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

CRITICAL SUCCESS FACTORS (CSF)


Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para
pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah
menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan
berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa
saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF
berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi
informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi
sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan
investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: pelayanan prima kepada
pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk membangun sebuah sistem
Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

VALUE ANALYSIS (VA)


Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang
memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible
(Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa
lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan
dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini
didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan
untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan
terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap
hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik
pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap
permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar
manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh
seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari.
Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan
diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing


kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut
kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan
lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada
MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para
stakeholder dalam dunia bisnis.

EXPERIMENTAL METHODS
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya
sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan,
terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup
mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau
besar,

pengerjaan

yang

diperkirakan

memakan

waktu

cukup

lama,

dan

ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat


menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak
melakukan

investasi.

Untuk

mengatasi

hal

tersebut,

ada

beberapa

cara

ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut,


yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan
ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen
yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang
akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk
dibangun

prototipnya.

Setelah

prototip

selesai

dibangun,

barulah

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar
perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang
terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan
merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat
simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang
dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang
ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi
teknologi informasi yang akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan

teridentifikasi

melalui

proses

diskusi

dari

berbagai

pihak

yang

berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam
perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk
mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983):
art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan
pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation
(menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi
yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan setelah
mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis
yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

Manajemen Investasi Teknologi Informasi M. Benny Chaniago Universitas


Widyatama

Anda mungkin juga menyukai